Adien sedang memasak untuk makan malam di dapur ketika Rania dan Tami turun bersamaan. Keduanya telah kembali segar setelah cukup istirahat dan mandi.
“Masak apa?” Tami duduk di bagian depan meja dapur. Rania melakukan hal yang sama.
“Moodku belum kembali jadi aku hanya masak masakan sederhana. Yang penting bisa menghilangkan rasa lapar.” Adien mematikan salah satu kompor dan memindahkan panci yang berisi sayur. “Aku enggak tahu selera kalian, tapi aku masak dalam jumlah yang cukup jika ada yang mau bergabung.”
“Itu cukup.” Tami mendekat ke arah Adien. “Ada yang bisa aku bantu?” tanyanya menawarkan diri.
Adien melihat sekelilingnya sebelum menjawab, “Tolong angkat ikannya!” katanya setelah melihat kompor yang lain.
“Kalau aku enggak pernah memilih-milih makanan. Apa yang ada, itu yang dimakan,” Rania ikut menimpali.
“Aku bisa makan apa pun asal ada samb
Setelah makan malam selesai dan bersih-bersih tuntas, Adien membuat teh dan memotong beberapa buah untuk dinikmati bersama. Mereka berkumpul di ruang depan. “Masih belum ada sinyal juga?” Jovita mengangkat ponselnya tinggi-tinggi. “Staf acaranya masih belum ada yang datang juga?” Tami mondar-mandir di depan pintu yang terbuka. Kembali merasa cemas. Hening. Masing-masing orang sibuk sendiri-sendiri. Ada yang memainkan ponselnya; terus-menerus memeriksa jaringan, keluar-masuk galeri foto, bermain game offline, dan apa pun yang masih bisa ponsel lakukan. Ada juga yang sibuk berpikir dan sibuk meratapi nasib. “Hidup benar-benar lucu.” Isamu memecah keheningan. “Siapa yang akan menyangka kalau di masa depan kita akan terjebak di tempat asing, bersama orang-orang enggak dikenal, dan orang yang dibenci.” Benar. Hidup benar-benar lucu. Takdir sangat pandai mempermainkan nasib seseorang. “Benar!”
“Rania Meisy, tidak ada yang ingin kamu jelaskan?” Mika mengulang pertanyaannya.Semua mata masih menatap Rania lekat. Beberapa dari mereka menatap menghakimi, sisanya ingin tahu dan menuntut penjelasan. Jika tuduhan Mika benar, seharusnya ada alasan tidak biasa yang melatarbelakangi tindakan Rania.“Apa? Kenapa aku?” Rania yang tidak mengerti maksud Mika balik bertanya.“Saat kamu bertanya di mana kamar Isamu, aku menyebutkan kamar nomor 4. Tapi nomor 4 yang kamu pilih adalah kamar di seberang nomor 2. Itu aneh. Karena siapa pun pasti akan menghitung berurutan dari yang paling depan, tidak menghitung zig-zag seperti yang kamu lakukan,” jelas Mika. “Caramu menghitung seperti kamu tahu urutan nomor kamar yang benar. Yang sesuai dengan papan nomor yang seharusnya menggantung di pintu.”Rania mengerutkan keningnya “Itu bukan alasan,” kilahnya “Aku memang terbiasa menghitung seperti itu karena
Nasi goreng, telur mata sapi, dan sawi rebus dalam wadah terpisah telah disajikan di meja makan. Adien, Rania, dan Isamu yang turun bersamaan, tidak melihat ada siapa pun berada di dapur.“Siapa yang masak?” Adien bertanya setelah membuka penutup meja makan. Aroma nasi goreng yang menguar dapat tercium oleh siapa pun. Uap panasnya yang menggulung di udara menandakan masakan langsung disajikan begitu matang.“Tami.” Mika muncul dari pintu belakang, “Pagi-pagi dia sudah bangun.”“Loh!” Adien menunjuk pintu yang baru saja Mika tutup. “Bukannya kemarin pintunya enggak bisa dibuka?”Adien yakin pintu belakang terkunci karena saat itu ia yang memeriksa. Berkali-kali Adien mencoba bahkan sampai memaksa agar pintu terbuka, sayangnya pintu tetap bergeming.Isamu mengangguk, ikut memperkuat keterangan Adien. Saat itu ia juga telah mencoba dan pintu sama sekali tidak bisa dibuka.“
Sebuah bangunan mewah dengan halaman seluas 500 meter persegi berdiri dengan megah di pusat kota jalan MT Haryono. Kawasan itu memang terkenal elite. Sepuluh konglomerat terkaya di Indonesia tinggal di area itu.Laisa Khalila 23 tahun, tinggi 173 senti. Ia sedang bersantai di halaman depan, di bawah sinar matahari yang hangat. Ia berbaring dengan malas di atas kursi santainya. Matanya terpejam namun kesadaran masih utuh terjaga.Rambut Laisa dipotong terlalu pendek, belah samping. Penampilannya tomboi dan serampangan. Sama sekali tidak ada kesan anggun atau manis sebagai putri konglomerat.“Laisa!” Seorang pria memanggil namanya. Dengan setengah berlari ia mendekat. “Laisa!!” panggilnya lagi dengan suara yang lebih keras. “Laisa, Laisa!!!” panggilannya berulang kali lebih dekat ke telinga Laisa.Razan Witton 25 tahun, tinggi 185 senti. Tubuhnya tegap, berisi tapi tidak gemuk. Rambutnya tersisir rapi belah samping dengan
Mika mengetuk pintu kamar mandi. Suara keran air terdengar dimatikan dan tidak lama kemudian pintu akhirnya dibuka. Wajah Rania yang basah menandakan ia baru selesai membasuhnya.“Kamu baik-baik saja?” tanya Mika.Rania hanya mengangguk. Wajahnya masih terlihat pucat. Semua orang juga sama. Mereka terkejut, syok, tidak menyangka. Adien dan Tami bahkan saling berpelukan dan menangis cukup lama.Semua orang berkumpul di ruang depan lantai bawah. Tidak terdengar percakapan apa pun sejak Rania masuk ke kamar mandi. Hanya sesekali terdengar suara isak tangis. Masing-masing sibuk dengan pikiran-pikirannya, merasa terancam, dan ketakutan.“Bukannya kamu sangat suka menakut-nakuti orang, kenapa sekarang wajahmu terlihat lebih pucat dari Tami?” celetuk Isamu.Adien berhenti terisak. Semua mata melihat ke arah Isamu, kemudian beralih memperhatikan ekspresi Rania.Rania menatap tajam Isamu, kemudian tersenyum sinis. “Seseo
Mika dan Rania berlari menuruni tangga. Suara derit kayu terdengar seiring pijakan berpindah dari satu anak tangga ke anak tangga lain. Suara ribut-ribut di lantai bawah sungguh membuat khawatir. Terlebih karena hal buruk baru saja terjadi.“Hentikan! Berhenti!!”Tami menjambak rambut Isamu. Isamu yang tidak mudah ditindas lantas melawan. Jambak-menjambak rambut antar Tami dan Isamu terjadi cukup sengit. Keduanya sampai terjatuh dan bergulung di lantai. Adien yang coba memisahkan justru terkena sikut hingga hidungnya berdarah.Melihat kemalangan yang menimpa Adien, Rania yang semula akan memisahkan memilih mundur teratur. Tidak ingin bernasib sama. Ia menggeleng pada Mika dan memaksakan senyumnya, kemudian mempersilakan Mika untuk mengambil alih. Menjadi pelerai.“Berhenti!” Meski tegas, suara Mika tetap terdengar tenang.Tidak ada yang menghiraukan. Sebenarnya Mika memang tidak berharap banyak. Ia celingukan ke
Saat Jovita yang tergeletak berlumur darah ditemukan di kamarnya, Isamu melihat Tami menyembunyikan sesuatu. Tami adalah orang pertama yang menemukan mayat Jovita, jadi tidak heran kalau Tami mendapatkan sesuatu yang mungkin berhubungan dengan pembunuhan Jovita.Pembunuhan!Tidak ada satu orang pun yang berani menyebut kata ‘pembunuhan’ atau ‘membunuh’. Mereka tidak ingin membuat situasi semakin tegang. Tidak ingin menghadirkan suasana yang lebih menakutkan. Meski tidak disebut, masing-masing dari mereka tahu dengan jelas apa yang telah terjadi.Meski tahu Tami menyembunyikan sesuatu, Isamu tidak mengatakannya pada siapa pun. Jika dibuka saat itu juga, Isamu takut Tami akan mengarang alasan dan tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Isamu akan menyelidiki sendiri dan menangkap basah Tami. Ia bisa melakukannya seorang diri.Isamu mulai berpikir, mengurutkan semua hal dari awal.“Bukankah kamu tadi terlihat bersemangat sa
Mika berjalan menuju dapur bukan dengan niat seperti sebelumnya. Bukan untuk mengambil air atau apa pun untuk memisahkan keduanya. Kali ini Mika tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Ia biarkan saja Isamu dan Tami saling bergelut sampai puas. Sampai mereka lelah dan berhenti dengan sendirinya.Mika mengambil pisau, kol, wortel, telur, dan mulai memasak.“Di saat seperti ini masih sempat-sempatnya memasak?” Rania menggeleng tidak habis pikir.“Kalau kamu mau mati kelaparan lakukan saja sendiri!”Pagi tadi mereka belum selesai sarapan dan kejadian yang tidak diharapkan terjadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15. Meski tidak ada keinginan untuk makan, meski keadaan tidak baik-baik saja, meski perasaan dipenuhi hal-hal yang tidak mengenakkan, tenaga tetap dibutuhkan. Untuk berpikir, untuk bertahan.“Apa benar enggak apa-apa membiarkan mereka seperti itu?” Adien yang tidak tenang ikut bergabung di dapur.&l
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada