Matahari bersinar dengan cerah. Teriknya begitu tidak bersahabat, mampu membakar kulit-kulit yang telanjang tanpa alas. Padahal waktu baru menunjukkan pukul 07.45 tapi tetap tidak memberi ampun dalam menebar gerah.
Di bawah pohon, seorang wanita duduk dengan menyilangkan kaki. Rambutnya yang panjang diikat tinggi. Sapuan mekapnya tipis, maskara, dan eyeliner menghiasi matanya yang kecil namun tidak sipit. Lipstik berwarna nude mewarnai bibirnya yang tebal. Telinganya mengenakan headset yang terhubung pada ponselnya. Wanita itu tidak sedang mendengarkan lagu namun menonton siaran ulang yang ditayangkan di Youtube.
Nama, Isamu Zelina. Usia 25 tahun.
Siaran Youtube yang sedang ditonton memperlihatkan seorang wanita dengan wajah tirus, bertulang pipi tinggi. Rambutnya dicat pirang, panjang, hidungnya mungil, bibir bagian atas tipis. Jovita Fabella, 24 tahun.
Jovita Fabella adalah seorang finance di sebuah Even Organizer. Ia sedang naik daun karena sensasinya yang viral. Setelah viral dan semakin dikenal, beberapa kali ia diundang untuk menghadiri program acara di televisi. Kali ini Jovita menceritakan, lebih tepatnya memamerkan, kesempatan yang ia dapat untuk berperan dalam sinetron yang bercerita mengenai perselingkuhan dan azab tukang selingkuh.
Cerita-cerita mengenai perselingkuhan akhir-akhir ini memang sangat digemari. Tidak heran meski trailernya belum dikeluarkan sudah banyak orang yang antusias.
Jovita Fabella sedang membicarakan pengalaman pertamanya suting. Tentang betapa antusias dirinya, tentang betapa bangganya terhadap diri sendiri, dan tentang betapa beruntung nasibnya. Di tengah-tengah siarannya, Jovita mengulang-ulang janjinya untuk mengadakan give away jika penontonnya mencapai 10 ribu orang.
Isamu menonton siaran Jovita bukan karena mengidolakan wanita itu. Isamu justru terlihat tidak suka. Terbukti dari komentar-komentar Isamu yang tidak ada habisnya. Isamu mengomentari mekap, warna lipstiknya, gaya bicaranya, model pakaiannya, potongan rambut barunya, semuanya. Isamu menonton hanya untuk menghabiskan waktu, hanya karena chanel yang menayangkan Jovita muncul di Berandanya.
“Kalau enggak suka kenapa ditonton, sih?!” Seseorang yang berada di sisi lain menyalak. Dibanding tidak suka, wanita itu lebih terlihat marah. Ia menggunakan topi berwarna merah muda, dan masker lucu bermotif panda.
Tidak perlu mencari-cari untuk tahu siapa orang yang menyalak dan pada siapa orang itu menyalak. Di tempat itu hanya ada mereka berdua. Isamu Zelina datang pertama kali dan wanita dengan masker lucu itu datang tidak lama kemudian.
Mereka berada di taman kecil, di sisi paling kiri terminal. Tempat ini adalah tempat berkumpul yang tertulis dalam undangan yang Isamu terima. Undangan yang terlihat mewah itu diberikan padanya dua hari lalu.
Isamu datang terlalu awal dari waktu yang tertulis dalam undangan. Ketika melihat seseorang berjalan ke arahnya, ia tahu kalau orang itu juga tamu dengan melihat undangan yang dibawa di tangan kirinya. Karena sama-sama menerima undangan, awalnya Isamu akan menegur. Mereka bisa menghabiskan waktu menunggu dengan mengobrol, tapi wanita itu melenggang begitu saja dengan sombong. Seolah tidak melihat keberadaan Isamu.
“Memangnya kamu siapa?!” Isamu balik menyalak. Bukan hanya karena tidak terima diteriaki, tapi juga dendam karena sebelumnya diacuhkan. “Suka-suka saya dong, Hp-Hp saya, mata-mata saya. Apa hakmu ngatur-ngatur?!”
Wanita itu melotot marah. Ia menurunkan masker dan membuka topinya. Isamu terbelalak, sama sekali tidak menyangka kalau wanita yang ada di depannya adalah Jovita Fabella. Tidak menyangka kalau wanita itu benar-benar salah satu penerima undangan.
Isamu tidak berpikir untuk menutup-nutupi ketidaksukaannya pada Jovita. Melihat wanita itu ada di depannya semakin membuat Isamu tidak suka.
Isamu pikir penerima undangan adalah orang-orang terpilih, benar-benar tamu kehormatan dalam arti yang sebenarnya. Jadi, dalam hal apa seseorang yang kebetulan viral hanya karena membuat sensasi layak menerima undangan kehormatan?
“Kenapa? Kaget? Enggak nyangka? Enggak bisa ngomong?” Jovita mencecar. “Coba ulangi yang kamu bilang tadi! Mana yang kamu bilang mukaku kebanyakan pemutih?! Rambut baruku kenapa? Gaya pakaianku norak? Seperti apa?!”
Setelah Jovita terkenal ia tahu ada banyak orang yang tidak suka padanya, iri dengan peruntungannya. Ia berulang kali menerima serangan pembencinya. Kolom komentar setiap postingannya penuh makian, kata-kata kasar. Jovita tidak peduli dengan komentar-komentar itu, isinya tidak penting, yang ia butuhkan adalah jumlahnya. Selain agar postingannya tidak tenggelam, ia selalu puas hanya dengan menatap jumlah komentar yang terus bertambah.
Di dunia nyata semuanya terasa berbeda. Meski tahu, meski Jovita telah berusaha tidak peduli, ia tetap tidak terima dijelek-jelekkan.
Isamu hanya berdesis. Ia tidak akan merendahkan dirinya dengan meladeni orang yang dibencinya. Ia tidak ingin membuang-buang tenaga.
“Kenapa diam? Sekarang enggak berani? Beraninya cuma di belakang? Modal besar mulut doang ngata-ngatain orang!” sengit Jovita masih memprovokasi.
“Siapa, sih yang punya acara?” Seseorang yang baru datang menimpali. Di pegangan koper yang ia tarik ada topi yang digantung. “Bukannya yang diundang tamu kehormatan, kenapa yang datang justru kelihatan seperti anak-anak SMA yang lagi rebutan pacar?”
Rania Meisy, 25 tahun, tinggi 170 senti. Rambutnya panjang, lurus, dengan poni memanjang di sisi-sisi telinganya. Rambutnya diikat rendah. Rania mengenakan kemeja kerah model V lengan panjang dengan bagian ujung baju dimasukkan, celana kain, dan sepatu cats. Penampilannya sederhana, wajahnya hanya menggunakan bedak dan lipstik.
“Siapa yang anak SMA?!” sengit Isamu tidak terima.
“Siapa yang rebutan pacar?!” Jovita juga tidak terima.
Rania hanya menanggapi dengan mengangkat kedua bahunya. Meski ia yang memulai, ia datang tidak untuk ribut, jadi tidak akan memperpanjang masalah. Rania memilih tempat duduk dan mulai memainkan ponselnya.
Saat Rania datang, ia tidak sendiri. Seseorang yang lain berjalan di belakangnya. Seseorang yang mengenakan topi dan masker. Tidak ingin kecolongan lagi, Isamu memperhatikan orang itu lekat. Karena menggunakan topi dan masker, jelas orang itu tidak ingin wajahnya dikenali. Karena tidak ingin dikenali harusnya wajahnya tidak asing.
Isamu berinisiatif untuk mendekati wanita yang terakhir datang untuk memastikan apa benar wajahnya tidak asing. Isamu memiliki ingatan yang baik terhadap wajah orang. Siapa pun itu, jika pernah viral, jadi bintang iklan, model, atau masuk televisi sekali-dua kali, ia pasti akan mengenalinya.
Setelah cukup mengamati, Isamu mendekat. Wanita itu duduk di dengan jarak yang lebih jauh dari yang lainnya. Sejak datang ia hanya diam saja, saat berjalan wajahnya menunduk, kepribadiannya jelas tidak buruk seperti Jovita, hanya kepercayaan dirinya yang rendah.
“Halo, saya Isamu Zelina!” Isamu menodongkan tangannya untuk bersalaman.
Menjadi orang yang pertama kali menyapa seseorang yang memiliki tingkat kepercayaan diri rendah akan membuatmu lebih mudah dekat dengan orang itu. Acara yang tertulis dalam undangan akan memakan waktu selama lima hari, setidaknya Isamu membutuhkan seorang teman agar situasinya tidak membosankan. Ia butuh seseorang yang tidak mengancam dan tidak menyebalkan.
Wanita bertopi dan bermasker itu mengangkat wajahnya. Ia membalas uluran tangan Isamu namun hanya mengangguk, tidak menyebutkan nama, atau mengatakan apa pun, kemudian kembali menunduk.
“Sepertinya saya mengenalmu.” Isamu masih mengamati, masih berdiri. Wanita bertopi mengangkat wajahnya lagi. “Adien?” tebak Isamu menyipitkan matanya.
Begitu Isamu menyebutkan nama Adien, Jovita dan Rania menoleh bersamaan ke arah wanita bertopi dan bermasker itu.
“Kamu bisa tahu?” Adien menatap Isamu kagum.
“Tentu!” kata Isamu duduk di samping Adien. “Saya pernah menonton sinetronmu, saya juga tahu kamu pernah jadi bintang iklan. Aktingmu bagus, kamu juga ramah. Jauh lebih baik dari seseorang.”
“Dari pada siapa? Kalau ngomong yang jelas!” Jovita menyahut. Ia tahu Isamu sedang menyindir. Wanita itu jelas-jelas menekankan kata 'seseorang.'
“Selalu merasa jadi yang dibicarakan!” Isamu menanggapi tak acuh.
“Bukannya dia terkenal memang hanya modal jadi orang yang dibicarakan.” Seseorang yang lain datang. Ia mengenakan rajut berleher tinggi, dan rok lipit di bawah lutut. Wanita berambut sebahu itu melepas kacamatanya.
“Mika, sedang apa kamu di sini?!” Jovita mendadak defensif.
Kamelia Mika menyeringai, “Tentu untuk menagih utangmu. Kalau tidak kudatangi langsung apa mungkin kamu mau bayar?” katanya sembari mengangkat undangannya.
Jovita bungkam. Isamu menangkap isyarat itu sebagai sebuah kebenaran. Tampaknya kedatangan Kamelia Mika merupakan sumber berita penting. Isamu bisa memposting cerita yang menjatuhkan Jovita kapan saja saat informasinya lengkap.
Sepertinya bersekutu dengan Mika akan sangat menguntungkan. Sama seperti Isamu, Mika juga terlihat membenci Jovita. Isamu mulai menilai Mika, menatap wanita itu lekat.
Meski tidak terlihat glamor, Isamu bisa menilai semua yang Mika kenakan mulai dari kacamata, anting, sampai koper yang ditariknya adalah barang-barang mahal. Merek ternama. Mika terlalu mencolok, lingkungan sosialnya jelas tidak biasa. Isamu tidak cocok dengan tipe orang seperti itu. Cukup dengan tidak menjadikannya musuh maka ia tidak akan rugi.
“Maaf, apa kalian orang-orang yang diundang?” Seorang pria berusia setengah abad mendekat dan bertanya. Ia terlihat menatap dan menghitung semua orang.
Mika memperlihatkan undangan yang ia punya. “Kapan bisa berangkat?” tanyanya.
“Jumlahnya masih kurang satu. Bagaimana kalau kita tunggu sebentar lagi.”
“Masih kurang? Masih ada siapa lagi?” Jovita bertanya entah pada siapa.
Tidak ada yang menanggapi pertanyaan Jovita karena tidak ada yang tahu jawabannya. Setiap orang hanya menerima undangan, menerima penjelasan yang cukup meski tidak detail. Mereka tidak tahu berapa orang yang akan bergabung. Masing-masing datang dengan niat yang tidak sama.
“Apa Bapak salah satu tim yang mengurus acara?” Isamu bertanya.
Si Bapak menggeleng. “Saya hanya ditugaskan untuk mengantar dan mendampingi kalian sampai tempat yang dijanjikan.”
Isamu mengerutkan keningnya. Beberapa orang yang lain juga sama. “Perlakuannya sekarang berbeda dibanding cara pendekatan sebelum menerima undangan.” Isamu mulai menganalisa.
“Mungkin tahap ini sudah termasuk dalam susunan acara yang orang itu sebutkan,” Rania menimpali.
“Maksudmu ada kamera tersembunyi di sekitar sini? Maksudmu kita direkam diam-diam?” Jovita bereaksi sedikit berlebihan.
Rania mengangkat bahunya bersamaan. Ia kembali fokus menonton drama di ponselnya.
“Kalau aku tidak masalah. Aku tidak punya aib yang membuatku malu kalau sampai diketahui umum.” Mika tersenyum mengejek. Semua orang tahu siapa yang Mika sindir meski ia tidak menyebutkan namanya.
Jovita menatap Mika tajam. Meski berulang kali diprovokasi, Jovita tidak pernah membalas Mika. Tidak berani. Dilihat dari sikapnya, jelas Jovita menganggap Mika sebagai ancaman.
“Sudah lewat 10 menit, kita mau menunggu berapa lama lagi?” Adien yang selalu diam akhirnya bersuara. Ia menurunkan maskernya. Toh, semua orang sudah tahu identitasnya.
Semua orang menatap pria tengah baya yang bertugas mengantar mereka, keputusan ada padanya. Si Bapak melihat waktu pada jam di pergelangan tangannya, berpikir, mempertimbangkan. Tugasnya hanya mengantar. Jadi, berapa pun jumlah orang yang pergi, seharusnya tidak mempengaruhi bayaran yang akan ia terima.
“Kalau begitu silakan ikut saya. Mobil ada di sana.” Bapak itu akhirnya setuju untuk pergi.
Mobil yang dimaksud adalah jenis mini bus hitam. Bapak yang bertugas mengantar berjalan lebih dulu diikuti oleh para tamu penerima undangan sembari menyeret koper masing-masing.
Dari arah depan, seorang wanita yang mengenakan kaus, celana jins, sepatu cats, dan menyanggah ransel besar berlari ke arah mereka. Tamu undangan terakhir. Orang yang ditunggu-tunggu.
“Aku datang. Maaf, terlambat.” Peluh memenuhi kening dan leher wanita itu. Dilihat dari penampilan dan barang bawaannya, tampaknya persiapannya begitu terburu-buru.
“Tami Shakila, kamu juga diundang?”
Satu lagi orang yang dikenal Jovita Fabella berkumpul.
×××××
Isamu Zelina adalah seorang wanita yang tertarik pada banyak hal. Ia memiliki keingintahuan yang besar. Kelebihannya yang paling menonjol adalah ia pandai menganalisa sesuatu dan dengan itu ia bisa memuaskan keingintahuannya.Sejak awal Isamu membuat beberapa akun dengan menyembunyikan identitasnya. Dengan akun itu ia bisa berhubungan dengan siapa saja, berkenalan dengan banyak orang, dan melakukan banyak hal.Menyembunyikan identitas dapat membuat Isamu tenang. Ia tidak ingin menarik perhatian, tidak ingin kehidupan pribadinya dikomentari, meski ia sering melakukan hal yang sama pada orang lain.“Dengan skandal seperti ini berharap mendapat perhatian, rendahan!” decak Isamu kesal.Beberapa kali Isamu mengulas berita mengenai skandal artis. Melalui analisa cerdasnya ia bisa mengungkap bahwa skandal yang sedang terjadi hanya untuk menaikkan pamor, promosi film, sampai pengalihan isu. Ulasan Isamu dibagikan berkali-kali, dikutip banyak orang. Ak
Sebelumnya semua terasa baik-baik saja. Jovita datang memenuhi undangan dengan antusias, dengan harapan besar bahwa apa yang akan terjadi nanti akan menunjang kariernya ke arah yang lebih baik.Meski orang yang pertama kali ditemuinya di tempat yang disebutkan untuk berkumpul adalah orang yang menyebalkan, orang yang suka mengatainya dari belakang, tetap tidak masalah. Selama ia mendapat keuntungan dan popularitas, ia akan menahan, mencoba bersabar. Nanti ia akan berhadapan dengan lebih banyak orang, lebih banyak kepribadian, jadi menahan diri untuk sesuatu yang lebih besar tidak masalah. Ia yakin bisa menanganinya.Satu per satu orang yang diundang mulai berkumpul. Jovita tidak mengerti alasan orang-orang itu diundang. Dari mereka tidak ada yang terkenal, tidak ada orang hebat, mereka semua terlihat biasa saja. Kata ‘kehormatan’ yang tertulis dalam undangan sepertinya hanya untuk menyanjung, tidak benar-benar mengacu pada kata ‘kehormatan&rsq
Saat semua orang telah berjalan menuju tempat parkir kendaraan yang si Bapak pengantar tunjukkan, langkah Jovita mendadak berhenti.“Aku ... enggak ingin pergi.” Jovita berbicara pada dirinya sendiri tapi orang yang berjalan di depannya dapat mendengarkan kalimatnya dengan jelas.“Enggak ingin pergi?” Rania mengulang. Langkahnya juga berhenti, semua orang ikut berhenti, termasuk langkah Bapak pengantar. “Kenapa?”“Apa ... kalian enggak merasa aneh dengan situasinya?” Jovita memberanikan diri untuk mengatakan apa yang ia pikirkan.Rania memandang berkeliling, tidak sepenuhnya mengerti apa yang Jovita maksud dengan situasi aneh. Rania bahkan menatap tamu undangan yang lain untuk membantunya mengerti situasi yang Jovita sebut dengan kata ‘aneh.’“Apa?” Rania yang masih belum mendapatkan jawaban balik bertanya.“Karena beberapa orang yang datang
“Aduh, kepalaku!” Mika bangun dan memegangi kepalanya yang terasa nyeri. “Ini ... di mana?” tanyanya entah pada siapa. Mika bangun dan segera sadar ia berada di sebuah tempat yang asing. Tiga orang yang lain juga terbaring tidak jauh dari tempatnya. Semilir yang berembus menghambur rambut hitamnya yang terurai. Aroma laut yang sedikit amis masuk ke rongga hidung. Langit yang biru, alam terbuka. Mika memutar lehernya, mengalihkan pandangannya. Mencari sesuatu yang entah apa. Mungkin penjelasan, mungkin juga sesuatu yang familier. Di belakang punggungnya hanya ada laut seluas mata memandang. Sementara di depannya terlihat hamparan pasir dan rimbunnya pepohonan. “Sudah bangun?” Isamu Zelina melangkah mendekat diikuti oleh Rania Meisy. Tampaknya mereka adalah orang-orang yang lebih dulu sadar. Pasir yang menempel di sepatu mereka menandakan keduanya telah berkeliling untuk melihat-lihat sekitar. “Sebenarnya aku sudah berusaha membangunkan ka
Sebelum pergi mencari tempat yang bisa digunakan untuk beristirahat, Mika mengambil selendangnya dalam koper. Selain selendang, ia juga mengambil lipstik yang rencananya akan digunakan untuk menulis.“Stop, stop!” Rania tiba-tiba memekik histeris, membuat yang lain terkejut. “Lipstik mahal jangan digunakan untuk itu! Gunakan punyaku saja.” Rania mengeluarkan lipstik batang miliknya yang sudah tidak berbentuk dan hampir habis.“Ya ampun! Dia yang melakukan kenapa aku yang malu.” Jovita mengalihkan pandangannya, tidak sanggup melihat tingkah Rania yang terlalu udik.Rania tidak peduli. Ia tetap menyodorkan lipstik miliknya. Kali ini sedikit memaksa. Menggunakan lipstik mahal bukan pada tempatnya berarti menyia-nyiakan esensi dari bahan-bahan terbaik yang sudah dengan susah payah dikomposisikan. Benar-benar menyia-nyiakan sumber daya.Mika mengibaskan tangannya, “Barangku, terserah ingin kuapakan!” tegasnya.
“Permisi!” Isamu mengetuk pintu. Vila merupakan bangunan tingkat dua. Bagian halaman cukup luas dengan pagar rendah. Pagar hanya dikunci seadanya sehingga bisa dijangkau dan dibuka dengan mudah. Halamannya yang luas dipenuhi dengan dedaunan kering yang berjatuhan. Tidak terlihat ada lumut meski beberapa hari lalu hujan masih sering turun. Dinding bagian samping dan setengah bagian belakang merupakan dinding kaca namun tertutup gorden dari dalam. Rania sudah mencari celah untuk bisa mengintip tapi semua bagian tertutup rapat oleh gorden. Di bagian belakang bangunan ada kerukan yang mungkin rencananya akan dijadikan kolam renang namun kini hanya ditumbuhi ilalang liar. Rumput tumbuh lebih tinggi dan lebat. Belalang dan berbagai macam serangga melompat bergantian. “Permisi, apa ada orang?!” teriak Isamu lagi. Isamu dan Mika berdiri di depan pintu, Rania berkeliling bangunan, sementara Jovita, Adien, dan Tami berdiri sedikit lebih jauh dari
Adien sedang memasak untuk makan malam di dapur ketika Rania dan Tami turun bersamaan. Keduanya telah kembali segar setelah cukup istirahat dan mandi.“Masak apa?” Tami duduk di bagian depan meja dapur. Rania melakukan hal yang sama.“Moodku belum kembali jadi aku hanya masak masakan sederhana. Yang penting bisa menghilangkan rasa lapar.” Adien mematikan salah satu kompor dan memindahkan panci yang berisi sayur. “Aku enggak tahu selera kalian, tapi aku masak dalam jumlah yang cukup jika ada yang mau bergabung.”“Itu cukup.” Tami mendekat ke arah Adien. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menawarkan diri.Adien melihat sekelilingnya sebelum menjawab, “Tolong angkat ikannya!” katanya setelah melihat kompor yang lain.“Kalau aku enggak pernah memilih-milih makanan. Apa yang ada, itu yang dimakan,” Rania ikut menimpali.“Aku bisa makan apa pun asal ada samb
Setelah makan malam selesai dan bersih-bersih tuntas, Adien membuat teh dan memotong beberapa buah untuk dinikmati bersama. Mereka berkumpul di ruang depan. “Masih belum ada sinyal juga?” Jovita mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Staf acaranya masih belum ada yang datang juga?” Tami mondar-mandir di depan pintu yang terbuka. Kembali merasa cemas. Hening. Masing-masing orang sibuk sendiri-sendiri. Ada yang memainkan ponselnya; terus-menerus memeriksa jaringan, keluar-masuk galeri foto, bermain game offline, dan apa pun yang masih bisa ponsel lakukan. Ada juga yang sibuk berpikir dan sibuk meratapi nasib. “Hidup benar-benar lucu.” Isamu memecah keheningan. “Siapa yang akan menyangka kalau di masa depan kita akan terjebak di tempat asing, bersama orang-orang enggak dikenal, dan orang yang dibenci.” Benar. Hidup benar-benar lucu. Takdir sangat pandai mempermainkan nasib seseorang. “Benar!”
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada