Nancy sudah pulang lebih dulu, lalu Jifran dan Arsyana juga menyusul. Tinggal lah Tristan serta Dinah yang masih ingin jalan-jalan. Kata Tristan, keberangkatannya mungkin minggu-minggu ini. Jadi sebelum pergi, pria itu ingin menghabiskan banyak waktu yang berharga dengan Dinah.
Tristan terkekeh ketika melihat ekspresi merengut Dinah. Gadis itu tak pernah bisa memasukan bola basket ke dalam ring. Lelah bermain, Dinah mengajaknya untuk membeli ice cream, atau memesan cotton candy. Alasannya, sih, karena Tristan tak bisa makan makanan pedas. Ya jadi yang manis-manis saja.
Saat Dinah sedang menikmati cotton candy miliknyanya sembari berjalan. Tanpa sengaja kaki gadis itu tersandung sesuatu, yang nyaris saja membuatnya terjerembab mencium lantai. Beruntung Tristan sigap menangkapnya dari belakang, dengan menangkup pinggang kecilnya. Tristan menarik tubuh Dinah, lalu memutar gadis itu hingga berhadapan dengan dirinya. Selama sepersekian detik mereka saling bertatapan. Jantung Dinah berpacu dua kali lebih cepat dari normalnya. Matanya mengerjap beberapa kali, begitu menggemaskan.
"Kamu tidak apa-apa?" tanya Tristan sedikit khawatir.
Dinah mengangguk dan segera membenarkan posisinya. Tristan memeriksa apa penyebab Dinah hampir saja jatuh tadi, dan ia disambut dengan sesosok balita yang merangkak pelan sambil tertawa dan bertepuk tangan. Dinah terkejut, kok bisa-bisanya ada bayi dibiarkan begini?
Tanpa aba-aba, Dinah mendekati balita tersebut. Membawanya ke dalam gendongan tubuh mungilnya. Umurnya mungkin baru mendekati satu tahun.
"Ih, kamu lucu banget ... bikin gemas, deh. Mamanya mana, ya?" Dinah celingukan sendiri mencari sosok orang tua balita ini.
Tristan menghampiri mereka. Pria itu juga tak tahan melihat kedua pipi gembil balita tersebut. Pria itu pun menunduk seraya mencium gemas pipi balitanya, tapi tangan malah mencubit pipi Dinah. Jika orang yang tak kena mereka, pasti sudah disangka pasangan muda nan bahagia.
"Ih, Om! Kok malah nyubitin aku, sih?" protes Dinah jengkel.
Tristan tertawa kecil, lalu mengusak pelan kepala Dinah. "Kamu sama balitanya, sama-sama lucu dan bikin gemas."
Dinah memutar mata malasnya, "udah deh, Om! Enggak usah ngardusin orang, mending kita ke tempat resepsionis. Suruh umumin, kan kasihan dede bayinya!" ajak Dinah yang masih menggendong balita itu.
Baru saja akan melangkahkan kaki. Namun, tangan besar Tristan menahannya. Dinah menoleh ke belakang, "kenapa?"
"Biar saya yang gendong," kata Tristan mencegah, dan mengambil alih balita yang menatapnya itu.
Sesampainya di depan resepsionis, Dinah langsung mengutarakan maksudnya. Resepsionis yang sejak tadi sudah memerhatikan tingkah mereka berdua pun, dengan segera menyebarkan pengumuman. Meskipun dia sama sekali tak melihat bayi di sana, jika saja Dinah bersama Tristan tak datang.
"Saya kira, Mas sama Mbak ini pasangan halal tadi," katanya pada Dinah.
Dinah mengernyit heran, menatap bingung pada resepsionis di seberang meja. "Emang kapan Dinah jadi haram?" lontarnya sedikit kesal.
Tristan merangkul pundak gadis di sampingnya itu. "Sudah. Dia hanya menebak. Kalaupun dianggap seperti itu, saya juga tidak masalah!" timpal Tristan santai.
Dinah mendelik, seandainya saja memakan Tristan tak berdosa. Tak lama menunggu, sepasang suami-istri datang menghampiri mereka dengan raut wajah khawatir.
"Ya ampun, Kinar! Maafin Mamah, lalai jagain kamu," sesal wanita itu.
"Makasih ya, Mas sama Mbaknya. Saya enggak tahu lagi kalau enggak ada kalian, siapa yang bakalan nemuin anak kami. Makasih banget," ujar suami dari wanita tersebut.
"Oh, namanya Kinar, ya? Cantik, kayak orangnya." Balita tersebut menggapai dan memegang pipi Dinah. Gadis manis itu tertawa kecil.
"Lain kali hati-hati, ya, Pak!" tekan Tristan tegas. Yang diangguki pasangan itu bersamaan.
Sesaat suami dan istri itu menatap dalam Dinah serta Tristan. Lalu mereka pun tersenyum tipis.
"Mbak sama Mas ini ... pasangan baru, ya?" lontar ayahnya Kinar.
Dinar membolakan mata terkejut, lalu menggelengkan kepalanya kukuh. "Eh, engg---"
"Iya! Kami menikah minggu lalu," potong Tristan. Dinah semakin membolakan matanya, apa-apaan pria ini? Pengantin baru dari Hongkong?! Pikir Dinah.
"Loh, Mbak. Tadi pas saya ngomong gitu, malah dijawab beda!" protes resepsionis yang sejak tadi menyimak.
Dinah semakin tak mengerti. "H-hah?!"
"Wah, masih hangat-hangatnya, nih," balas ibunya Kinar menggoda.
Sedangkan Tristan, ia memilih menahan tawa sambil melihat wajah Dinah yang kepalang malu.
Lagi-lagi Dinah menggeleng, "bukan! Dinah bukan istrinya Om Tristan!" bantahnya kesal.
"Ih, Bun, mirip kamu pas awal nikah enggak, sih? Malu-malu gitu." Ayahnya Kinar malah melakukan flashback.
"Iya, Yah! Ih ... lucu banget deh, Yah! Mereka juga cocok," sambung istrinya.
'Istri sama suami kok kompak banget, sih, nyebelinnya!' ratap Dinah dalam hati.
"Enggak usah malu, Mbak. Saya serta keluarga pasti mendoakan. Semoga cepat mendapatkan momongan, ya. Kami permisi dulu, sampai jumpa lagi ...."
Kemudian Kinar dan orang tuanya pun meninggalkan Tristan yang tersenyum manis, dengan Dinah yang bibirnya mempout lucu.
"Aamiin paling kencang!" sahut Tristan. Dinah malah memukul lengan pria itu.
"Om apaan coba bohong gitu?" geram Dinah tak terima.
"Bohong di mananya?" tanya Tristan sengaja, pura-pura tak mengerti.
"Kita kan belum nikah, Om!"
"Tapikan sudah dijodohin."
"Baru dijodohin."
"Emang kamu enggak mau nikah sama saya?"
"Enggak!"
"Kalau makan bakso?"
"Mau!"
"Makan ice cream?"
"Mau!"
"Makan saya?"
"Mau ...!"
Dinah mengatupkan mulutnya dengan kedua tangan mungilnya.
"Jadi kamu mau makan saya?" goda Tristan genit.
"Enggak, Om! Enggak! Aku bukan manusia kanibal, mana bisa makan Om Tristan?" jawab Dinah polos.
"Loh, yang bilang kamu kanibal siapa?" ucap pria itu heran.
"Om Tristan! Tadikan Om bilang 'Makan saya?' nah, aku bukan kanibal, Om. Jangan takut sama aku," terang Dinah dengan mata yang berkaca-kaca.
Tristan menatap tak percaya pada gadis ini, sepertinya Dinah tak paham. Ya sudahlah, daripada pusing dengan Dinah. Lebih baik pulang saja.
* * *
Hari ini pembagian raport, dan setelah itu para siswa bisa rehat sejenak sebelum mereka memulai tahun ajaran baru, serta kelas 12 yang justru mulai sibuk dengan ujiannya. Dinah sudah di sekolah sejak pukul 06:30 tadi. Jafran memaksa untuk mengantarnya, katanya cukup rindu dengan sang adik. Jadi sekalian ngobrol-ngobrol di jalan.
Sesampainya di sekolah, Dinah melangkah ringan ke arah kelasnya. Tanpa disangka-sangka. Suasana ruangan itu ternyata sudah cukup ramai. Meskipun ramainya juga karena ulah dan tingkah ajaib teman-temannya saja.
"SELAMAT PAGI CALON PACAR ABANG, MAIDINAH HAFIDZAH!" jerit Iqbal begitu melihat tampang Dinah berdiri di depan pintu kelas.
Lucas yang berdiri tepat di samping cowok itu pun, lantas memukul kepalaya cukup keras. Sebagai bentuk protes karena suara Iqbal yang seperti akan memecahkan gendang telinganya.
"Pengang goblok!" sembur Lucas jengkel.
Jeno dan Iqbal tertawa bersamaan, sedangkan Dinah hanya mampu merotasikan matanya. Rasanya cukup lelah berhadapan dengan warga kelas 12 IPA 3. Normal seolah menjadi kata spesial di sini.
Kaki mungilnya menuju ke arah mejanya, lalu disusul Iqbal yang kini duduk di bangku samping. Memerhatikan wajah gadis itu.
"Apa lo liat-liat?! Gue colok ye, mata lo, Bal! Kayak Om pedo tahu enggak, lo?!" kata Dinah kesal.
"Eits, calon pacar. Enggak boleh durhaka sama Abang. Entar kalau Abang kit ati, Neng masuk neraka, mau?" tegur Iqbal sok ganteng.
Dinah memasang ekspresi mualnya. "Enggak sudi gue, Bal! Calon pacar pala lo segi empat?" tolak Dinah mentah-mentah.
Bukannya marah, Iqbal justru tertawa menghadapi wajah merengut gadis itu. Dinah menatap tak habis pikir, ia merutuki nasib sialnya yang harus berhadapan dengan salah satu jenis setan, di pagi yang tadinya indah. Namun, sekarang malah suram berkat Iqbal.
"Gemasin banget, sih, lo. Jadi pengin gue seret ke KUA." Iqbal lagi-lagi menggoda.
"Kasihan si Dinah. Yakin gue, bentar lagi pasti sawan tuh, ngadepin si Iqbal yang kelewat normal," tawa Lucas membahana di seluruh penjuru kelas.
Mark menggeleng pelan kepalanya. Percuma menasihati Trio Bemo seperti Lucas, Jeno, dan Iqbal. Mereka tak akan mau mendengarkan nasihat Mark, yang notabenenya adalah ketua kelas. Sebab gendang telinga mereka itu licin. Jadi walaupun nasihatnya sudah masuk lewat telinga kanan, nanti juga kepleset lalu keluar lewat telinga kiri.
Dinah menjentikkan jarinya, seolah mendapatkan ide cemerlang. "Gue bisa aja mempertimbangkan status di antara kita, sih, tapi ada syaratnya!" ujar Dinah misterius.
Mata cowok itu berbinar, sedangkan Jeno dan Lucas memasang telinga baik-baik untuk mencuri dengar. Sisanya malah terlihat tak peduli.
"Gue mau, lo beliin gue tiket ke Korea. Terus jangan lupa sama satu unit apartemen yang harganya kayak punya si IU---"
"Ayu Ting-Ting?" sambar Iqbal cepat.
"Lee Ji Eun! IU soloisinya Korea, Iqbal! Lo dengarin dulu kek, nyambar aja kayak petasan!"
"Angoghey, lanjut, Sis."
"Terus beliin gue apartemen kayak punyanya IU. Yang dekat sama Namsan Tower, dan harus yang paling bagus, ya, Bal!" pesan Dinah tanpa tahu malu.
Iqbal merasa sesak mendengarnya. "Gue tahu lo punya dendam sama gue sekarang, Din, tapi enggak gini juga caranya buat ngebalas. Lo niat banget jadi psikokampret! Ngebunuh pelan-pelan begitu. Tenggelamin aja gue di air kobokan, Din! Tenggelamin!" seru Iqbal penuh drama, menarik kerah kemejanya sendiri.
Jeno dan Lucas tertawa puas melihat adegan dua manusia itu. Jarang-jarang Dinah me- notice perlakuan nyeleneh Iqbal seperti sekarang.
Dinah berdecak. "Drama sekali, ya, si Pithecanthropus yang satu ini?" ceplosnya asal.
"Udah deh, Bal. Kalau lo emang enggak bisa menuhin apa yang gue mau. Cukup tahu aja, keseriusan lo enggak lebih gede dari upilnya kuda nil. Mending gue nyari Bapak Gula yang lain. Lo mah pelit! Gue doain kuburan lo sempit!" lanjut Dinah sambil menunjuk ke arah wajahnya Iqbal.
Tepat setelah sumpah serapah Dinah terlontar, petir pun ikut menyambar. Seperti memberikan pertanda atas ucapan mulut lemes gadis itu.
Jeno terlonjak kaget hingga memeluk Lucas yang duduk di sampingnya. Mark sampai menjatuhkan alat tulis dan ponselnya ke lantai, Iqbal dan Dinah sama-sama menengadah ke atas langit.
"Gila. Si Dinah lidahnya pait bener, sampai kilat aja ikutan ridha kayaknya," tutur Jeno menelan gumpalan kasar di kerongkongannya.
Tawa Dinah pun terdengar bagai ibu tiri. Melihat betapa nelangsanyanya Iqbal yang kini terduduk lemas di lantai sambil memeluk lutut. Ucapan Dinah tadi seperti kaset rusak yang terus terputar di kepalanya.
'Orang pelit, kuburannya sempit ....'
'Orang pelit, kuburannya sempit ....'
'Orang pelit, kuburannya sempit ....' Kalimat itu bersahutan di telinganya.
"TIDAK ...!" jerit Iqbal semakin menjadi.
Namun, tanpa ia sadari. Mark ternyata telah melemparkan sebuah kamus biologi ke arahnya, hingga kepala Iqbal dan kamus milik ketua kelasnya itu pun melakukan meet and great singkat. Mata cowok itu berkilat tajam. "Shut up your mouth, Dude! Lo berisik banget dari tadi!" peringat Mark malas.
Iqbal menyengir tanpa dosa. "Ya maaf, Mark. Gue cuma lagi pendalaman karakter aja tadi tuh," jawab Iqbal pelan.
Dinah terkekeh melihat Mark yang sudah bodoamat dengan ucapan maaf Iqbal. Ia lalu bangkit, dan melewati Iqbal begitu saja.
"Awas lo ngikutik gue!" cegah Dinah sebelum Iqbal melangkahkan kaki menyusulinya dari belakang, dan memaksa cowok itu tetap di tempatnya.
"Tega bener si Dinah," bisik Lucas yang diketawai Jeno.
Gadis itu mendengarkan musik sambil bersenandung, ia duduk seorang diri di depan kelas. Lagu dari boy grup terkenal BTS berjudul 'Just one day' menjadi salah satu favoritnya.
Haruman nowa nega hamke halsu itdamyon
Haruman nowa nega sonja bulsu itdamyonHaruman nowa nega hamke halsu itdamyon. Haruman (haruman) Nowa nega hamke halsu itdamyon.Dinah mengikuti setiap lirik di bagian chorus yang dibawakan oleh anggota termuda di grup tersebut. Saking asiknya bernyanyi, Dinah sampai tak sadar bahwa sosok Arga sudah berada di sampingnya.
Pria itu tersenyum melihat tingkah Dinah. Terlihat serius sekali, sampai mengikuti gaya penyanyi idolanya menyanyi. Jujur saja, sudah dua minggu mereka putus. Dan Arga masih merindukan gadis ini. Aneh, memang. Padahal ia sendiri yang mengatakan pada Yuna, bahwa ia bosan dengan gadis seperti Dinah. Bahkan jika harus memilih, maka Arga akan memilih Yuna. Namun, apa sekarang yang terjadi?
Perasaannya pada Yuna semakin datar, malah pada Dinah semakin menguat. Dinah menjauhinya, bertingkah seolah mereka tak pernah saling mengenal atau pun dekat. Meski kini Dinah sudah mulai bergabung lagi dengan Yuna. Tetap saja sikapnya masih sama. Dingin, dan berbicara dengan nada serta nada seperlunya saja.
Gadis itu merasa seperti ada yang menatapnya. Perlahan kelopak mata lentiknya itu terbuka, menampilkan manik coklat cerah indahnya. Dinah sedikit tersentak menemukan wajah Arga di depannya. Tak terlalu dekat, tapi tetap saja membuat Dinah merasa tak nyaman.
"Ada apa?" ketus Dinah, salah satu alis tebalnya terangkat.
Arga menggeleng pelan, lalu memindahkan atensinya ke depan. "Enggak ada apa-apa, aku cuma mau dengar kamu nyanyi. Udah lama aku enggak dengar itu," jawab Arga santai.
Dinah tak menanggapi lagi. Gadis itu menyibukkan diri dengan ponselnya. Sebenarnya Dinah sedang menunggu, kata ibunya, beliau sendiri yang akan datang sebagai walinya. Namun, sampai sekarang masih belum kelihatan juga.
"Dinah!" seru seseorang dari ujung lorong yang menarik perhatian beberapa siswa.
Dinah dan Arga menoleh bersamaan tanpa aba-aba. Sosok tinggi dengan pakaian serba hitamnya. Mulai dari jaket, kaus, jeans, serta topi hitam. Lalu sepatu berwarna putih sebagai pelengkap, ugh, kelihatan keren sekali kalau menurut Dinah.
Pria tersebut memperlebar langkahnya, dan Dinah pun bangkit diikuti Arga di sebelahnya yang menatap penuh tanda tanya.
Dinah sendiri sedikit terkejut melihat kedatangan pria tersebut.
"Loh, kok ... Bunda mana, Om?" Dinah langsung menyerbu Tristan dengan pertanyaan.
"Ada. Tadi ke ruang Kepala Sekolah," balas Tristan lalu melirik cowok di sebelah gadisnya.
"Siapa?" tunjuk Tristan dengan dagunya.
Arga mengulurkan tangan pada pria yang dipanggil Om oleh Dinah itu. "Arga! Arqian Argantara, pacar---"
"MANTAN pacar aku, Om!" sambar Dinah yang menekankan kata mantan pacar. Matanya menatap tajam Arga.
Tristan mengangguk paham dan menyambut uluran tangan Arga. "Tristan, calon masa depan Dinah."
Arga mengerutkan kening, kurang suka dengan kepercayaan diri tingkat tinggi pria ini, tapi dia juga tak mungkin marah-marah hanya karena itu, 'kan? Apalagi saat Dinah sudah memberikan ultimatum berupa delikan ke arahnya.
"Sudah sarapan? Kalau belum, kita sarapan dulu sekarang," ajak Tristan yang sudah menggenggam tangan Dinah.
Dinah berpikir sejenak, "bentar lagi deh, Om. Tunggu teman-teman dulu."
"Maksud kamu Nancy, Jifran, dan Arsyana?" tanya Tristan meminta penegasan.
"Iya, Om. Mereka belum pada datang!" adu Dinah merengut.
Tristan tersenyum simpul. "Ya sudah, kita tunggu mereka."
Arga yang mendengar percakapan tersebut, rasanya hanya sebagai obat nyamuk saja. Beberapa kali Arga melirik ke arah Tristan, yang juga membalas lirikannya dengan tatapan datar nan dingin.
Tak berapa lama, yang ditunggu pun datang. Bersama Yuna yang tersenyum tipis ke arah Dinah, tapi Dinah hanya menatapnya sebentar. Setelah itu membuang pandangan ke arah lain Yuna kembali menunduk. Dinah masih seperti ini padanya. Membuat gadis itu terkurung rasa bersalah berkepanjangan.
Dari masalah ini, Yuna sadar. Bahwa dia membuat pertemanan mereka menjadi buruk. Sebab rusak hanya karena seorang cowok.
"Pagi, Din---loh! Kak Tristan kok ada di sini?" seru Nancy heboh.
"Saya hanya mengantar Bunda," jawab Tristan kalem.
"Aww, udah manggil Bunda aja ke Mamer ya, Kak?" goda Arsyana yang dibalas dengan gedikkan bahu Tristan.
"Kita juga gitu nanti ya, Beb," sosor Jifran semangat.
"Bab, beb ndasmu?!" balas Arsyana yang membuat Nancy terpingkal.
Iqbal tanpa sengaja menatap Tristan, ia mengingat kejadian tempo hari. Ketika Tristan datang dan menjemput Dinah di sekolah. Menggunakan seragam kebanggaan TNI. Sebenarnya ia sudah merasa cukup minder kala itu, tapi Lucas menasihati Iqbal. Agar tak lekas mundur meskipun Dinah sudah menolaknya sebanyak dua kali.
"Hohooo, ada saingan gue nih. Hai, Bro! Kenalin, Iqbal. Saingan lo buat dapetin Dinah!" sambar Iqbal percaya diri.
Nancy berjengit mendengar perkataan Iqbal. "Kayak si Dinah mau aja sama lo."
"Yeee, Dinah tuh sebenarnya suka sama gue. Cuma belum sadar aja!" kata Iqbal.
Iqbal dengan segala rasa percaya dirinya.
"Enggak habis thinking gue. Bisa-bisanya Lucas sama Jeno temenan sama si Iqbal. Nemu di mana deh, lo berdua. Teman yang modelannya kek si curut ini!" tunjuk Nancy berapi-api.
Tristan dan Dinah hanya diam. Sedangkan Arga, cowok itu menatap penuh permusuhan pada Iqbal. Ingin sekali ia menjawab Iqbal di sini. Namun, sadar dengan kehadiran Yuna. Biar bagaimanapun. Ia harus tetap menjaga perasaan gadis itu.
"Dinah seleranya yang kayak Kak Tristan, sih. Kalau disuruh milih. Cewek waras manapun, juga pasti bakalan lebih milih Kak Tristan," sahut Arsyana enteng.
"Cewek mah gitu. Milih yang good looking!" ejek Jeno tak terima.
"OH YA PASTI DOOONG ...!" seru Nancy nge-gas.
Lucas, Jeno, dan Iqbal pun merotasikan matanya secara bersamaan. Kompak bener kek boyband.
"Sudah selesai? Kalau mau lanjut, silakan saja. Ayo Din!" Tristan meraih tangan Dinah, lalu membawanya pergi dari kerumunan siswa aneh itu.
"Eh, eh. Tungguin woy."
"Apa nih. Napa cewek cakep diseret noh!"
"Bahaya juga demenannya si Dinah." Terdengar seruan dari yang lain, melihat adegan antara Dinah dan Tristan.
Mereka semua menuju ke arah kantin. Berhubung Tristan juga belum pernah ke kantin, waktu dia datang ke sekolah Dinah. Dia hanya mengunjungi kelas 10, ruang Guru dan ruang Kepala Sekolah, juga rooftop.
Mereka mengobrol sambil menikmati santapan. Walaupun sebenarnya, sih. Mata Arga lebih sering mengarah pada Dinah, sedangkan Tristan sibuk memerhatikan gerak-gerik cowok tersebut. Beruntung keadaan kantin tak terlalu ramai. Itu juga yang menjadi alasan bagi mereka semua, berada di satu titik yang sama. Walaupun harus menyatukan beberapa meja terlebih dahulu.
"Din ...," panggil Tristan yang mampu menghentikan tawanya. Dinah menoleh ke arah pria itu.
"Nanti setelah pulang sekolah, ikut saya ke rumah, ya?" ajak Tristan.
Belum sempat Dinah menjawab, suara Arga justru menyela.
"Mau ngapain?!" lontar Arga bernada ketus.
Semua yang ada di meja, kecuali Tristan menoleh ke arah Arga. Yuna juga menatap heran pada cowok itu. Jauh di lubuk hati terdalamnya, Yuna sadar betul. Ada nada cemburu terselip di antara kata-kata Arga tadi.
"Mau melakukan apa pun, itu bukan urusan orang!" ungkap Tristan dingin.
"Jangan macam-macam sama Dinah! Gue yang pacarannya udah dua tahun sama Dinah aja, enggak pernah bawa Dinah ke rumah!" sembur Arga semakin kasar.
Dinah menunduk, itu benar adanya. Lagi-lagi ia tersenyum miris. Bukan, dia bukannya murahan. Hanya saja, sesekali Dinah ingin berkenalan lebih jauh dengan keluarga Arga. Tidak semata hanya tahu tentang Arsyana saja.
Tristan tersenyum miring. Menatap remeh Arga yang kini menumpu dagu dengan kedua tangannya. "Jelas kamu tidak akan membawanya, gadis kamu bukan hanya Dinah saja, kan?" sarkas Tristan santai, tapi menusuk.
Arga bungkam, rahangnya mengeras menahan amarah.
"Ekhem. Gue bodoamat kalian mau ributin apaan. Cuma nih, ye. Kita makannya diabisin dulu kek. Sayang banget acara makan gue harus ketunda, cuma gara-gara lo berdua berantem," sela Lucas mencoba menjadi penengah.
"U-udah, udah! Astaga kalian berdua kayak anak kecil aja. Jangan bikin keributan, mending kita ke kelas, yuk! Udah mau masuk ini," lerai Jifran yang sebenarnya sedikit khawatir akan adanya adegan baku hantam.
Sedangkan Iqbal, cowok itu hanya mampu diam. Dibandingkan Arga atau Tristan, jelas dirinya hanya sebatas 'ketahuan suka' pada Dinah, dan tak punya ikatan lebih dari sekadar teman dengan gadis itu. Sedikit lancang mungkin, jika Iqbal ikut penasaran. Kenapa Dinah harus ikut Tristan ke rumahnya.
* * * *
Setelah pembagian raport, Tristan mengajak Dinah ke rumahnya. Tadinya bunda juga diajak, tapi kata bunda ada pesanan banyak, jadi bunda pulang untuk memasak. Nanti malam diambil sama yang pesan.
Tristan dan Dinah di dalam mobil tak membicarakan apa pun, sebenarnya suasana cukup canggung sekarang. Apalagi setelah perdebatan kecil Tristan dan Arga di area kantin. Itu kan sempat ditonton adik kelas mereka.
"Din, saya ... besok berangkat," ujar Tristan memecah keheningan.
Dinah menoleh tak santai, "kok cepat banget, Om?"
"Kami tidak bisa terus di sini, apalagi di misi ini saya ditugaskan sebagai pemimpinnya. Kalau pasukan saya lamban dalam bergerak, nanti sandranya malah keburu disiksa," jelas Tristan yang masih fokus pada jalanan.
"Misi Om di sana, berapa lama? Enggak akan lama, 'kan?"
"Saya belum tahu, kalau dari pihak Korea Utara tidak mau melakukan negosiasi dengan baik. Mungkin akan sedikit lebih lama."
"Om enggak akan main tembak-tembakkan di sana, 'kan? Jaga diri ya, Om. Pulang dengan selamat, jangan pergi lama-lama."
Taehyung tersenyum mendengar rentetan kalimat gadis mungil di sampingnya itu. Satu tangannya mengelus lembut kepala Dinah dengan sayang.
Hingga saat ini, status mereka masih dekat tanpa embel-embel lain. Lucu sekali jika melihat betapa khawatirnya Dinah saat ini.
"DMZ itu daerah bebas dari gencatan senjata, Din. Mungkin Korea Utara akan sedikit merepotkan. Tapi kamu harus selalu berpikiran positif, saya akan baik-baik saja," jelas Tristan membuat Dinah perlahan lebih tenang.
"Kasih aku kabar ya, Om. Harus pokoknya!" tekan gadis mungil itu memaksa.
Tristan mengangguk, "pasti!"
Sesampainya di pelataran rumah, Tristan menggandeng Dinah masuk ke dalam. "Assalamualaikum!" salam keduanya bersamaan.
"Waalaikumussalam!" jawab yang ada di dalam.
Tristan mengernyitkan keningnya, sepertinya bukan hanya kedua orang tuanya yang menjawab.
Benar saja, ternyata Kiandra serta Kanindra dan keluarga mereka masing-masing sedang berkumpul di sini.
"Hey! Beruang kita sudah pu-lang. Wah! Bawa siapa lo, Tristan?" tanya Kiandra menggoda adik bungsunya.
Segarang apa pun Tristan yang terlihat oleh juniornya. Bagi keluarga, Tristan tetaplah sosok bayi. Tak jarang mereka membuat pria itu kesal karena terkesan memanjakannya dengan cara salah.
"Eh, Dinah! Sini Sayang, kok enggak bilang mau ke sini?" sambut Tante Nadia. Wanita paruh baya itu tengah berbicara dengan salah satu menantunya.
Dinah melepas genggaman Tristan, menghampiri Tante Nadia yang sudah merentangkan Tangannya. Gadis mungil itu masuk ke dalam dekapan hangat ibu beranak tiga itu.
"Tante kangen kamu," adu Tante Nadia manja.
"Dinah juga, hehehe," balas Dinah dengan kekehannya.
"Wah, jadi ini ya calonnya Tristan? Ih, kamu cantik banget," puji Zakia---istri Kiandra.
"Iya, Kak. Ini yang aku ceritain ke kalian. Dia ngantar Tristan ke rumah sakit," jelas Kanindra.
Dinah yang mendengar suara Kanindra, melepas pelukannya pada Tante Nadia.
"Om Dokter? Kok, ada di sini?" tanya Dinah memiringkan kepalanya.
"Lupa? Saya kan Abangnya Tristan!" Kanindra mengingatkan.
Dinah diam sesaat, lalu kedua tangannya menepuk kecil. "Eh, iya ya. Om kan Abangnya Om Tristan, hehe maaf. Dinah lupa soalnya," ungkap Dinah polos.
Mereka semua pun tertawa. Dinah menyalami anggota keluarga Adiyakhsa satu persatu. Berkenalan dengan calon kakak ipar, berkenalan dengan keponakan lucu Tristan juga. Yakni Tsania dan Angga. Gadis itu lantas mencubit gemas pipi Angga, pipinya bulat, putih, dan kenyal.
'Kok pipinya kayak kue mochi, ya?' batin Dinah tertawa.
Dilanjutkan dengan makan siang bersama. Mereka sering sekali memperhatikan tingkah Dinah dan Tristan, cara Dinah melarang Tristan makan pedas, dan sifat Tristan yang berubah menjadi sangat lembut ketika membujuk gadis mungil itu. Semuanya tak lepas dari berpasang-pasang mata di ruang makan.
Setelah makan siang, Dinah dan keluarga Adiyakhsa mengobrol beberapa saat, sebelum bunda menelepon dan menyuruhnya pulang. Sebenarnya tidak enak hati, tapi mau bagaimana lagi, 'kan? Akhirnya gadis itu pun pulang. Meski Tante Nadia memintanya untuk menginap hari ini. Bahkan Tristan sendiri seperti menahannya untuk tidak pulang.
~•~•~•~
Di perjalanan pulang, Dinah sibuk melihat pemandangan luar jendela. Manik gadis itu membulat sempurna ketika melihat sesuatu, reflek tangannya memukul lengan Tristan. Pria itu terkejut, dan menginjak rem mobil sangat kencang hingga tubuh Dinah terpantul ke depan.
"Astagfirullah, Dinah! Kamu apa-apaan, sih? Kalau kita sampai celaka gimana?" geram Tristan tanpa sadar.
Dinah sedikit terkejut karena nada bicara Tristan naik satu oktaf, tapi dirinya juga tak bisa protes. Toh, memang dia yang salah, 'kan? Dinah menunduk takut, sambil memilin ujung seragam sekolahnya.
"Ma-maafin Dinah, Om ...," cicit Dinah takut-takut.
Menyadari gadisnya yang mulai merasa takut, ada rasa bersalah dalam hati Tristan. Tidak! Ia tak mau jika Dinah takut padanya, bukan hal mudah membuat gadis ini nyaman berada di sampingnya.
Tangan pria itu bergerak menyelipkan rambut Dinah pada telinganya. Terlihat Dinah yang sedikit berjengit dan matanya menutup pelan, Dinah benar-benar tak bisa dibentak. Gadis itu akan langsung menganggapmu pemarah jika seperti itu.
"Maaf, ya. Saya tidak bermaksud membuatmu ketakutan," lirih Tristan merasa bersalah.
Dinah masih tak bereaksi. Setitik, dua titik, banyak titik. Akhirnya Dinah menangis, Tristan kelabakan. Pria itu pun membawa Dinah ke dalam pelukannya. Dibiarkannya gadis itu membasahi hoodienya. Tangannya sibuk mengelus rambut halus Dinah yang terurai hingga ke pinggang.
"Maafin Dinah, Om. Dinah enggak maksud bikin Om Tristan kaget, jangan benci Dinah, Om," ratap Dinah yang membuat hati Tristan semakin merasa bersalah. Harusnya dirinya yang bilang begitu.
"Saya juga minta maaf, kamu pasti terkejut sekali saya bentak seperti tadi," ucap Tristan yang mendapat anggukan dari Dinah.
"Memang kamu kenapa, kok sampai tiba-tiba memukul begitu?" tanya Tristan penasaran.
Dinah menegakkan tubuhnya, mengusap air mata yang tertinggal di pipi. "Tadi aku liat ada anak kucing di sana, kita turun yuk, Om! Kita lihat kucingnya," bujuk Dinah.
Rasanya saat ini Tristan seperti berada dalam lagunya Naomi Scott, original soundtrack Aladdin. Iya, SPEECHLESS! Astaga, hanya karena anak kucing Dinah hampir saja membuat mereka celaka. Namun, akhirnya
Tristan menurutinya juga. Ia tak punya pilihan lain, daripada harus mendengar tangisan Dinah.Dinah berlari pelan meninggalkan Tristan di belakangnya. Di dalam kardus, dua anak kucing berwarna abu-abu dan seputih salju meringkuk kedinginan di sana.
Dinah menggendong yang warna putih, sedangkan yang satunya lagi digendong Tristan. Sebenarnya pria itu tak pernah sedekat ini dengan kucing, Tristan lebih suka memelihara anak anjing. Bahkan dia punya satu, dan diberi nama Burung. Jangan heran, sebab yang memberi nama pada anjingnya adalah Kiandra. Meskipun begitu, Tristan begitu menyayangi anak anjing berjenis Pomsky iti. Tristan malah lebih sayang anjing itu dibandingkan followers I*-nya.
Seperti namanya, Pomsky adalah persilangan antara husky Siberia dengan Pomeranian. Pomsky cenderung memiliki ukuran yang bervariasi.
Campuran ini cenderung memiliki tingkat energi yang tinggi, Tristan selalu menjadikan anak anjing itu sebagai pelepas lelah. Ketika merasa pening denga pekerjaannya.
"Ini kan jenis kucing Ragdoll cat, kok bisa-bisanya dibuang, sih?" gumam Dinah pada dirinya sendiri.
Tristan yang mendengarnya pun bertanya, "memang kucing ini tidak boleh dibuang?"
Dinah menoleh. "Bukan gitu, Om. Ini kucing mahal!" sahut Dinah.
"Kayak Milkita saja mahal. Tiga loli Milkita, setara dengan 120 kalori," ucap Tristan meniru iklan tersebut.
Dinah tertawa, tak pernah tahu kalau pria ini bisa seabsurb itu. Mereka pun membawa kedua anak kucing tadi pulang.
"Mau diberi nama siapa?" Dinah yang mendengar pertanyaan itu mengernyitkan keningnya sesaat.
"Hum, Milo sama Snowy aja, gimana?" usul Dinah.
"Milo yang warnanya abu-abu, kalau Snowy yang warnanya putih." Tristan mengangguk-anggukkan kepalanya. Tidak buruk juga.
"Nah, Milo dan Snowy. Jaga Kak Dinahnya selama Om pergi, ya." Tristan berbicara pada kedua kucing itu.
'Jangan baper, please!' rutuk Dinah dalam hati.
To be continue.
Hari ini, mungkin menjadi salah satu hari yang tidak ingin Dinah hadapi dalam hidupnya. Terang saja, orang yang saat ini mulai Dinah sayangi, malah harus pergi jauh dan entah kapan akan kembali. Ada perasaan tak rela di hati gadis itu untuk melepas Tristan, meskipun status di antara mereka berdua belum resmi berpacaran. Damn! Dengan sedikit bermalas-malasan, Dinah bangun dan bersiap. Ia akan mengantar keberangkatan Tristan sebentar lagi. Bagaimanapun, Dinah tak boleh tampil seperti gembel. Sejak kemarin wajah Dinah terlihat begitu muram. Tristan yang menjemputnya, sedangkan Jafran serta orang tua mereka berdua sudah berangkat lebih dulu ke pangkalan udara militer Indonesia. Entah mengapa, hatinya kian sesak saja mengingat Tristan yang sebentar lagi tak berada di sampingnya beberapa waktu ke depan. Dinah yang baru saja akan memakai flatshoes -nya, ditahan oleh tangan kekar Tris
Setelah penyelesaian misi kemarin malam, hari ini PBB memberikan jatuhan sanksi untuk Korea Utara. Sanksi tersebut berupa larangan untuk melakukan gencatan senjata dalam hal apa pun, serta pemecatan secara tidak hormat dari pihak Korea Utara untuk militer pelanggar yang melakukan pemberontakan.Tristan tersenyum remeh sambil menatap tajam ke arah Il Woo, mungkin pria itu akan semakin membencinya nanti. Namun, siapa peduli jika hal itu terjadi? Tristan tak mau ambil pusing, dibenci oleh Il Woo bukanlah masalah besar baginya.Hari ini Tristan juga kesembilan anggota lainnya, yang merupakan timnya sendiri akan pulang ke Indonesia. Tristan ingin sekali cepat sampai dan menemui keluarganya, lalu tentu saja menemui Dinah. Rindu? Sudah pasti, apalagi setelah pembebasan para sandra. Tristan belum sempat mengabari gadis itu.Ia pikir, akan bagus jika ia membuat kejutan untuk Dinah. Gadis itu pasti akan sangat senang melihatnya tiba
Setelah berkumpul dengan teman-teman Dinah, kini kedua kakak-beradik itu tengah berada di perjalanan pulang. Dinah sesekali melirik ke arah Jafran. Entah perasaannya saja atau kakaknya itu memang terlihat murung semenjak pulang dari tempat tadi. Jafran mendadak menjadi sangat pendiam. Bahkan nampak acuh, sekalipun tahu Dinah memerhatikannya sepanjang perjalanan."Bang." Hening, tak ada jawaban dari Jafran."Abang." Sekali lagi Dinah memanggil dengan sedikit meninggikan suara.Namun, pria itu seolah menulikan pendengarannya. Dinah mendengkus menahan gondok, cukup sudah. Gadis itu menarik napas dalam-dalam, lalu ditahan sesaat sebelum akhirnya ...."BANG JAFRAN ANAKNYA BAPAK DANAR!" panggil Dinah setengah berteriak. Seandainya ia hidup di dalam animasi, pasti saat ini asap mengepul di atas kepalanya."A-apa, Dek?" jawab Jafran gelapan. Jafran merasa seperti ditarik kembali ke kehidupan nyata
Jafran memarkirkan mobilnya di salah satu pelataran kafe. Berjalan dengan langkah tegap nan lebar ke dalam, ternyata Adiyakhsa bersaudara sudah menunggu dirinya. Terlihat kakak-beradik itu langsung bangkit menyambut sahabat mereka."Yo, Bro! Udah lama nunggunya?" tanya Jafran basa-basi."Kagak. Baru lima manit yang lalu gue sama Kanindra nyampe," terang Kiandra sang kakak.Kepribadian antara Kanindra dan Kiandra memang sedikit bertolak belakang. Kiandra sosok yang ceria, mudah mendapatkan teman, jahil, tapi baik hati. Sedangkan Kanindra. Sosok yang sedikit kaku, cerdas, pengamat yang baik, tapi juga lumayan jahil pada orang-orang terdekatnya."Lo mau ngomongin apa?" tembak Kanindra to the point. Ketiga pria berusia matang itu duduk melingkar di satu meja bundar kafe. Ekspresi mereka mendadak serius, sebab Jafran tak menampakkan ekspresi lain sejak ia datang."Kal
Setelah pertemuan singkat tadi, Alya menyarankan untuk tidak langsung membawa Tristan atau Gibran pulang bersama mereka hari ini. Setidaknya, Dinah dan Jafran harus menceritakan perihal ini pada keluarga mereka sendiri, dan keluarga Tristan juga tentu saja.Tepat pukul tujuh malam, Dinah dan kakaknya pulang. Setelah mengucap salam Dinah dan Jafran memilih untuk membersihkan tubuh mereka dan makan malam terlebih dahulu. Ada rasa gugup saat Dinah memilih kata tepat yang akan ia katakan pada orang tuanya nanti. Dinah takut ayah dan ibunya tak percaya, tapi sepertinya Dinah lupa. Jafran akan membela tanpa diminta, karena abangnya itu tahu pasti apa yang mereka alami hari ini.Saat ini mereka tengah bersantai di ruang keluarga. Ayah dan bunda terlihat asik menonton, sedangkan Dinah dan Jafran saling melempar kode masing-masing. Melihat jam dinding yang baru memasuki jam delapan malam. Sepertinya belum terlalu malam jika mereka harus mengundang
Hari ini ada yang berbeda, Dinah dan teman-temannya tengah mengantar seseorang di bandara. Salah satu di antara mereka akan melanjutkan pendidikannya di luar negeri. Orang itu tak lain ialah Yuna, mengingat di antara mereka Yuna merupakan murid yang paling menonjol dalam hal akademik. Selain itu, orang tua Yuna sudah merancang pendidikannya sedemikian rupa.Tersiar kabar sewaktu mereka masih SMA. Bahwasannya Yuna akan menjalankan perusahaan keluarga. Yuna terhitung sebagai salah satu siswi dengan kondisi ekonomi yang sangat bagus. Ayahnya sebagai pendiri perusahaan yang bergerak di bidang lokomotif. Sedangkan ibunya merupakan perancang busana terkenal. Bahkan beberapa karya ibunya telah digunakan oleh aktor dan aktris hollywood.Namun, Yuna hanya anak tunggal. Ia seringkali merasa kesepian. Terlebih, baik ibu dan ayahnya sama-sama sibuk dengan urusan bisnis masing-masing. Parahnya, orang tua Yuna seolah memberikan beban berupa tuntutan nil
Arsyana memeluk Dinah dengan sabar, sedangkan tangannya sibuk mengusap lembut punggung mungil milik sahabatnya itu. Entah apa yang terjadi pada Dinah, sampai gadis itu menangis sesenggukkan dan sekacau ini. Dinah tak pernah terlihat semenyedihkan ini sebelumnya. Itu jika berkaitan tentang cinta, bahkan ketika putus dari Arga pun. Kondisi Dinah dikatakan jauh dari ini.Perlahan Dinah melerai pelukannya pada Arsyana, menghapus jejak air mata pada wajahnya. Lalu mengatur napasnya yang memburu sejak tadi. Dinah semakin pusing, dan suhu tubuhnya juga masih sama. Rasanya emosi dan kecewa membaur dan menyatu dalam dada Dinah menjadi amarah."Din, ada apa? Kenapa lo nangis kejer kayak gini? Si Arga nyakitin lo, iya?" tanya Syana membuka obrolan. Biar bagaimanapun, mereka harus saling membagi cerita agar masalah lekas selesai.Dinah menggeleng pelan, kemudian gadis itu pun menceritakan semuanya tanpa mengurangi, atau melebihkan fak
Tristan kembali terlihat dingin setelah ia tak lagi menjalin komunikasi dengan Dinah beberapa minggu belakangan ini. Bahkan beberapa teman dan rekan kerjanya, merasa aneh atas sikap Tristan yang kembali seperti dulu. Jika dulu pria itu masih bisa diajak bercanda, sekarang diajak bicara pun jarang direspon kalau tidak terlalu penting.Tidak ada yang tahu. Meskipun pria itu memang sudah putus dari Dinah, tapi ia tak langsung menjalin hubungan dengan Nara. Entah apa alasan Tristan melakukan hal itu. Namun tentu saja membuat Nara kebingungan setengah mati.Kendati demikian, Tristan malah bingung untuk memberitahukan perihal ini pada keluarganya. Bukan karena ia takut. Namun, karena hatinya sendiri masih bimbang. Ia ingin benar-benar memastikan, bahwa hatinya akan memilih siapa nanti. Boleh saja Dinah menganggap hubungan mereka selesai, tapi bagi Tristan hal seperti itu tidak berlaku. Hubungan yang terjalin di antara mereka, disetujui ole
Beberapa kali manik mata Dinah menatap tak tenang keluar jendela. Helaan napas penenang, seolah tak memberikan kesan apa pun bagi Dinah. Karena pada kenyataannya, Dinah masih sama. Masih risau, khawatir, juga takut dengan alasan tak tentu."Tenang, Din. Kamu dari tadi mondar-mandir terus. Enggak capek? Kakak aja liatnya pusing, loh," tegur Alya--kakak iparnya.Cukup bosan melihat apa yang Dinah lakukan sejak tadi.Wanita dewasa itu sibuk menyuapi gadis kecil, yang kini asik menikmati apel dalam gendongan ibunya. Menggigit di mana saja, asal bisa dirasa manis. Lucu dan sangat menggemaskan, itu jika saja Dinah tak sedang mengatur degupan jantungnya sendiri.Mengikuti saran kakak iparnya Dinah perlahan berangsur tenang. Setidaknya, ia tak berjalan hilir mudik di depan pintu kamar hotelnya, atau menatap resah keluar jendela.Tepat saat Dinah akan mendudukkan diri di samping Alya, seseorang jus
"Sakit karena kehancuran sebuah hubungan itu, selalu berdampak buruk kepada yang mengalaminya. Jangankan yang berkali-kali, yang sekali saja bisa membuatmu kehilangan kewarasan. Saya lebih suka memulai hal baru, dengan orang baru. Kita bukan sedang ulangan, maka dari itu tak ada kata remedial dalam sebuah percintaan. Baik kamu, atau saya. Kita cuma punya dua pilihan. Memulai yang baru, atau tetap di sini dan merasakan sakit itu sampai akhir." - Dari Dinah, untuk Arga. Ketika kamu jatuh cinta, lantas menduakannya. Kamu harus memilih yang kedua, sebab jika benar kamu mencintai yang pertama. Maka cinta kedua tak akan pernah hadir sebagai luka. - In Relationship.***Malam ini ditemani miliaran bintang yang berkelipan di langit Gaza, Arga terduduk seorang diri sambil meren
"I know that I'm late to say sorry, but late is better then never. Right?" - Tristan, untuk Dinah. "Manusia yang jatuh cinta itu sama seperti anak kecil dan permainannya. Tahu betapa sakitnya ketika jatuh, tapi bodohnya mereka tetap menahan luka yang sama. Itu semua bukan tanpa alasan, mereka selalu punya alasan untuk bertahan pada sesuatu yang menyakitkan." Balasan dari Dinah, untuk Tristan. ***Winarti menatap buliran hujan yang jatuh membasahi Bumi dari balik jendela. Tangannya terangkat meraba benda bening itu, mencoba merasakan dingin yang tersalur dari luar tempat dirinya berdiri.Hujan di bulan Juli. Dingin menelisik, menggigit hingga ke tulang-tulang seolah tak ada artinya bagi wanita paruh baya tersebut. Ia tengah rindu, tapi tak tahu bagaima
"Banyak yang bilang, kasih sayang sebesar itu bisa mengakibatkan rasa sakit yang sama besarnya. Tidak peduli sepandai apa kita berhati-hati agar tidak sampai menyakiti. Pada kenyataannya, selalu ada celah yang tak pernah bisa dihindari." - Jafran, In Relationship. Mungkin benar, dalam sebuah kelompok. Kamu hanya perlu kejujuran, juga saling percaya agar semuanya berjalan sebaik yang kamu mau. - In Relationship. ***Jafran meletakkan cangkir kopi kosongnya. Ini masalah kebiasaan, Jafran terlalu mencintai kopi. Meskipun adiknya sudah berulang kali memperingati dirinya tentang bahaya mengonsumsi kopi terlalu banyak, tapi ia hanya mengiyakan. Tanpa ada niat untuk benar-benar melepaskan minuman beraroma tersebut.Saat ini, apa kiranya yang ia lakukan? Enta
"Mungkin memang benar, kuncinya adalah coba mengikuti alur yang baru saja. Supaya kita tak terkurung kecanggungan itu sendiri," - Yuna, untuk dirinya sendiri. ***Terhitung sudah hampir dua minggu Dinah berada di Palestina. Niat hari ini untuk pergi mengunjungi sebuah tempat dengan Tristan malah tak jadi. Karena Dinah berubah pikiran dan menolak pergi ketika melihat luka pria itu. Memang lebih baik jika keinginan itu ditunda dulu, setidaknya sampai Tristan sudah lebih baik.Tristan yang keras kepala bisa kalah dengan Dinah. Lebih tepatnya, Tristan menurut setelah mendengar perkataan Dinah. "Om itu bukan super hero. Berhenti buat terlihat baik-baik aja, padahal sebenarnya Om juga terluka!"Bagaimana bisa Tristan tidak menurut kalau seperti itu. Dinah marah, dan Tristan tidak mau membuat masalah lagi. Apa
Ingat petuah ini? Sedewasa apa pun kamu, selamanya kamu hanya akan menjadi bayi bagi kedua orang tuamu. - Elma T Rizki - In Relationship. Terkadang, ada saat di mana kita perlu memaksakan hati untuk tetap kuat. Menerima kehilangan terbesar, kehilangan mereka yang sebenarnya ingin selalu kita lihat setiap harinya. - In Relationship. ***Hening menyelimuti ketiga orang di dalam bangunan tersebut. Dinah menelan kasar gumpalan di pangkal tenggorokannya susah payah. Hatinya bergemuruh cemas, apalagi melihat seringaian menyeramkan dari pria yang berdiri di hadapan Tristan di ujung sana. Terlebih, kedua laki-laki itu berbincang dalam bahasa asing. Dinah sama sekali tak mengerti.Sejujurnya, Dinah tak pernah belajar Bahasa Ibrani. Ia cukup kagum mengetahui Tr
Bagaimana pun, pertumpahan darah tidak bisa dijadikan jaminan bahwa masalah akan selesai. Selalu ada resiko dari sebuah dendam. Selalu! - Elma T Rizki - In Relationship. "Waktu selalu bisa membantu kita menemukan sesuatu yang kita butuhkan, bukan hanya sekadar yang kita inginkan." - Iqbal A, untuk Citra. Sepertinya sebuah hubungan selalu bisa menyeretmu dalam kesakitan. Entah itu kemarin, hari ini, atau juga besok. Pada intinya, sesuatu yang awalnya manis. Bukan jaminan bahwa akhirnya juga bahagia. - Elma T Rizki - In Relationship. *** Sesuai apa yang diucapkannya tadi. Setelah mereka mengantar para relawan kembali ke markas, seluruh anggota tim yang dipimpin oleh Tristan k
"Semua orang selalu punya cara sendiri untuk memperlihatkan cintanya ke orang terkasih. Terkadang, orang menganggap itu adalah sebuah kebodohan, tapi enggak ada yang namanya kebodohan dalam cinta. Mereka melakukannya, karena mereka ingin dan mereka ikhlas." - Jifran, untuk Arsyana. Manusia dengan sifatnya yang tak pernah merasa puas, merasa berkuasa. Bahkan jika harus merebut yang bukan miliknya. Lucu sekali! - Elma T Rizki - In Relationship. Memang tidak sedekat antara Tuhan dengan hambanya. Orang-orang selalu yakin, bahwa hamba dan Tuhannya sedekat jantung dengan tulang rusuk, tapi seseorang yang kamu cintai. Mereka sebelumnya juga sempat terukir di bagian dalam hati, bukan? - In Relationship. ***
"Patah hati itu ngeselin, ya. Semakin ingin maju, sakitnya malah semakin memanggil dari suara masalalu." - Iqbal A, untuk Dinah. "Mungkin, Allah memberika rasa sakit ini, supaya aku bisa semakin dekat kepada Dia. Selama ini, aku sering lupa, bahwa aku hidup dengan pilar teguh yang bernama agama. Percuma juga sebenarnya, karena imanku tipis." - Maidinah Hafidzah, untuk dirinya sendiri. "Lucu, kenapa manusia selalu dibuat bingung dengan pilihanya sendiri?" - Arqian Argantara.~*~Seorang pria berlari pelan menyusuri taman komplek, tempat di mana ia akan menemui seseorang. Begitu kaki jenjangnya menapak sempurna di sana, maniknya mengedar ke sagala sisi, mencari sosok yang mungkin saja sudah pulang bermenit-menit yang lalu."Shit! Uda