Setelah undangan itu diterima segalanya berbeda. Semuanya berubah ...
"Hei, kamu lihat Tami?" Wanita yang bertanya adalah Mika. Seperti biasa penampilannya selalu rapi, anggun, punggung tegak, kepala terangkat, dan heels yang membalut kakinya."Tami?" Rania, orang yang ditanya justru balik bertanya. Ia sedang memastikan tidak salah dengar, kemudian menggeleng. "Tadi dia bilang mau bareng ke dermaga."Rania celingukan ke sana ke mari, mencari orang yang jelas-jelas tidak ada."Mungkin masih di belakang," duga Rania.Mereka berjalan melewati belukar dan akar pepohonan yang mencuat di permukaan. Mereka harus berhati-hati meletakkan pijakan jika tidak ingin jatuh dan melukai diri sendiri. Mika berjalan paling depan. Heels yang dikenakan sama sekali tidak menyulitkan langkahnya.Rania mempercepat langkah, menyejajari langkah Mika. “Tami kenapa?” tanyanya penasaran."Hari ini tingkahnya sedikit aneh.""Aneh? Contohnya?"Mika menatap Rania dengan sebal, kemudian berlalu tanpa memberi jawaban. Ia tidak suka dihujani banyak pertanyaan. Jika ia bertanya, orang lain hanya perlu memberikan jawaban."Isamu juga pagi ini belum kelihatan." Adien yang berjalan paling belakang buka suara.Mika, Rania, Adien, mereka sedang menuju dermaga. Mereka berencana memeriksa tanda yang sebelumnya mereka tinggalkan. Juga untuk melihat-lihat keadaan dan memasang tanda baru agar tampak jelas jika dilihat dari kejauhan."Dia bilang enggak enak badan. Jadi memilih tinggal di kamarnya," jawab Rania."Tidak enak badan?!" Langkah Mika berhenti, suaranya meninggi. "Kenapa kamu izinkan?! Bukannya sudah kubilang kita harus selalu sama-sama. Tidak enak badan tidak bisa dijadikan alasan!""Kamu sendiri, kan tahu betapa keras kepalanya Isamu. Kalau kamu mungkin bisa membujuk, aku jelas enggak bisa. Enggak ingin repot-repot," kilah Rania."Kenapa kamu tidak bilang dari tadi?!" Mika masih meninggikan suaranya."Ternyata kamu enggak sadar kalau sejak pagi Isamu sudah enggak ada?" Rania menggeleng, tidak habis pikir. "Wah!" Bagaimana mungkin orang yang sok menjadi ketua dan tukang mengatur sama sekali tidak sadar ada satu anggotanya yang tidak hadir."Jangan memutar balikkan kesalahan!" Mika melotot, semakin merasa sebal. “Kembali!”Rania balik melotot. Ini benar-benar menyebalkan.Benar. Semuanya menyebalkan. Terjebak bersama orang yang suka mencari sensasi untuk viral. Bersama seorang Admin sebuah akun misterius yang sok tahu. Bersama seorang yang sok mendominasi. Bersama seorang peragu, dan bersama seorang penakut.Yang menyebalkan bukan hanya orang-orangnya. Pun keadaannya tidak kalah menyebalkan. Dan sekarang, mereka telah setengah jalan dan harus kembali!?Rania menatap Adien untuk mencari pendukung, tapi wanita itu tidak mengatakan apa pun selain menuruti perkataan Mika. Rania menghela nafas. Meski merasa kesal, ia tetap membuntut dan ikut kembali.Perjalanan yang sia-sia. Sungguh sia-sia!Tampak dari kejauhan sebuah vila megah di antara lebatnya pepohonan dan semak belukar. Bangunannya menjulang dengan angkuh, tak tergoyahkan meski diintimidasi oleh latar yang sama sekali tidak cocok dengan kemewahannya.Saat masuk, terdengar sesuatu jatuh ke lantai, kemudian pecah. Mika, Rania, dan Adien saling melemparkan pandangan. Bertanya-tanya. Tidak ingin berpikiran buruk tapi sesuatu yang buruk telah terjadi. Dan, saat satu hal buruk terjadi, bukan tidak mungkin hal buruk lain akan mengikuti.Sumber suara berasal dari lantai dua. Ketiganya memburu naik. Suara langkah kaki saling beradu cepat. Suara pletak-pletuk heels dan hentakan sepatu saling berkejaran. Ruangan yang menjadi tujuan mereka berada di ujung lorong. Semakin dekat dengan sumber suara, semakin perasaan tidak tenang."Bukannya itu tempat kita menyimpan may-""Diam!"Dengan satu kata dari Mika, Rania kembali merapatkan bibirnya. Berpikir yang tidak-tidak akan membuat segalanya semakin buruk.Sampai di ujung ruangan, pecahan kaca terlihat berserakan di lantai. Seseorang berdiri di sana dengan pisau dan tangan berlumur darah. Ia berdiri mematung, tubuhnya gemetar."Apa yang ..."Sebelum kalimat Mika selesai, matanya menangkap tubuh seseorang yang tergeletak di lantai. Darah mengalir, semakin banyak, semakin membanjiri lantai.Semua orang yang berada di tempat itu terbelalak, menahan nafas, ketakutan.Sial! Apa tidak ada hari tenang? Kemarin mereka baru saja melalui sebuah tragedi. Belum sempat merasa tenang dan aman, tragedi lain terjadi lagi.Mika menerobos masuk untuk memeriksa tubuh yang terbaring di lantai. Ia memeriksa, mencari denyut nadi, mencari tanda-tanda kehidupan."Bukan aku ... bukan aku ..." Pisau yang masih berada dalam genggaman merosot dan jatuh ke lantai. Berdenting."Bukan kamu?! Di ruangan ini hanya ada kalian berdua. Kalau bukan kamu siapa lagi! Buktinya juga sudah jelas." Rania menunjuk sebuah pisau jatuh di dekat sepatunya."Aku ..." Mendengar tuduhan yang Rania arahkan padanya membuat si tertuduh gelagapan. "Ta-tapi dia ... dia yang mulai, bukan aku!""Oh, menyalahkan orang mati-""Rania diam!" bentak Mika. "Ambilkan aku kain! Kita harus menghentikan pendarahannya.""Apa ... dia masih hidup?" Adien bertanya dengan suara bergetar.Adien benar-benar ketakutan. Sudah ada dua korban dalam waktu dua hari. Satu telah meninggal dan yang satu lagi terbaring dengan darah yang tidak mau berhenti mengalir. Bagaimana kalau korban selanjutnya dia. Bagaimana kalau pada akhirnya mereka semua akan mati di tempat ini.Adien ingin segera keluar. Ia ingin pergi."Masih hidup pun enggak ada gunanya," ujar Rania. "Kita enggak punya peralatan medis, enggak ada dokter. Dengan luka seperti itu, darah sebanyak itu, berapa lama dia akan bertahan?"Rania benar. Jika mereka terluka tidak ada yang bisa menolong, tidak ada yang bisa diandalkan. Mereka hanya akan menderita berkepanjangan sebelum kematian datang."Jadi menurutmu kita biarkan saja?!" Mika menatap nyalang pada Rania. Benar-benar tidak menyangka wanita itu memiliki logika yang busuk.Rania tidak menjawab. Ia membuang muka tak acuh. Sama sekali tidak menjelaskan maksudnya."Adien, carikan kain! Cepat!!"Begitu mendengar teriakan Mika, seolah disadarkan pada dunia yang sedang ia pijak, Adien berlari gelagapan menuju kamarnya. Jarak dua ruangan dari tempat itu. Tapi tidak lama kemudian, terdengar suara teriakan Adien.Mika yang sedang menahan luka Isamu terkejut. Begitu pun Rania. Jangan sampai ada hal buruk lain yang terjadi. Tidak boleh!"Kamu, kemari! Tahan lukanya!" Mika memberi perintah pada wanita yang menjatuhkan pisau."Ha?""CEPAT!!!"Begitu tugas Mika diambil alih, ia dan Rania pergi ke kamar Adien.Di kamar Adien, wanita itu terlihat baik-baik saja. Tidak, tidak sepenuhnya baik-baik saja karena kamar Adien begitu berantakan. Pakaian berserakan, seprai kasur terlepas, bantal dan guling di lantai."Apa ini?" Rania segera memeriksa kamar-kamar lain. "Sial, kamarku juga diacak-acak!" umpat Rania.Tidak ingin membuah waktu untuk sesuatu yang tidak diketahui, Mika meraih kain yang ia lihat kemudian kembali ke ruangan sebelumnya. Prioritasnya adalah menyelamatkan apa yang masih bisa diselamatkan.Dengan kain yang ia bawa, Mika menekan sumber pendarahan. Berharap dengan itu pendarahannya bisa segera berhenti."Jangan mati! Jangan mati!"Berulang kali Mika mengulang kata yang sama. Jika wanita itu bisa membuka matanya, maka semua akan baik-baik saja. Semua akan membaik.Mika terus memanggil. Jika masih ada kesadaran yang tersisa panggilannya pasti terdengar. Pasti akan berhasil.Rania melangkah mendekat. Ia berjongkok untuk ikut memeriksa, mencoba mendengarkan denyut nadinya, kemudian menghela nafas dan menggeleng."Bangun! Bangun!!" Mika belum mau menyerah. Masih bersikeras."Mika cukup!" Rania berusaha menghentikan Mika namun Mika justru menepis tangannya."Bangun! Bangun!!"Belum cukup. Ini belum cukup karena orang yang ia panggil tidak juga bangun. Tidak mereaksi panggilannya. Tidak memberi jawaban. Tidak, pasti ada harapan. Bertahan sedikit lagi dan semuanya akan baik-baik saja."Mika cukup!!" Rania semakin meninggikan suaranya. Ia bahkan mendorong Mika. "Jangan ikut-ikutan menjadi gila! Ini sudah berakhir."Sudah berakhir. Kalimat itu akhirnya menyadarkan Mika bahwa usahanya sia-sia. Bahwa orang yang ia panggil tidak akan mendengar panggilannya, tidak akan membuka matanya. Bahwa tidak ada yang akan kembali baik-baik saja."Sial!"Mika menahan diri untuk tidak berteriak, untuk tidak putus asa, untuk tidak terlihat menyedihkan. Ia adalah Kamelia Mika. Meskipun langit runtuh ia tidak akan menunjukkan kelemahannya.Air mata Adien meleleh. Ia merapatkan dirinya pada dinding, semakin ketakutan. "Ini buruk. Kita akan mati. Kita semua akan mati," katanya mulai meracau tidak keruan.Setelah mereka menerima undangan itu, mereka tahu semuanya tidak akan sama lagi. Tapi harusnya tidak seperti ini. Harusnya kesempatan yang mereka dapatkan akan membuat hidup mereka lebih baik. Bahkan, saat firasat buruk merayapi punggung mereka, mereka mengacuhkannya. Mereka hanya perlu meraih satu kesempatan dan memanfaatkannya.Tapi kemudian, mereka terdampar di pulau tidak berpenghuni, tanpa bantuan. Jumlah makanan mencukupi tapi itu bukan kabar baik. Dua orang telah menjadi korban. Saat hal buruk terjadi, hal buruk yang lain akan mengikuti. Mereka tahu tidak akan bisa pergi dengan mudah.Ini tidak seperti yang mereka pikirkan. Apa yang telah mereka lakukan sampai harus berhadapan dengan kematian, mengalami hal gila? Apa yang diinginkan si penebar undangan? Bukankah harusnya mereka melakukan kegiatan yang menyenangkan kemudian menjadi sukses dan terkenal?×××××Sebuah undangan dengan kertas tebal berwarna hitam tergeletak di atas meja. Bagian sudut-sudut sampul depan terdapat ukiran berwarna emas, membuatnya terlihat mewah. Tulisan dalam undangan menggunakan tinta berwarna fanta dengan font yang memberi kesan ceria dan indah. Sangat bertolak belakang dengan latarnya yang meski mewah namun terlihat kelam.Tulisan ‘undangan’ pada sampul menggunakan tinta berwarna emas dicetak tebal dan besar. Menjadi satu kata yang bertakhta angkuh di sana. Kata kedua adalah ‘kehormatan’ dicetak di bawah kata ‘undangan’ dengan ukuran lebih kecil dengan warna yang sama.Kata ‘kehormatan’ akan membuat siapa pun yang menerima undangan merasa terhormat, hebat, penuh percaya diri. Ketika undangan dibuka, tulisan yang lebih ceria dan indah membuat siapa pun yang membacanya akan beranggapan hal yang menyenangkan akan terjadi. Mereka tidak akan terintimidasi denga
Jovita Fabella sedang menonton video pertama yang membuat wajahnya dikenal dan menjadi viral. Ia selalu tersenyum puas saat mengenang, merasa menang. Ia tidak salah dalam memilih langkah. Seandainya hari itu ia tidak melakukannya, maka tidak akan ada Jovita Fabella yang dikenal orang hari ini.“Ini menyenangkan.”Yang dilakukannya memang hanya pamer harta yang tidak seberapa, menyombong, sedikit memaki, kemudian merekam, dan menyebarkannya di media sosial. Hal-hal yang tidak disukai dan dibenci memang lebih mudah menarik perhatian dan menjadi pembicaraan. Jovita sukses pada serangan pertama.Video mengenai dirinya ditonton ribuan orang. Kolom komentarnya dipenuhi hujatan, kalimat ketidaksukaan, beberapa orang bahkan mau berepot-repot menuliskan nasihatnya.‘Ya ampun, Kak istigfar. Harta enggak dibawa mati.’‘Astaga, norak!’‘Orang kaya yang lebai biasanya enggak benar-benar kaya.’
Matahari bersinar dengan cerah. Teriknya begitu tidak bersahabat, mampu membakar kulit-kulit yang telanjang tanpa alas. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.45 tapi tetap tidak memberi ampun dalam menebar gerah. Di bawah pohon, seorang wanita duduk dengan menyilangkan kaki. Rambutnya yang panjang diikat tinggi. Sapuan mekapnya tipis, maskara, dan eyeliner menghiasi matanya yang kecil namun tidak sipit. Lipstik berwarna nude mewarnai bibirnya yang tebal. Telinganya mengenakan headset yang terhubung pada ponselnya. Wanita itu tidak sedang mendengarkan lagu namun menonton siaran ulang yang ditayangkan di Youtube. Nama, Isamu Zelina. Usia 25 tahun. Siaran Youtube yang sedang ditonton memperlihatkan seorang wanita dengan wajah tirus, bertulang pipi tinggi. Rambutnya dicat pirang, panjang, hidungnya mungil, bibir bagian atas tipis. Jovita Fabella, 24 tahun. Jovita Fabella adalah seorang finance di sebuah Even Organizer. Ia sedang naik daun karena sensasi
Isamu Zelina adalah seorang wanita yang tertarik pada banyak hal. Ia memiliki keingintahuan yang besar. Kelebihannya yang paling menonjol adalah ia pandai menganalisa sesuatu dan dengan itu ia bisa memuaskan keingintahuannya.Sejak awal Isamu membuat beberapa akun dengan menyembunyikan identitasnya. Dengan akun itu ia bisa berhubungan dengan siapa saja, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan banyak hal.Menyembunyikan identitas dapat membuat Isamu tenang. Ia tidak ingin menarik perhatian, tidak ingin kehidupan pribadinya dikomentari, meski ia sering melakukan hal yang sama pada orang lain.“Dengan skandal seperti ini berharap mendapat perhatian, rendahan!” decak Isamu kesal.Beberapa kali Isamu mengulas berita mengenai skandal artis. Melalui analisa cerdasnya ia bisa mengungkap bahwa skandal yang sedang terjadi hanya untuk menaikkan pamor, promosi film, sampai pengalihan isu. Ulasan Isamu dibagikan berkali-kali, dikutip banyak orang. Ak
Sebelumnya semua terasa baik-baik saja. Jovita datang memenuhi undangan dengan antusias, dengan harapan besar bahwa apa yang akan terjadi nanti akan menunjang kariernya ke arah yang lebih baik.Meski orang yang pertama kali ditemuinya di tempat yang disebutkan untuk berkumpul adalah orang yang menyebalkan, orang yang suka mengatainya dari belakang, tetap tidak masalah. Selama ia mendapat keuntungan dan popularitas, ia akan menahan, mencoba bersabar. Nanti ia akan berhadapan dengan lebih banyak orang, lebih banyak kepribadian, jadi menahan diri untuk sesuatu yang lebih besar tidak masalah. Ia yakin bisa menanganinya.Satu per satu orang yang diundang mulai berkumpul. Jovita tidak mengerti alasan orang-orang itu diundang. Dari mereka tidak ada yang terkenal, tidak ada orang hebat, mereka semua terlihat biasa saja. Kata ‘kehormatan’ yang tertulis dalam undangan sepertinya hanya untuk menyanjung, tidak benar-benar mengacu pada kata ‘kehormatan&rsq
Saat semua orang telah berjalan menuju tempat parkir kendaraan yang si Bapak pengantar tunjukkan, langkah Jovita mendadak berhenti.“Aku ... enggak ingin pergi.” Jovita berbicara pada dirinya sendiri tapi orang yang berjalan di depannya dapat mendengarkan kalimatnya dengan jelas.“Enggak ingin pergi?” Rania mengulang. Langkahnya juga berhenti, semua orang ikut berhenti, termasuk langkah Bapak pengantar. “Kenapa?”“Apa ... kalian enggak merasa aneh dengan situasinya?” Jovita memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.Rania memandang berkeliling, tidak sepenuhnya mengerti apa yang Jovita maksud dengan situasi aneh. Rania bahkan menatap tamu undangan yang lain untuk membantunya mengerti situasi yang Jovita sebut dengan kata ‘aneh.’“Apa?” Rania yang masih belum mendapatkan jawaban balik bertanya.“Karena beberapa orang yang datang
“Aduh, kepalaku!” Mika bangun dan memegangi kepalanya yang terasa nyeri. “Ini ... di mana?” tanyanya entah pada siapa. Mika bangun dan segera sadar ia berada di sebuah tempat yang asing. Tiga orang yang lain juga terbaring tidak jauh dari tempatnya. Semilir yang berembus menghambur rambut hitamnya yang terurai. Aroma laut yang sedikit amis masuk ke rongga hidung. Langit yang biru, alam terbuka. Mika memutar lehernya, mengalihkan pandangannya. Mencari sesuatu yang entah apa. Mungkin penjelasan, mungkin juga sesuatu yang familier. Di belakang punggungnya hanya ada laut seluas mata memandang. Sementara di depannya terlihat hamparan pasir dan rimbunnya pepohonan. “Sudah bangun?” Isamu Zelina melangkah mendekat diikuti oleh Rania Meisy. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang lebih dulu sadar. Pasir yang menempel di sepatu mereka menandakan keduanya telah berkeliling untuk melihat-lihat sekitar. “Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan ka
Sebelum pergi mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, Mika mengambil selendangnya dalam koper. Selain selendang, ia juga mengambil lipstik yang rencananya akan digunakan untuk menulis.“Stop, stop!” Rania tiba-tiba memekik histeris, membuat yang lain terkejut. “Lipstik mahal jangan digunakan untuk itu! Gunakan punyaku saja.” Rania mengeluarkan lipstik batang miliknya yang sudah tidak berbentuk dan hampir habis.“Ya ampun! Dia yang melakukan kenapa aku yang malu.” Jovita mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat tingkah Rania yang terlalu udik.Rania tidak peduli. Ia tetap menyodorkan lipstik miliknya. Kali ini sedikit memaksa. Menggunakan lipstik mahal bukan pada tempatnya berarti menyia-nyiakan esensi dari bahan-bahan terbaik yang sudah dengan susah payah dikomposisikan. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya.Mika mengibaskan tangannya, “Barangku, terserah ingin kuapakan!” tegasnya.
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada