Aku masih sangat lemas, dokter bilang efek diet tidak sehat, meski ketika aku bercerita bahwa aku eneg dan selalu mual saat melihat wajah seseorang, si dokter hanya tertawa. Justru merekomendasikan psikolog atau bahkan psikiater RS ini agar aku membuat janji konsultasi. Karena kalau sampai begitu berarti masalah mual muntahku bukan karena diet tapi karena kelainan mental. Disini yang menurutku terindikasi gila itu Jojo kenapa jadi malah aku?
Pada akhirnya aku memang berhasil menurunkan berat badan hingga 2 kilo. Tapi kalau tau diet kali ini menyiksa aku tak akan lagi sanggup, sungguh cantik itu memang butuh pengorbanan. Jangan bilang cantik itu diturunkan dari gen. Cantik itu karena perjuangan dan yang paling penting, modal.
Phia dan Shofi sudah datang, mereka berdua duduk kaku seperti murid yang sedang ke-gap bolos sekolah oleh guru BK yang paling killer, disini Jonathan yang jadi guru BK-nya.
Raut yang ditunjukkan Phia dan Shofi adalah raut tak berdaya, aku tau di dalam hati mereka sedang mengagumi wajah tampan natural Jojo tapi juga memaki sikap dingin dan menghakimi pria itu.
"Nona berdua, mengapa mengijinkan Cuwa tidak menjaga kesehatannya?"
Keningku berkerut heran dengan sikap Jojo akhir-akhir ini. Enggan melewatkan untuk menyaksikan mata Jojo hanya sedikit saja memincing, bahkan nyaris tak terlihat sangking singkatnya ekspresi itu yang ditujukan pada Phia dan Shofi. Berpikir sangat, apakah Jojo juga mendengar pikiran Phia dan Shofi?
Aku mengendik sebagai jawaban? Eh, koq aku bisa baca pikiran mereka? Jangan-jangan begini prosesnya Jojo bisa baca pikiranku, tapi kan Jojo tidak seperti mereka berdua yang setiap hari berinteraksi denganku selama beberapa tahun ini. Lalu apa dong rahasia si Jojo?
"Maaf Pak Jonathan, saya pikir Cuwa bercanda ketika bilang perlu diet" ketika mulut Jonathan hendak mengeluarkan sebuah kalimat jawaban untuk Phia yang pastinya tak akan menyenangkan di dengar, aku menyelanya.
"Jojo, itu salah kamu yang bikin aku diet. Kamu yang bilang aku gendut, kenapa jadi salah mereka sih, Jo." Ketika suaraku mendayu-dayu mirip musik keroncong yang bikin ngantuk, tapi ekspresi menghina dari wajah dua wanita itu sungguh membuatku ingin mencakar mereka. Memangnya salah ya, kalau aku bertutur manja pada suamiku, yah meskipun sebentar lagi akan jadi mantan.
Jojo diam, wajah datarnya tak menyiratkan apapun. Atau mungkin sangking rata mimiknya aku sampai tidak tahu apa yang sebenarnya dia pikirkan. Dia masih memandang penuh peringatan pada dua orangku itu. Aku berinisiatif menyelamatkan mereka sebelum wajah Jojo berubah makin jelek dan membuat Phia Shofi melambaikan tangan ke arah kamera.
"Jo, apakah kamu tidak butuh ke kantor? Atau segera pulang ke rumah papa mama? Pergi saja tak apa. Ada mereka disini, kamu jangan lagi khawatir. Nanti aku juga akan menelpon papa dan meminta maaf pada beliau karena aku tidak bisa mengantar mereka"
Jojo berdehem, membawa tubuhnya menghadap diriku sepenuhnya. Salah satu tangannya dia masukkan ke saku celana. Wajahnya memang datar, tapi tatapannya berbicara bahasa kalbu, bahasa yang paling sulit dipahami bahkan oleh manusia paling peka sepertiku. Aku tak tahu apa yang membuatnya berlama-lama menatap wajahku, membuatku untuk berjuang menahan nafas sekaligus pikiranku untuk tetap kosong sebelum dia mengucap pergi.
"Aku pergi. Jaga dirimu selama aku tidak ada, Swara Amaya"
Setelah kemudian pria yang masih suamiku secara hukum itu menutup pintu dari luar, kami bertiga menghela nafas lega, tanpa sadar merilekskan otot-otot yang tiba-tiba menegang karena tatapan tidak bersahabat Jojo.
"Predator telah pergi, kita selamat" Shofi mengusap dadanya dramatis. Dia juga menurunkan bahunya dengan menghembuskan nafas berlebihan.
"Lebay!" Ejekku dengan lidah melet menghina, tentu saja setelah aku sendiri diam-diam juga merasa lega. Ada rasa sedikit terganggu dengan kalimatnya yang ambigu, bukannya selama ini dia tidak pernah ada. Atau maksudnya setelah ini dia akan selalu ada untukku?
"Dih, kayak kamu enggak" sahut Shofi sambil mengibaskan rambut sebahunya yang ikal alami. Lalu beranjak membuka buah tangan yang dia bawa tadi.
"Kalau melihatnya menatapmu begitu, aku hampir percaya kalau yang berinisiatif mencium memang dia dulu waktu di mall itu" Phia menjepit dagunya sendiri dengan dua jarinya. Kebiasaannya kalau sedang menganalisis sesuatu.
"Emang" jawabku dengan memutar bola mata. Lalu tak lupa mengisyaratkan Shofi untuk membagi coklat kesukaan kami bertiga.
"Tapi,"
Aku menghentikan gerakan mengambil bulatan coklat premium yang menggiurkan yang akhirnya disodorkan Shofi, waspada dengan kata keraguan dari mulut Phia.
"Tapi apa Phi?" Aku bertanya, instingku tidak enak saat melihat tatapan khas Phia yang serba tahu, selain manager berbakat dia juga informan terbaikku.
"Lihat ponselmu, ku kirim kejutan spesialnya"
Dan seketika, rahangku nyaris jatuh saat layar ponselku menampilkan Jonathan menggandeng Irene Audi dalam balutan pakaian resmi. Aku terharu merasa semesta membantuku melempar tuduhan kepada Jonathan agar memberiku surat cerai. Namun aku jadi ragu Shofi dan Phia memahami ku dengan baik melihat ekspresi iba mereka padaku.
"Kapan ini, Phi?" Tidak ada irama kaget dalam suaraku, aku sudah terbiasa dapat kiriman seperti ini, bahkan dari nomor asing sekalipun.
"Semalam" sahut Phia pelan. Posturnya yang terlihat judes di luar kini tampak mengkhawatirkan aku. Apalagi wajah murung Shofi saat menatapku. Mereka masih mengira aku menyukai Jonathan dan jadi terluka, meski bersikeras ingin cerai.
"Sejak dulu mereka memang terlihat serasi, kenapa aku lebih rela Jojo bersama Iren daripada bersama Renita" aku bergumam.
Iren Audi, mantan putih abu-abu Jojo. Berkarakter anggun, anak pejabat, pekerjaan mapan sebagai seorang psikolog. Bukankah Iren ini seorang psikolog yang sering hilir mudik di televisi karena menangani korban kejahatan. Aku jadi sangsi pada hubungan mereka, koq aku makin curiga Jojo memang mengalami sakit mental.
****
Diam-diam aku banyak meneliti artikel mengenai membaca atau mendengar pikiran. Tapi kenapa yang masuk akal mengarah pada halusinasi pendengaran sebagai indikasi demensia atau skizofrenia.
Atau Jojo memang pernah belajar psikologi mengenai membaca pikiran orang lain. Meneliti ekspresi lewat perubahan gestur tubuh, kernyitan wajah, alis dan gerak bola mata. Tapi koq aku lebih suka kalau Jojo terkategorikan pada opsi pertama yakni halusinasi, demensia, atau yang lebih parah kerusakan otak sehingga dia mengidap skizofrenia atau gangguan jiwa alias gila.
"Apa yang sedang kamu baca?"
"Mhmm," aku enggan berpindah dari bacaan menarik ini, meski suara maskulin Jojo mengusik. Aku juga tau dia sedang menungguku menjawab.
"Apa yang membuatmu begitu tertarik pada ponselmu?" Tanya dia lagi, kali ini aku melihat dirinya menaikkan tatapan dariku ke jalananan.
Ketika aku menoleh padanya, yang pertama tertangkap idraku adalah garis di ujung matanya membentuk huruf y yang tumbang. Lalu kulit wajahnya tak sehalus pria-pria pekerja seni yang sering perawatan di salon. Jonathan murni hanya seorang pria yang merasa cukup hanya dengan sabun wajah dan after shave.
Untung gen-nya tampan. Ups, aku menutup mulutku, menepis jauh-jauh pujian untuknya yang tak seharusnya.
Hampir lupa kalau objek yang ku pikirkan sedang ada di sampingku, mengendalikan kendaraan menuju apartemen, aku sudah cukup istirahat dua hari saja di RS. Terlintas jawaban pertanyaan darinya berupa seucap kalimat dalam kepalaku, mencari tahu kamu bohong atau justru gila.
Aku berkedip, membawa kembali anganku berpijak ke dunia nyata, dimana bukan hanya ada aku sendiri, tapi ada Jojo juga. Aku mengingatkan diri bahwa tak baik terus berbicara dengan diri sendiri, bagaimana kalau benar Jojo bisa membaca pikiran. Aku tidak bisa mencegah pipiku memerah, mengingat aku mendoakannya mengidap skizofrenia.
"Tidak ada"
"Bukan mencari tahu soal membaca pikiran dan mengira aku gila?" Ah, tepat ke sasaran. Merasa malu karena ketahuan, aku menutup wajah dengan kedua tangan.
Duh mati kutu gue! Jangan berpikir, jangan berpikir, jangan berpikir macam-macam lagi Wa, suamimu memang jelmaan Ki Joko bodho, dasar bodho, bodho!
Berikutnya aku mendengar tawa Jojo memenuhi ruang kecil yang tengah berjalan ini. Aku terperangah, melepas kedua tanganku demi bisa memandangnya yang tertawa.
Jojo tertawa? Aku tidak sedang bermimpi kan?
Memperlihatkan giginya setelah menahan tawanya sejenak.
Aku, membuatnya tertawa???!
Terpaku bodoh, dengan mulut tak sempat menganga tapi juga tak bisa mengatup, mataku berkedip-kedip seperti ada debu yang memenuhinya. Tak sadar sampai kepalaku meneleng miring hanya demi mempercayai apa yang ku lihat.
Apakah dunia berhenti berputar?
Semakin lama tawanya menghilang, berganti dengan senyum menawan yang bagiku sangat langka. Perhatiannya juga tak lagi kepadaku, tapi ke jalanan yang kami lewati.
Ketika tersadar aku bergidik, menatapnya ngeri.
dia memang gila. Oh, jangan berpikir Cuwa! Jodoh macam apa yang dikirimkan Tuhan padamu,
Aku meliriknya kembali, iya pria macam dia?
ternyata hanya orang gila.
Ku pukul kepalaku ringan sebagai hukuman karena meracau di dalam kepala. Jadi ayo alihkan pikiranmu Cuwa.
Seluruh kota merupakan tempat bermain yang asyik
Oh senangnya aku senang sekaliKalau begini aku jadi sibukBerusaha mengejar-ngejar dia Matahari menyinari semua perasaan cintaTapi mengapa hanya aku yang dimarahi......(Ost. Sinchan)Aku terus bernyanyi sambil menutup mata, menghindari mendengar suara kekehan Jojo yang sesekali terdengar.
Ya tuhan, jauhkan aku dari syetan yang terkutuk macam Jojo, kenapa pula dia bisa mendengar atau membaca pikiran?Memangnya dia malaikat? Jelas bukan, dia sekolah bisnis di Eropa, bukan sekolah sihir di Hogwarts. Adakah yang bisa menjelaskan ini secara ilmiah atau setidaknya secara rasional.
Hentikan pikiranmu Cuwa, ayo nyanyi lagi.
Aku ingin begini aku ingin begitu
Ingin ini ingin itu banyak sekaliSemua semua dapat dikabulkanDapat dikabulkan dengan kantong ajaibAku ingin terbang bebas di angkasaHai, baling-baling bambuLalala aku sayang sekaliDoraemon...(Ost. Doraemon)
"Cuwa" jangan hiraukan dia Wa.
"Cuwa"
Mendaki gunung lewati lembah
Sungai mengalir indah ke samuderaBersama teman berpetualang.....(Ost. Ninja Hatori)
"Cuwa,"
Jonathan mengusap rambutku, menyadarkan aku bahwa dia telah berdiri di luar mobil di samping tempatku duduk. "Ayo turun" ujarnya lembut, melepas safety belt yang melingkari tubuhku lalu meraih tanganku untuk membantu menuruni mobil. Aroma Cemara itu menghilang berganti aroma mint yang segar. Apa dia sudah mengganti parfumnya?Aku linglung, tanpa sadar membawa tanganku yang lain untuk meraba ubun-ubun, dimana jejak hangat dari tangan Jojo tertinggal. Dia mengusap rambutku? demi cacing kremi yang tak mungkin berubah jadi cacing hati, cacing hatiku yang adalah Jojo. Gila, dia kenapa?
"Maaf, kita mampir disini sebentar saja. Aku terlanjur berjanji bertemu seseorang" katanya sambil melangkah tenang di depanku, sementara aku hanya akan terlihat diseret karena dengan setengah kesadaran mengikuti di belakangnya dengan mata masih mengarah tak percaya pada tangan kami yang bertaut.
Phia dan Shofi saling lempar pandang, terakhir mereka memandangku dengan tatapan mereka yang seolah bilang "Suamimu kenapa? Kesambet? Sejak kapan dia perhatian sama kamu, Wa? Kamu pelet di dukun mana dia."
"Dia Iren, teman SMA ku" Jojo tak melepas gandengan tangan kami hingga memastikan aku duduk dengan benar. Pipiku jelas merona karena perlakuannya. Tapi kalian pasti tahu, di dalam hati aku terus mencibir kelakuan Jonathan."Hallo, aku Iren. Dan kamu lebih cantik aslinya dari pada di layar kaca" aku tahu setelan kerja mahal yang dikenakan wanita ini, berapa sih gaji psikolog, mentereng banget yang satu ini. Aku tak melewatkan setitik ekspresi kecewa di wajah wanita ini ketika tahu Jojo mengaitkan tangannya dengan tanganku. Bahkan pilihan meja sofa yang ditata berpasangan ini, sangat merugikan dia. Mungkin dia tak menyangka Jojo akan datang bersama ku. Sungguh wajah di depanku ini menghibur sekali."Halo juga, senang bertemu denganmu mbak, thankyou. Kamu juga cantik" aku menyambut jabat tangan formal Iren Audi, seolah aku tidak meremehkannya baru saja. Perempuan cantik i
"Wa mau makan malam apa?"Sebutan Wa dari bibirnya terasa asing di telinga. Jonathan yang dulunya antipati padaku tiba-tiba memanggilku dengan sebutan yang terlalu akrab. Jadi jangan salahkan aku kalau di hati terdalam ku menyimpan banyak sekali kecurigaan padanya.Tawaran Jojo ku jawab gumaman malas dari balik selimut dan guling. Cuaca malam Jakarta yang hujan terasa mendukung. Masih jam 7 malam, tapi rasanya mataku berat."Jangan tidur dulu, Wa""Aku lelah, Jo""Aku pesen restoran bawah biar cepet"Aku tak meresponnya lagi karena setelah aku kembali tersadar, aku tak melihat keberadaan Jojo di kamar. Justru aku mendengar suara yang ku pastikan itu adalah Renita yang sedang tertawa bahagia. Aku mengerjap, mengusap mata beberapa saat, memastikan apakah aku mimpi atau halusinasi."Bang Nath, bagaimana bisa itu tidak lucu. Lihatlah dia bisa berjalan dengan pose
Aku menghela nafas, memijit tengkuk yang terasa tegang karena padatnya aktivitas. Pemotretan dengan pihak Teta selesai menjelang petang. Beruntung beberapa model yang dipakai sudah profesional, Tama si macho tapi gay itu berkali-kali berteriak, bagus, good, kalian sempurna, oke, keren, siip. Tapi karena kondisiku yang baru sembuh mambuatku ingin segera bergelung dengan kasur.Dialog dengan female.fm apalagi, membuatku menahan agar lonjakan tensiku tidak sampai ke ujung kepala. Bayangkan pertanyaan mereka, sejak kapan aku lepas keperawanan. Terus gimana malam pertamanya, stamina suami apa kabar? Seminggu berapa kali bercinta, kuat berapa ronde semalam. Aje gile aku cuma tertawa macem orang gila baru gila.Aku yang tak mungkin menghindar, asal menjawab. Aku kuat 5 ronde tiap malam kecuali kalau periode ku datang. Dan hasilnya, akan kita lihat besok, apakah ada lagi hidung belang yang akan menawar ku 2M seperti waktu itu. Ah... Benar kata
Aku sedang tak mood menjadi istri baik, terus cemberut sepanjang perjalanan pulang dari acara Hanida Malik. Jojo yang jelas tau aku tak ingin diganggu hanya diam sambil sesekali melirik kecil padaku. "Ini pertama kalinya kamu terlihat tidak dalam mood baik di depanku" "Aku hanya sedang lelah, bia untukrkan aku merilekskan diri ya, nanti bangunkan aku saat sampai" Dengan lemah tapi malas ku katakan.Nyatanya meskipun aku tak lagi bisa menjaga raut wajahku tetap ramah, aku masih bertutur sopan, lembut, dan manja padanya seperti seharusnya istri soleha. Lalu tanpa sungkan aku mencabut beberapa jepit rambutku dan membiarkannya tergerai bebas. Melirik Jojo saat merapikan rambut, aku memutuskan untuk tersenyum genit padanya yang tengah menatapku dengan sudut bibir tertarik tipis. Tanpa sungkan ku kibaskan ke arahnya lalu menaikkan kaki dengan nyaman dan meletakkan kepalaku ke sandaran. Pundakku sungguh kaku dan pegal. Ya
Berbagai berita tentang aku dan Jojo sebagai pasangan tak mempan rumor dan gosip mencuat ke publik. Yakni foto-foto mesra ketika aku menghadiri acara resepsi Hanida dua malam lalu. Setelah ku katakan aku ada syuting tengah malam pada Jojo, aku menepi ke Senopati. Malam itu tidak ada syuting sama sekali. Aku hanya beralasan agar tak perlu bersama orang yang mencuri dengar semua yang ku pikirkan. Aku butuh kebebasan berpikir dan berpendapat, sesuai dengan hak dasar manusia. Jadi bisakah Jojo ku tuntut dengan pelanggaran pasal 28E UUD 45, karena telah menyalahi hak ku dalam kebebasan berpikir. Dua malam ini aku telah belajar mengatur siasat manipulasi pikiran saat bersama Jojo. Dari Catra aku tahu bahwa Jojo masih pulang ke apartemen kami meski tidak ada aku. Meski sedikit mengganjal Jojo sama sekali tak menghubungi. Anehnya ini pertama kali aku merasa begini, padahal sebelum ini Jojo memang tak pernah peduli aku pulang atau tidak.
Gemuruh tepuk tangan riuh rendah teratur. Berfoto dengan pak menteri cakep tapi jelas udah teken. Meski senyum tipisnya menganggu alur peredaran darah di tiap nadi, aku tetap mempertontonkan senyum profesional andalan. "Mbak Cuwa, saya punya lowongan pekerjaan untuk mbak Cuwa" "Lowongan apa pak?" aku berpikir keras, maksudnya dia mau aku kerja padanya? Lalu mata beriak itu memperjelas bahwa pria ini sedang menggodaku dengan guyonannya. "Lowongan jadi Bu menteri" Aku menahan tawaku menjadi kekehan kecil yang seharusnya manis. "Ah, pak menteri bisa aja. Saya sudah menikah loh, pak" "Bukankah biasa setingan perkawinan dalam industri yang kamu geluti itu mbak Cuwa?" Aku tak melanjutkan obrolan bertema absurdr itu, namun menerima uluran tangannya untuk membantuku menuruni lima tangga menuju deretan meja tamu, dan aku merasa terhormat untuk itu. Muda, kaya, cakep, berk
"Kenapa mengikutiku kangmas?" Thian melangkah kemana aku melangkah. Tentu saja aku yang tidak tahan harus bertanya padanya."Siapa yang mengikuti" katanya tak peduli. Irisnya menembus ke dalam mata hingga rasanya sampai menembus tengkorak ku."Kamu lah" aku mengerling padanya yang membuang muka, seolah tak sudi berlama-lama menatap diri ini."Kamu yang mengikuti saya" tuduhnya, mata itu tak mau berpindah dari wajahku."Idih, buat apa" aku bersedekap."Minggir!" Dia membuat gestur mengusir, padahal lift berukuran lebar ini muat sampai 15-20 orang."Duh, kangmas Fathian *mangkubumi nganti loro ati, ini hotel punya kamu ya, jutek amat sih, sampe lift mau dipakai sendiri"*Memangku bumi sampai sakit hati"Kakiku udah pegel nih, pengen banget segera dimanjain sambil selonjoran cantik, jadi masuk nggak?""Kamu ngomong centil beg
"Aku hanya ingin ke toilet" setelah mengatakan itu, Jonathan berhenti beberapa detik untuk meraba tubuhku mulai ujung kepala ke ujung kaki dengan tatapannya yang, haruskah itu ku bilang panas? Atau dia hanya menakutiku saja? Kemudian sebelum benar-benar melangkah ke toilet, pria brengsek itu meninggalkan senyum miringnya yang berhasil membuatku keder. Aku sedikit takut, apakah malam ini dia akan memangsaku."Ughh, dia itu..." Aku menghembuskan nafasku yang memburu, percampuran antara takut, kesal, dan gemes. Koq dia makin sering memperhatikanku ya, sungguh dia sudah tidak menganggap ku anak-anak. Terus kalau Dia benar-benar menyukaiku bagaimana donk? Apa dia akhirnya mau menceraikan ku seperti seharusnya. Ah mana mungkin, bukannya tiga hari lalu dia bilang saling mencintai dengan wanita Jepang itu? "Wa, aku nggak enak lama-lama di sini, berasa jadi obat nyamuk. Kayaknya voltase suamimu lagi naik-naik ke puncak gunu
Dibuang sayang.Terngiang telpon dari Tante girang, aku tersenyum antara miris dan sedih. Bukannya aku takut padanya, tapi jelas menghadapinya perlu menyusun strategi, mengingat ini Mitsuko. Jauh-jauh dari Jepang jelas dia tak mau pulang kampung dengan tangan hampa.Gini amat punya suami bajingan, susahnya menghempaskan masa lalu, tak semudah membuang remahan roti pada taplak meja. Ahh, aku menghela nafas lelah, rumah mungil pinggir pantai dan seorang anak yang memanggil mama, hidup tenang dan jauh dari hiruk pikuknya kehidupan. Aku ingin mewujudkan itu. Kalau gini abaikan perih, suruh Jojo rajin anu, biar cepet jadi anak. Jadi janda anak satu, kayaknya masih oke, sesuai slogan janda makin di depan.Jadi setelah ku ceritakan semua pada Phia, akhirnya dia datang. Hebatnya tanpa ku minta, dia membawa Mbah Menyan pula, dan itu membuatku puas. Phia emang selangkah lebih maju.Cinta mengalahkan logika emang bener ya? Tidak, bukannya cintaku pada Jo
Inikah yang kalian tunggu? Extrapartpart Cuwa yang bikin penasaran...Happy Reading ?Apa yang dipikirkan kakek ketika menjodohkan ku dengan gadis bar-bar tapi kemayu itu?Masih terlalu anak-anak, manja dan childish. Suka merengek setiap kali bicara, dan jelas merepotkan, apalagi dengan dalih ditinggal pergi sang ayah untuk selama-lamanya. Dia memanfaatkan kakek dan ayahku.Aku menggeleng tak paham dengan pemikiran ku sendiri. Apa aku harus menjadi baby sitter yang harus mengajarinya bagaimana bicara baik dan benar? Apa aku juga harus mengajarinya untuk berhenti berkedip genit pada semua orang? Apa aku juga harus merangkap jadi fashion designer pribadinya untuk menyortir mana busana pantas dan tidak pantas?Sama halnya dengan papa yang sudah tertipu tampang innocentnya. Yang selalu bilang bahwa dia dibesarkan dengan baik oleh ayahnya, dididik keras oleh ibunya, maka jangan ragu kalau dia akan jadi istri dan ibu yang baik untukmu dan anakmu. Bukankah dia mani
Jojo kejang, matanya terbuka sesaat lalu menutup lagi, begitu beberapa kali hingga perawat yang ku teriaki datang. Perawat sebenarnya hanya menepi tak jauh dari kamar Jojo, kebiasaan yang dia lakukan ketika pihak keluarga menemani."Tolong kirimkan siapapun ke kediaman Jonathan Wirautama, pasien mengalami kejang." Ujarnya di telpon entah pada siapa.Aku membekap mulutku yang hendak berteriak menyebut nama lelakiku itu, tapi aku tak mau kelakuan ini justru membuat suasana makin panik. Perawat senior kepala empat itu menatap khawatir pada Jojo. Meskipun gerakannya tetap tenang tapi aku sempat melihat wanita itu menarik nafas dalam."Lebih baik anda menunggu di luar." Sarannya pada kami, matanya menyiratkan permohonan."Tidak" ucapku berbarengan dengan Renita. Ini pertama kali dialami Jojo. Aku ingat dokter pernah bilang, usahakan jangan sampai oksigen lepas darinya, itu bisa menyebabkan kejang yang artinya otak kekurangan pasokan oksigen. Apa arti
"Sayang, jangan lari-lari.""Mam, itu... Aku takut.""Apa yang kamu takutkan sayang?" Tanyaku padanya pria kecil yang memeluk kakiku. Dia menunjuk pada rombongan penari bertopeng yang baru saja melewati kami.(Pasti udah ada yang salah paham ???)"Erlang jangan ganggu Tante Cuwa, kemari sayang.""Biar saja Ren, mungkin dia kangen aku." Ku tarik Erlang dalam pelukan dengan berjongkok.Renita beruntung, meskipun hidupnya terkekang seperti prediksi ku. Tapi sepertinya dia berhasil menjalani pernikahan perjodohan dengan Fathian. Kini dia tengah hamil, sudah enam bulan usia kandungannya.Untuk informasi saja, mulut si Fathian masih tercemar bon cabe level 50. Tidak ada yang berubah selain statusnya yang menyandang suami dari Renita Sumanji. Dia masih menatapku tajam dan lapar. Abaikan saja kenyataan ini, aku tidak mau Renita tau. Pernah suatu kali dia membisikkan kalimat, siap menjadikanku yang utama jika Jojo meninggal. Dia gila kan?
"Ini bukan telpon penipuan kan Shof?" Ucapku tak yakin dengan kalimat ku sendiri. Aku tidak shock sampai gemetar atau jantungan. Aku juga tidak terperangkap dalam histeria kepedihan karena kabar ini. Aku hanya merasa ringan, terlalu ringan untuk disebut baik-baik saja."Wa, itu tadi Widi, asistennya Pak Jonathan, Wa." Ucap Shofi sungguh-sungguh, ketegangan menghiasi wajahnya yang manis."Penipuan kali Shof..." Tepis ku sekali lagi.Berusaha menghalau kebenaran kabar yang membuatku merasakan percampuran antara kecewa dan marah, tapi sedih disaat yang bersamaan.Aku akan mengerti kepentingan Jojo menemui Mitsuko, tidak mungkin Mitsuko akan melepas Jojo begitu saja dengan tuntutannya. Walau tetap saja, praduga menyakitkan membayang di depan mata. Ponselku kembali berdering nyaring, mengusik rentetan huruf demi huruf yang membentuk suatu ancaman dalam ingatanku.Pergi atau mati. Benar, pesan itu disampaikan lewat mimpiku. Entah ditujukan untuk siapa? Ata
"Swara Amaya, help me please..."Tangisan Mitsuko menyambutku. Serius, dia tau nomor pribadiku? dapat darimana coba? Nggak tahu malu banget, kayak enggak habis mau ngambil nyawaku aja. "Please listen to me... He showed me the pain I betrayed from these eyes. I can't take it anymore" Tolong dengarkan aku, dia memperlihatkan rasa sakitnya ku khianati dari mata ini. Aku tak tahan lagi. Ungkapnya cepat, ada nada ketakutan dan kesedihan yang akut dari suaranya yang bergetar. Aku bingung kenapa dia jadi curhat padaku? Ah kalau begini, haruskah ku buka jasa curhat berbayar. Dia yang dimaksud apa itu mendiang suaminya? "Jonathan must help me, I beg you."Jonathan harus membantuku, aku mohon padamu.Aku membuang nafas, sungguh drama sekali Tante girang ini. Apa dia lupa aku ini apanya Jonathan? Apa dia juga melupakan perlakuannya yang membuatku disatroni hantu t
Sarapan yang sangat terlambat, sudah pukul sebelas saat kami sampai di restoran. Jojo hanya mengenakan kaos oblong santai, sementara aku sendiri menemukan selembar gaun rajut sederhana. Itu adalah satu-satunya yang bisa kami pakai dalam tas traveling yang disiapkan Shofi ketika kami di rumah sakit."Makanlah... Jangan marah lagi." Katanya dengan sangat lembut.Jangan harap akan ada situasi canggung yang akan melingkupi setelah apa yang kami lewati. Sepanjang waktu aku terus memasang wajah merengut padanya, setelah mengangguk setuju memberinya kesempatan denganku.Aku tidak marah, aku hanya sedang kesal padamu. Aku kesal kamu membuatku tak bisa mengelak hanya karena kamu bisa mendengar pikiran terdalamku.Roti dengan isian daging asap serta saos yang tercium lezat dari aromanya, tak mampu menggugah seleraku."Maafkan aku. Jangan kesal lagi kalau begitu, nanti malam orang Mikimoto datang. Pesanlah beberapa, kamu pasti suka."Aku mengerny
"Sayang, kamu baik-baik saja?" Dia mengecup ujung bibirku hingga wajahnya bersilangan dengan wajahku. Setelah menyimpan diriku dalam bathtub, aku membawa mataku memejam. Tak ada aromaterapi, hanya persediaan sabun ala kadarnya yang memenuhi bilik ini. Memangnya apa yang bisa ku harapkan dari rumah baru yang dapur dan terasnya saja aku tidak tahu letaknya."Ada yang tidak nyaman di tubuhmu?" Tanyanya lagi dengan segala perhatian yang hanya padaku, entah nanti kalau dia sudah bosan.Aku mengangguk untuk menggeleng kemudian, wajah Jojo yang flat jadi mengerut, karena gestur ku mungkin membingungkan. Atau karena dia mendengar pikiranku."Aku ingin tidur..." Sahutku akhirnya."Istirahat di kamar saja, nanti kamu masuk angin, airnya sudah mendingin.""Mhm" mataku memejam lagi, rasanya berat dan lengket, aku butuh menghilangkan pegal-pegal di tubuhku. Pria ini bahkan bertanggung jawab pada rasa kebas yang membuat pusatku hampir mati rasa. Tidak, a
"Maafkan aku, Wa." Katanya penuh penyesalan. Lalu dengan cepat menarik tanganku untuk dia kunci di atas kepala pada tembok tepat sebelah ranjang. Bibirnya melahap bibirku tanpa seni, mencium ku dengan brutal, seolah menegaskan aku ada di bawah kuasanya. Yang paling ku benci, satu tangannya yang lain meraih tali bathrobe di perutku, selanjutnya menstimulasi dada menimbulkan sensasi menggelitik yang asing. Dengan cepat dia menarik pembungkus tubuhku satu-satunya tersebut. Sedikit kasar dia menarik bathrobenya sendiri. Jangankan menghalau semua tindakannya, membantin saja aku tak sempat. Lalu....Aku berjengkit kaget luar biasa setelah dia mendorong ke ranjang. Satu tangannya menarik punggungku agar tak terpelanting. Matanya menatapku dalam, membawa menyelami gairah yang terkungkung antara dia dan aku. Dalam sekejap membawaku bergulung dalam pusaran yang belum pernah ku rasakan. Aku tak bisa lagi menolak medan magnetik yang terpercik darinya, yang kini menula