Suasana mengharu biru menghiasi PT. Kimia Berjaya. Sesuai instruksi Bambang, Eka ditarik ke perusahaan utama dan posisinya akan digantikan salah seorang kerabat yang cukup kompeten. Oleh karena itu, dia mengadakan acara perpisahan singkat di aula perusahaan.Setelah melewati beberapa protokol umum acara, tibalah saatnya Eka memberikan salam perpisahan. Dia maju ke podium dengan elegan. Matanya menatap satu per satu karyawan yang berhadir dengan hangat.Terlebih dulu, Eka memberi salam. Dia mengatur napas sejenak, lalu mulai berbicara, "Seperti Anda sekalian ketahui, saya akan dipindahkan ke PT. Hartono Mulya Sejahtera. Oleh karena itu, saya ingin mengucapkan ...."Eka terdiam cukup lama karena sesak dalam dada. Sesungguhnya, dia berat meninggalkan PT. Kimia Berjaya. Jika boleh memilih, Eka ingin tetap di sana. Namun, ada tujuan besar yang tengah dirancang dan hanya bisa diwujudkan dengan bergabung ke perusahaan utama."Saya ingin mengucapkan terima kasih ... terima kasih Anda sekalian
Surti!" Tetesan merah mengotori putihnya kelopak bunga. Timah panas sudah menembus pangkal lengan Surtini, menyisakan aroma mesiu bercampur anyir darah. Eka membebat lengan Surtini dengan sapu tangannya. Namun, gadis pujaan hatinya itu malah berseru, "Ini bukan apa-apa, Non! Cepat lari!" Bruk! Surtini malah ambruk dan tak sadarkan diri. Eka menggeram. Tatapannya nyalang memburu para penjahat. Setelah menyandarkan Surtini di pohon terdekat, dia mendadak melompat ke depan, menerjang si pembawa senjata api. Preman itu tersentak dan menjadi lengah, sehingga pistol direbut dengan mudah dari tangannya. "Berengs*k! Bocah Anj*ng!" umpat si preman. Dia hendak memburu Eka. Namun, lelaki itu salah langkah. Eka bukanlah korban lemah yang merebut senjata lawan karena panik. Sudah 2 tahun terakhir, Rivan mengajarinya menembak. Kemampuan Eka jelas di atas rata-rata, tak pernah meleset meski 1 cm pun dari sasaran. Dor! Tanpa berkedip, satu timah panas melesat menembus jantung salah satu preman
Pesan gambar masuk secara beruntun. Bambang Hartono mengalihkan sejenak pandangan dari majalah bisnis. Dia membuka pesan dengan sorot mata serius saat melihat nama kontak si pengirim. Hanya dalam hitungan detik wajahnya seketika merah padam.“Wanita murahan!” umpatnya dengan suara menggelegar.Gayatri yang tengah menyeruput teh terlonjak dan tersedak. Hampir saja dia menyemburkan teh ke wajah sang suami. Untung saja, wanita tua itu sempat memalingkan muka, sehingga noda coklat beraroma mint hanya mengotori taplak meja.“Ada apa, Mas? Bikin kaget saja,” gerutu Gayatri setelah lebih tenang. Dia beberapa kali mengelus dada yang masih sedikit berdebar.“Aku tidak menyangka Eka akan melakukan hal bodoh yang sama dengan ayahya. Dia terlalu cerdik untuk berbuat konyol seperti ini!” geram Bambang. Dia menggemeletukkan gigi dengan tangan terkepal kuat, hingga terlihat buku-buku jari.“Maksudmu apa, sih, Mas? Jangan buat aku bingung,” cerocos Gayatri dengan kening berkerut.Ada sedikit kegelisa
Eka mengusap tengkuk. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Dia merasakan firasat buruk. Berbagai macam prasangka bermunculan dalam benak, dugaan tentang siapa di antara musuh-musuhnya yang tengah merencanakan hal jahat. "Bambang Hartono? Ah, tidak mungkin! Saat ini, serigala tua itu malah sedang menginginkanku." "Kemungkinan besar Nyonya Jihan atau putranya si Andre yang tidak berguna." "Tapi, kenapa aku malah terpikirkan Nyonya Gayatri? Seharusnya, dia yang paling tidak berbahaya. Tapi, kemungkinan paling kecil bisa saja terjadi. Bukankah Nyonya Gayatri sangat membenci mama?" Eka terus perang batin. Tumpukan dokumen di mejanya menjadi terabaikan. Surtini yang tadinya sibuk memeriksa jadwal sang atasan mengalihkan perhatian. Tak biasanya Eka sampai melalaikan pekerjaan seperti itu. Dia pun menghampiri dan menepuk pundak Eka pelan. "Non? Non Eka?" panggilnya. Eka tersentak dan gelagapan. Pasalnya, Wajah Surtini begitu dekat, hingga terasa embusan napas gadis itu. Jiwa serigala dalam di
Surtini menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya menatap kaca jendela. Rasa bosan tengah melanda. Biasanya, akhir pekan Eka akan datang dan mengajak jalan-jalan. Momen-momen indah bersama sang kekasih masih terbayang-bayang dalam benak. Namun, hari ini, dia harus bertahan dengan kesepian. Eka “dipaksa” untuk pulang ke Kediaman Hartono tanpa Surtini. Menurut kabar yang dikorek Surtini dari salah seorang teman pelayan, secara kebetulan Sylvia Ariana Sanjaya juga tengah mengunjungi Clarissa. Surtini tahu betul hal tersebut telah direncanakan. Perancangnya tentu saja Gayatri. “Huh? Tapi, Non Eka enggak mungkinlah suka sama cewek jahat kayak gitu,” gumam Surtini. “Non ... Surti rindu ....” “Sur, Surti!” Surtini tersentak. Terdengar suara Hastuti memanggilnya. Dia pun bangkit dengan malas dari kasur dan ke luar kamar. Namun, ketika berada di ruang tamu, wajahnya seketika merona. Surtini tentu malu dilihat dalam keadaan berantakan oleh Amira. “Eh, ada Tante Amira, maaf Surti acak-acak
"Rubah tua licik itu benar-benar membuatku ingin mencekiknya!" gerutu Eka dengan tangan terkepal kuat.Dia hampir saja meninju kaca mobil. Kekesalan Eka bukan tanpa alasan. Sejak kejadian Surtini hampir ditusuk, hal-hal buruk terus menghampiri gadis itu, mulai dari dikejar anjing sampai hampir tertabrak truk. Eka tentu bisa menebak otak rencana jahat tersebut adalah orang yang sama, Gayatri."Sudah, Non, sudah," bujuk Surtini seraya mengusap-usap punggung Eka. Wajahnya tampak sangat serius saat berkata, "Jangan ngomong jahat ke Nyonya Gayatri, Non. Nanti Non dikutuk jadi batu lagi."Emosi Eka seketika surut. Dia tergelak. Kepolosan Surtini memang sangat menghibur. Bisa-bisanya gadis berusia awal 20-an masih percaya dengan kutukan menjadi batu. Seandainya, seorang anak durhaka pun, pasti azabnya akan lebih logis, sakit tak kunjung sembuh atau kesulitan saat sakaratul maut misalnya."Ish, Non Eka malah ketawa!" sungut Surtini."Habisnya kamu lucu. Mana mungkin bertuah mulut orang jahat
Sepeninggal Surtini, Eka segera mengamati sekeliling kamar. Perhatiannya langsung terjerat pada nampan di nakas. Nampan tersebut berisi jus yang sudah diminum setengahnya dan sepotong kue bekas digigit. Dia pun mendekat dan mengendusnya.Eka mengelus dagu. "Sepertinya, ada sesuatu dalam makanan dan minuman ini," gumamnya. Dia menyeringai. "Baiklah, anjingnya rubah tua, kau akan merasakan neraka dari bidadari palsu."Tak ingin membuang waktu, Eka segera menjalankan rencananya. Pertama, dia mematikan sebagian lampu agar pencahayaan remang-remang, sehingga wajahnya akan sulit terlihat atau dikenali. Selanjutnya, dia membuka koper Surtini dan mengambil sehelai gaun kasual. Beruntung, gadis itu tergolong tinggi besar, sehingga ukurannya tidak terlalu jauh dengan Eka.Baru saja Eka berganti pakaian dan melilitkan handuk di kepala, terdengar langkah kaki dari luar. Pintu perlahan terbuka. Seorang pria mengendap-endap masuk. Meskipun sudah memberi obat tidur, rupanya si penjahat tetap berhati
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal