Aku menghela nafas, memijit tengkuk yang terasa tegang karena padatnya aktivitas. Pemotretan dengan pihak Teta selesai menjelang petang. Beruntung beberapa model yang dipakai sudah profesional, Tama si macho tapi gay itu berkali-kali berteriak, bagus, good, kalian sempurna, oke, keren, siip. Tapi karena kondisiku yang baru sembuh mambuatku ingin segera bergelung dengan kasur.
Dialog dengan female.fm apalagi, membuatku menahan agar lonjakan tensiku tidak sampai ke ujung kepala. Bayangkan pertanyaan mereka, sejak kapan aku lepas keperawanan. Terus gimana malam pertamanya, stamina suami apa kabar? Seminggu berapa kali bercinta, kuat berapa ronde semalam. Aje gile aku cuma tertawa macem orang gila baru gila.
Aku yang tak mungkin menghindar, asal menjawab. Aku kuat 5 ronde tiap malam kecuali kalau periode ku datang. Dan hasilnya, akan kita lihat besok, apakah ada lagi hidung belang yang akan menawar ku 2M seperti waktu itu. Ah... Benar kata
Aku sedang tak mood menjadi istri baik, terus cemberut sepanjang perjalanan pulang dari acara Hanida Malik. Jojo yang jelas tau aku tak ingin diganggu hanya diam sambil sesekali melirik kecil padaku. "Ini pertama kalinya kamu terlihat tidak dalam mood baik di depanku" "Aku hanya sedang lelah, bia untukrkan aku merilekskan diri ya, nanti bangunkan aku saat sampai" Dengan lemah tapi malas ku katakan.Nyatanya meskipun aku tak lagi bisa menjaga raut wajahku tetap ramah, aku masih bertutur sopan, lembut, dan manja padanya seperti seharusnya istri soleha. Lalu tanpa sungkan aku mencabut beberapa jepit rambutku dan membiarkannya tergerai bebas. Melirik Jojo saat merapikan rambut, aku memutuskan untuk tersenyum genit padanya yang tengah menatapku dengan sudut bibir tertarik tipis. Tanpa sungkan ku kibaskan ke arahnya lalu menaikkan kaki dengan nyaman dan meletakkan kepalaku ke sandaran. Pundakku sungguh kaku dan pegal. Ya
Berbagai berita tentang aku dan Jojo sebagai pasangan tak mempan rumor dan gosip mencuat ke publik. Yakni foto-foto mesra ketika aku menghadiri acara resepsi Hanida dua malam lalu. Setelah ku katakan aku ada syuting tengah malam pada Jojo, aku menepi ke Senopati. Malam itu tidak ada syuting sama sekali. Aku hanya beralasan agar tak perlu bersama orang yang mencuri dengar semua yang ku pikirkan. Aku butuh kebebasan berpikir dan berpendapat, sesuai dengan hak dasar manusia. Jadi bisakah Jojo ku tuntut dengan pelanggaran pasal 28E UUD 45, karena telah menyalahi hak ku dalam kebebasan berpikir. Dua malam ini aku telah belajar mengatur siasat manipulasi pikiran saat bersama Jojo. Dari Catra aku tahu bahwa Jojo masih pulang ke apartemen kami meski tidak ada aku. Meski sedikit mengganjal Jojo sama sekali tak menghubungi. Anehnya ini pertama kali aku merasa begini, padahal sebelum ini Jojo memang tak pernah peduli aku pulang atau tidak.
Gemuruh tepuk tangan riuh rendah teratur. Berfoto dengan pak menteri cakep tapi jelas udah teken. Meski senyum tipisnya menganggu alur peredaran darah di tiap nadi, aku tetap mempertontonkan senyum profesional andalan. "Mbak Cuwa, saya punya lowongan pekerjaan untuk mbak Cuwa" "Lowongan apa pak?" aku berpikir keras, maksudnya dia mau aku kerja padanya? Lalu mata beriak itu memperjelas bahwa pria ini sedang menggodaku dengan guyonannya. "Lowongan jadi Bu menteri" Aku menahan tawaku menjadi kekehan kecil yang seharusnya manis. "Ah, pak menteri bisa aja. Saya sudah menikah loh, pak" "Bukankah biasa setingan perkawinan dalam industri yang kamu geluti itu mbak Cuwa?" Aku tak melanjutkan obrolan bertema absurdr itu, namun menerima uluran tangannya untuk membantuku menuruni lima tangga menuju deretan meja tamu, dan aku merasa terhormat untuk itu. Muda, kaya, cakep, berk
"Kenapa mengikutiku kangmas?" Thian melangkah kemana aku melangkah. Tentu saja aku yang tidak tahan harus bertanya padanya."Siapa yang mengikuti" katanya tak peduli. Irisnya menembus ke dalam mata hingga rasanya sampai menembus tengkorak ku."Kamu lah" aku mengerling padanya yang membuang muka, seolah tak sudi berlama-lama menatap diri ini."Kamu yang mengikuti saya" tuduhnya, mata itu tak mau berpindah dari wajahku."Idih, buat apa" aku bersedekap."Minggir!" Dia membuat gestur mengusir, padahal lift berukuran lebar ini muat sampai 15-20 orang."Duh, kangmas Fathian *mangkubumi nganti loro ati, ini hotel punya kamu ya, jutek amat sih, sampe lift mau dipakai sendiri"*Memangku bumi sampai sakit hati"Kakiku udah pegel nih, pengen banget segera dimanjain sambil selonjoran cantik, jadi masuk nggak?""Kamu ngomong centil beg
"Aku hanya ingin ke toilet" setelah mengatakan itu, Jonathan berhenti beberapa detik untuk meraba tubuhku mulai ujung kepala ke ujung kaki dengan tatapannya yang, haruskah itu ku bilang panas? Atau dia hanya menakutiku saja? Kemudian sebelum benar-benar melangkah ke toilet, pria brengsek itu meninggalkan senyum miringnya yang berhasil membuatku keder. Aku sedikit takut, apakah malam ini dia akan memangsaku."Ughh, dia itu..." Aku menghembuskan nafasku yang memburu, percampuran antara takut, kesal, dan gemes. Koq dia makin sering memperhatikanku ya, sungguh dia sudah tidak menganggap ku anak-anak. Terus kalau Dia benar-benar menyukaiku bagaimana donk? Apa dia akhirnya mau menceraikan ku seperti seharusnya. Ah mana mungkin, bukannya tiga hari lalu dia bilang saling mencintai dengan wanita Jepang itu? "Wa, aku nggak enak lama-lama di sini, berasa jadi obat nyamuk. Kayaknya voltase suamimu lagi naik-naik ke puncak gunu
Mau kamu menyukaiku, mau kamu masih mencintai Mitsuki, Mitsuko, Masako, Mitcin, atau apalah namanya, aku tak harus peduli. Bagaimana ya, aku terbiasa begitu sih. Hidup sudah melelahkan, aku tak perlu menambah kelelahanku dengan memikirkan dirimu. Biarkan saja seperti yang sudah-sudah. Kamu dengan urusanmu, aku dengan urusanku. Aku hanya perlu berjuang dari nol lagi seperti di spbu dan bersabar lebih banyak lagi, lagi dan lagi demi surat cerai itu. Ah, Leo dan pria-pria cantik, please tunggu aku sedikit lagi. Saat ini aku sedang makan, terimakasih kepada Shofi dan Phia yang mengetuk pintu kamar karena makan malam ku sudah datang. Jonathan juga sudah mengenakan kaos dan training pendek kiriman dari asistennya yang akhirnya harus menginap di hotel ini juga. Dia duduk mengamatiku dalam diam yang tengah melampiaskan kekesalan pada makanan. Wajahnya sekeruh sungai
"Aku tak akan pulang bersamanya." Kami berjalan dari pelabuhan kecil yang menghubungkan pesisir Jakut ke kepulauan seribu berjarak tak jauh ke hotel.Tidak ada jawaban yang keluar dari mulut dua wanita yang kini berpandangan dalam kebingungan itu."Aku tak mau tau, atur segala sesuatunya, agar aku bisa pulang ke Senopati.""Maksudmu ini Jonathan, Wa?" Tanya Shofi"Emang siapa lagi?""Kirain si kangmas priyayi"Ku putar bola mata sebagai tanggapan. Aku bahkan tak pernah memasukkannya ke dalam otakku, pria bon cabe itu."Atau kalian pikirkan tempat lain yang lebih potensial untuk menghindari Jojo""Sebentar, Wa. Bukankah harusnya kamu senang, Jojo-mu itu jadi melihatmu sekarang?" Shofi menatapku heran. Iiih, Jojo-mu? Koq aku geli dengernya."Aku pikir tidak seperti itu, selama ini, aku hanya berusaha jadi istri yang baik. Aku tidak menyukainy
Aku tidak tahu apa dunia memang sesempit ini hingga bisa bertemu dengan Fathian Hadiningrat di cafe terpencil ini. Sebuah cafe dengan bangunan kecil tapi menawarkan outdoor spot yang cukup luas dengan memanfaatkan beberapa pohon besar di sekitar. Cafe "Kopi Ndalem" di Perbatasan Jaksel dan Tangsel yang menggunakan ukiran Jawa dibeberapa tempat, meskipun cafe tapi desain mini joglo di tiap mejanya membawa kesan hangat. Koq aku merasa familiar dengan sesuatu yang berbau Jawa akhir-akhir ini, sih.Seperti biasa aku ditemani Phia dan Shofi yang kini sudah memasang raut gemas pada dua pria beda generasi. Satu imut dan lucu, satu lagi tampan tapi mulutnya mengandung iklan cabe kering level 30."Tante Wawa" anak ini mengapa masih mengenaliku, padahal aku sudah mengenakan wig model bob dan kacamata nerdy agar tak dikenali orang."Hy, Erlang... Kamu bisa mengenali Tante?" Aku menundukkan kepalaku ke arah bocah menggemaskan yang tiba-tiba duduk merapat padaku
Dibuang sayang.Terngiang telpon dari Tante girang, aku tersenyum antara miris dan sedih. Bukannya aku takut padanya, tapi jelas menghadapinya perlu menyusun strategi, mengingat ini Mitsuko. Jauh-jauh dari Jepang jelas dia tak mau pulang kampung dengan tangan hampa.Gini amat punya suami bajingan, susahnya menghempaskan masa lalu, tak semudah membuang remahan roti pada taplak meja. Ahh, aku menghela nafas lelah, rumah mungil pinggir pantai dan seorang anak yang memanggil mama, hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Aku ingin mewujudkan itu. Kalau gini abaikan perih, suruh Jojo rajin anu, biar cepet jadi anak. Jadi janda anak satu, kayaknya masih oke, sesuai slogan janda makin di depan.Jadi setelah ku ceritakan semua pada Phia, akhirnya dia datang. Hebatnya tanpa ku minta, dia membawa Mbah Menyan pula, dan itu membuatku puas. Phia emang selangkah lebih maju.Cinta mengalahkan logika emang bener ya? Tidak, bukannya cintaku pada Jo
Inikah yang kalian tunggu? Extrapartpart Cuwa yang bikin penasaran...Happy Reading ?Apa yang dipikirkan kakek ketika menjodohkan ku dengan gadis bar-bar tapi kemayu itu?Masih terlalu anak-anak, manja dan childish. Suka merengek setiap kali bicara, dan jelas merepotkan, apalagi dengan dalih ditinggal pergi sang ayah untuk selama-lamanya. Dia memanfaatkan kakek dan ayahku.Aku menggeleng tak paham dengan pemikiran ku sendiri. Apa aku harus menjadi baby sitter yang harus mengajarinya bagaimana bicara baik dan benar? Apa aku juga harus mengajarinya untuk berhenti berkedip genit pada semua orang? Apa aku juga harus merangkap jadi fashion designer pribadinya untuk menyortir mana busana pantas dan tidak pantas?Sama halnya dengan papa yang sudah tertipu tampang innocentnya. Yang selalu bilang bahwa dia dibesarkan dengan baik oleh ayahnya, dididik keras oleh ibunya, maka jangan ragu kalau dia akan jadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu. Bukankah dia mani
Jojo kejang, matanya terbuka sesaat lalu menutup lagi, begitu beberapa kali hingga perawat yang ku teriaki datang. Perawat sebenarnya hanya menepi tak jauh dari kamar Jojo, kebiasaan yang dia lakukan ketika pihak keluarga menemani."Tolong kirimkan siapapun ke kediaman Jonathan Wirautama, pasien mengalami kejang." Ujarnya di telpon entah pada siapa.Aku membekap mulutku yang hendak berteriak menyebut nama lelakiku itu, tapi aku tak mau kelakuan ini justru membuat suasana makin panik. Perawat senior kepala empat itu menatap khawatir pada Jojo. Meskipun gerakannya tetap tenang tapi aku sempat melihat wanita itu menarik nafas dalam."Lebih baik anda menunggu di luar." Sarannya pada kami, matanya menyiratkan permohonan."Tidak" ucapku berbarengan dengan Renita. Ini pertama kali dialami Jojo. Aku ingat dokter pernah bilang, usahakan jangan sampai oksigen lepas darinya, itu bisa menyebabkan kejang yang artinya otak kekurangan pasokan oksigen. Apa arti
"Sayang, jangan lari-lari.""Mam, itu... Aku takut.""Apa yang kamu takutkan sayang?" Tanyaku padanya pria kecil yang memeluk kakiku. Dia menunjuk pada rombongan penari bertopeng yang baru saja melewati kami.(Pasti udah ada yang salah paham ???)"Erlang jangan ganggu Tante Cuwa, kemari sayang.""Biar saja Ren, mungkin dia kangen aku." Ku tarik Erlang dalam pelukan dengan berjongkok.Renita beruntung, meskipun hidupnya terkekang seperti prediksi ku. Tapi sepertinya dia berhasil menjalani pernikahan perjodohan dengan Fathian. Kini dia tengah hamil, sudah enam bulan usia kandungannya.Untuk informasi saja, mulut si Fathian masih tercemar bon cabe level 50. Tidak ada yang berubah selain statusnya yang menyandang suami dari Renita Sumanji. Dia masih menatapku tajam dan lapar. Abaikan saja kenyataan ini, aku tidak mau Renita tau. Pernah suatu kali dia membisikkan kalimat, siap menjadikanku yang utama jika Jojo meninggal. Dia gila kan?
"Ini bukan telpon penipuan kan Shof?" Ucapku tak yakin dengan kalimat ku sendiri. Aku tidak shock sampai gemetar atau jantungan. Aku juga tidak terperangkap dalam histeria kepedihan karena kabar ini. Aku hanya merasa ringan, terlalu ringan untuk disebut baik-baik saja."Wa, itu tadi Widi, asistennya Pak Jonathan, Wa." Ucap Shofi sungguh-sungguh, ketegangan menghiasi wajahnya yang manis."Penipuan kali Shof..." Tepis ku sekali lagi.Berusaha menghalau kebenaran kabar yang membuatku merasakan percampuran antara kecewa dan marah, tapi sedih disaat yang bersamaan.Aku akan mengerti kepentingan Jojo menemui Mitsuko, tidak mungkin Mitsuko akan melepas Jojo begitu saja dengan tuntutannya. Walau tetap saja, praduga menyakitkan membayang di depan mata. Ponselku kembali berdering nyaring, mengusik rentetan huruf demi huruf yang membentuk suatu ancaman dalam ingatanku.Pergi atau mati. Benar, pesan itu disampaikan lewat mimpiku. Entah ditujukan untuk siapa? Ata
"Swara Amaya, help me please..."Tangisan Mitsuko menyambutku. Serius, dia tau nomor pribadiku? dapat darimana coba? Nggak tahu malu banget, kayak enggak habis mau ngambil nyawaku aja. "Please listen to me... He showed me the pain I betrayed from these eyes. I can't take it anymore" Tolong dengarkan aku, dia memperlihatkan rasa sakitnya ku khianati dari mata ini. Aku tak tahan lagi. Ungkapnya cepat, ada nada ketakutan dan kesedihan yang akut dari suaranya yang bergetar. Aku bingung kenapa dia jadi curhat padaku? Ah kalau begini, haruskah ku buka jasa curhat berbayar. Dia yang dimaksud apa itu mendiang suaminya? "Jonathan must help me, I beg you."Jonathan harus membantuku, aku mohon padamu.Aku membuang nafas, sungguh drama sekali Tante girang ini. Apa dia lupa aku ini apanya Jonathan? Apa dia juga melupakan perlakuannya yang membuatku disatroni hantu t
Sarapan yang sangat terlambat, sudah pukul sebelas saat kami sampai di restoran. Jojo hanya mengenakan kaos oblong santai, sementara aku sendiri menemukan selembar gaun rajut sederhana. Itu adalah satu-satunya yang bisa kami pakai dalam tas traveling yang disiapkan Shofi ketika kami di rumah sakit."Makanlah... Jangan marah lagi." Katanya dengan sangat lembut.Jangan harap akan ada situasi canggung yang akan melingkupi setelah apa yang kami lewati. Sepanjang waktu aku terus memasang wajah merengut padanya, setelah mengangguk setuju memberinya kesempatan denganku.Aku tidak marah, aku hanya sedang kesal padamu. Aku kesal kamu membuatku tak bisa mengelak hanya karena kamu bisa mendengar pikiran terdalamku.Roti dengan isian daging asap serta saos yang tercium lezat dari aromanya, tak mampu menggugah seleraku."Maafkan aku. Jangan kesal lagi kalau begitu, nanti malam orang Mikimoto datang. Pesanlah beberapa, kamu pasti suka."Aku mengerny
"Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia mengecup ujung bibirku hingga wajahnya bersilangan dengan wajahku. Setelah menyimpan diriku dalam bathtub, aku membawa mataku memejam. Tak ada aromaterapi, hanya persediaan sabun ala kadarnya yang memenuhi bilik ini. Memangnya apa yang bisa ku harapkan dari rumah baru yang dapur dan terasnya saja aku tidak tahu letaknya."Ada yang tidak nyaman di tubuhmu?" Tanyanya lagi dengan segala perhatian yang hanya padaku, entah nanti kalau dia sudah bosan.Aku mengangguk untuk menggeleng kemudian, wajah Jojo yang flat jadi mengerut, karena gestur ku mungkin membingungkan. Atau karena dia mendengar pikiranku."Aku ingin tidur..." Sahutku akhirnya."Istirahat di kamar saja, nanti kamu masuk angin, airnya sudah mendingin.""Mhm" mataku memejam lagi, rasanya berat dan lengket, aku butuh menghilangkan pegal-pegal di tubuhku. Pria ini bahkan bertanggung jawab pada rasa kebas yang membuat pusatku hampir mati rasa. Tidak, a
"Maafkan aku, Wa." Katanya penuh penyesalan. Lalu dengan cepat menarik tanganku untuk dia kunci di atas kepala pada tembok tepat sebelah ranjang. Bibirnya melahap bibirku tanpa seni, mencium ku dengan brutal, seolah menegaskan aku ada di bawah kuasanya. Yang paling ku benci, satu tangannya yang lain meraih tali bathrobe di perutku, selanjutnya menstimulasi dada menimbulkan sensasi menggelitik yang asing. Dengan cepat dia menarik pembungkus tubuhku satu-satunya tersebut. Sedikit kasar dia menarik bathrobenya sendiri. Jangankan menghalau semua tindakannya, membantin saja aku tak sempat. Lalu....Aku berjengkit kaget luar biasa setelah dia mendorong ke ranjang. Satu tangannya menarik punggungku agar tak terpelanting. Matanya menatapku dalam, membawa menyelami gairah yang terkungkung antara dia dan aku. Dalam sekejap membawaku bergulung dalam pusaran yang belum pernah ku rasakan. Aku tak bisa lagi menolak medan magnetik yang terpercik darinya, yang kini menula