Saat Jovita yang tergeletak berlumur darah ditemukan di kamarnya, Isamu melihat Tami menyembunyikan sesuatu. Tami adalah orang pertama yang menemukan mayat Jovita, jadi tidak heran kalau Tami mendapatkan sesuatu yang mungkin berhubungan dengan pembunuhan Jovita.
Pembunuhan!
Tidak ada satu orang pun yang berani menyebut kata ‘pembunuhan’ atau ‘membunuh’. Mereka tidak ingin membuat situasi semakin tegang. Tidak ingin menghadirkan suasana yang lebih menakutkan. Meski tidak disebut, masing-masing dari mereka tahu dengan jelas apa yang telah terjadi.
Meski tahu Tami menyembunyikan sesuatu, Isamu tidak mengatakannya pada siapa pun. Jika dibuka saat itu juga, Isamu takut Tami akan mengarang alasan dan tidak mengatakan hal yang sebenarnya. Isamu akan menyelidiki sendiri dan menangkap basah Tami. Ia bisa melakukannya seorang diri.
Isamu mulai berpikir, mengurutkan semua hal dari awal.
“Bukankah kamu tadi terlihat bersemangat sa
Mika berjalan menuju dapur bukan dengan niat seperti sebelumnya. Bukan untuk mengambil air atau apa pun untuk memisahkan keduanya. Kali ini Mika tidak peduli. Benar-benar tidak peduli. Ia biarkan saja Isamu dan Tami saling bergelut sampai puas. Sampai mereka lelah dan berhenti dengan sendirinya.Mika mengambil pisau, kol, wortel, telur, dan mulai memasak.“Di saat seperti ini masih sempat-sempatnya memasak?” Rania menggeleng tidak habis pikir.“Kalau kamu mau mati kelaparan lakukan saja sendiri!”Pagi tadi mereka belum selesai sarapan dan kejadian yang tidak diharapkan terjadi. Waktu sudah menunjukkan pukul 15.15. Meski tidak ada keinginan untuk makan, meski keadaan tidak baik-baik saja, meski perasaan dipenuhi hal-hal yang tidak mengenakkan, tenaga tetap dibutuhkan. Untuk berpikir, untuk bertahan.“Apa benar enggak apa-apa membiarkan mereka seperti itu?” Adien yang tidak tenang ikut bergabung di dapur.&l
Hening. Meja makan dalam kediaman yang membuat situasi menjadi canggung. Mika menarik piring omlet miliknya dan diikuti oleh semua orang. Ia mengambil yang paling kecil. Tatapan Rania lekat tertuju pada piring omlet yang dipilih Mika.“Kenapa kamu mengambil yang paling kecil?” Rania memprotes sesuatu yang tidak penting.“Karena aku memang membuatnya sesuai porsiku.”“Kalau begitu kenapa porsi yang lainnya lebih besar?” balas Rania lagi.Orang-orang yang berada di meja yang sama menoleh ke arahnya, menghela nafas, dan menggeleng. Rania memang sangat pandai memulai omong kosong. Mungkin tujuannya untuk mencairkan suasana, tapi tema pembicaraan yang dia pilih benar-benar tidak berguna.Bisa jadi bahkan niatnya tidak semulia mencairkan suasana. Seperti pemikiran Isamu, Rania memang orang yang penuh omong kosong.Mika sengaja tidak menanggapi untuk menghentikan pembahasan tidak berguna Rania, tapi wanita itu te
Tami adalah seorang wanita dengan tinggi 155 senti, berat 142 kg. Ia memiliki kebiasaan menggelung rambutnya yang panjang ke atas. Meski sikapnya selalu ragu-ragu dan cenderung pasif, Tami adalah seorang pekerja keras.Pertama kali mengenal Jovita Fabella sekitar 6 tahun lalu, saat Tami masih di kelas XI Sekolah Menengah Atas semester akhir. Kala itu Tami adalah seorang siswa pindahan.Suatu siang saat jam istirahat terakhir, tiga orang perempuan dari kelas yang berbeda mengeroyok Tami. Ia di sudutkan di toilet perempuan, dikata-katai, dan diperolok.Tami berusaha membalas, tapi adu mulut tiga lawan satu sama sekali tidak imbang, adu fisik apa lagi. Meski Tami sudah menjelaskan posisinya, merendah dengan meminta maaf, tapi masalah tetap tidak berakhir.Semua bermula ketika Irawan yang merupakan teman sekelas Tami sengaja mendekatinya agar pacarnya cemburu. Tami tahu persis modus seperti itu tapi tetap tidak bisa menghindar terjebak masalah.K
“Sudah? Hanya itu? Enggak ada lagi yang kamu sembunyikan?” Isamu buka suara setelah cerita Tami selesai dan wanita itu terdiam cukup lama.Tami mengangkat wajahnya. Ia beradu tatapan cukup lama sampai akhirnya Tami menggeleng.“Oh, masih ada lagi.” Kali ini Rania yang bersuara.“Sebenarnya saat kamu memprovokasi, kupikir kamu adalah orang yang mengirimiku DM. Kata-katamu terdengar mirip dengan orang itu. Kamu sengaja mengundangku untuk menjebakku. Tapi saat aku pikir lagi, kamu lebih cocok sebagai Admin Analisamu. Anal-Isamu. Benar, kan?”Isamu mengangguk. “Seperti yang kukatakan, aku memang Admin Analisamu. Dan bukan aku orang yang mengirimimu DM.”Tami tahu. Ia sudah memikirkan semuanya dengan jelas dan ia tahu orang itu bukan Isamu.“Bagaimana rasanya bekerja dengan Jovita menggunakan dua muka?” Pertanyaan Adien membuat semua orang menatap ke arahnya.Harusnya apa yang dil
Pencarian yang dilakukan selama dua jam berakhir sia-sia. Tidak ada alat pembunuh di mana pun mereka mencari. Di sudut, di pojok, di kolong-kolong, setiap kamar, semua ruangan telah mereka cari. Jangankan alat membunuh, tanda-tanda keberadaannya saja tidak ditemukan. Seperti hilang ditelan bumi, tidak berjejak. Malam semakin larut. Rasa lelah selama seharian ini membebani fisik dan mental. Mereka harus istirahat. Meski tidak yakin biasa tidur dengan nyenyak, paling tidak pikiran butuh merasa santai walau sejenak. Isamu mengetuk pintu kamar Adien. “Saya ingin bertanya.” “Boleh. Tapi di depan pintu saja.” Adien bersikap waspada. Jovita terbunuh dalam kamarnya. Itu artinya selama pelakunya belum tertangkap, membawa orang lain masuk ke dalam kamar sangat tidak aman. Setiap orang harus dicurigai. Jika terjadi sesuatu, di depan kamar mudah untuk meminta tolong dan lebih mudah melarikan diri. &l
Aroma kamar Mika sudah menyerupai aroma tubuh pemiliknya. Tidak banyak barang yang dikeluarkan dari koper. Hanya ada handuk mandi yang digantung. Di atas meja rias, ada tas mekap yang berisi krim perawatan dan segala keperluan untuk merias diri. Itu juga tidak dibongkar. Di atas meja, selain botol-botol yang terlihat digunakan untuk percobaan, ada tempat minum yang sudah berkurang lebih dari setengah. “Oke, jadi apa yang ingin kamu bicarakan?” Sebelumnya Mika telah berencana untuk istirahat lebih awal. Ia tahu tidak akan mudah memejamkan mata, tapi otak dan tubuhnya butuh istirahat. Segala hal yang terjadi hari ini benar-benar banyak menguras kerja fisik dan mentalnya. Ia harus istirahat agar bisa tetap waras. Tapi kemudian Isamu mengetuk pintu kamarnya. “Saya butuh seseorang untuk bertukar pikiran,” jawab Isamu. Oke. Mika telah memikirkan apa yang sedang menimpa mereka tapi ia tidak tahu apakah piki
Mika, Laisa, dan Razan, ketiganya terkenal sebagai Trio Sultan di lingkungannya. Razan seorang polisi, tapi keluarganya memiliki bisnis retail Departemen Store yang telah berkembang pesat di banyak kota. Laisa adalah karakter yang bebas. Bebas berbuat sesukanya, bebas mempelajari apa yang dia mau. Orang tua Laisa bahkan tidak mampu membatasi kebebasannya. Sejak SMA Laisa sudah berhenti meminta uang saku. Akibatnya selain mencoret Laisa dari kartu keluarga, tidak ada hal lain yang bisa mereka ancamkan. Mika adalah tipe orang yang mampu belajar dengan cepat. Ia mempelajari berbagai pengetahuan dari Laisa. Mika baru saja kembali dari Turki. Dua hari lalu ia menghadiri pameran berlian terbesar yang setiap tahun diadakan di Negara itu. Tiga dari lima rancangan terbarunya ikut serta dalam pameran dan banyak menarik minat kolektor dan pencinta berlian. Mika baru turun dari mobil ketika Laisa datang dan menggandeng lengannya dengan manja. &ldq
Jadwal bertemu dengan Pengantar undangan dilakukan sehari setelah Mika sepakat untuk berpartisipasi dalam acara. Mereka bertemu di sebuah kafe yang terletak di pinggir jalan. Tempat dan waktu pertemuan diatur oleh si Pen-DM. Mika hanya perlu datang dan mengambil undangannya. Pun dipersilakan jika ada hal-hal yang ingin dipertanyakan. Pengantar undangan yang datang menemui Mika adalah seorang wanita bertubuh mungil dengan rambut sebahu yang bagian bawahnya dikeriting. Memakai kacamata bulat besar berlensa tebal. Kukunya menggunakan kutex bening. Sebuah jam tangan stainless melingkar di pergelangannya. Penampilannya sederhana. Blazer, kemeja putih, celana kain formal, dan sepatu slip on dengan heels 3 senti. “Halo, saya adalah staf yang bertugas mengantarkan undangan.” Wanita itu mengulurkan telapak tangannya yang segera disambut oleh Mika. Mereka bersalaman.Wanita itu memiliki wajah yang bersih dan mulus namun memakai m
Setelah menempuh perjalanan selama lebih dari dua jam, sampailah Mika dan Laisa di sebuah rumah sakit yang terletak di pinggir kota. Kyra dirawat di sana. Dua hari yang lalu Kyra ditemukan di pesisir pantai dalam keadaan tidak sadarkan diri. Sudut bibirnya pecah dan memar di mana-mana. Nelayan yang menemukannya kemudian membawanya ke rumah sakit."Halo!" Laisa menyalami seorang pria yang telah menunggunya di lobi rumah sakit."Halo, saya orang yang menghubungi Anda." Pria itu balas menyalami Laisa. Juga bersalaman dengan Mika. "Orang yang akan kita temui ada di ruang rawat lantai tiga," tambahnya menjelaskan."Apa dia benar orang yang kita cari?" Mika meminta kepastian.Kyra menghilang selama lebih dari tiga bulan. Selama itu, Mika beberapa kali mendapat petunjuk. Petunjuk palsu yang berakhir pada kekecewaan. Kali ini, meski harapan sama tingginya seperti yang lalu-lalu, ia tetap tidak ingin merasa lebih kecewa."Bisa saya pastikan dia be
“Mika tidak perlu tahu dari mana Ayah bisa mendapatkan dokumen itu. Mika hanya perlu tahu bahwa yang tertulis di sana adalah benar,” tegas Ayah. Sembari menatap anaknya dengan tatapan ingin dimengerti, Ayah melanjutkan, "Setelah ini Mika tidak perlu khawatir. Segalanya akan segera selesai."Mika menatap ayahnya dengan tatapan menyelidik. Ada banyak hal yang ingin ia tanyakan dan lebih banyak lagi yang tidak ia mengerti. Tapi, apa Ayah akan memberi jawaban?"Bagaimana dengan Kyra? Bagaimana dengan keselamatannya?" Setidaknya Mika harus mengetahui sesuatu yang juga penting.Ayah terdiam sesaat. Setelah semua yang terjadi, tidak ada yang bisa menjamin apa yang selanjutnya akan terjadi. Mereka tidak tahu bagaimana kemampuan musuh yang saat ini dihadapi. Mereka tidak bisa menghitung peluang bahwa Kyra akan baik-baik saja."Tanpa memedulikan keselamatannya Ayah membuat keputusan sendiri?" Mika terlihat kecewa."Itu pekerjaannya!" Ayah berkata p
Saat ini Kyra menghilang, Zay juga ikut menghilang. Sementara Mika yang masih diliputi ketidaktahuan nyaris frustrasi. Mika sama sekali tidak habis pikir apa yang sebenarnya ada di benak Kyra. Awalnya Mika pikir setelah mengunjungi Zay, ia setidaknya akan mendapatkan sedikit titik terang. Namun ia terlambat selangkah. Zay telah pergi. Pada akhirnya tidak ada yang Mika dapatkan. Mika sedang merenungkan semua yang telah ia alami hingga detik ini. Ada firasat buruk yang menjalari kepalanya setiap kali memikirkan Kyra. Sudah banyak orang dikorbankan dalam permainan. Kini yang ada di pikiran Mika hanya menyelamatkan Kyra dan mengakhiri semua. Ketika masih sibuk dengan pikiran-pikirannya, Mika mendengar suara dari balkon. Suara-suara yang mencurigakan namun sama sekali tidak membuat Mika panik. Ia duduk dengan tenang sembari menunggu. "Akhirnya datang juga." Mika menunjukkan ekspresi kebosanan.
"Sekarang bagaimana?" Laisa bertanya kepada Mika ketika mereka telah berada di halte. "Ke tempat Kyra tinggal," jawab Mika singkat. "Mika masih mengkhawatirkan anak itu?" Bagi Laisa, selain Kyra masih ada banyak hal yang patut dikhawatirkan. Salah satunya adalah kesehatan Mika sendiri. Mika tidak menanggapi. Ia telah membuat keputusan dan apa pun yang Laisa katakan tidak akan bisa mengubahnya. "Bukankah harusnya Mika pulang dulu agar Ibu enggak khawatir." Meski Mika tidak meminta, Laisa tetap memberi alternatif pilihan. Mika menggeleng tegas. "Kalau sudah pulang enggak akan mudah untuk ke luar lagi."Benar, Laisa membatin. Ibu Mika pasti tidak akan dengan mudah memberi izin bagi putri kesayangannya ke luar dan berkeliaran di jalan. Ditambah lagi apa yang akhir-akhir ini baru menimpa Mika.Laisa menghela napas. Sebenarnya Laisa tahu ia tidak akan bisa mengubah apa yang telah Mika putuskan, tapi setidaknya ia telah me
"Apa dia?" Laisa menunjukkan foto seseorang di layar ponselnya. Ia ingin wanita yang berbicara dengannya mengidentifikasi wajah yang ia tunjukkan. Wanita yang berbicara dengan Laisa memperhatikan lekat foto yang ditunjukkan. Keningnya berkerut dalam saat mencoba mengingat. "Saya enggak lihat jelas wajahnya tapi dari ciri-ciri persis orang ini." "Siapa?" Mika yang penasaran, mengintip ponsel Laisa dan hasilnya cukup mengejutkan. "Kenapa? Kenapa Kyra?"Mika sungguh tidak menyangka Laisa akan menunjukkan foto Kyra. Tidak alasan Kyra dicurigai. Juga, tidak ada alasan bagi Laisa menemui Zay tengah malam. Kecuali ..."Kyra mempunyai petunjuk yang enggak kita ketahui?" Laisa berbicara seolah tahu apa yang sedang Mika pikirkan.Mika tidak menyahut ataupun membalas. Ia tidak tahu jawabannya. Tidak tahu apa yang tengah Kyra pikirkan. Juga tidak tahu apa yang wanita itu rencanakan. Ia hanya percaya bahwa Kyra tidak akan mengkhianatinya.Apa yang ingin ditanyakan telah ditanyakan dan apa yang p
"Mika yakin mau keluar dari rumah sakit?" tanya Laisa untuk ke sekian kalinya. Mika juga mengangguk untuk ke sekian kalinya. Laisa membantu berkemas tapi ia terus bertanya tentang ini dan itu. Laisa tidak bisa tidak khawatir. Terlebih, karena pembicaraan semalam sama sekali tidak menyenangkan. Setelah pembicaraan semalam, Mika lebih banyak diam. Ada kemarahan, perasaan kecewa, dan sorot mata penuh kekhawatiran. Laisa tahu persis rasanya. Bahkan sampai detik ini, ia tidak ingin percaya. Dadanya masih terasa sesak. "Bagaimana dengan Ibu Mika? Bagaimana dengan kesehatan Mika?" Laisa tidak berhenti bertanya. "Sudah seperti ini, aku tidak bisa hanya berbaring di rumah sakit." Mika bicara tanpa menatap lawan bicaranya. Ia menghentikan aktivitasnya. Laisa ikut berhenti. Kemudian menghela napas. "Aku akan menghubungi orang tuaku. Jangan khawatir!" tambah Mika. "Kalau begitu aku akan mengurus administrasinya." Laisa menawarkan bantuan dan berlari ke luar ruangan. Begitu Laisa pergi,
Kegelapan semakin pekat dan malam semakin larut. Bulan berselimut awan, sedang bersembunyi dengan nyaman. Bintang tidak menyapa, tersipu oleh gemerlap kesibukan kota yang tiada henti.Laisa berusaha memejamkan matanya namun tanpa hasil. Mencoba membenamkan wajah di atas bantal pun sia-sia. Meringkuk di balik kemul juga gagal. Padahal ia merasa lelah, merasa butuh istirahat.Laisa berharap setelah bangun keesokan harinya, semuanya akan baik-baik saja. Ia berharap kemarahannya telah berkurang. Berharap rasa sakit hatinya terobati. Berharap kesedihannya hilang. Berharap kemelut dalam kepalanya lenyap.Hela napas panjang terdengar di tengah kesunyian kamar. Laisa merasa malam ini seolah tanpa akhir. Merasa genrenya berubah melankolis. Ia tidak suka. Benci pada dirinya sendiri yang seperti ini."Ah, kepalaku sakit!" keluh Laisa.Merasa tumpat oleh keheningan sekeliling yang seakan menghisapnya, Laisa memutuskan beranjak. Ia tidak boleh seperti ini terus-menerus.Laisa mengambil jaket kulit
Kyra masih menunggu. Ketika pintu dibuka dengan kasar dan seseorang melangkah ke luar, Kyra sedikit terkejut.Orang yang ke luar lebih dulu adalah Laisa. Raut wajahnya terlihat semakin tidak baik dan emosinya yang berantakan tampak begitu jelas. Ia tampak tidak baik-baik saja dan tidak mencoba berpura-pura baik-baik saja.Hasil pembicaraan bisa ditebak tidak berakhir dengan baik. Meski seperti itu, Kyra tetap penasaran. Ia mengintip ke dalam ruangan sebelum pintu akhirnya tertutup. Tampak jelas wajah putus asa Razan dan pipi kirinya yang memar kemerahan. Bayaran atas pengkhianatannya.Laisa pergi tanpa mengatakan apa pun. Kyra membuntut juga tanpa bertanya apa pun. Apa pun yang keduanya bicarakan, yang terpenting adalah bagaimana Laisa tidak goyah. Dan semua itu sudah terlihat jelas dari hasil pembicaraan yang tidak berakhir dengan baik.Laisa adalah tipe yang emosional. Bagaimana kondisi emosi dalam dirinya, telah tercermin dari tindakannya. Bahkan sebelum ia mengatakan apa pun. Tind
Razan bersikeras minta diberi waktu untuk bicara berdua dengan Laisa. Kyra sebenarnya merasa keberatan. Ia pikir, ia memiliki hak untuk mengetahui kebenaran yang Razan sembunyikan. Orang yang terlibat sejak awal adalah dirinya. Dibanding Laisa maupun Razan, Kyra memiliki alasan paling kuat untuk mengetahui segala yang bersangkutan dengan kasus.Namun, melihat dari sisi lain, apa yang terjadi antara Laisa dan Razan juga melibatkan masalah pribadi keduanya. Karena masalah umum dan pribadi tercampur aduk, dengan berat hati Kyra memberi ruang untuk keduanya bicara berdua.Kyra meninggalkan ruang karaoke dan berdiri menunggu di luar. Ia harus senantiasa siaga, agar jika sesuatu terjadi, ia bisa cepat mengambil tindakan.Membiarkan Laisa dan Razan berbicara berdua, Kyra hanya bisa meninggalkan kepercayaannya. Ia yakin Laisa tidak akan mudah terperdaya pada apa yang mungkin Razan akan tawarkan."Semoga saja." Kyra menghela napas dan berkata lirih. Tampaknya ia tidak yakin seratus persen pada