"Dia Iren, teman SMA ku" Jojo tak melepas gandengan tangan kami hingga memastikan aku duduk dengan benar. Pipiku jelas merona karena perlakuannya. Tapi kalian pasti tahu, di dalam hati aku terus mencibir kelakuan Jonathan.
"Hallo, aku Iren. Dan kamu lebih cantik aslinya dari pada di layar kaca" aku tahu setelan kerja mahal yang dikenakan wanita ini, berapa sih gaji psikolog, mentereng banget yang satu ini.
Aku tak melewatkan setitik ekspresi kecewa di wajah wanita ini ketika tahu Jojo mengaitkan tangannya dengan tanganku. Bahkan pilihan meja sofa yang ditata berpasangan ini, sangat merugikan dia. Mungkin dia tak menyangka Jojo akan datang bersama ku. Sungguh wajah di depanku ini menghibur sekali.
"Halo juga, senang bertemu denganmu mbak, thankyou. Kamu juga cantik" aku menyambut jabat tangan formal Iren Audi, seolah aku tidak meremehkannya baru saja. Perempuan cantik ini memang pantas bersanding dengan Jojo yang tampan dan tak terjangkau, sekalipun itu olehku.
"Apakah kamu tidak marah padaku, semalam aku menggandeng suamimu dan tertangkap kamera?" aku sudah biasa mbak cantik, kenapa kamu musti heboh begitu. Tapi bibirku hanya tersenyum santai, berbanding terbalik dengan senyum provokasinya. Memang apa yang mesti ku khawatirkan. Bukankah bagus kalau Jojo sampai jatuh cinta pada wanita lain hingga harus menceraikan ku.
"Kesan tentangmu di televisi juga langsung pupus saat melihatmu secara langsung begini." Dia memandangku mengamati, dan itu terang-terangan. Namun sepertinya dia tak membiarkan orang lain membaca emosinya lebih dalam. Tentu wanita ini sangat pandai mengolah segala jenis emosi yang tidak menguntungkannya.
Ternyata dia tak seanggun yang ku kira, selain banyak bicara, matanya juga suka mencuri pandang pada Jojo. Melupakan rasa tidak nyaman di tubuhku karena baru sembuh dari sakit, aku menarik bibirku menyeringai.
"Benarkah, memangnya bagaimana aku yang aslinya mbak?" Gotcha, itu dia, senyum simpul dengan tatapan meruncing pada Jojo, dan gerakan membenahi pakaian serta rambutnya, yang beberapa kali ku tangkap. Nona psikolog, jangan remehkan mata jeli ku. Ku ambil kesempatan ini, lalu dengan senang hati akan ku bantu untuk kemajuan hubungan mu dan Jojo.
Tersadar dengan keberadaan Jojo yang mungkin saja benar-benar membaca pikiranku, walau sampai sekarang aku masih ragu karena itu tidak rasional, aku meliriknya dengan ekor mataku. Dia selalu acuh tak acuh seperti biasa, menjadi penonton setia seperti ketika ibu dan adiknya membuliku. Wajah tampan itu mengatupkan bibir rapat. Seolah hidup di dunia lain yang hanya ada dia saja. Dasar tidak peka.
"Setidaknya kamu yang di depanku sekarang lebih mirip kelinci kecil yang imut dan..." Dia menjeda, matanya menyipit tapi bibirnya masih tersenyum.
"Dan?" Aku ulangi kata terakhirnya, tak sadar alisku terangkat.
"Membutuhkan perlindungan orang lain" katanya. Senyum di bibirnya yang terlihat tulus mungkin bisa mengelabui orang lain, tentu tidak denganku. Dan aku mengartikan kalimatnya sebagai kamu tidak akan bisa tanpa dukungan Jojo. Arah pandangnya segera berganti dari wajahku ke wajah Jojo.
Mana mungkin Jojo begitu, dia tidak pernah peduli padaku sekalipun aku menumbangkan Monas.
Sayangnya aku tak selemah penilaian mu, sesembak cantik. Kalau aku lemah aku tidak akan bertahan bertahun-tahun di industri ini. Bahkan sekalipun itu kamu, belum tentu kamu bisa.
"Benarkah mbak, sayang Jojo tidak suka kelinci kecil imut yang suka bermain-main sepertiku, tidak sepertimu yang anggun dan berkelas" aku bertindak seperti gadis naif yang polos yang penuh keluhan atas diriku sendiri, dan umpanku segera wanita itu tangkap.
"Benarkah Jonathan sesungguhnya suka tipe yang seperti itu" tanyanya menggunakan nada main-main dengan tatapan genit yang dibuat-buat untuk Jojo. Padahal aku tahu dia sedang memastikan isi pikirannya apakah masih ada celah untuknya di hati Jojo. Hei, lady...kita sama-sama wanita, ketertarikan macam itu gampang sekali disadari satu sama lain.
Pipi wanita itu sedikit memerah, wajahnya cerah seketika. Pancaran dimatanya yang sempat meredup kini berbinar kembali. Siapapun tidak bodoh untuk mengetahui kalau Iren memang menyukai Jonathan.
Ketika seorang pelayan datang, Jojo memegang bahuku, posisiku yang duduk bersebelahan dengannya memudahkan kontak fisik kami.
"Cuwa, makan apa?"Aku menoleh padanya, menggeleng. "Aku kenyang. Jus saja" aku sudah makan di RS tadi, Jojo yang belum.
Kalau ku pikir-pikir dia dia memang selalu menepi ketika aku terlibat permainan adu sindir dengan banyak wanita di sisinya. Seolah hanya menungguku menyelesaikan sendiri sementara dia menepi untuk memantau situasi. Hell, dia sungguh tipe pasif yang minta banget dicakar manja.
"Mushroom burger 1, Ekspreso 1, Iren apa?" Jonathan hanya melirik Iren sekilas saat mengatakannya, hanya sekilas. Tidak ada ketertarikan seperti pada Renita. Ah kalau begini, ide menjodohkan mereka tidak akan berhasil. Atau bagaimana kalau foto-foto Jojo dengan beberapa cewek itu ku sodorkan pada papa nanti sepulang umroh. Atau sekalian saja menjodohkan Jojo dengan Renita, mengompori Renita agar mengganti status adik kakaknya menjadi romance couple.
"Susu coklat panas "
By the way, "Siapa yang mau minum susu Jo?"
"Kamu, agar tidak morning sickness lagi" ujarnya singkat dengan senyum irit andalannya. Aku cemberut, kalau dia yang menentukan untuk apa menawari, terserah deh.

Apa? Morning sickness?
Ketika aku menyadari tatapan Iren pada kami, aku tersenyum tak enak padanya. Ku injak kaki Jojo di bawah meja, ku hadiahi pula pelototan padanya. Kalau begini, gagal usahaku mempromosikan Jojo dengannya.
"Kamu hamil ya?" Itu suara Iren, aku tidak yakin apa Jonathan juga mendengar nada tidak bahagia dari bibir wanita itu.
Iren kamu iri kan punya suami perhatian kaya dia, pasang kuda-kudamu, lalu kerahkan usahamu untuk mendapatkan dia. Jangan mudah menyerah karena apa yang terlihat belum tentu sama seperti kenyataannya.
"Jangan hiraukan dia mbak, dia memang begitu, tapi dia baik koq. Sukanya diam-diam perhatian, nggak nyesel punya suami kayak dia, beneran" kalau dia cermat seharusnya dia bisa membedakan mana pujian romantis antar suami istri atau justru malah promosi suami. Kurang baik apa coba diriku ini. Dimana-mana istri itu melindungi suami dari pelakor, lah ini malah menawarkan. Aku terkekeh dalam hati.
Jojo menggeleng kecil dengan tatapan bosan padaku, "Ayo mbak, silahkan pesen aja. Jo aku nambah salad buah dong"
"Cuwa, nggak ada sayur dan buah sementara ini. Ingat kata dokter" aku mendengus, duh si Jojo sok perhatian banget. Makin gagal mendekatkan mereka.
"Kalau begitu, lava cake matcha dan es krim ya Jo, boleh kan, aku pengen..." aku mengerling memohon. Tanganku mengguncang lengannya bersemangat. Coklat, eskrim dan wanita adalah kombinasi tak terpisahkan. Ayo lupakan sikap Jojo yang membingungkan.
"Diet mu?" Sahutnya, dengan sudut yang sedikit bertambah di sudut pipinya.
Aku melongo, Jojo menggodaku dengan senyum miring itu kan? Mengerjapkan mataku beberapa kali, tapi otak menolak percaya pada penglihatan.
Lalu sebelum aku menjawab...
"Tidak usah diet lagi, wanita yang morning sickness dilarang diet" lanjutnya ringan. Brengsek ini, kenapa terkesan tengah menghadang langkahku mengimbanginya dengan Iren.
Namun yang membuat paru-paruku berat adalah matanya yang hinggap lama di wajahku. Sampai ketika aku menghindari dengan membuang pandanganku pada wajah Iren yang mau tak mau mengamati kami, Jojo masih betah memandang ku.
Aku ingin memutar bola mata jengah, kenapa? baru sadar ya bang, kalau istrimu ini memiliki pesona hakiki yang mengalihkan dunia. Sumpah aku ingin berdecih. Tapi bisaku cuma mengumpat, bajingan ini!
"Hey bro!" Sapaan seorang pria dari arah belakangku membuat Jojo menoleh. Tapi koq aku kenal suaranya sih. Hingga Jojo menyebut sebuah nama.
"Surya"
Aku mengeluh pada semesta, kenapa mempertemukan kami di situasi begini. Duh gila ya, tidak mungkin aku bisa menghindar lagi.
Dia itu mantan terakhirku. Bohong kalau selama bertunangan dengan Jojo aku tidak menjalin hubungan dengan yang lain. Meskipun tidak ada yang serius karena ku katakan dengan jujur aku hanya mencari hiburan dan telah bertunangan. Termasuk dengan Surya ini. Setelah menikah aku terus mengindari berinteraksi dengan Surya maupun mantan-mantan lain, apalagi kalau sedang bersama Jojo.
"Hallo cantik, lama sekali aku tak melihatmu secara langsung." Surya membungkuk membuang jarak diantara kami dengan cipika cipiki. Hanya tempel pipi seperti pada beberapa temanku yang lain, ku rasa itu biasa, tapi tatapan mata Jojo yang setajam lidah tetangga itu membuatku sedikit takut. Seolah aku baru saja kepergok selingkuh.
"Hai Iren" tuh kan, Surya juga cipika-cipiki sama Iren. Kenapa kamu biasa aja. Eh, mereka saling kenal. Dunia memang hanya selebar daun janda bolong yang lagi viral itu.
"Boleh aku gabung disini" katanya menarik kursi di samping Iren yang tepat menghadap ku. Sumpah aku nggak nyaman, jadi aku membawa diriku sedikit mendekat pada Jojo. Bukannya aku memiliki kenangan buruk bersama Surya, justru sebaliknya. Hatiku sedikit kebat-kebit di depannya, dia itu mirip seperti karakter Koko Jefry di novel W*****d karya emak ithanajla. Pria paling gentle, bisa memanjakan wanita dengan perhatian sekaligus uang, oh jangan lupakan tutur katanya yang manis dan tatapan penuh cinta, sebelas dua belas sama Surya.
Sayang banget kan, meski dibanding uangnya papa Jojo, Surya masih kalah telak. Tapi disini kan yang menikahi ku si pelit Jojo bukan papa yang baik hati. Ah, kalah banyak aku deh, setelah dapat si baik hati Surya, malah dapat si jelek Jonathan.
Aku hampir tersedak ludahku sendiri, ketika lagi-lagi Jojo menggenggam tanganku di bawah meja.
"Cuwa"
Panggilan Surya menarik perhatianku. Tatapan yang dipancarkan Surya selalu hidup kala berbicara dengan sesuatu yang menarik perhatiannya.
"Ya"
"Apa film-mu selanjutnya? Wah sudah tidak sabar melihatmu di layar bioskop lagi" aku tersenyum tulus penuh terimakasih mengabaikan genggaman tangan Jojo yang bikin gerah.
"Serial 5 episode detektif R di HBO Asia, tayang awal bulan depan Sur, Farah Sunny juga terlibat, dia sepepupu mu kan"
"Oh ya?" Katanya antusias yang ku jawab dengan anggukan.
"Apa peranmu kali ini?" Beginilah rasanya ketika ada seseorang yang membicarakan pekerjaanmu, senang dan merasa diperhatikan."Seorang yang tidak pernah beruntung sehingga selalu dipandang sebagai antagonis" mirip sekali denganku karakter ini.
Tangan Jojo meremas tanganku, apa-apaan dia, aku melirik wajah datarnya. Ketika aku menoleh padanya dia sedang bersandar santai dengan mimik biasa tak terganggu, dia juga tidak repot menatap ku. Jantungku tidak bisa tidak berdetak tak karuan, jadi ku coba menarik tanganku agar terlepas darinya, walau gagal. Ada apa sih dengan pria satu ini.
Aku sampai melewatkan surya yang tengah menggeleng takjub, "kamu selalu tak terduga, Cuwa. Ini action kan?" aku mengangguk sekali lagi. Mencuri pandang pada Iren yang hanya menatap kami bergantian. Entah apa yang dipikirkan Iren.
"Lalu, apakah kamu sudah siap dengan cita-citamu yang lain, Cuwa?" Aku terharu ternyata Surya masih mengingat tentang cita-cita rahasia ku. Meski tepatnya Surya tak tahu apa itu.
Aku tersenyum menerawang, "Belum"
Kemudian aku tak bisa menjaga mimik wajahku yang ternganga tak percaya, ketika Jojo masuk ke dalam obrolanku dan Surya,
"Aku siap mewujudkan apapun mimpimu, kenapa mesti ragu, Wa""Wa mau makan malam apa?"Sebutan Wa dari bibirnya terasa asing di telinga. Jonathan yang dulunya antipati padaku tiba-tiba memanggilku dengan sebutan yang terlalu akrab. Jadi jangan salahkan aku kalau di hati terdalam ku menyimpan banyak sekali kecurigaan padanya.Tawaran Jojo ku jawab gumaman malas dari balik selimut dan guling. Cuaca malam Jakarta yang hujan terasa mendukung. Masih jam 7 malam, tapi rasanya mataku berat."Jangan tidur dulu, Wa""Aku lelah, Jo""Aku pesen restoran bawah biar cepet"Aku tak meresponnya lagi karena setelah aku kembali tersadar, aku tak melihat keberadaan Jojo di kamar. Justru aku mendengar suara yang ku pastikan itu adalah Renita yang sedang tertawa bahagia. Aku mengerjap, mengusap mata beberapa saat, memastikan apakah aku mimpi atau halusinasi."Bang Nath, bagaimana bisa itu tidak lucu. Lihatlah dia bisa berjalan dengan pose
Aku menghela nafas, memijit tengkuk yang terasa tegang karena padatnya aktivitas. Pemotretan dengan pihak Teta selesai menjelang petang. Beruntung beberapa model yang dipakai sudah profesional, Tama si macho tapi gay itu berkali-kali berteriak, bagus, good, kalian sempurna, oke, keren, siip. Tapi karena kondisiku yang baru sembuh mambuatku ingin segera bergelung dengan kasur.Dialog dengan female.fm apalagi, membuatku menahan agar lonjakan tensiku tidak sampai ke ujung kepala. Bayangkan pertanyaan mereka, sejak kapan aku lepas keperawanan. Terus gimana malam pertamanya, stamina suami apa kabar? Seminggu berapa kali bercinta, kuat berapa ronde semalam. Aje gile aku cuma tertawa macem orang gila baru gila.Aku yang tak mungkin menghindar, asal menjawab. Aku kuat 5 ronde tiap malam kecuali kalau periode ku datang. Dan hasilnya, akan kita lihat besok, apakah ada lagi hidung belang yang akan menawar ku 2M seperti waktu itu. Ah... Benar kata
Aku sedang tak mood menjadi istri baik, terus cemberut sepanjang perjalanan pulang dari acara Hanida Malik. Jojo yang jelas tau aku tak ingin diganggu hanya diam sambil sesekali melirik kecil padaku. "Ini pertama kalinya kamu terlihat tidak dalam mood baik di depanku" "Aku hanya sedang lelah, bia untukrkan aku merilekskan diri ya, nanti bangunkan aku saat sampai" Dengan lemah tapi malas ku katakan.Nyatanya meskipun aku tak lagi bisa menjaga raut wajahku tetap ramah, aku masih bertutur sopan, lembut, dan manja padanya seperti seharusnya istri soleha. Lalu tanpa sungkan aku mencabut beberapa jepit rambutku dan membiarkannya tergerai bebas. Melirik Jojo saat merapikan rambut, aku memutuskan untuk tersenyum genit padanya yang tengah menatapku dengan sudut bibir tertarik tipis. Tanpa sungkan ku kibaskan ke arahnya lalu menaikkan kaki dengan nyaman dan meletakkan kepalaku ke sandaran. Pundakku sungguh kaku dan pegal. Ya
Berbagai berita tentang aku dan Jojo sebagai pasangan tak mempan rumor dan gosip mencuat ke publik. Yakni foto-foto mesra ketika aku menghadiri acara resepsi Hanida dua malam lalu. Setelah ku katakan aku ada syuting tengah malam pada Jojo, aku menepi ke Senopati. Malam itu tidak ada syuting sama sekali. Aku hanya beralasan agar tak perlu bersama orang yang mencuri dengar semua yang ku pikirkan. Aku butuh kebebasan berpikir dan berpendapat, sesuai dengan hak dasar manusia. Jadi bisakah Jojo ku tuntut dengan pelanggaran pasal 28E UUD 45, karena telah menyalahi hak ku dalam kebebasan berpikir. Dua malam ini aku telah belajar mengatur siasat manipulasi pikiran saat bersama Jojo. Dari Catra aku tahu bahwa Jojo masih pulang ke apartemen kami meski tidak ada aku. Meski sedikit mengganjal Jojo sama sekali tak menghubungi. Anehnya ini pertama kali aku merasa begini, padahal sebelum ini Jojo memang tak pernah peduli aku pulang atau tidak.
Gemuruh tepuk tangan riuh rendah teratur. Berfoto dengan pak menteri cakep tapi jelas udah teken. Meski senyum tipisnya menganggu alur peredaran darah di tiap nadi, aku tetap mempertontonkan senyum profesional andalan. "Mbak Cuwa, saya punya lowongan pekerjaan untuk mbak Cuwa" "Lowongan apa pak?" aku berpikir keras, maksudnya dia mau aku kerja padanya? Lalu mata beriak itu memperjelas bahwa pria ini sedang menggodaku dengan guyonannya. "Lowongan jadi Bu menteri" Aku menahan tawaku menjadi kekehan kecil yang seharusnya manis. "Ah, pak menteri bisa aja. Saya sudah menikah loh, pak" "Bukankah biasa setingan perkawinan dalam industri yang kamu geluti itu mbak Cuwa?" Aku tak melanjutkan obrolan bertema absurdr itu, namun menerima uluran tangannya untuk membantuku menuruni lima tangga menuju deretan meja tamu, dan aku merasa terhormat untuk itu. Muda, kaya, cakep, berk
"Kenapa mengikutiku kangmas?" Thian melangkah kemana aku melangkah. Tentu saja aku yang tidak tahan harus bertanya padanya."Siapa yang mengikuti" katanya tak peduli. Irisnya menembus ke dalam mata hingga rasanya sampai menembus tengkorak ku."Kamu lah" aku mengerling padanya yang membuang muka, seolah tak sudi berlama-lama menatap diri ini."Kamu yang mengikuti saya" tuduhnya, mata itu tak mau berpindah dari wajahku."Idih, buat apa" aku bersedekap."Minggir!" Dia membuat gestur mengusir, padahal lift berukuran lebar ini muat sampai 15-20 orang."Duh, kangmas Fathian *mangkubumi nganti loro ati, ini hotel punya kamu ya, jutek amat sih, sampe lift mau dipakai sendiri"*Memangku bumi sampai sakit hati"Kakiku udah pegel nih, pengen banget segera dimanjain sambil selonjoran cantik, jadi masuk nggak?""Kamu ngomong centil beg
"Aku hanya ingin ke toilet" setelah mengatakan itu, Jonathan berhenti beberapa detik untuk meraba tubuhku mulai ujung kepala ke ujung kaki dengan tatapannya yang, haruskah itu ku bilang panas? Atau dia hanya menakutiku saja? Kemudian sebelum benar-benar melangkah ke toilet, pria brengsek itu meninggalkan senyum miringnya yang berhasil membuatku keder. Aku sedikit takut, apakah malam ini dia akan memangsaku."Ughh, dia itu..." Aku menghembuskan nafasku yang memburu, percampuran antara takut, kesal, dan gemes. Koq dia makin sering memperhatikanku ya, sungguh dia sudah tidak menganggap ku anak-anak. Terus kalau Dia benar-benar menyukaiku bagaimana donk? Apa dia akhirnya mau menceraikan ku seperti seharusnya. Ah mana mungkin, bukannya tiga hari lalu dia bilang saling mencintai dengan wanita Jepang itu? "Wa, aku nggak enak lama-lama di sini, berasa jadi obat nyamuk. Kayaknya voltase suamimu lagi naik-naik ke puncak gunu
Mau kamu menyukaiku, mau kamu masih mencintai Mitsuki, Mitsuko, Masako, Mitcin, atau apalah namanya, aku tak harus peduli. Bagaimana ya, aku terbiasa begitu sih. Hidup sudah melelahkan, aku tak perlu menambah kelelahanku dengan memikirkan dirimu. Biarkan saja seperti yang sudah-sudah. Kamu dengan urusanmu, aku dengan urusanku. Aku hanya perlu berjuang dari nol lagi seperti di spbu dan bersabar lebih banyak lagi, lagi dan lagi demi surat cerai itu. Ah, Leo dan pria-pria cantik, please tunggu aku sedikit lagi. Saat ini aku sedang makan, terimakasih kepada Shofi dan Phia yang mengetuk pintu kamar karena makan malam ku sudah datang. Jonathan juga sudah mengenakan kaos dan training pendek kiriman dari asistennya yang akhirnya harus menginap di hotel ini juga. Dia duduk mengamatiku dalam diam yang tengah melampiaskan kekesalan pada makanan. Wajahnya sekeruh sungai
Dibuang sayang.Terngiang telpon dari Tante girang, aku tersenyum antara miris dan sedih. Bukannya aku takut padanya, tapi jelas menghadapinya perlu menyusun strategi, mengingat ini Mitsuko. Jauh-jauh dari Jepang jelas dia tak mau pulang kampung dengan tangan hampa.Gini amat punya suami bajingan, susahnya menghempaskan masa lalu, tak semudah membuang remahan roti pada taplak meja. Ahh, aku menghela nafas lelah, rumah mungil pinggir pantai dan seorang anak yang memanggil mama, hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Aku ingin mewujudkan itu. Kalau gini abaikan perih, suruh Jojo rajin anu, biar cepet jadi anak. Jadi janda anak satu, kayaknya masih oke, sesuai slogan janda makin di depan.Jadi setelah ku ceritakan semua pada Phia, akhirnya dia datang. Hebatnya tanpa ku minta, dia membawa Mbah Menyan pula, dan itu membuatku puas. Phia emang selangkah lebih maju.Cinta mengalahkan logika emang bener ya? Tidak, bukannya cintaku pada Jo
Inikah yang kalian tunggu? Extrapartpart Cuwa yang bikin penasaran...Happy Reading ?Apa yang dipikirkan kakek ketika menjodohkan ku dengan gadis bar-bar tapi kemayu itu?Masih terlalu anak-anak, manja dan childish. Suka merengek setiap kali bicara, dan jelas merepotkan, apalagi dengan dalih ditinggal pergi sang ayah untuk selama-lamanya. Dia memanfaatkan kakek dan ayahku.Aku menggeleng tak paham dengan pemikiran ku sendiri. Apa aku harus menjadi baby sitter yang harus mengajarinya bagaimana bicara baik dan benar? Apa aku juga harus mengajarinya untuk berhenti berkedip genit pada semua orang? Apa aku juga harus merangkap jadi fashion designer pribadinya untuk menyortir mana busana pantas dan tidak pantas?Sama halnya dengan papa yang sudah tertipu tampang innocentnya. Yang selalu bilang bahwa dia dibesarkan dengan baik oleh ayahnya, dididik keras oleh ibunya, maka jangan ragu kalau dia akan jadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu. Bukankah dia mani
Jojo kejang, matanya terbuka sesaat lalu menutup lagi, begitu beberapa kali hingga perawat yang ku teriaki datang. Perawat sebenarnya hanya menepi tak jauh dari kamar Jojo, kebiasaan yang dia lakukan ketika pihak keluarga menemani."Tolong kirimkan siapapun ke kediaman Jonathan Wirautama, pasien mengalami kejang." Ujarnya di telpon entah pada siapa.Aku membekap mulutku yang hendak berteriak menyebut nama lelakiku itu, tapi aku tak mau kelakuan ini justru membuat suasana makin panik. Perawat senior kepala empat itu menatap khawatir pada Jojo. Meskipun gerakannya tetap tenang tapi aku sempat melihat wanita itu menarik nafas dalam."Lebih baik anda menunggu di luar." Sarannya pada kami, matanya menyiratkan permohonan."Tidak" ucapku berbarengan dengan Renita. Ini pertama kali dialami Jojo. Aku ingat dokter pernah bilang, usahakan jangan sampai oksigen lepas darinya, itu bisa menyebabkan kejang yang artinya otak kekurangan pasokan oksigen. Apa arti
"Sayang, jangan lari-lari.""Mam, itu... Aku takut.""Apa yang kamu takutkan sayang?" Tanyaku padanya pria kecil yang memeluk kakiku. Dia menunjuk pada rombongan penari bertopeng yang baru saja melewati kami.(Pasti udah ada yang salah paham ???)"Erlang jangan ganggu Tante Cuwa, kemari sayang.""Biar saja Ren, mungkin dia kangen aku." Ku tarik Erlang dalam pelukan dengan berjongkok.Renita beruntung, meskipun hidupnya terkekang seperti prediksi ku. Tapi sepertinya dia berhasil menjalani pernikahan perjodohan dengan Fathian. Kini dia tengah hamil, sudah enam bulan usia kandungannya.Untuk informasi saja, mulut si Fathian masih tercemar bon cabe level 50. Tidak ada yang berubah selain statusnya yang menyandang suami dari Renita Sumanji. Dia masih menatapku tajam dan lapar. Abaikan saja kenyataan ini, aku tidak mau Renita tau. Pernah suatu kali dia membisikkan kalimat, siap menjadikanku yang utama jika Jojo meninggal. Dia gila kan?
"Ini bukan telpon penipuan kan Shof?" Ucapku tak yakin dengan kalimat ku sendiri. Aku tidak shock sampai gemetar atau jantungan. Aku juga tidak terperangkap dalam histeria kepedihan karena kabar ini. Aku hanya merasa ringan, terlalu ringan untuk disebut baik-baik saja."Wa, itu tadi Widi, asistennya Pak Jonathan, Wa." Ucap Shofi sungguh-sungguh, ketegangan menghiasi wajahnya yang manis."Penipuan kali Shof..." Tepis ku sekali lagi.Berusaha menghalau kebenaran kabar yang membuatku merasakan percampuran antara kecewa dan marah, tapi sedih disaat yang bersamaan.Aku akan mengerti kepentingan Jojo menemui Mitsuko, tidak mungkin Mitsuko akan melepas Jojo begitu saja dengan tuntutannya. Walau tetap saja, praduga menyakitkan membayang di depan mata. Ponselku kembali berdering nyaring, mengusik rentetan huruf demi huruf yang membentuk suatu ancaman dalam ingatanku.Pergi atau mati. Benar, pesan itu disampaikan lewat mimpiku. Entah ditujukan untuk siapa? Ata
"Swara Amaya, help me please..."Tangisan Mitsuko menyambutku. Serius, dia tau nomor pribadiku? dapat darimana coba? Nggak tahu malu banget, kayak enggak habis mau ngambil nyawaku aja. "Please listen to me... He showed me the pain I betrayed from these eyes. I can't take it anymore" Tolong dengarkan aku, dia memperlihatkan rasa sakitnya ku khianati dari mata ini. Aku tak tahan lagi. Ungkapnya cepat, ada nada ketakutan dan kesedihan yang akut dari suaranya yang bergetar. Aku bingung kenapa dia jadi curhat padaku? Ah kalau begini, haruskah ku buka jasa curhat berbayar. Dia yang dimaksud apa itu mendiang suaminya? "Jonathan must help me, I beg you."Jonathan harus membantuku, aku mohon padamu.Aku membuang nafas, sungguh drama sekali Tante girang ini. Apa dia lupa aku ini apanya Jonathan? Apa dia juga melupakan perlakuannya yang membuatku disatroni hantu t
Sarapan yang sangat terlambat, sudah pukul sebelas saat kami sampai di restoran. Jojo hanya mengenakan kaos oblong santai, sementara aku sendiri menemukan selembar gaun rajut sederhana. Itu adalah satu-satunya yang bisa kami pakai dalam tas traveling yang disiapkan Shofi ketika kami di rumah sakit."Makanlah... Jangan marah lagi." Katanya dengan sangat lembut.Jangan harap akan ada situasi canggung yang akan melingkupi setelah apa yang kami lewati. Sepanjang waktu aku terus memasang wajah merengut padanya, setelah mengangguk setuju memberinya kesempatan denganku.Aku tidak marah, aku hanya sedang kesal padamu. Aku kesal kamu membuatku tak bisa mengelak hanya karena kamu bisa mendengar pikiran terdalamku.Roti dengan isian daging asap serta saos yang tercium lezat dari aromanya, tak mampu menggugah seleraku."Maafkan aku. Jangan kesal lagi kalau begitu, nanti malam orang Mikimoto datang. Pesanlah beberapa, kamu pasti suka."Aku mengerny
"Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia mengecup ujung bibirku hingga wajahnya bersilangan dengan wajahku. Setelah menyimpan diriku dalam bathtub, aku membawa mataku memejam. Tak ada aromaterapi, hanya persediaan sabun ala kadarnya yang memenuhi bilik ini. Memangnya apa yang bisa ku harapkan dari rumah baru yang dapur dan terasnya saja aku tidak tahu letaknya."Ada yang tidak nyaman di tubuhmu?" Tanyanya lagi dengan segala perhatian yang hanya padaku, entah nanti kalau dia sudah bosan.Aku mengangguk untuk menggeleng kemudian, wajah Jojo yang flat jadi mengerut, karena gestur ku mungkin membingungkan. Atau karena dia mendengar pikiranku."Aku ingin tidur..." Sahutku akhirnya."Istirahat di kamar saja, nanti kamu masuk angin, airnya sudah mendingin.""Mhm" mataku memejam lagi, rasanya berat dan lengket, aku butuh menghilangkan pegal-pegal di tubuhku. Pria ini bahkan bertanggung jawab pada rasa kebas yang membuat pusatku hampir mati rasa. Tidak, a
"Maafkan aku, Wa." Katanya penuh penyesalan. Lalu dengan cepat menarik tanganku untuk dia kunci di atas kepala pada tembok tepat sebelah ranjang. Bibirnya melahap bibirku tanpa seni, mencium ku dengan brutal, seolah menegaskan aku ada di bawah kuasanya. Yang paling ku benci, satu tangannya yang lain meraih tali bathrobe di perutku, selanjutnya menstimulasi dada menimbulkan sensasi menggelitik yang asing. Dengan cepat dia menarik pembungkus tubuhku satu-satunya tersebut. Sedikit kasar dia menarik bathrobenya sendiri. Jangankan menghalau semua tindakannya, membantin saja aku tak sempat. Lalu....Aku berjengkit kaget luar biasa setelah dia mendorong ke ranjang. Satu tangannya menarik punggungku agar tak terpelanting. Matanya menatapku dalam, membawa menyelami gairah yang terkungkung antara dia dan aku. Dalam sekejap membawaku bergulung dalam pusaran yang belum pernah ku rasakan. Aku tak bisa lagi menolak medan magnetik yang terpercik darinya, yang kini menula