Seorang gadis mengembuskan napas kasar sambil menendang kecil kerikil di depannya. Semua hanya untuk mengurangi rasa bosan, sebab menunggu bukanlah hal yang menyenangkan. Sejak tadi yang ditunggu belum datang juga, membuat si gadis ingin beranjak saja jika tak ingat sudah terlanjur mengiyakan dan menyanggupi.
Membosankan memang, tapi kalau berkaitan dengan makhluk yang satu itu. Sebisa mungkin rasa bosan dihempas jauh-jauh. Sebagian orang akan berkata, gadis ini terlalu memegang teguh janji sederhananya, tapi perlu diketahui. Ia bukan gadis yang suka menjilat perkataannya sendiri. Selagi masih bisa ditepati, maka akan ia lakukan.
"Dinah!" Seseorang menyerukan namanya dari jauh. Yup! Maidinah Hafidzah namanya. Salah satu siswi setingkat SMA, dan sekarang berada di jenjang kedua sebelum ia lulus dari instansi tersebut.
"Din, maaf lama," kata seorang remaja laki-laki dari arah belakang sambil mengatur napasnya supaya stabil karena berlari menghampirinya. Dinah berbalik, memberikan senyum manis terbaik lalu menggeleng pelan sebagai jawaban. Tadinya ingin sekali ia menumpahkan amarah. Namun, begitu melihat tampang lelah dari remaja laki-laki di depannya, amarahnya seolah surut begitu saja.
"Enggak, kok. Kamu udah selesai, 'kan?" Pada akhirnya, hanya pertanyaan itu yang meluncur dari bibir tipis Dinah.
"Udah, dong. Pulang yuk!" ajaknya dan menggenggam tangan mungil yang pas sekali dalam genggamannya.
"Arga ...," panggil Dinah pelan.
Arqian Argantara, ketua OSIS yang juga menjadi kekasih Dinah hampir dua tahun ini. Mereka menjalin hubungan sejak kelas 10. Semuanya berawal dari perkenalan biasa. Dan berlanjutlah menjadi seserius sekarang.
"Hum?" gumam Arga yang masih fokus dengan kemudinya.
"Besok jalan-jalan, yuk. Kita jarang banget pergi bareng sekarang. Kamu sibuk terus sama urusan OSIS," keluhnya manja.
Pria dengan senyum yang menenangkan itu menatap gadisnya intens, mengelus lembut rambut panjang sepinggang yang menjadi favoritnya.
"Maaf ya, Sayang. Aku jadi enggak ada waktu buat kamu. Besok juga aku belum bisa ajak kamu jalan-jalan," ucapnya lembut.
Dinah menoleh, menghadap ke arah Arga yang masih fokus dengan jalanan. "Kenapa?"
"Besok Mamah ada acara, jadi aku harus temanin Mamah. Kamu enggak keberatan, 'kan?" tanya Arga seolah membujuk pacarnya.
Baiklah, ternyata calon mamah mertua mau pergi. Kalau ia tolak, tentu akan membuat dirinya terlihat jahat di mata Arga, 'kan? Semoga saja jika mengalah, Dinah mendapat ganjaran pahala. Meskipun tanpa keikhlasan dalam hati.
Dinah mengangguk paham, pertanda tidak apa-apa jika Arga mau mengantar mamahnya. Walaupun di dalam hati, ada rasa kecewa bernanung. Sedikit, cuma dikit, kok.
***
Sesampainya di depan kediamannya, Dinah segera turun dan disusul Arga yang juga ikut sekadar menemani pacarnya, tapi tak bisa mampir. Buru-buru katanya, setelah melambaikan tangan. Gadis itu pun masuk ke dalam.
"Assalamualaikum, Bunda .... Dinah pulang!" salamnya sembari membuka pintu.
Sesaat Dinah kembali melongo ke luar, menampakan matanya yang menyipit heran. Ada mobil yang tidak dikenal. Apa bundanya kedatangan tamu? Ngomong-ngomong soal keluarga Dinah, ayahnya seorang pensiunan TNI. Ia memiliki seorang Kakak laki-laki, dan dia mengikuti jejak sang ayah. Iya, dia juga anggota TNI. Sedangkan sang ibu, karena hobinya memasak. Jadilah beliau membuka usaha catering.
"Waalaikumussalam ...," jawab suara dari dalam rumah serentak. Perasaannya saja, atau memang di dalam sana ada banyak orang yang menyahuti salamnya.
Perlahan kepala para tamu menyembul dari ruang tamu. Ada ayahnya, bundanya, abangnya Jafran, dan ... entah siapa lagi mereka.
Setelah menyalami semua orang yang ada di ruang tamu, bundanya menyeret Dinah untuk duduk di antara dirinya juga laki-laki yang berkulit agak cokelat. Perasaannya saja, atau memang pria ini menatapnya sedari ia datang? Harusnya pria ini tahu, seorang gadis pasti risih ditatap seperti itu. Jika bukan karena punya rasa malu, sudah sejak tadi mata pria ini ia colok dengan sesuatu!
"Nah, ini dia Maidinah Hafidzah." Winarti, ibunya memperkenalkan pada orang-orang yang tidak pernah Dinah temui sebelumnya. Ekspresi lugu nan polos gadis itu, diam-diam diperhatikan seseorang tanpa Dinah sadari. Walaupun hanya ditatap sekilas.
"Wah, jadi ini, ya? Cantik, gemasin juga. Rambutnya panjang, jadi kelihatan manis," puji wanita yang ia tebak usianya sepantaran sang bunda.
Dinah mengangguk dengan senyuman yang tidak luntur dari bibir. Sekadar ucapan terima kasih karena pujian wanita di hadapannya ini. Meski terkesan berlebihan menurutnya.
"Iya Mah, cantik banget. Cocok ini kalau kita jadikan menantu!" timpal laki-laki yang duduk di dekat sang ayah. Serentak mereka tertawa bersama, kecuali Jafran yang tersenyum lebar menampilkan senyuman khasnya dan pria di dekat Dinah yang menatap datar.
Lagi, gadis itu hanya tersenyum kecut menanggapi. 'Heh! Apa-apaan maksudnya? Kalau aku jadi menantu kalian, terus Baby bunny-ku gimana?!' jerit Dinah dalam hati.
"Nah, cocok! Sekalian saja kita jodohkan mereka berdua. Coba lihat, Tristan kalau duduknya berdampingan dengan Dinah kelihatan pas sekali!" seru ayahnya semangat.
Dinah menoleh ke samping tak santai, mendelik ke arah pria yang lebih tua darinya, tapi juga sepertinya jauh lebih muda dari kakaknya Jafran. 'Oh, namanya Tristan, ya?' batin Dinah bermonolog.
"Apa?!" pekik Dinah kaget.
"Maksudnya apa, sih, Yah?" tanyanya tak mengerti.
"Kamu akan Ayah jodohkan dengan dengan Tristan, yang duduk di sampingmu itu," jelas ayahnya santai seolah tanpa beban.
Dinah menggeleng dengan ekspresi tak percaya. Yang benar saja, ini sudah bukan zaman Siti Nurbaya. Masa dia harus mengganti nama menjadi Maidinah Nurbaya, sih?
Dinah bangkit dengan sedikit kasar. Sontak semua orang di ruang tamu terdiam, memandang dirinya dengan tatapan kaget. Pria itu masih menatapnya datar, sebenarnya ia sedikit takut. Tatapan pria itu mirip dengan tatapan sang kakak, Jafran, jika sedang marah. Benar-benar tajam dan mengintimidasi.
"Dinah enggak mau dijodohin! Enggak!" tolaknya berlari meninggalkan ruang tamu.
Winarti yang akan mengejar putri satu-satunya itu, dengan cepat tangannya di tahan sang suami. Membiarkan Dinah pergi menenangkan diri.
Dinah menangis? Tentu saja! Siapa juga yang tidak sedih, jika tiba-tiba dijodohkan. Padahal sudah jelas ia punya kekasih. Ayah dan bundanya juga tahu itu.
"Maaf, ya, Nadia. Dinah kasar sekali tadi." Samar-samar suara ibunya masih terdengar dari dalam kamarnya.
"Tidak apa-apa, Win. Namanya juga remaja, pasti kaget kalau dijodohkan begini." Wanita yang ibunya panggil Nadia itu suaranya lembut sekali. Dia tidak tersinggung, dan maklum dengan tingkahnya. Membuat Dinah sedikit merasa tak enak hati.
***
Mereka sudah pulang. Sedangkan Dinah sejak tadi sibuk menghubungi Arga, tapi tidak diangkat. Sesibuk itu kah prianya?
Pintu kamarnya berdecit, sosok tinggi tegap Jafran tersenyum tipis ke arah si adik. Dinah membuang tatapan ke arah lain. Ia memang dekat dengan Jafran. Bahkan sangat dekat, kakaknya itu paham dan tahu segala yang menyangkut dengan dirinya.
"Adiknya Abang kenapa galak banget tadi?" tanya Jafran pelan. Tangan lebarnya mengelus pucuk kepala gadis mungil itu.
Dinah masih bergeming, tak berniat memberikan jawaban apa pun. Masih kesal saja dengan rencana---ah, maksudnya perjodohan tadi.
"Dek, jangan ngambek-ngambek sama Abang. Kamu enggak kangen? Abang liburnya cuma seminggu," ujar Jafran lembut.
Akhirnya ia menyerah, lalu menoleh ke arah sang kakak. "Lagian ngapain, sih, main jodoh-jodohan? Dinah udah besar, Bang! Bisa cari pasangan sendiri. Lagipula Abang tahukan, Dinah udah punya Arga!" jawabnya kesal.
Jafran meraih tangan yang terlihat mungil di dalam genggamannya. Mengusap pelan, menyalurkan kasih sayang di antara mereka berdua. Dia memang selembut itu.
"Dek, sesekali ikuti kata Ayah sama Bunda. Selama ini, semua keinginan kamu selalu dipenuhi. Kamu dikasih kebebasan untuk mengeksplorasi segala yang ingin kamu lakukan, apa enggak ada keinginan untuk menyenangkan Ayah dan Bunda?" Jafran menjeda perkataannya sejenak.
"Abang kenal baik dengan Tristan Adiyakhsa, dia emang terkesan dingin. Padahal sebenarnya dia tuh hangat banget, coba kenal Tristan lebih dekat lagi. Supaya bisa menemukan kecocokan, enggak perlu terlalu lama. Abang kasih waktu selama dua bulan, gimana?" sambung Jafran panjang lebar.
Perkataan Jafran membuat Dinah berpikir sesaat, tidak buruk juga ide kakaknya ini.
"Tapi Dinah boleh batalin, kalau ngerasa enggak cocok, 'kan?" tanya gadis itu dengan manik mata berbinar.
"Iya, kalau ngerasa enggak cocok. Abang bakalan minta Ayah dan Bunda buat ngebatalin perjodohannya." Jafran pasrah. Mengikuti keinginan Dinah, adalah langkah terakhir yang bisa ia ambil saat ini.
Akhirnya Ia pun mengangguk yakin, Dinah merasa mana mungkin ia jatuh cinta dengan pria itu. Hanya satu nama dalam hatinya, sekarang dan selamanya hanya ada Arqian Argantara seorang.
***
Dinah bangun dengan mood buruk pagi ini. Bagaimana tidak? Tristan Adiyakhsa menjemput gadis itu dengan wajah datarnya hari ini. Dasar manusia kutub! Dinah padahal masih bisa naik ojek atau angkutan umum, siapa juga yang ingin diantar oleh pria tanpa ekspresi itu?
Setelah sampai di parkiran sekolah. Ia turun dengan cepat, tanpa mengatakan apa pun pada Tristan. Semua siswa yang ada di sana menatap Dinah dengan tatapan aneh. Ada apa kiranya? Di wajah Dinah tak ada bekas liur, 'kan? Eh, mana mungkin? Ia yakin sudah mandi dengan bersih tadi.
Namun, satu hal yang Dinah sadari. Teman-temannya tak sedang memandangi dirinya, tapi justru memandangi sesuatu yang berada dibalik punggungnya, dengan gerakan malas Dinah berbalik. Hampir saja wajahnya terbentur dada Tristan. Mentang-mentang tinggi! Tunggu ... dia mengikuti Dinah?
"Kamu! Kenapa malah ngikutin aku?" Tak ada jawaban, Tristan bahkan masih menatapnya dengan datar.
Perlahan tubuhnya merendah, hingga wajah mereka berada di posisi sejajar. Ayolah, Dinah malu dengan tatapan dan bisik-bisik dari suara siswa di sini. Tapi sepertinya pria ini tidak peduli, wajahnya semakin mendekat. Hei! Dia tak akan mencium Dinah di sini, 'kan?
Tepat saat wajah tampan Tristan tinggal beberapa inci lagi. Dinah mengatupkan matanya erat, tidak ada kecupan di mana pun. Hanya embusan napas hangat dengan aroma mint yang terendus oleh hidung bangirnya.
Perlahan kelopak mata seputih susu itu terbuka, lalu tatapannya bertemu dengan manik tajam Tristan. Ia tidak ingin jadi gadis munafik. Karena pada kenyataannya, pria itu sangat tampan, jika harus Dinah deskripsikan. Tristan seperti tokoh animasi yang hidup. Ah, wajahnya mirip Light Yagami. Kalian kenal, 'kan? Yang ada di animasi Death Note, dan ... dia juga tokoh lelaki kesukaan Dinah. Sejujurnya ia merasa sedikit malu, karena sempat berpikir terlalu jauh tadi.
"Belajarlah untuk berterima kasih," ujarnya datar.
Lalu Tristan berjongkok di depan gadis mungil itu. Tenang saja, rok yang Dinah pakai tidak sependek itu. Di batas lutut, tergolong panjang, 'kan?
Pria itu mengikatkan tali sepatu Dinah. Rapi, sangat rapi. Setelahnya ia kembali bangkit, lalu pergi begitu saja. Sedangkan Dinah masih mematung, memandangi punggung lebarnya yang kian menjauh. Bersamaan dengan degup jantung Dinah yang tak beraturan.
"Astaga, astaga! Ganteng banget, tolong!"
"Aaaa, gue pengin kayak Dinah!"
"Tolong siapa pun, cariin jodoh kayak dia dong!"
"Tuhan, sisain satu buat aku dong. Enggak muluk-muluk. Yang mirip dia dikit aja!"
Itu jeritan dan permohonan dari gadis-gadis yang ada di sekitarnya. Dinah? Sedari tadi sudah mendengus kesal.
'Dasar sok keren!' cibirnya dalam hati.
"Dia siapa?" tanya suara seseorang. Gadis itu berjengit kaget. Suara itu pasti ....
Perlahan Dinah berbalik dengan sedikit gaya slow motion, dan Arga sudah ada di belakangnya. Astaga, dia tidak melihat semuanya, kan?
***
Arga baru saja tiba di sekolah. Tepat saat itu, Dinah pacarnya juga turun dari sebuah mobil berwarna putih. Wajahnya kemerahan seperti menahan kesal, sedangkan pipinya menggembung lucu. Terkadang Arga tak habis pikir, mengapa gadis itu selalu terlihat menggemaskan layaknya anak kecil. Padahal sekarang sudah duduk di kelas dua belas.
Kaki jenjangnya yang akan menghampiri Dinah, mendadak terhenti kala seorang pria ikut turun dari mobil tadi. Pria itu mengikuti langkah kecil Dinah dengan tenang, dan sama sekali tak menyadari hal itu. Tatapannya tajam, tubuhnya berotot dan tegap, serta kulitnya kecoklatan. Namun, raut wajahnya begitu datar tak terbaca. Satu fakta yang Arga tahu, pria itu bukan Jafran---kakaknya Dinah.
Lama ia perhatikan segala gerak-gerik dua manusia di lobby sekolahnya. Bagaimana pria itu memperlakukan Dinah dengan lembut, meskipun ucapan dan perkataannya terkesan dingin. Jujur saja, Arga tersulut rasa cemburu saat ini. Terlebih lagi, ia harus mendengar banyak bisikan dari siswa di sekitarnya.
"Heran gue, kenapa si Dinah selalu didekatin cowok-cowok keren kayak gitu?" lontar salah satu gadis di dekat Arga.
"Sama! Padahal tampangnya biasa aja, pinter juga enggak. Apa, sih, yang diliat mereka dari tuh cewek?" ketus yang lain. Lalu para siswi itu beranjak dari tempatnya, pergi tanpa menyadari kehadiran Arya.
Cukup sudah! Arga tak suka jika orang lain membicarakan hal buruk tentang gadisnya. Sejelek apa pun orang menilai, Dinah adalah sesuatu yang sama berharganya seperti keluarga bagi Arga. Setelah pria tadi pergi, dengan cepat Arga menghampiri Dinah.
"Dia siapa?" tanyanya dengan suara berat.
-•-
Di sini lah sepasang kekasih tadi. Arga menatap gadisnya dengan intens, sedangkan yang ditatap hanya menunduk. Bingung harus menjelaskan apa pada cowok di depannya ini. Tidak mungkin, kan, kalau dia bilang.
'Dia itu orang yang dijodohin sama aku, Bunny. Gimana, ganteng, 'kan?' Bagus, kelihatan aneh banget jadinya.
Terdengar helaan napas berat dari cowok yang duduk berseberangan dengan Dinah saat ini. Perlahan ia memberanikan diri untuk balas menatapnya.
"Kamu enggak niat buat jelasin apa pun sama aku gitu?" kata Arga yang kelihatannya, sih, sudah mulai bosan karena diam terus.
"Ya ... aku harus jelasin apa coba, Bee?" jawab Dinah bingung sendiri.
"Misalnya, kenapa dia yang ngantar kamu? Biasanya juga pakai angkutan umum kalau aku enggak bisa jemput. Udah gitu, tadi sepatu kamu diikatin dia, 'kan? Biar apa? Biar kelihatan romantis, terus jadi goals couple, iya?" sindir Arga jengkel.
Dinah mendelik, pacarnya tidak sedang mengintrogasi, kan? Sebab dari semua pertanyaan Arga, ini lebih terlihat seperti sebuah tuduhan dibandingkan meminta penjelasan. Pagi-pagi bukannya jadi mood buster, malah ikutan bikin mood buruk. Begitu kiranya pikiran Sunah.
Baik, tenang Dinah. Jangan emosi juga seperti Arga, ngalah aja ngalah. Walaupun tiap ada masalah, memang lebih sering dirinya lah yang mengalah, ketimbang Arga.
"Aku jelasin, ya, Bee. Pertama, kenapa dia bisa ngantar aku. Itu karena pagi tadi cowok itu ke rumah. Namanya Tristan Adiyakhsa dan dia temannya Bang Jafran. Kedua, kenapa dia ikatin tali sepatu aku. Ya, tanya aja sama orangnya langsung. Aku juga enggak tau kenapa dia mau ngikatin, emang kamu kira aku pengen gitu, kesandung karena tali sepatu? Aku kan enggak minta diikatin sepatunya!" jelas Dinah sedikit kesal.
Arga terdiam, dia tidak menyela atau pun memotong perkataan gadisnya seperti biasa. Ini lah kebiasaan mereka, abis marah-marah. Pasti langsung ngerasa enggak enak.
"Maaf ...," lirih Dinah pelan menyadari sikapnya sedikit berlebihan.
Arga mengelus kepala Dinah lembut, "enggak. Jangan minta maaf, aku yang salah karena terlalu cemburu. Kamu harus tahu, aku sayang kamu. Makanya aku seposesif ini."
'Aaaa ... tolong dong! Gue nge-fly, nih!' seru Dinah dalam hati. Ia pun hanya mengangguk kaku. Bukan kampungan, ya. Siapa yang bisa bertingkah biasa aja di depan seorang Arqian Argantara? Udah ganteng, jabatan Ketos, anak basket, pintar lagi. Padahal Dinah sendiri bukan seseorang yang spesial di sekolah. Nilai saja masih ngos-ngosan ngejar. Tapi Dinah enggak sebodoh itu, kok. Percaya, deh.
"Ya udah, aku antar ke kelas, ya?" tawar Arga lembut.
Dinah dan Arga bangkit, lalu berjalan bersama ke kelas. By the way dia dan Arga beda kelas. Arga dari XII IPA 1, Dinah sendiri XII IPA 3. Walaupun sama-sama kelas unggulan, kelas Arga jelas lebih wow.
Sampai di depan kelas, Arga berjanji akan pulang bersamanya nanti. Senang? Ya pasti! Pria itu juga berjanji akan menemaninya berbelanja.
•~•~•
Jam pelajaran pertama dan kedua selesai. Arsyana menghampiri Dinah bersama Nancy dan Yuna. Arsyana ini adiknya Arga. Mereka kembar tapi tak identik, jadi jangan samakan dengan Upin dan Ipin, ya.
"Eh, kantin yuk!" ajak Nancy semangat.
"Bentar." Dinah merapikan buku dan alat tulis lainnya yang berserakan di atas meja.
Mereka berjalan bersama ke kantin. Arsyana bisa dibilang sahabat Dinah sejak SMP dengan Yuna. Sedangkan Nancy, sejak kelas sepuluh. Mereka ini seperti orang-orang yang memperbaiki mood sekali bagi Dinah. Sebab mereka memiliki selera humor receh, kecuali Yuna. Sahabat Dinah yang satu ini, sedikit lebih pendiam dari yang lain.
"Gue yang beli makanannya, ya," ucap Yuna yang berjalan menuju stand makanan tanpa menunggu balasan temannya.
"Gue yang beli minumnya deh," tawar Arsyana yang kini juga ke tempat penjual minuman.
Jadilah sekarang tinggal Dinah dan Nancy mencari tempat duduk. Para gadis ini lebih suka bangku yang berada di pinggir, kalau di tengah rasanya seperti sedang diawasi.
"Din, boleh tanya?" Nancy tiba-tiba buka suara.
Dinah memandangnya sebentar. Bukan hal biasa kalau Nancy minta izin dulu sebelum bertanya. Dia itu biang gosip di antara Dinah dan yang lainnya. Biasanya gadis itu akan langsung berceloteh riang jika mendapat kabar terbaru.
"Boleh dong, ada apa?" balasnya santai.
"Lo masih pacaran sama Arga?"
Wait! Kenapa, ini? Pertanyaannya aneh.
"Ya masih lah, Nan. Emang kenapa? Kok tiba-tiba pertanyaannya gitu?" Dinah balik bertanya pada Nancy.
"Enggak apa-apa, cuma nanya aja. Kalian jarang bareng sekarang," jelasnya.
Dinah mengangguk paham. Meskipun dari apa yang ia lihat, Nancy justru seperti menyembunyikan sesuatu. Namun, Dinah tak mau ambil pusing. Ia bukan tipe gadis pemaksa. Dinah lebih suka menunggu sahabatnya siap bercerita, bukannya dipaksa menceritakan. Tidak semua masalah bisa dibagi dengan orang. Itulah menurut Dinah, dan sesaat kemudian. Yuna serta Arsyana datang dengan nampan masing-masing.
"Ngomongin apa, sih? Kayaknya seru," sela Yuna.
"Enggak kok, kita ngobrol ringan aja," jelas Nancy yang diangguki Yuna serta Arsyana pertanda percaya.
Selesai menyantap makanan, mereka kembali ke kelas. Yuna berjalan paling akhir, Dinah dan Nancy di tengah. Sedangkan Arsyana memimpin, Arsyana itu agak tomboy. Maklum saja, dia salah satu atlet Taekwondo sekolah.
"Gue ke rumah lo nanti pulang sekolah, ya?" izin Nancy menatap Dinah.
"Yah, Nan. Gue mau langsung jalan sama Arga pas nanti pulang. Besok aja, gimana?" tolaknya halus, sebenarnya setengah merasa bersalah juga pada Nancy.
"Ya ud---"
"Din ...," panggilan itu memotong ucapan Nancy. Membuat mereka semua menoleh ke belakang.
Arga berlari pelan menghampiri para gadis itu, tapi yang dituju adalah pacarnya. "Udah makan?" tanya Arga saat berhadapan dengan gadisnya, yang diangguki Dinah.
"Oh, ya udah. Kalau gitu aku ke Ruang Kepsek dulu, ya. Bye ...," pamitnya pada Dinah. "Syana, jagain cewek Abang, ya?" lanjut Arga menggoda si adik kembaran.
"Dih, bucin. Sanah!" usir Arsyana dengan tampang jijik.
Mereka semua serentak tertawa melihat pertengkaran di antara duo Arqian itu. Mereka memang terlihat jarang akur, tapi malah jadi gemas.
Arga tersenyum tipis ke arah Nancy. Namun, Nancy membalasnya dengan tatapan sinis. Hanya perasaanya saja, atau Nancy emang kelihatan kurang suka pada Arga hari ini?
"Nan?" panggil Dinah menyadarkan Nancy dari tatapan tajamnya ke arah Arga yang semakin menjauh.
"Ya udah, ke kelas yuk!" ajak Arsyana.
***
Bel pulang berbunyi beberapa menit yang lalu. Arga sudah menunggu di depan pintu kelas. Tangan kanannya menggapai tangan kiri Dinah untuk digandeng.
"Duluan, ya." Arga berpamitan pada teman-teman Dinah. "Arsyana, jangan pulang telat!" peringat Arga mengalihkan tatapan ke arah adik kembarnya.
"Iya bawel. Udah sanah!" balas Arsyana galak.
"Sampai besok, ya." Itu Yuna yang sedikit berteriak.
"Kita nge-mall, yuk!" Sama-samar suara Arsyana terdengar di kejauhan, tapi Arga segera menarik tangan Dinah.
Arga mengajaknya makan siang bersama, setelah itu mereka hanya berjalan-jalan di taman. Niat awal ingin berbelanja malah terlupakan. Untungnya sebelum pergi, Dinah sudah lebih dulu mengabari bundanya. Dering ponsel Arga memecah kebersamaan mereka berdua.
"Bentar, ya. Aku angkat."
Arga mengangkat ponselnya agak jauh. Hingga tak bisa diketahui apa yang dibicarakan pacarnya. Tak lama kemudian, Arga muncul kembali. Walaupun raut wajahnya berubah, jadi tak bersemangat seperti sejak tadi.
"Kenapa? Siapa yang telepon?" tanya Dinah penasaran.
"Mamah, nih. Katanya sakit, jadi harus ngantar ke rumah sakit," jawab Arga lesu.
Dinah membulatkan mata khawatir, "ya udah. Kita pulang aja, gimana? Kasihan Mamah," ajaknya yang sudah menarik tangan Arga untuk pergi, tapi terasa berat karena pria itu masih berdiri diam di sana.
"Kok diam? Ayo buruan!" ajak Dinah, nada bicaranya pun terlihat begitu khawatir.
"Jangan, kamu pulang aja. Biar aku yang antar Mamah sendiri," larang Arga sekaligus berusaha membujuk gadis di depannya.
"Ya jangan, dong. Aku juga sekalian mau lihat keadaannya Mamah."
"Enggak apa-apa Sayang, aku antar pulang, ya?"
Sesaat Dinah terdiam, kenapa Arga seperti tak suka jika ia ingin ikut? Namun lagi-lagi ia tak memusingkannya, mungkin memang ia harus mengalah lagi, untuk kesekian kali.
"Kamu antar Mamah aja, aku masih mau di sini," tolak Dinah pada akhirnya. Sebenarnya penolakan yang Dinah katakan untuk menyembunyikan rasa kecewa, karena ujung dari kencan mereka berdua selalu seperti ini.
"Beneran?" Arga memastikan menyentuh pelan kedua sisi bahu gadisnya.
Ia mengangguk, lalu Arga mengelus lembut rambut gadisnya dan pamit pergi. Sedikit curiga dengan sikap Arga, tapi lagi-lagi ia meyakinkan diri. Arga bukan pria seperti itu. Setelah pria itu tak kelihatan, Dinah memutuskan untuk ke mall. Menyusuli sahabat-sahabatnya yang sudah lebih dulu ke sana.
"Ck, mereka enggak ada yang jawab telpon gue gitu?" dumalnya sebal. Sejak tadi hanya aktif, tapi tidak diangkat.
Ketika masih sibuk menghubungi mereka, seseorang menepuk bahu Dinah dengan cukup keras. Jelas saja hal itu membuatnya terlonjak kaget.
"Astagfirullah haladzim!" Dinah berbalik, dan sosok yang tak ingin ia temui malah berdiri di sana.
"Ayo pulang!" Dia menarik Dinah keluar mall. Sedangkan Dinah wajah gadis itu masih shock, tak percaya dengan apa yang justru ia temukan di sini.
Tristan, kenapa dia bisa ada di sini?
Tolong siapa pun, asal jangan dia ...!' jerit Dinah membatin.
To be continue.
Tristan terus menyeret gadis itu hingga ke area parkiran. Tatapan dari orang-orang yang berada di dalam mall yang memandang aneh ke arah mereka berdua, sama sekali tak mengusik atensi Tristan. Ia hanya berjalan dengan wajah datarnya."Ouch! Ikh ... Om, lepasin!" Dinah menyentak tangan Tristan kasar.Pegangannya terlepas, Dinah masih mengaduh kesakitan. Tepat di tempat Tristan mencengkramnya tadi sudah memerah. Gadis itu semakin meringis, cewek cantik kok malah diseret-seret kayak domba?"Om tuh apa-apaan, sih?! Sakit tahu, enggak, sih?!" bentak Dinah kesal."Enggak!" jawab Tristan cuek. Dinah menatap tak percaya pria di depannya ini.Dinah berjalan menjauh dari pria itu, "sinting!" umpatnya dengan suara yang masih dapat Tristan dengarkan.Tristan memutar malas bola matanya. "Ikut saya! Ada yang mau bertemu dengan kamu!" ajaknya."Enggak peduli!" bala
Malam ini Tristan terlihat sibuk mengajak dua keponakannya bermain. Ada Tsania---putri dari kakak pertamanya, Kiandra. Serta Angga yang merupakan putra dari Kanindra, kakak keduanya.Tristan memang tipe lelaki yang sangat suka anak kecil. Dia bahkan bisa seharian penuh bermain, jika kedua keponakannya ini berkunjung. Caranya berbicara pun akan berubah, bukan nada datar atau dingin yang keluar. Justru hangat dan menenangkan yang akan membuat anak-anak nyaman di dekatnya.Sesekali Tristan akan menggelitik Tsania atau Angga, hingga tawa kedua balita itu menggema di ruang tamu. Usia kedua balita itu pun juga tak terlalu jauh. Hanya terpaut satu tahu saja. Angga empat tahun, sedangkan Tsania tiga tahun. Yah, Kanindra lebih dulu mendapatkan anak daripada kakak tertua mereka."Tristan," panggil Kiandra dengan nada tegas, tapi tak menutupi tatapan hangatnya pada sang adik.Pria itu berbalik, lalu mengangkat salah
Dinah berdiri di dekat trealis pembatas rooftop. Ia memutuskan pergi ke tempat tertinggi di sekolahnya seorang diri, mungkin menunggu sampai waktu pelajaran datang. Saat ini ia butuh waktu untuk sendiri. Gadis itu sama sekali tak menceritakan apa pun pada Nancy dan Arsyana yang sibuk bertanya padanya tadi. Ya, keduanya sempat melihat Dinah keluar dari UKS. Lalu disusul Yuna serta Arga yang terus memanggil namanya di belakang. Beruntung hari ini para guru sedang rapat. Jadi tak ada kegiatan apa pun, mungkin mereka sedang membahas ulangan yang akan dilaksanakan beberapa hari lagi. Dinah tak begitu peduli. Seceria apa pun dirinya, ia tetaplah seorang remaja biasa. Bisa merasakan hati, meskipun beberapa orang menganggap perasaannya hanya sekadar cinta monyet. Toh, ia merasa sudah cukup dewasa untuk menjalin sebuah hubungan. 18 tahun bukan usia anak-anak lagi, kan? Air mata Dinah sudah enggan untuk mengalir. Bahkan ia bisa merasakan bengkak b
Jafran sudah mulai bertugas seperti biasa, jadi sudah tentu kesibukannya kembali lagi. Sekarang jika harus ke sekolah, Dinah tak bisa meminta abangnya itu untuk mengantar. Ia merasa kasihan kepada Jafran, pria itu perlu memutar arah jika mengantar adiknya terlebih dahulu.Terhitung, sudah hampir seminggu sejak Tristan mengungkapkan perasaannya pada Dinah, dan semenjak itu pula Dinah berhenti membalas pesan atau mengangkat telepon dari Arga serta Yuna. Terlebih Nancy dan Arsyana juga telah mengetahuinya. Pasti akan melarang keras Dinah untuk tak berhubungan dulu dengan dua orang itu. Lebih baik jika sekarang Dinah fokus pada dirinya dan Tristan saja.Gadis kembaran Arga itu merasa amat malu pada Dinah. Yuna bahkan tak punya cukup keberanian untuk kembali bergabung dengan mereka bertiga. Padahal Dinah sudah tak membahasnya lagi.Namun, kalian tahu seperti apa perempuan, 'kan? Mereka memaafkan segala kesalahanmu, tapi percaya
Nancy sudah pulang lebih dulu, lalu Jifran dan Arsyana juga menyusul. Tinggal lah Tristan serta Dinah yang masih ingin jalan-jalan. Kata Tristan, keberangkatannya mungkin minggu-minggu ini. Jadi sebelum pergi, pria itu ingin menghabiskan banyak waktu yang berharga dengan Dinah. Tristan terkekeh ketika melihat ekspresi merengut Dinah. Gadis itu tak pernah bisa memasukan bola basket ke dalam ring. Lelah bermain, Dinah mengajaknya untuk membeli ice cream, atau memesan cotton candy. Alasannya, sih, karena Tristan tak bisa makan makanan pedas. Ya jadi yang manis-manis saja. Saat Dinah sedang menikmati cotton candy miliknyanya sembari berjalan. Tanpa sengaja kaki gadis itu tersandung sesuatu, yang nyaris saja membuatnya terjerembab mencium lantai. Beruntung Tristan sigap menangkapnya dari belakang, dengan menangkup pinggang kecilnya. Tristan menarik tubuh Dinah, lalu memutar gadis itu hingga berhadapan dengan dirinya
Hari ini, mungkin menjadi salah satu hari yang tidak ingin Dinah hadapi dalam hidupnya. Terang saja, orang yang saat ini mulai Dinah sayangi, malah harus pergi jauh dan entah kapan akan kembali. Ada perasaan tak rela di hati gadis itu untuk melepas Tristan, meskipun status di antara mereka berdua belum resmi berpacaran. Damn! Dengan sedikit bermalas-malasan, Dinah bangun dan bersiap. Ia akan mengantar keberangkatan Tristan sebentar lagi. Bagaimanapun, Dinah tak boleh tampil seperti gembel. Sejak kemarin wajah Dinah terlihat begitu muram. Tristan yang menjemputnya, sedangkan Jafran serta orang tua mereka berdua sudah berangkat lebih dulu ke pangkalan udara militer Indonesia. Entah mengapa, hatinya kian sesak saja mengingat Tristan yang sebentar lagi tak berada di sampingnya beberapa waktu ke depan. Dinah yang baru saja akan memakai flatshoes -nya, ditahan oleh tangan kekar Tris
Setelah penyelesaian misi kemarin malam, hari ini PBB memberikan jatuhan sanksi untuk Korea Utara. Sanksi tersebut berupa larangan untuk melakukan gencatan senjata dalam hal apa pun, serta pemecatan secara tidak hormat dari pihak Korea Utara untuk militer pelanggar yang melakukan pemberontakan.Tristan tersenyum remeh sambil menatap tajam ke arah Il Woo, mungkin pria itu akan semakin membencinya nanti. Namun, siapa peduli jika hal itu terjadi? Tristan tak mau ambil pusing, dibenci oleh Il Woo bukanlah masalah besar baginya.Hari ini Tristan juga kesembilan anggota lainnya, yang merupakan timnya sendiri akan pulang ke Indonesia. Tristan ingin sekali cepat sampai dan menemui keluarganya, lalu tentu saja menemui Dinah. Rindu? Sudah pasti, apalagi setelah pembebasan para sandra. Tristan belum sempat mengabari gadis itu.Ia pikir, akan bagus jika ia membuat kejutan untuk Dinah. Gadis itu pasti akan sangat senang melihatnya tiba
Setelah berkumpul dengan teman-teman Dinah, kini kedua kakak-beradik itu tengah berada di perjalanan pulang. Dinah sesekali melirik ke arah Jafran. Entah perasaannya saja atau kakaknya itu memang terlihat murung semenjak pulang dari tempat tadi. Jafran mendadak menjadi sangat pendiam. Bahkan nampak acuh, sekalipun tahu Dinah memerhatikannya sepanjang perjalanan."Bang." Hening, tak ada jawaban dari Jafran."Abang." Sekali lagi Dinah memanggil dengan sedikit meninggikan suara.Namun, pria itu seolah menulikan pendengarannya. Dinah mendengkus menahan gondok, cukup sudah. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu ditahan sesaat sebelum akhirnya ...."BANG JAFRAN ANAKNYA BAPAK DANAR!" panggil Dinah setengah berteriak. Seandainya ia hidup di dalam animasi, pasti saat ini asap mengepul di atas kepalanya."A-apa, Dek?" jawab Jafran gelapan. Jafran merasa seperti ditarik kembali ke kehidupan nyata
Beberapa kali manik mata Dinah menatap tak tenang keluar jendela. Helaan napas penenang, seolah tak memberikan kesan apa pun bagi Dinah. Karena pada kenyataannya, Dinah masih sama. Masih risau, khawatir, juga takut dengan alasan tak tentu."Tenang, Din. Kamu dari tadi mondar-mandir terus. Enggak capek? Kakak aja liatnya pusing, loh," tegur Alya--kakak iparnya.Cukup bosan melihat apa yang Dinah lakukan sejak tadi.Wanita dewasa itu sibuk menyuapi gadis kecil, yang kini asik menikmati apel dalam gendongan ibunya. Menggigit di mana saja, asal bisa dirasa manis. Lucu dan sangat menggemaskan, itu jika saja Dinah tak sedang mengatur degupan jantungnya sendiri.Mengikuti saran kakak iparnya Dinah perlahan berangsur tenang. Setidaknya, ia tak berjalan hilir mudik di depan pintu kamar hotelnya, atau menatap resah keluar jendela.Tepat saat Dinah akan mendudukkan diri di samping Alya, seseorang jus
"Sakit karena kehancuran sebuah hubungan itu, selalu berdampak buruk kepada yang mengalaminya. Jangankan yang berkali-kali, yang sekali saja bisa membuatmu kehilangan kewarasan. Saya lebih suka memulai hal baru, dengan orang baru. Kita bukan sedang ulangan, maka dari itu tak ada kata remedial dalam sebuah percintaan. Baik kamu, atau saya. Kita cuma punya dua pilihan. Memulai yang baru, atau tetap di sini dan merasakan sakit itu sampai akhir." - Dari Dinah, untuk Arga. Ketika kamu jatuh cinta, lantas menduakannya. Kamu harus memilih yang kedua, sebab jika benar kamu mencintai yang pertama. Maka cinta kedua tak akan pernah hadir sebagai luka. - In Relationship.***Malam ini ditemani miliaran bintang yang berkelipan di langit Gaza, Arga terduduk seorang diri sambil meren
"I know that I'm late to say sorry, but late is better then never. Right?" - Tristan, untuk Dinah. "Manusia yang jatuh cinta itu sama seperti anak kecil dan permainannya. Tahu betapa sakitnya ketika jatuh, tapi bodohnya mereka tetap menahan luka yang sama. Itu semua bukan tanpa alasan, mereka selalu punya alasan untuk bertahan pada sesuatu yang menyakitkan." Balasan dari Dinah, untuk Tristan. ***Winarti menatap buliran hujan yang jatuh membasahi Bumi dari balik jendela. Tangannya terangkat meraba benda bening itu, mencoba merasakan dingin yang tersalur dari luar tempat dirinya berdiri.Hujan di bulan Juli. Dingin menelisik, menggigit hingga ke tulang-tulang seolah tak ada artinya bagi wanita paruh baya tersebut. Ia tengah rindu, tapi tak tahu bagaima
"Banyak yang bilang, kasih sayang sebesar itu bisa mengakibatkan rasa sakit yang sama besarnya. Tidak peduli sepandai apa kita berhati-hati agar tidak sampai menyakiti. Pada kenyataannya, selalu ada celah yang tak pernah bisa dihindari." - Jafran, In Relationship. Mungkin benar, dalam sebuah kelompok. Kamu hanya perlu kejujuran, juga saling percaya agar semuanya berjalan sebaik yang kamu mau. - In Relationship. ***Jafran meletakkan cangkir kopi kosongnya. Ini masalah kebiasaan, Jafran terlalu mencintai kopi. Meskipun adiknya sudah berulang kali memperingati dirinya tentang bahaya mengonsumsi kopi terlalu banyak, tapi ia hanya mengiyakan. Tanpa ada niat untuk benar-benar melepaskan minuman beraroma tersebut.Saat ini, apa kiranya yang ia lakukan? Enta
"Mungkin memang benar, kuncinya adalah coba mengikuti alur yang baru saja. Supaya kita tak terkurung kecanggungan itu sendiri," - Yuna, untuk dirinya sendiri. ***Terhitung sudah hampir dua minggu Dinah berada di Palestina. Niat hari ini untuk pergi mengunjungi sebuah tempat dengan Tristan malah tak jadi. Karena Dinah berubah pikiran dan menolak pergi ketika melihat luka pria itu. Memang lebih baik jika keinginan itu ditunda dulu, setidaknya sampai Tristan sudah lebih baik.Tristan yang keras kepala bisa kalah dengan Dinah. Lebih tepatnya, Tristan menurut setelah mendengar perkataan Dinah. "Om itu bukan super hero. Berhenti buat terlihat baik-baik aja, padahal sebenarnya Om juga terluka!"Bagaimana bisa Tristan tidak menurut kalau seperti itu. Dinah marah, dan Tristan tidak mau membuat masalah lagi. Apa
Ingat petuah ini? Sedewasa apa pun kamu, selamanya kamu hanya akan menjadi bayi bagi kedua orang tuamu. - Elma T Rizki - In Relationship. Terkadang, ada saat di mana kita perlu memaksakan hati untuk tetap kuat. Menerima kehilangan terbesar, kehilangan mereka yang sebenarnya ingin selalu kita lihat setiap harinya. - In Relationship. ***Hening menyelimuti ketiga orang di dalam bangunan tersebut. Dinah menelan kasar gumpalan di pangkal tenggorokannya susah payah. Hatinya bergemuruh cemas, apalagi melihat seringaian menyeramkan dari pria yang berdiri di hadapan Tristan di ujung sana. Terlebih, kedua laki-laki itu berbincang dalam bahasa asing. Dinah sama sekali tak mengerti.Sejujurnya, Dinah tak pernah belajar Bahasa Ibrani. Ia cukup kagum mengetahui Tr
Bagaimana pun, pertumpahan darah tidak bisa dijadikan jaminan bahwa masalah akan selesai. Selalu ada resiko dari sebuah dendam. Selalu! - Elma T Rizki - In Relationship. "Waktu selalu bisa membantu kita menemukan sesuatu yang kita butuhkan, bukan hanya sekadar yang kita inginkan." - Iqbal A, untuk Citra. Sepertinya sebuah hubungan selalu bisa menyeretmu dalam kesakitan. Entah itu kemarin, hari ini, atau juga besok. Pada intinya, sesuatu yang awalnya manis. Bukan jaminan bahwa akhirnya juga bahagia. - Elma T Rizki - In Relationship. *** Sesuai apa yang diucapkannya tadi. Setelah mereka mengantar para relawan kembali ke markas, seluruh anggota tim yang dipimpin oleh Tristan k
"Semua orang selalu punya cara sendiri untuk memperlihatkan cintanya ke orang terkasih. Terkadang, orang menganggap itu adalah sebuah kebodohan, tapi enggak ada yang namanya kebodohan dalam cinta. Mereka melakukannya, karena mereka ingin dan mereka ikhlas." - Jifran, untuk Arsyana. Manusia dengan sifatnya yang tak pernah merasa puas, merasa berkuasa. Bahkan jika harus merebut yang bukan miliknya. Lucu sekali! - Elma T Rizki - In Relationship. Memang tidak sedekat antara Tuhan dengan hambanya. Orang-orang selalu yakin, bahwa hamba dan Tuhannya sedekat jantung dengan tulang rusuk, tapi seseorang yang kamu cintai. Mereka sebelumnya juga sempat terukir di bagian dalam hati, bukan? - In Relationship. ***
"Patah hati itu ngeselin, ya. Semakin ingin maju, sakitnya malah semakin memanggil dari suara masalalu." - Iqbal A, untuk Dinah. "Mungkin, Allah memberika rasa sakit ini, supaya aku bisa semakin dekat kepada Dia. Selama ini, aku sering lupa, bahwa aku hidup dengan pilar teguh yang bernama agama. Percuma juga sebenarnya, karena imanku tipis." - Maidinah Hafidzah, untuk dirinya sendiri. "Lucu, kenapa manusia selalu dibuat bingung dengan pilihanya sendiri?" - Arqian Argantara.~*~Seorang pria berlari pelan menyusuri taman komplek, tempat di mana ia akan menemui seseorang. Begitu kaki jenjangnya menapak sempurna di sana, maniknya mengedar ke sagala sisi, mencari sosok yang mungkin saja sudah pulang bermenit-menit yang lalu."Shit! Uda