“Ih, Kak Rehan! Sakit tau!"
Suara melengking yang tidak asing membuat Rehan membuka mata. Tak ada lagi Surtini dan Eka yang tengah bermesraan. Pandangannya justru menangkap wajah kesal Reina. Sang adik melotot sambil mengelus-elus dahi benjol.
"Reina? Kenapa kamu ada di sini? Mana Surti dan Eka tadi?" cerocos Rehan dengan wajah linglung.
"Apaan, sih, Kak? Mana mungkinlah Kakak Peri sama Kak Eka ada di sini! Ngapain coba mereka ke kamar Kakak," gerutu Reina.
Dia mengerutkan kening melihat Rehan yang tengah melongo. Kakaknya itu tiba-tiba mengedarkan pandangan ke sekeliling, lalu bengong lagi dalam waktu lama. Reina sudah tak tahan dan langsung memukul lengan Rehan dengan cukup kencang.
"Aduh! Sakit, Reina!"
Rehan mendelik tajam. Biasanya, orang lain akan langsung mengkerut jika ditatapnya seperti itu. Namun, Reina jelas sudah kebal dengan pelototan sang kakak. Dia malah melirik sinis.
"Makanya jangan bengong, entar kesambet
"Hatsui!!"Surtini mengusap-usap ujung hidungnya. Akibat bergadang mengerjakan tahap akhir skripsinya, dia terkena gejala flu. Dia sampai harus mengenakan masker ke kampus.Eka tiba-tiba melepas jaket dan memasangkannya kepada Surtini. Tentu saja, si gadis pelayan tersentak, lalu merona. Dia tampak rikuh dan gelagapan."Eh, kok dipakaikan ke Surti, Non? Entar Non masuk angin lagi," protesnya."Yang lagi masuk angin itu, kan, kamu." Eka mendekatkan bibir dan berbisik, "Tubuh laki-laki juga lebih kuat."Pipi Surtini kembali merona. Dia berusaha menepis segala harapan yang tumbuh di hati. Setelah insiden penculikan, Eka tidak lagi menyembunyikan tingkah manisnya di depan orang-orang, mungkin karena Clarissa sudah terlanjur tahu. Sebagai gantinya, pemuda itu menjaga Surtini dengan lebih intens.Perhatian-perhatian Eka semakin menyemaikan benih cinta di hati Surtini. Namun, peringatan Mirna selalu terngia
Surtini tampak mempersilakan Rehan dan Eka duduk, lalu permisi ke dapur untuk membuatkan minuman. Hastuti menggeleng semakin cepat. Senyuman malu-malu, yang ditunjukkan sang adik tadi mengejutkannya. Seandainya, sorot mata penuh perhatian itu ditujukan kepada Rehan maka wajar saja. Namun, Surtini malah terlihat tersipu saat menatap Eka."Tidak mungkin ada yang aneh. Ini pasti karena dulu aku selalu mengacuhkan Surti. Dia jadi lengket sama Eka. Mana mungkin dia suka sesama perempuan, 'kan? Iya, iya, Eka hanya menggantikan peranku sebagai kakak." Perang batin terus berkecamuk. Akhirnya, Hastuti mengangguk-angguk sendiri demi menyingkirkan pikiran negatif. Dia pun cepat menyungging senyuman canggung."Lho, Dek Rehan sudah jemput aja, kuenya baru selesai dibikin. Kami juga belum pada siap-siap," sapa Hastuti. Dia ikut duduk di sofa ruang tamu. "Dek Eka juga mau berpartisipasi, ya?""Mama sudah ngomel-ngomel menyuruh jemput," sahut
"Filmnya tadi seru, ya, Non! Kayak canggih-canggih gitu! Coba kalo beneran ada!" komentar Surtini saat keluar dari bioskop. Dia memang baru saja selesai menonton film bergenre sainfiksi bersama Eka. Mereka melakukannya untuk melepas penat usai berjibaku dengan skripsi. Tadi pagi, seluruh persyaratan sudah dikumpulkan, sehingga tinggal menunggu wisuda saja. “Non Eka, kok diem aja? Non enggak suka, ya, film pilihan Surti? Kayaknya, tadi Non ngeliatin poster film yang lain,” cerocos Surtini hampir tanpa jeda. Dia tampak merasa bersalah. Eka tersenyum nakal. “Bukan begitu, aku hanya terlalu terpesona dengan wajah imutmu,” godanya. “Ih, Nona!” gerutu Surtini, membuat Eka tergelak. Sebenarnya, tebakan Surtini benar. Eka ingin memesan tiket film romantis. Pemuda itu pernah membaca buku tentang momen manis yang bisa dihadirkan dari tontonan penuh romansa. Namun, mata Surtini tampak berbinar-binar saat melihat poster film sainfiksi, membuat Eka t
Rasa syukur terucap berulang kali. Ya, Surtini melihat selembar kain butut berdebu terjepit di bawah sofa tua. Surtini semakin gembira saat melihat bekas kaleng cat berisi air sekitar tujuh langkah dari tempatnya duduk. Mungkin ada bagian atap gudang yang bocor, sehingga air hujan tertampung di situ.Sambil masih terus memeluk Eka, Surtini bergeser sedikit demi sedikit. Meskipun sedikit kesusahan, akhirnya dia berhasil meraih kain. Surtini menariknya dengan kuat. Beruntung, kain hanya sobek di bagian ujung. Gadis itu kembali mengesot menuju kaleng cat.“Semoga ini bisa melindungi Non Eka,” gumamnya sambil mencelupkan kain ke kaleng cat.Selanjutnya, Surtini menyelimuti tubuh Eka dengan kain basah. Dia bermaksud menerobos pintu sambil memapah sang “nona”. Namun, baru saja akan berdiri, tangannya digenggam erat oleh Eka. Pemuda itu mendelik tajam.“Apa yang coba kau lakukan, Surti?” Nada suara Eka kembali normal, tidak la
"Aduh, Mbak, kenapa harus dandan segala, sih? Bulu mata palsu ini bikin mata Surti jadi berat enggak bisa dibuka," gerutu Surtini.Dia mengerucutkan bibir yang tengah dipoles dengan lipstik oleh MUA. Hastuti mencubit lengan sang adik dan mendelik tajam. Ocehan Surtini memang hampir membuat kuas lipstik si penata rias menyapu pipi.Ya, hari wisuda sudah tiba. Oleh karena Rukmini dan Hastuti akan menghadiri acara pentingnya, Surtini tidak tidur di apartemen Eka. Mereka semua menginap di hotel tak jauh dari lokasi wisuda. Hastuti sedikit memaksa adiknya agar mau didandani. Meskipun awalnya menolak, Surtini menyerah juga.Akhirnya, sejak subuh, MUA yang dipesan sudah tiba di kamar hotel. Gadis berkulit hitam manis ituberjibaku untuk memoles wajah manis Surtini agar tampak semakin memesona. Untunglah, dia adalah sosok yang penyabar, sehingga tidak terganggu dengan gerutuan klien sepanjang proses make up."Sudah selesai, Mbak," celetuk si penata
Kericuhan pun terjadi. Ruangan menjadi riuh dengan teriakan-teriakan panik. Para peserta wisuda beserta keluarga mereka berhamburan menuju pintu keluar. Panitia acara yang berusaha menenangkan massa tak digubris.Hal tersebut digunakan oleh pelaku penembakan untuk melarikan dengan membaur bersama kerumunan.Beruntung, Rivan sempat melihat si pelaku. Dia langsung meringkusnya di tempat. Namun, kesetian “anjing” Jihan memang tidak main-main. Penjahat tersebut langsung menggigit kapsul berisi racun yang tersembunyi dalam mulutnya.Si pelaku penembakan seketika kelonjotan di tanah. Dia menggelepar-gelepar selama 5 menit sebelum tewas dengan mulut berbusa. Jeritan-jeritan ketakutan pun bersahutan. Kerumunan massa semakin bergegas untuk meninggalkan lokasi. Namun, ada beberapa gadis yang jatuh pingsan.“Ck! Sial!” umpat Rivan sembari meninju tembok.Sementara itu, di dalam gedung Jihan diam-diam tersenyum puas. Meskipun sediki
Porsche yang dikemudikan Rivan melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya. Meskipun wajah si asisten tampak datar dan kaku, sebenarnya tengah diserang keresahan. Namun, dia mampu menyamarkan segala macam ekspresi. Sementara itu, Gilang yang menjadi penyebab keresahan Rivan duduk di jok belakang sambil membolak-balikkan majalah bisnis.Rivan merasa terintimidasi dengan tindak-tanduk Gilang usai pulang dari rumah sakit. Atasannya itu menolak pengawal dan supir dengan alasan ingin pergi berdua saja. Jadilah, Rivan yang kini mengemudi.“Kau pasti ingin menertawakanku yang begitu pengecut bukan? Bahkan, untuk menemani putraku saja tidak bisa. Begitu Papi meminta kembali untuk mengurus perusahaan, aku langsung pergi, padahal Eka belum sadarkan diri,” celetuk Gilang tiba-tiba memecahkan keheningan yang tadi begitu mencekam.“Tidak mungkin saya berani, Pak Gilang,” sahut Rivan sesopan mungkin.Gilang tergelak. Namun, tawanya itu te
Tubuh Surtini hampir menghempas lantai. Beruntung, Rehan sempat menahannya. Dia menggendong gadis itu, lalu membaringkannya di sofa. Sementara Eka berusaha duduk dan hendak turun dari ranjang rumah sakit. Rehan mendecakkan lidah. Dia bergegas memegangi tubuh Eka.“Lepaskan aku sialan!” Eka meronta.“Jangan bodoh! Kamu baru saja operasi! Kalau lukanya terbuka lagi, Surtini pasti akan sangat sedih,” tegur Rehan.Eka seketika terdiam. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, membenci ketidakberdayaannya kini. Ucapan Rehan memang benar. Saat ini saja, Eka merasakan luka di perutnya terasa amat perih. Dia juga sangat yakin, Surtini yang begitu setia akan menangis histeris jika hal buruk terjadi.“Surtini hanya kelelahan. Dia sangat mencemaskanmu, tidak tidur semalaman, juga makan sedikit sekali. Aku akan mengantarnya pulang. Tante Rukmini dan Mbak Tuti pasti cemas. Apa pengawalmu berjaga dengan baik jika kutinggal sebentar?”