Diipandangnya wajah Laras sesaat. Ruangan ganti cafe yang memang sepi, karena jam pulang sudah berakhir dari tadi.
Tangan Ardi bergerak pelan menuju dua gundukan kenyal yang masih terbalut kemeja rapi. Ardi meremas keduanya dengan kedua tangan tangannya, pelan. Laras kaget dan hendak menyingkirkan tangan itu. Tapi apa daya, tangan Ardi begitu kokoh menyerang dua aset miliknya. Gerakan meremas, memutar dari bawah gundukan itu membuat Laras yang baru pertama kali merasakan hal itu, merasa nyaman dan enak. Mata Laras terpejam merasakan pijatan tangan Ardi, satu kepalan pas dalam genggaman tangan itu."Ishh ..." Laras mendesis nikmati hal tersebut, antara sakit dan enak. Ardi tak berusaha membuka kemeja milik Laras. Dia hanya meremas-remas gundukan itu, menemukan dua ujungnya yang sudah berdiri. Jari Ardi semakin lihay, memainkannya, penutup bra-nya, sedikit terangkat ke atas. Masih berbalut kain kemeja, Ardi terus menikmati benda kenyal dalam tangannya tersebut. Seakan sudah lama Ardi tak bersentuhan dengan benda tersebut.Laras memandang wajah Ardi. Ardi memandang wajah Laras dalam tatapan sendu. Tak lama gerakan itu melemah."Pergilah, aku pesankan greb, untuk kau pulang."Laras bingung, atas sikap kakak iparnya ini. Mengapa? Apa nggak pernah menyentuh barang punya istrinya? Kok gragas sekali meremas punyaku, pikir Laras .Laras hanya mengangguk dan menyingkir pelan dari hadapan Ardi.***Dalam kamarnya, Laras masih juga merasakan ciuman dan remasan itu, apa tidak salah?Jadi selingkuhan? Aku? Laras menunjuk dirinya. Maksudnya apa? Apakah sedang ada perang dingin antara Puspa dan Ardi?Tapi? Tak sadar, Laras menyentuh dadanya sendiri. Ah, aku ternoda. Mengapa aku mau saja, punya ku ini diremes-remes. Tapi kok enak. Laras meremas punyanya sendiri.Dan kembali merasakan kenikmatan saat tangan Ardi memainkannya. Ah ... Apa aku keterlaluan hingga aku pun juga menikmati rasa itu? Laras segera mengenyahkan rasa itu, dan segera bangkit keluar dari kamarnya, dan mencari mamanya yang sedang duduk menonton televisi sendirian."Mama, mau bicara denganmu, Laras. saat ini ... mama mau kontrak saja, kau ikut mama, atau tinggal di sini.'"Apa! maksud Mama?! mama mau kontrak rumah?!" Laras terkejut.Brak! Laras menggebrak meja rias milik kakaknya. Puspa mendelik atas perbuatan Laras tersebut."Maksud kamu apa hah! pakai gebrak meja depan aku!""Kakak punya otak nggak sih? mengapa menyuruh mama keluar dari rumah ini? nggak tahu diri amat!""Hai! tolol! tahu nggak ini rumah sudah aku bayarin semuanya. Aku sudah menebusnya dari Bank. hutang-hutang mama selama ini siapa yang bayarin? enak sekali nuduh aku nggak punya otak. itu terserah mama, pokoknya aku sudah peringatkan mama untuk menghentikan hobi mama yang suka dengan kredit mengkredit itu, kalau mama nggak suka aturan aku, ya udah sana ... keluar saja dari rumah ini, ' jelas Puspa lantang.Laras hanya terdiam, "tapi tidak menyuruh mama, pergi dari rumah ini kali, kak!'"Sudah aku bilang , kalau nggak mau turuti perintahku, mama boleh tinggalkan rumah ini, kalau mau tinggal ya, turuti perintahku, enak toh."Dari dulu memang sifat Puspa yang pemarah dan arogan bikin Laras selalu saja berselisih paham dengannya."Aku ikut mama, ""Oh, terserah ... baguslah kalau begitu. aku tak perlu keluarkan uang untuk biaya makan mi.""Dari dulu aku pun tak pernah minta makan darimu, Kak!"Laras langsung keluar dari kamar kakaknya dan membanting pintunya keras-keras.Saat baru keluar kamar dirinya berpapasan dengan kakak iparnya. Mata mereka saling beradu. Laras segera menunduk dan cepat-cepat menyingkir dari hadapannya.***Tak ada suara yang macam-macam, bahkan Puspa yang bicaranya kasar kali ini hanya diam saja, Tatkala Ardi ingin meninggalkan rumah."Aku sudah cukup sabar menghadapi kamu, Puspa. tapi kau tak mengindahkan keputusanku. Jadi jangan halangi aku." Ardi memakai tas gunungnya. Dengan tak banyak kata dirinya keluar dari rumah. Tanpa pamit pada Mama.Mama melihatnya pun tak mencegahnya. Mama tahu tabiat Puspa. Mama hanya menghela napasnya panjang, dan masuk ke dalam kamarku."Besok, Mama mau cari rumah kontrakan. Temani Mama ya, oh ya, kalau ada sedikit tabungan, pinjamkan dulu lah sama Mama, nanti tak ganti."Laras mengangguk, "Iya, Mah " jawabnya pelan. Lalu mengambil dompet, dan menyerahkan uang hampir sebesar satu juta lebih."Ini, Mah, cari kontrakan nggak usah yang besar-besar ya, Mah."Mama, hanya mengangguk. "Sekarang tidurlah. pasti sebentar lagi ada yang mengamuk. tutup pintu kamarmu." Lalu, Mama keluar dari kamar.kebiasaan Puspa yang selalu mengamuk. kelabilan hatinya terkadang membuat Laras sebal.Benar saja, kata Mama. sekilas samar-samar Laras, mendengar berbagai benda pecah dari kamar kakaknya itu. Entah apa yang pecah. Laras sudah tak peduli lagi pada Puspa.***Malam ini, tampak Ardi berada di sebuah kamar bersama salah satu temannya."Maafkan aku bro, jadi numpang di rumahmu, tadinya aku mau ke cafeku, tapi aku lagi ingin punya teman bicara.""Santai sajalah, bro. Ceritakan apa yang telah terjadi. bukan karena perempuan kan?"Ardi tersenyum kecut. Selama hidupnya, rasanya sudah puas bergelimang wanita. kini saat hidupnya ingin lebih tenang, dengan memilih Puspa sebagai pelabuhan terakhirnya, ternyata gagal. Ardi bak mendapat buah busuk. Malam pertama pun menjadi aib baginya. Mendapati Puspa sudah tak perawan lagi. Mungkin ini bisa saja karma bagi dirinya. Tapi , perilaku Puspa yang membuatnya tak bisa menahan emosi."Ar ... jangan melamun, ini kopimu. Maafkan bila kata-kataku menyinggungmu.""Tidak, Bas. Aku ingin ... oh ya ... masih kau simpan nomer Mister Road?"Baskoro, terdiam, "Mengapa kau tanya, apakah?""Tidak, aku hanya ingin bertemu saja, ada sesuatu yang ingin aku tanyakan."Baskoro hanya mengangguk mengerti. Lalu menyerahkan nomor tersebut.***Pagi ini, Ardi kembali seperti biasa, kegiatannya yaitu menjadi koki di cafenya, menu andalan nasi goreng spesial menjadi favorite para pengunjung pagi ini.Banyak para pekerja kantoran yang tak sempat sarapan, di jam bebas tugasnya, menyempatkan diri mampir ke cafe Ardi hanya untuk sekedar minum kopi ataupun mencari menu spesial tersebut.Andai, Ardi tak punya kharisma pasti drinya sangat kesusahan mencari pelanggan cafenya.Hem, sebagian mereka mengenal Ardi dari masih lajang. Seorang yang jagoan di jalanan. Sudah mendarah daging, setiap trek motor besar, dirinya pasti menang. Pundi-pundi uang dikumpulkan hanya untuk bersenang-senang saja. Memuaskan masa muda.Banyak teman wanita dalam pelukan Ardi.Lamunan itu, terhenti, kala Laras tak sengaja, menyenggol beberapa barang dekat pintu.Semua mata memandangnya, termasuk Ardi. Laras segera membungkuk meminta maaf, dan membetulkan kembali barang-barang yang terbuat dari plastik tersebut. Untung saja, tidak pecah, batin Laras.Waktu berlalu biasa saja. Laras bekerja tanpa banyak kata. Merasa ada yang janggal saja hari ini. Ingatannya tak pernah lupa atas perlakuan Ardi tempo hari.Tiba-tiba, telepon Laras, berdering. Laras segera menerima panggilan ponsel itu yang ternyata dari Mamanya."Iya, Mah."Mama mengabarkan kalau sudah mendapatkan sebuah kontrakan yang tak jauh dari tempat kerja Laras.Laras tersenyum, "Iya, Mah. semoga ini yang terbaik, ya Mah. Maafkan Laras nggak bisa bantu beres-beres deh, tapi besok Laras mau ijin seharian biar bisa secepatnya pindah."Tak lama panggilan tersebutpun berhenti.Laras tak menyadari, ada seseorang di belakang Laras."Kenapa, pindah? di usir Mak Lampir?""Mas Ardi ..." Laras kaget, dan mengelus dadanya sendiri."Iya? di usir Mak Lampir?"Laras diam, dirinya paham maksud kakak iparnya ini. Laras mengangguk pelan."Dimana?" Laras menatap wajah lelaki di depannya, dan menyebutkan sebuah alamat."Ayo ....""Ah ... maksudnya?"Ardi tak pedulikan lagi, masih pakai pakaian seragam kokinya, Ardi mengantarkan Laras menuju alamat yang disebutkan tadi.Sesampainya di sana, sudah ada Mama yang sedang membereskan beberapa baju yang di bawanya, agaknya Mama pun tak membawa baju banyak."Assalamuallaikum ...""Wallaikumsalam.""Ardi?!" kata Mama kaget, menantunya malah mengantar Laras ke tempat tinggal barunya."Puspa berulah lagi, Mah?" tanya Ardi."Ah, paling cuma gertakan saja, Ardi. Mama juga nggak ambil pusing. ini mungkin untuk semetara saja. Mama hanya kasihan sama Laras, tiap hari berantem terus sama kakaknya. makanya dia aku ajak.." jelas Mama masih menutupi kekurangan Puspa depan suaminya.Ardi melihat keadaan rumah tersebut. "Apa tidak t
Perkelahian malam itu menjadi heboh, Ardi tak melepas orang yang mencoba merendahkan, emosi yang tak terkendali kembali melandanya. Kalau saja tidak ada yang melerai mereka, pasti Ardi akan bermasalah dengan polisi."SUDAH!! CUKUP!" Lalu, bunyi senapan terdengar tiga kali.Ardi tanpa pendamping, dirinya hanya beberapa orang saja yang kenal. Sedang orang yang dipukulnya nampak melihatnya dengan api kemarahan."Tunggu! pembalasan gue!!" ancamnya dan pergi meninggalkan tempat tersebut.Ardi pun menyambar helmnya, dan segera naik ke motornya, hendak pergi pula."Tunggu! kau belum ambil uangmu, aku tunggu satu jam di sini, bila kau tak datang uang taruhan hangus!" teriak seseorang pada Ardi.Ardi pun memutar motornya dan mendekati lelaki yang memang sudah memegang uang taruhan."Ini, malam ini kau punya nyali juga!" timpalnya pada Ardi dan menyerahkan uang berjumlah cukup banyak.Tanpa banyak bicara Ardi langsung melesat pergi meninggalkan lokasi. Ada rasa berdenyut dalam hati dan isi kepa
Ardi duduk di sebuah rumah usang, ini adalah rumah milik ibu tirinya. Sudah dua tahun yang lalu ibunya sudah kembali menikah dengan seseorang, dan kini sudah tidak ada di luar kota, mengikuti suaminya. Anak-anak mereka pun ikut. Ardi hanya lah anak sambung, dan sudah berkeluarga, jadi punya urusan sendiri, dan kehidupannya tak menarik di mata ibu tirinya.Di rumah yang masih di tempati adik dari ibunya yang agak sedikit terganggu jiwanya. Tapi, Ardi selalu memberi sedikit uang untuknya.Ardi mengeluarkan, uang dari dalam jaketnya, tumpukan uang itu cukup tebal juga, pikir Ardi. Pelan dirinya menghitung uang hasil trek malam itu. Hem, hampir tujuh juta lebih.Di ambilnya sebuah rokok dan mengisapnya. Pikiran seorang Ardi mulai berkelana.Bila dirinya, tak kembali. bagaimana bisa dapat uang berjuta-juta dalam semalam. Tangan Ardi meraba luka yang kini sudah tertutup sebuah plester."Laras ... " bisiknya sambil geleng-geleng kepala.Niatnya hanya mengertak gadis imut itu. Entah semua tin
Puspa, memandang suaminya, kilat matanya membuatnya semakin marah atas kata-kata Ardi barusan."Aku tahu, aku nggak ada artinya di matamu Mas! apa pantas untuk dipertahankan?""Aku mengharapkan kau bisa berubah, untuk saat ini pun aku berharap kau mau merubah seluruh sifat dan sikapmu.""Kau tahu Mas! aku sudah merasa terhina saat malam pertama. Kau bilang akan menerima aku sepenuhnya , tapi nyatanya?""Bila kau bilang siapa ayah anak itu, akan akan lebih menghormatimu, tapi kau malah menutupi, bahkan di belakangku kau mengugurkan kandungan itu tanpa ijin mama atau pun aku, suamimu. Di sini aku sudah tahu sifatmu, Aku bukan lelaki bodoh, aku tahu, kau sudah hamil di saat malam pertama kita!"Puspa terdiam, benar saja, suaminya sudah tahu hal tersebut. Makanya dirinya amat sangat benci pada dirinya. Ini yang membuatnya semakin terhina, juga sikap dan perilaku Ardi kala itu."Sudahlah, kau mau menceraikan aku kan?"Ardi menggeleng pelan."Aku beri kesempatan padamu, lagi. dan aku selalu
Ardi memandang Tommy, Dialah partnernya dulu. Dua lelaki yang sangat mencolok penampilannya. Ardi yang berbadan besar bak bodyguard, wajah sangar berbeda jauh dengan Tommy yang good looking, tampan, sekilas mirip artis Korea, berkulit putih bersih. Dua magnet yang saling klop."Aku mohon satu kali ini saja. setelah ini aku tak akan memakai jasamu lagi." ucap Baskoro bersungguh-sungguh.Ardi terdiam, dialah leadernya."Apa yang harus aku bawa?""H" Baskoro hanya menyebutkan inisial barang itu."Kau tahu bukan aku pemasok barang itu. kali ini aku tak bisa melindungimu.""Apa! kalau begitu aku tolak!""Pure, upah milikmu semua. ini karena pembawa paket tak berani lewati batas itu. Hanya kau yang bisa!"Tommy memandang Ardi, lelaki lajang pasti akan tergiur dengan jumlah tersebut."Aku pikirkan lagi. Maaf ... aku memburu waktu." Ardi pun berjalan melewati Baskoro, tapi tangan Baskoro, menepuk dadanya tiba-tiba, di tangannya, terlihat segepok uang berwarna merah."Aku minta, ini hanya perm
Ardi menarik tangan Laras, dan kini masuk dalam pelukannya, mencium bibir gadis manis itu. Laras mengikuti alurnya saja, tangannya menahan dada Ardi, tubuhnya yang besar terasa menghimpit tubuh mungil Laras, hingga Laras kehabisan napas karenanya. Ardi pun melepaskan ciumannya, dan memandang Laras dalam tatapan sendunya.Laras, yang memang sudah jatuh cinta pada kakak iparnya ini, tak pedulikan lagi dengan apa tindakannya yang salah itu. Tangan Laras pelan mengeser ke arah belakang leher Ardi, dengan berjingkat, Laras kembali mendapatkan bibir Ardi. lelaki itu tersenyum, dan mengangkat pinggang Laras dan mendekapnya erat. Baru kali ini, Ardi mendapatkan sensasi ciuman yang dahsyat dari Laras. Tubuhnya semakin menegang, tangan lelaki kekar itu sudah bergerilya seputar dada Laras. Napasnya semakin memburu, rasa kangen yang tertahan tertumpah kan malam itu.Namun, Ardi tak mau merusak pagar ayu milik Laras, ditutupnya lagi dada yang sudah terbuka itu, Laras bingung.Mereka saling mena
Deny nampak melihat ponselnya, ada sambungan telepon, nomor yang tak ada namanya, tapi dirinya gagal dengan nomor tersebut."Bagaimana? target sudah siap?""Belum. ada kendala sedikit. sabar.""Hah!! lakukan dengan benar.""Baik."kemudian sambungan itupun terhenti .Deny memandang laptop yang ada di mejanya. Berapa kurva pemasukan dalam setahun sedang dibuatnya untuk laporan."Huh, edan! dasar tua bangka!" Deny memaki geram, lalu berdiri, mendekati jendela kaca, terlihat dari jauh hotel di mana Baskoro menginap."Brengsek!" Makinya lagi.Kemudian Deny mengambil ponselnya dari sakunya, dan menghubungi seseorang."Datanglah ke ruang kerjaku."Tak lama, pintu terketuk, masuklah seseorang laki-laki."Buatkan aku laporan keuangan dalam dua tahun terakhir ini, tapi buat laporan tak ada anggaran sama sekali. semua habis di properti. nanti kau aku bayar mahal.""Tapi , Pak.""Kerjakan atau kau aku pecat?""Baik, Pak."***motor melaju kencang menuju suatu tempat, satu yang dituju sebuah cafe
Ardi diam saja atas keras kepala Laras. "Dengar , kau masih muda, perjalananmu masih panjang. nggak harus sampai di sini saja, Laras." Mama sudah senewen pada Laras.Pertengkaran ini, akhirnya Ardi mengajak anak dan ibu mertuanya ke sebuah tempat, agar cafenya terhindar dari pertengkaran Laras dan mamanya."Mah, Laras sudah besar, sudah boleh kan mengambil keputusan sendiri. aku merasa bego aja kalau berada di rumah itu. serba-serba ngga di anggap!" berang Laras sambil bersedekap."Siapa yang tak anggap kamu, Laras? semua mama buat seadil-adilnya, makan sama, mama tak membedakan kalian." Kartika semakin memanas.Ardi sebenarnya tahu kegundahan hati ibu mertuanya ini, sepertinya ibu Kartika tahu sepak terjang segalanya. Kartika terlihat tak peduli dengan anaknya. tapi sebenarnya dia mengamati dan mulai mengendus kesalahan yang sudah terjadi.Ardi merasa malu sendiri, akhirnya."Nanti, aku bicara lagi dengan istriku,mah. "Mendengar Ardi bicara tentang 'istrinya' ada terbersit cemburu
Kali ini, cecunguk dari preman pasar itu membuat rencana yang sungguh buruk."Kita harus balas perbuatan ini, Sialan! aku dihinanya tanpa ampun!!""Benar , bos. mengapa kita nggak balas saja. lama-lama bikin enek tuh orang!"Bardi memukul meja di depannya. "Bawa perlengkapan, malam ini kita harus dapat apa yang kita mau! sepertinya banyak harta yang dia sembunyikan!""Siap bos!"Di malam itu, beberapa orang suruhan. Bardi termasuk dirinya masuk menyelinap ke dalam rumah Baskoro. Rumah yang tanpa penjaga itu, begitu gampang disantroni oleh kelompok Bardi yang kali ini membawa anak buahnya yang cukup banyak."Kau jaga bagian Utara, aku mau masuk dan mencari seseorang," bisik Bardi pelan pada anak buahnya. Mereka mengangguk pelan.Bardi mendekati kamar yang paling luas, di sana ada Kartika yang sedang tertidur pulas, tak menyadari kalau rumah besarnya sudah dalam kepungan kawanan perampok. Pelan Bardi masuk dan dengan insting malingnya sudah bisa menggasak beberapa uang dalam lemari.Sa
Deni menatap seorang wanita yang sedang berjalan menuju sebuah tempat, dia kenal betul dengan wanita itu, walaupun kini hanya berpakaian seadanya, tanpa ada riasan mikap yang tebal, pelan, Deni mengikuti wanita itu.Terus hingga pada ujung sebuah gang, wanita itu masuk ke dalamnya, rumah yang sangat sederhana, bahkan jauh dari kata sederhana tersebut.Saat wanita itu hendak membuka pintu reotnya, Deni memanggilnya."Mah .... mamah?!"Lastri mendengar suara itu, dan langsung berbalik badan, dilihatnya Deni dengan mata terbelalak. Penampilan Deni yang hampir saja ibunya tak mengenalinya."Siapa kamu?!' Lastri waspada."Mah, aku Deni mah." "Deni?! kau ..." Lastri terbengong melihat penampilan anaknya sekarang.Deni segera mendekati ibunya, dan memeluknya erat.Lastri sungguh shock menghadapi hal ini, mengapa disaat seperti ini dipertemukan lagi dengan anaknya, karena ulah Deni lah yang membuat dirinya dan suami harus kocar-kacir. "Kau ... bagaimana aku harus bersikap, aku membencimu ju
Deni mengikuti mobil yang membawa Puspa. Dirinya pun kaget dengan perubahan pada diri Puspa kekasihnya. Wajah dan tubuhnya sudah tak secantik dan seseksi dulu. Tapi Pri masih penasaran siapa yang membawa Puspa tersebut. Selama mengenal Puspa, hanya mendengar cerita dari Puspa saja tentang Mamanya yang dulu selalu meminta uang, sama sekali tak pernah bertemu dan mengenal mama dari kekasihnya ini.Pri mengendarai sebuah sepeda motor butut, dirinya berkali-kali kewalahan dalam mengejar laju mobil yang membawa Puspa. Sudah tiga kali Deni alias Pri harus berhenti untuk mengisi bensin, begitu juga motor yang selalu ngadat. Tapi lelaki itu tak menyerah, terus saja menguntit mobil tersebut. Bukan Deni bila hal lacak melacak saja tak bisa, walaupun kini dengan fasilitas seadanya, dia masih bisa mengejar mobil tersebut, walau terseok-seok. Roman-roman rute yang dilaluinya membuat dahinya berkerenyit? apakah ini menuju villa milik bos Baskoro? dugaan Pri tak salah lagi.Motor Pri mulai dat det d
Laras dan Ardi menceritakan keinginannya pada Heri, ajudan pribadi Baskoro yang sangat terpercaya. Dengan dibantiu Hamdan, mereka mempersiapkan semua keperluan pernikahan dari pendaftaran ke KUA, dan segala urusan.Baskoro dan Kartika mengurus rumah ngaji dengan sungguh-sungguh. Kini ijin dari sarana pendidikan ini pun sudah turun, dari RT dan kecamatan setempat, bahkan banyak warga yang tak mampu, menitipkan anaknya untuk menimba ilmu keagamaan di rumah ngaji. Baskoro pun merekrut beberapa guru agama dan beberapa guru dengan ilmu bidang pengetahuan yang lainnya.Kartika semakin memperhatikan keadaan Baskoro, rahasia kesehatan lelaki gaek itu kini menjadi tanggung jawabnya.Sejak kecelakaan yang mengakibatkan dirinya sakit berbulan-bulan, Baskoro di prediksikan oleh dokternya hanya punya kesempatan hidup beberapa bulan saja, klep jantung yang terpasang mulai bermasalah, napasnya gampang sesak, tubuhnya semakin melemah. Namun, keajaiban Tuhan memberikan pada Baskoro hingga dirinya masi
Kinasih mampu merekrut banyak pelanggannya lewat pijet plus-plusnya yang tak disengajanya. Dia kini bisa menghimpun banyak komunitas , banyak kenalan di tempat yang baru, identitasnya yang baru tak dikenal banyak orang. Dirinya kini dikenal dengan nama Lastri, janda tanpa anak yang masih menyiratkan kecantikannya walau dalam usia yang tak muda lagi."Saya ingin tahu, bang, memang villa itu milik siapa? tanya Lastri pura-pura tak tahu menahu tentang kepemilikan dari vila milk Baskoro tersebut."Itu dulu punya orang besar, yang katanya sekarang sudah insaf dan menjadikan villa itu jadi tempat ngaji.""Orang besar? pejabat kang? atau apa?""Kau banyak tanya sih!! yang aku tahu dulu dia punya banyak centeng yang bisa membungkam seluruh warga dengan uangnya paham!""Bungkam? untuk apa?" "Ya, untuk tidak membocorkan adanya vila tersebut. ah sudahlah , ayo pijat punggungku ini, jangan lupa pijat punya ku juga ya." jawil lelaki yang sudah bertelanjang dada itu pada dagu Lastri dengan manja.
Tangan Baskoro pelan mengusap rambut anaknya, Andai waktu bisa diputar pasti Baskoro akan mengambil Laras dari Kartika. Tapi semua sudah menjadi takdir yang kuasa. Juga Laras yang mencintai Ardi, dirinya sudah tak asing dengan lelaki macho itu, bahkan sudah pernah duel, jadi tahu kemampuan mading-masing. Kini Baskoro ingin menata hidupnya sebaik mungkin. Menjalin hubungan antara manusia sebaik mungkin, juga seimbang hubungan dengan sang maha pencipta."Ayah, apa sudah ayah pikirkan menikah dengan mama?"Baskoro mengangguk, "Aku butuh seseorang yang akan menjadi sahabat dan tumpuan anak perempuanku.""Jadi karena aku, bukan karena cinta?"Baskoro, mengangguk lagi," Aku sudah tua, tak butuh cinta di atas ranjang. begitu juga mama kamu, tak memikirkan hal berbau birahi."Laras memandang Ayahnya dengan tatapan syahdu."Mengapa kau tanyakan itu?'"Aku baru pertama mengenal ayah, yang aku tahu ayah adalah ....'"Preman? atau orang yang kejam? aku menyadari segalanya, saat nyawaku tinggal se
Laras langsung memeluk ibunya, derai air mata kesedihan juga kebahagian menjadi satu. Laras menceritakan semua tentang Puspa pada mamanya. Mamanya kaget, tak bisa dipungkiri dirinya tetaplah ibu kandung Puspa. Tak bisa dibendung lagi air matanya pun luruh."Antarkan Mama ke Puspa. Nak Ardi bisa kan?""Tapi Bu, aku-""Mungkin saat ini tak ada yang boleh menengok Bu," sela Hamdan."Memang kenapa?! aku ibunya! aku ingin melihat Puspa."Laras memegang erat tangan Mamanya. Laras tahu, dulu Mamanya paling sayang sekali dengan Puspa. hingga dirinya merasa tersisih dari Puspa .Laras berpindah memandang sang Ayah. lalu mendekat dan menyalaminya, ada rasa canggung pada dirinya karena tak pernah saling berkirim kabar ataupun bersama dalam keadaan seperti ini.Baskoro sebenarnya sangat merindukan anaknya ini, tanpa segan lagi Baskoro berkata, "bolehkah kau memelukmu, Nak?"Laras tersenyum dan langsung menghambur ke dalam pelukan ayah kandungnya tersebut."Ayahmu berubah hanya untuk kamu Laras. d
Kinasih menarik kopernya dan berjalan di belakang Kartika."Kau aku beri kesempatan hanya satu hari, besok kau pergilah dari vila ini." tutur Kartika dengan pelan. Tak bisa dibayangkan bagaimana tadi wajah Baskoro yang penuh amarah karena Kartika mengijinkan wanita ini untuk menginap satu hari saja.Bagaimana kabar Laras?Kali ini Laras terlihat sedang duduk di depan komputer."Lihat kau bisa tekan ini, dan lihat rute yang muncul. bila titik merah ini berjalan artinya kami sedang mendekati target, pantau terus, bisa?""Bisa," jawab Laras sambil mengangguk."Kau akan ditemani Angel di sini."Tommy dan yang lainnya mulai bersiap penggrebekan atas seseorang gembong narkotika.Sementara itu, seorang wanita terbaring dalam keadaan berdarah, siapa lagi kalau bukan Puspa. Dia menjadi korban dari perkelahian antar geng dalam sel wanita.Apakah Puspa sudah meninggal? tangannya terlihat terikat rantai borgol yang tersematkan pada sandaran ranjang tersebut.Puspa amatlah licik. entah disengaja a
Dalam perjalanan menuju kampungnya, Kinasih masih dalam kepiluan. Rasa malunya ini tak tahu bagaimana cara mengatasinya.Tiba-tiba, dirinya langsung minta berhenti pada sang sopir."Aku minta berhenti di sini saja. aku akan ke tempat kenalanku." "Apa benar di sini? ""Iya benar. menepikan. aku akan berjalan saja. nanti juga sampai di villanya."Mobil tersebutpun berhenti di pinggir jalan. Kinasih turun dan sambil menenteng koper dan tasnya, dirinya dengan percaya diri berjalan beberapa meter lagi akan sampai pada sebuah villa milik Baskoro! ada hubungan apa? istri sahabatnya malah mendatangi Baskoro!Kartika masih berada di boncengan motor Baskoro, dirinya diajaknya keliling kampung, padahal setahu Kartika jalanan sekitar villa tampak lengang dan sepi tak terlihat banyak rumah penduduk, tapi ternyata setelah hutan ada sebuah kampung bahkan kini Kartika sudah berhenti di sebuah pasar."Turunlah, kau mau beli apa?""Maksudmu?"Baskoro mengeluarkan beberapa lembar uangnya dan diberikan