Eka mengusap tengkuk. Bulu kuduknya mendadak berdiri. Dia merasakan firasat buruk. Berbagai macam prasangka bermunculan dalam benak, dugaan tentang siapa di antara musuh-musuhnya yang tengah merencanakan hal jahat. "Bambang Hartono? Ah, tidak mungkin! Saat ini, serigala tua itu malah sedang menginginkanku." "Kemungkinan besar Nyonya Jihan atau putranya si Andre yang tidak berguna." "Tapi, kenapa aku malah terpikirkan Nyonya Gayatri? Seharusnya, dia yang paling tidak berbahaya. Tapi, kemungkinan paling kecil bisa saja terjadi. Bukankah Nyonya Gayatri sangat membenci mama?" Eka terus perang batin. Tumpukan dokumen di mejanya menjadi terabaikan. Surtini yang tadinya sibuk memeriksa jadwal sang atasan mengalihkan perhatian. Tak biasanya Eka sampai melalaikan pekerjaan seperti itu. Dia pun menghampiri dan menepuk pundak Eka pelan. "Non? Non Eka?" panggilnya. Eka tersentak dan gelagapan. Pasalnya, Wajah Surtini begitu dekat, hingga terasa embusan napas gadis itu. Jiwa serigala dalam di
Surtini menopang dagu dengan kedua tangan. Matanya menatap kaca jendela. Rasa bosan tengah melanda. Biasanya, akhir pekan Eka akan datang dan mengajak jalan-jalan. Momen-momen indah bersama sang kekasih masih terbayang-bayang dalam benak. Namun, hari ini, dia harus bertahan dengan kesepian. Eka “dipaksa” untuk pulang ke Kediaman Hartono tanpa Surtini. Menurut kabar yang dikorek Surtini dari salah seorang teman pelayan, secara kebetulan Sylvia Ariana Sanjaya juga tengah mengunjungi Clarissa. Surtini tahu betul hal tersebut telah direncanakan. Perancangnya tentu saja Gayatri. “Huh? Tapi, Non Eka enggak mungkinlah suka sama cewek jahat kayak gitu,” gumam Surtini. “Non ... Surti rindu ....” “Sur, Surti!” Surtini tersentak. Terdengar suara Hastuti memanggilnya. Dia pun bangkit dengan malas dari kasur dan ke luar kamar. Namun, ketika berada di ruang tamu, wajahnya seketika merona. Surtini tentu malu dilihat dalam keadaan berantakan oleh Amira. “Eh, ada Tante Amira, maaf Surti acak-acak
"Rubah tua licik itu benar-benar membuatku ingin mencekiknya!" gerutu Eka dengan tangan terkepal kuat.Dia hampir saja meninju kaca mobil. Kekesalan Eka bukan tanpa alasan. Sejak kejadian Surtini hampir ditusuk, hal-hal buruk terus menghampiri gadis itu, mulai dari dikejar anjing sampai hampir tertabrak truk. Eka tentu bisa menebak otak rencana jahat tersebut adalah orang yang sama, Gayatri."Sudah, Non, sudah," bujuk Surtini seraya mengusap-usap punggung Eka. Wajahnya tampak sangat serius saat berkata, "Jangan ngomong jahat ke Nyonya Gayatri, Non. Nanti Non dikutuk jadi batu lagi."Emosi Eka seketika surut. Dia tergelak. Kepolosan Surtini memang sangat menghibur. Bisa-bisanya gadis berusia awal 20-an masih percaya dengan kutukan menjadi batu. Seandainya, seorang anak durhaka pun, pasti azabnya akan lebih logis, sakit tak kunjung sembuh atau kesulitan saat sakaratul maut misalnya."Ish, Non Eka malah ketawa!" sungut Surtini."Habisnya kamu lucu. Mana mungkin bertuah mulut orang jahat
Sepeninggal Surtini, Eka segera mengamati sekeliling kamar. Perhatiannya langsung terjerat pada nampan di nakas. Nampan tersebut berisi jus yang sudah diminum setengahnya dan sepotong kue bekas digigit. Dia pun mendekat dan mengendusnya.Eka mengelus dagu. "Sepertinya, ada sesuatu dalam makanan dan minuman ini," gumamnya. Dia menyeringai. "Baiklah, anjingnya rubah tua, kau akan merasakan neraka dari bidadari palsu."Tak ingin membuang waktu, Eka segera menjalankan rencananya. Pertama, dia mematikan sebagian lampu agar pencahayaan remang-remang, sehingga wajahnya akan sulit terlihat atau dikenali. Selanjutnya, dia membuka koper Surtini dan mengambil sehelai gaun kasual. Beruntung, gadis itu tergolong tinggi besar, sehingga ukurannya tidak terlalu jauh dengan Eka.Baru saja Eka berganti pakaian dan melilitkan handuk di kepala, terdengar langkah kaki dari luar. Pintu perlahan terbuka. Seorang pria mengendap-endap masuk. Meskipun sudah memberi obat tidur, rupanya si penjahat tetap berhati
Ruang wakil direktur Hartono Group terasa mencekam. Dua pria berhadapan dengan topik pembicaraan yang pelik. Eka mengetuk meja dengan ujung pulpennya beberapa kali. Sementara lelaki paruh baya di depannya terus menjelaskan kesalahan-kesalahan yang dilakukan pihak perusahaan mereka, sehingga permasalahan semakin membesar dan dapat menyebabkan proyek harus ditunda atau bahkan dihentikan.“Surti, mana laporan yang kuminta kemarin!” titah Eka dengan wajah dingin.Surtini segera mencarikan laporan yang diminta dan segera menyerahkannya. Eka membuka lembaran dokumen. Mata elangnya tiba-tiba mendelik. Dia mendecakkan lidah."Ini sudah yang ketiga kalinya, Surti! Kenapa mengerjakan ini saja kamu tidak bisa!" bentak Eka sembari menghempaskan dokumen di meja.Sudah seminggu berlalu sejak masalah menimpa proyek yang tengah ditangani Eka. Dia mudah menjadi emosional dan jauh lebih sensitif dibandingkan biasanya. Hampir tak ada karyawan yang lolos dari amukannya. Hari-hari yang lalu, Surtini selal
Waktu berlalu dengan cepat. Sylvia telah benar-benar masuk ke tim proyek terbaru. Perlahan, dia menjalin keakraban dengan Eka. Taktik yang digunakannya adalah tampil sebagai wanita cerdas dan kreatif. Sylvia berusaha menunjukkan dirinya sudah berubah, tidak akan ada lagi anak manja sombong.Sayangnya, semua itu palsu. Ide-ide brilian yang sering diajukan dan mendapat pujian dari Eka tidak orisinil. Secara rutin, Sylvia berkomunikasi dengan asisten kakeknya yang juga dikenal sebagai jenius.Seperti hari ini, Sylvia kembali datang ke kantor Eka. Dia membawa beberapa dokumen. Surtini sempat melirik sinis, tetapi cepat berpura-pura mengerjakan laporan ketika Eka memberi peringatan lewat isyarat mata."Kalo begini bagaimana, Ka?" tanya Sylvia saat sudah duduk di hadapan Eka. Dia menunjukkan lembar kedua dari dokumen yang dibawanya.Eka membaca isi dokumen. Mata elangnya menelaah setiap baris kalimat. Beberapa kali, dia mengelus dagu. Sylvia mencuri kesempatan untuk memandangi wajah tampan i
"Aku sangat berterima kasih atas perhatian Mas Rehan, tapi perasaan tidak bisa dipaksakan. Maaf, Mas, aku tidak bisa menerima perasaanmu," tutur Surtini dengan perasaan tak enak hati. Dia tak menyangka perkataan Amira beberapa waktu lalu terbukti kebenarannya. Ternyata, Rehan memang memendam rasa bahkan sejak mereka masih remaja. Menolak cinta pemuda baik tentu menyisakan rasa bersalah dan kecanggungan yang sungguh mencekik. Namun, Surtini juga tidak akan pernah coba-coba dengan perasaan orang lain. Dia tidak mau menerima Rehan dengan masih menyimpan Eka di hati. Hal seperti itu sangat kejam dan tidak adil. Pemuda dengan kualitas sekelas Rehan tak seharusnya menjadi pelarian.Sorot mata Rehan jelas memancarkan kekecewaan, tetapi pemuda itu berusaha tersenyum tegar. "Baiklah, Mas mengerti.”Meskipun menjawab seperti itu, harapan Rehan belum pupus. Dia berpikir Surtini hanya masih terluka. Jika suatu saat gadis itu sudah move on, pasti akan membuka hatinya lagi untuk cinta yang baru.
Hastuti terlempar menghantam dinding. Surtini menjerit kaget. Tenaga laki-laki dan perempuan secara normal jelas memiliki perbedaan signifikan. Beno tentu bisa dengan mudah membanting putrinya."Mbak Tuti!"Surtini menghambur ke arah Hastuti, mencoba melakukan pertolongan pertama. Namun, baru berhasil menghentikan pendarahan di kening sang kakak, tubuhnya sudah ditarik dengan kasar. Beno mencengkeram kuat lengan Surtini dan menyeretnya paksa."Tunjukan di mana uang yang disimpan Rukmini! Atau kamu akan kujual!" desis Beno tajam di telinga Surtini.Brak!Pintu dibuka paksa dari luar. Lima petugas berseragam merangsek masuk. Beno mengumpat, lalu mencengkeram lengan Surtini dengan lebih kuat. Kuku-kukunya yang panjang dan kehitaman menggores luka di kulit gadis itu."Saudara Beno, menyerahlah! Anda sudah terkepung!" seru salah seorang polisi.Bukannya takut, Beno malah terbahak-bahak. Para polisi mengarahkan moncong senjata, memberikan ancaman. Namun, hal tersebut tidak juga menyurutkan