Jovita Fabella sedang menonton video pertama yang membuat wajahnya dikenal dan menjadi viral. Ia selalu tersenyum puas saat mengenang, merasa menang. Ia tidak salah dalam memilih langkah. Seandainya hari itu ia tidak melakukannya, maka tidak akan ada Jovita Fabella yang dikenal orang hari ini.
“Ini menyenangkan.”
Yang dilakukannya memang hanya pamer harta yang tidak seberapa, menyombong, sedikit memaki, kemudian merekam, dan menyebarkannya di media sosial. Hal-hal yang tidak disukai dan dibenci memang lebih mudah menarik perhatian dan menjadi pembicaraan. Jovita sukses pada serangan pertama.
Video mengenai dirinya ditonton ribuan orang. Kolom komentarnya dipenuhi hujatan, kalimat ketidaksukaan, beberapa orang bahkan mau berepot-repot menuliskan nasihatnya.
‘Ya ampun, Kak istigfar. Harta enggak dibawa mati.’
‘Astaga, norak!’
‘Orang kaya yang lebai biasanya enggak benar-benar kaya.’
Beberapa orang ikut menyebarkan video dengan harapan ada lebih banyak orang yang ikut menyerang Jovita tanpa mereka tahu hal itulah yang memang Jovita harapkan.
Bahkan Admin akun gosip yang biasanya membahas artis, ikut memviralkan. Beberapa kali membahas video yang sama. Dengan jumlah pengikut Admin yang fantastis, efek yang Jovita harapkan lebih dari yang ia perkirakan.
“Mereka bodoh sekali, tapi aku suka.” Senyum culas menghias di bibir Jovita.
Orang-orang di dunia maya terus membicarakan videonya, setiap akun media sosialnya ramai dikunjungi, identitasnya dicari. Tentu saja tidak sulit untuk mendapatkan identitasnya karena sejak awal Jovita sama sekali tidak berniat untuk menyembunyikannya.
Tidak menunggu sampai semua kehebohan yang Jovita timbulkan mereda, ia melanjutkan dengan serangan keduanya. Kali ini yang dilakukan adalah pamer gaya hidup.
“Jovita, namamu masuk trending, jadi yang paling banyak disebut di Twitter. Videomu juga jadi yang paling banyak dibahas.” Seorang teman memberi kabar saat mereka bertelepon.
“Lihat! Kata-kataku terbukti, kan?” ujar Jovita merasa bangga dengan pencapaian barunya. “Aku menang taruhan lagi. Kalian harus membayarku dua kali lipat.”
Sebelum mengunggah video keduanya, Jovita sempat bertaruh dengan dua temannya bahwa ia akan membuat rekor baru.
“Iya, iya. Dasar Ratu sensasi!”
Tukang pamer dan sombong adalah identitas diri yang sejak awal Jovita bangun jadi ia tetap mempertahankan citra yang sama. Tetap menjadi orang yang menyebalkan, tetap menjadi yang dibenci, tetap memancing orang lain untuk menghujatnya.
Menghadapi komentar-komentar buruk, dicaci-maki, tidak disukai, bagi banyak orang mungkin sebuah tekanan. Orang lain mungkin bisa gila jika menghadapinya setiap hari. Jovita berbeda. Ia menyukainya, ia mengharapkannya, ia memang telah merencanakannya.
“Jovita, kamu enggak takut citramu benar-benar akan dicap jelek di mata semua orang?” Seorang teman pernah mengingatkan Jovita suatu kali.
“Jelek?” Jovita mengalihkan pandangan dari ponselnya. “Bisa bergonta-ganti citra sesuka hati hanya melalui media sosial bukannya itu hebat! Anggap saja sedang bermain puzzle,” katanya enteng.
Hanya dengan melihat kolom komentarnya tidak pernah sepi membuat Jovita senang, mengetahui akun-akun besar membahas videonya membuat bangga, mendengar namanya disebut berulang kali ia merasa telah mendapatkan segalanya.
Serangan ketiga, Jovita lakukan dengan menyebarkan video mengenai tanggapannya terhadap orang-orang yang membencinya. Bahwa ia sama sekali tidak peduli. Bahwa ia menganggap orang-orang itu hanya iri.
“Bilang aja kamu-kamu semua yang enggak suka itu iri! Kalau kalian bangga dengan hidup susah dan enggak punya apa-apa, ya sudah. Jangan resek sama yang hidupnya senang!”
Sekali lagi Jovita menunjukkan citra dirinya yang sombong dan tukang pamer. Sekali lagi ia mengajak orang untuk membencinya, untuk membicarakannya, untuk menghujatnya. Sekali lagi ia menjadi seseorang yang menyebalkan. Ia tidak akan mengubah dirinya menjadi tipe baik hati dan berhati malaikat. Terlalu naif, membosankan. Menjadi menyebalkan jauh lebih mudah diingat.
Jovita dibenci tapi jumlah pengikutnya bertambah berkali-kali lipat. Mungkin mereka ingin menjadi yang pertama tahu apa yang dilakukannya, ingin menjadi yang pertama melihat unggahannya, ingin menjadi orang yang pertama menghujatnya.
Jika Jovita juga menjadi orang yang dinanti-nantikan lalu apa bedanya ia dengan seorang artis, dengan para idola. Bukankah setiap artis dan idola juga memiliki kelompok-kelompok yang membencinya, yang suka menghujat. Jika seperti itu bukannya tujuannya telah tercapai.
“15 ribu pengikut!!” Jovita bersorak gembira ketika suatu pagi saat baru bangun jumlah pengikutnya bertambah lagi. Ia berjingkrak-jingkrak kegirangan di atas ranjangnya. Suasana hatinya begitu baik sepanjang pagi itu.
Jovita Fabella bukan seorang artis, bukan idola tapi jumlah pengikutnya hampir setara dengan mereka. Jumlah komentar dalam setiap unggahannya selalu melampaui mereka. Ia bahkan diundang stasiun televisi.
Rencana Jovita melebihi apa yang ia harapkan. Jangan salahkan dirinya karena menggunakan jalan yang pintas untuk terkenal. Ia telah membayar semua itu dengan caci maki yang setiap hari menyerang unggahan-unggahannya. Ia telah membayar semua itu dengan kebencian yang diberikan padanya.
Jika tetap ingin menyalahkan, salahkan saja orang-orang yang tidak mau berhenti membahas dan membicarakannya. Salahkan orang yang membagikan unggahannya. Salahkan stasiun televisi yang mengundangnya. Salahkan siapa saja yang tidak bijak dalam bersosial media.
Bukankah setiap orang memanfaatkan kesempatan untuk mendapatkan apa yang mereka inginkan? Jovita pun sama.
Jovita hanya memanfaatkan momen. Seperti ketika bulan Puasa tiba-tiba akan ada banyak orang yang berjualan makanan dan minuman. Menjelang hari Raya banyak orang berdagang baju dan kue kering. Mendekati Hari Kasih Sayang perusahaan-perusahaan cokelat lebih gencar mengeluarkan produk baru mereka.
Bukankah yang Jovita lakukan juga sama. Jadi jelas yang terjadi bukan kesalahannya.
“Benar. Aku sama sekali enggak salah. Aku hanya mengambil kesempatan.” Berulang kali Jovita meyakinkan dirinya sendiri.
Setelah Jovita sukses dan menjadi terkenal dengan menggunakan caranya, beberapa orang mencoba mengikuti apa yang ia lakukan. Mereka muncul sekali namun tenggelam dengan cepat. Meski caranya sama, tidak satu pun dari orang-orang yang meniru Jovita mampu menyamai prestasinya.
Mungkin karena orang-orang itu tidak cukup menarik atau mereka tidak cukup cerdas membuat rencana. Mungkin juga orang-orang yang telah membuat Jovita viral sadar mereka telah membuat kesalahan, sadar telah dimanfaatkan, dan tidak ingin mengulanginya.
Yang mana pun masa bodoh. Toh, Jovita telah mendapatkan apa yang ia inginkan. Orang-orang yang ingin menirunya harusnya juga sadar bahwa tidak ada kerang yang sama, yang bisa menghasilkan mutiara berharga dua kali.
Untuk tetap menjaga citranya dan tetap dibicarakan, Jovita bahkan telah mengibarkan bendera permusuhan dengan artis senior yang memiliki jumlah pengikut yang luar biasa banyak.
Bermusuhan dengan seseorang yang terkenal sebenarnya tidak ada dalam daftar rencana Jovita, hal itu murni sebuah kebetulan. Mungkin karena citranya yang terlalu menyebalkan sehingga ada banyak orang yang tidak dapat menahan kebencian mereka. Tidak masalah.
Bukankah menjadi yang dibenci dan disuka hanya ada sekat setipis benang sebagai pembedanya. Bukankah tetap sama-sama menjadi orang yang dipikirkan.
Sebelumnya Jovita berpikir tidak akan membalas kebencian orang-orang di media sosial terhadap dirinya. Tidak perlu. Kini berbeda. Kali ini tentang keuntungan.
Jovita tidak akan membalas kebencian orang-orang yang tidak memiliki nama, tidak begitu dikenal. Tidak akan menanggapi kebencian orang-orang biasa, tidak ada gunanya. Jika orang itu memenuhi kriteria untuk menjadi musuhnya, akan memberi keuntungan, maka akan ia lakukan, akan ia balas.
Kriteria untuk menjadi musuhnya tentu saja harus orang yang terkenal, harus senior, harus memiliki jumlah pengikut yang fantastis.
Beberapa kali Jovita mengirim serangan balasan di media sosial kepada artis-artis terkenal yang membencinya. Beberapa kali ia memprovokasi. Beberapa kali itu juga ia kembali sukses menjadi pembahasan. Namanya disebut berkali-kali.
Memiliki kekuatan untuk mengendalikan media sosial adalah jenis kekuatan super yang paling dibutuhkan manusia-manusia abad ini. Jovita berharap bisa memiliki kekuatan super jenis itu.
Jovita masih sibuk mengenang ketika muncul notifikasi DM di ponselnya. Awalnya ia mengira yang masuk adalah tawaran endorse sehingga mengabaikannya. Jovita tidak ingin terlihat sedang mengemis keuntungan ekonomi jika terburu-buru mengambil semua yang datang padanya. Yang Jovita butuhkan adalah popularitas, ketenaran. Keuntungan ekonomi akan membuntuti di belakang.
Beberapa kali menerima DM dengan pengirim yang sama, akhirnya Jovita membuka dan membaca isi pesan. Yang ditawarkan dalam pesan bukan endorse barang melainkan undangan untuk tampil di sebuah acara televisi yang baru akan digarap.
“Sebuah Reality show? Acara baru?”
Jovita tentu saja tidak langsung percaya. Bisa jadi tawaran itu hanya penipuan. Bisa jadi ia akan dimintai sejumlah uang untuk menyukseskan acara. Jovita bukan orang bodoh.
“Siapa produsernya? Siapa sutradaranya? Apa yang akan kalian pertunjukkan?” Jovita membalas DM masih dengan menggunakan citranya yang menyebalkan.
Setelah bertukar pesan beberapa kali, mereka sepakat untuk bertemu dan membicarakan konsep acara secara langsung.
Dengan bertatap muka, Jovita akan lebih objektif dalam membuat penilaian. Dengan mendengar seluruh konsep acara, ia jadi bisa yakin dalam membuat keputusan. Jovita bisa menggunakan kemampuannya untuk menilai jika ada hal-hal yang mencurigakan atau tidak masuk akal.
“Terima kasih karena sudah dipertimbangkan. Keberadaan Anda akan menjadi fokus utamanya, jelas tidak akan mengecewakan.”
Di luar dugaan, orang yang menyusun ide adalah salah seorang produser acara ternama. Jovita mengenalnya dan semua orang di industri kreativitas pertelevisian pasti juga mengenalnya. Roy Purnama. Jovita memang tidak bertemu secara langsung, asistennya yang datang. Roy Purnama mendadak harus menghadiri acara penting di luar kota. Si Asisten datang dengan membawa bukti rekaman salam perkenalan dari sang Produser.
Seketika itu juga benak Jovita dipenuhi berbagai hal mengenai popularitasnya. Tidak satu pun acara yang di produseri Roy Purnama yang gagal atau rating penontonnya rendah. Jika ia ikut berpartisipasi, jelas namanya akan semakin terangkat, popularitasnya akan semakin membaik. Ia akan setara dengan artis-artis papan atas.
Kesempatan yang langka. Jovita tidak akan melewatkannya.
“Jovita, aku mau mengundurkan diri sebagai asistenmu.”
Setelah viral, Jovita menyiapkan langkah-langkah untuk menjadi populer dengan cepat. Ia bahkan memperkerjakan teman yang dulu merupakan adik kelasnya untuk menjadi asisten pribadinya. Ia tahu akan sangat sibuk dan seseorang harus membantu untuk mengatur jadwalnya.
“Mengundurkan diri?!” Jovita yang terkejut mengulang. “Tami, kamu serius?” Jovita sama sekali tidak habis pikir, padahal sebentar lagi kariernya akan stabil. Padahal ini adalah saat-saat yang penting untuknya.
×××××
Matahari bersinar dengan cerah. Teriknya begitu tidak bersahabat, mampu membakar kulit-kulit yang telanjang tanpa alas. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.45 tapi tetap tidak memberi ampun dalam menebar gerah. Di bawah pohon, seorang wanita duduk dengan menyilangkan kaki. Rambutnya yang panjang diikat tinggi. Sapuan mekapnya tipis, maskara, dan eyeliner menghiasi matanya yang kecil namun tidak sipit. Lipstik berwarna nude mewarnai bibirnya yang tebal. Telinganya mengenakan headset yang terhubung pada ponselnya. Wanita itu tidak sedang mendengarkan lagu namun menonton siaran ulang yang ditayangkan di Youtube. Nama, Isamu Zelina. Usia 25 tahun. Siaran Youtube yang sedang ditonton memperlihatkan seorang wanita dengan wajah tirus, bertulang pipi tinggi. Rambutnya dicat pirang, panjang, hidungnya mungil, bibir bagian atas tipis. Jovita Fabella, 24 tahun. Jovita Fabella adalah seorang finance di sebuah Even Organizer. Ia sedang naik daun karena sensasi
Isamu Zelina adalah seorang wanita yang tertarik pada banyak hal. Ia memiliki keingintahuan yang besar. Kelebihannya yang paling menonjol adalah ia pandai menganalisa sesuatu dan dengan itu ia bisa memuaskan keingintahuannya.Sejak awal Isamu membuat beberapa akun dengan menyembunyikan identitasnya. Dengan akun itu ia bisa berhubungan dengan siapa saja, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan banyak hal.Menyembunyikan identitas dapat membuat Isamu tenang. Ia tidak ingin menarik perhatian, tidak ingin kehidupan pribadinya dikomentari, meski ia sering melakukan hal yang sama pada orang lain.“Dengan skandal seperti ini berharap mendapat perhatian, rendahan!” decak Isamu kesal.Beberapa kali Isamu mengulas berita mengenai skandal artis. Melalui analisa cerdasnya ia bisa mengungkap bahwa skandal yang sedang terjadi hanya untuk menaikkan pamor, promosi film, sampai pengalihan isu. Ulasan Isamu dibagikan berkali-kali, dikutip banyak orang. Ak
Sebelumnya semua terasa baik-baik saja. Jovita datang memenuhi undangan dengan antusias, dengan harapan besar bahwa apa yang akan terjadi nanti akan menunjang kariernya ke arah yang lebih baik.Meski orang yang pertama kali ditemuinya di tempat yang disebutkan untuk berkumpul adalah orang yang menyebalkan, orang yang suka mengatainya dari belakang, tetap tidak masalah. Selama ia mendapat keuntungan dan popularitas, ia akan menahan, mencoba bersabar. Nanti ia akan berhadapan dengan lebih banyak orang, lebih banyak kepribadian, jadi menahan diri untuk sesuatu yang lebih besar tidak masalah. Ia yakin bisa menanganinya.Satu per satu orang yang diundang mulai berkumpul. Jovita tidak mengerti alasan orang-orang itu diundang. Dari mereka tidak ada yang terkenal, tidak ada orang hebat, mereka semua terlihat biasa saja. Kata ‘kehormatan’ yang tertulis dalam undangan sepertinya hanya untuk menyanjung, tidak benar-benar mengacu pada kata ‘kehormatan&rsq
Saat semua orang telah berjalan menuju tempat parkir kendaraan yang si Bapak pengantar tunjukkan, langkah Jovita mendadak berhenti.“Aku ... enggak ingin pergi.” Jovita berbicara pada dirinya sendiri tapi orang yang berjalan di depannya dapat mendengarkan kalimatnya dengan jelas.“Enggak ingin pergi?” Rania mengulang. Langkahnya juga berhenti, semua orang ikut berhenti, termasuk langkah Bapak pengantar. “Kenapa?”“Apa ... kalian enggak merasa aneh dengan situasinya?” Jovita memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.Rania memandang berkeliling, tidak sepenuhnya mengerti apa yang Jovita maksud dengan situasi aneh. Rania bahkan menatap tamu undangan yang lain untuk membantunya mengerti situasi yang Jovita sebut dengan kata ‘aneh.’“Apa?” Rania yang masih belum mendapatkan jawaban balik bertanya.“Karena beberapa orang yang datang
“Aduh, kepalaku!” Mika bangun dan memegangi kepalanya yang terasa nyeri. “Ini ... di mana?” tanyanya entah pada siapa. Mika bangun dan segera sadar ia berada di sebuah tempat yang asing. Tiga orang yang lain juga terbaring tidak jauh dari tempatnya. Semilir yang berembus menghambur rambut hitamnya yang terurai. Aroma laut yang sedikit amis masuk ke rongga hidung. Langit yang biru, alam terbuka. Mika memutar lehernya, mengalihkan pandangannya. Mencari sesuatu yang entah apa. Mungkin penjelasan, mungkin juga sesuatu yang familier. Di belakang punggungnya hanya ada laut seluas mata memandang. Sementara di depannya terlihat hamparan pasir dan rimbunnya pepohonan. “Sudah bangun?” Isamu Zelina melangkah mendekat diikuti oleh Rania Meisy. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang lebih dulu sadar. Pasir yang menempel di sepatu mereka menandakan keduanya telah berkeliling untuk melihat-lihat sekitar. “Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan ka
Sebelum pergi mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, Mika mengambil selendangnya dalam koper. Selain selendang, ia juga mengambil lipstik yang rencananya akan digunakan untuk menulis.“Stop, stop!” Rania tiba-tiba memekik histeris, membuat yang lain terkejut. “Lipstik mahal jangan digunakan untuk itu! Gunakan punyaku saja.” Rania mengeluarkan lipstik batang miliknya yang sudah tidak berbentuk dan hampir habis.“Ya ampun! Dia yang melakukan kenapa aku yang malu.” Jovita mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat tingkah Rania yang terlalu udik.Rania tidak peduli. Ia tetap menyodorkan lipstik miliknya. Kali ini sedikit memaksa. Menggunakan lipstik mahal bukan pada tempatnya berarti menyia-nyiakan esensi dari bahan-bahan terbaik yang sudah dengan susah payah dikomposisikan. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya.Mika mengibaskan tangannya, “Barangku, terserah ingin kuapakan!” tegasnya.
“Permisi!” Isamu mengetuk pintu. Vila merupakan bangunan tingkat dua. Bagian halaman cukup luas dengan pagar rendah. Pagar hanya dikunci seadanya sehingga bisa dijangkau dan dibuka dengan mudah. Halamannya yang luas dipenuhi dengan dedaunan kering yang berjatuhan. Tidak terlihat ada lumut meski beberapa hari lalu hujan masih sering turun. Dinding bagian samping dan setengah bagian belakang merupakan dinding kaca namun tertutup gorden dari dalam. Rania sudah mencari celah untuk bisa mengintip tapi semua bagian tertutup rapat oleh gorden. Di bagian belakang bangunan ada kerukan yang mungkin rencananya akan dijadikan kolam renang namun kini hanya ditumbuhi ilalang liar. Rumput tumbuh lebih tinggi dan lebat. Belalang dan berbagai macam serangga melompat bergantian. “Permisi, apa ada orang?!” teriak Isamu lagi. Isamu dan Mika berdiri di depan pintu, Rania berkeliling bangunan, sementara Jovita, Adien, dan Tami berdiri sedikit lebih jauh dari
Adien sedang memasak untuk makan malam di dapur ketika Rania dan Tami turun bersamaan. Keduanya telah kembali segar setelah cukup istirahat dan mandi.“Masak apa?” Tami duduk di bagian depan meja dapur. Rania melakukan hal yang sama.“Moodku belum kembali jadi aku hanya masak masakan sederhana. Yang penting bisa menghilangkan rasa lapar.” Adien mematikan salah satu kompor dan memindahkan panci yang berisi sayur. “Aku enggak tahu selera kalian, tapi aku masak dalam jumlah yang cukup jika ada yang mau bergabung.”“Itu cukup.” Tami mendekat ke arah Adien. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menawarkan diri.Adien melihat sekelilingnya sebelum menjawab, “Tolong angkat ikannya!” katanya setelah melihat kompor yang lain.“Kalau aku enggak pernah memilih-milih makanan. Apa yang ada, itu yang dimakan,” Rania ikut menimpali.“Aku bisa makan apa pun asal ada samb
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada