"Aduh, Mbak, kenapa harus dandan segala, sih? Bulu mata palsu ini bikin mata Surti jadi berat enggak bisa dibuka," gerutu Surtini.
Dia mengerucutkan bibir yang tengah dipoles dengan lipstik oleh MUA. Hastuti mencubit lengan sang adik dan mendelik tajam. Ocehan Surtini memang hampir membuat kuas lipstik si penata rias menyapu pipi.
Ya, hari wisuda sudah tiba. Oleh karena Rukmini dan Hastuti akan menghadiri acara pentingnya, Surtini tidak tidur di apartemen Eka. Mereka semua menginap di hotel tak jauh dari lokasi wisuda. Hastuti sedikit memaksa adiknya agar mau didandani. Meskipun awalnya menolak, Surtini menyerah juga.
Akhirnya, sejak subuh, MUA yang dipesan sudah tiba di kamar hotel. Gadis berkulit hitam manis itu berjibaku untuk memoles wajah manis Surtini agar tampak semakin memesona. Untunglah, dia adalah sosok yang penyabar, sehingga tidak terganggu dengan gerutuan klien sepanjang proses make up.
"Sudah selesai, Mbak," celetuk si penata
Kericuhan pun terjadi. Ruangan menjadi riuh dengan teriakan-teriakan panik. Para peserta wisuda beserta keluarga mereka berhamburan menuju pintu keluar. Panitia acara yang berusaha menenangkan massa tak digubris.Hal tersebut digunakan oleh pelaku penembakan untuk melarikan dengan membaur bersama kerumunan.Beruntung, Rivan sempat melihat si pelaku. Dia langsung meringkusnya di tempat. Namun, kesetian “anjing” Jihan memang tidak main-main. Penjahat tersebut langsung menggigit kapsul berisi racun yang tersembunyi dalam mulutnya.Si pelaku penembakan seketika kelonjotan di tanah. Dia menggelepar-gelepar selama 5 menit sebelum tewas dengan mulut berbusa. Jeritan-jeritan ketakutan pun bersahutan. Kerumunan massa semakin bergegas untuk meninggalkan lokasi. Namun, ada beberapa gadis yang jatuh pingsan.“Ck! Sial!” umpat Rivan sembari meninju tembok.Sementara itu, di dalam gedung Jihan diam-diam tersenyum puas. Meskipun sediki
Porsche yang dikemudikan Rivan melaju dengan kecepatan sedang membelah jalan raya. Meskipun wajah si asisten tampak datar dan kaku, sebenarnya tengah diserang keresahan. Namun, dia mampu menyamarkan segala macam ekspresi. Sementara itu, Gilang yang menjadi penyebab keresahan Rivan duduk di jok belakang sambil membolak-balikkan majalah bisnis.Rivan merasa terintimidasi dengan tindak-tanduk Gilang usai pulang dari rumah sakit. Atasannya itu menolak pengawal dan supir dengan alasan ingin pergi berdua saja. Jadilah, Rivan yang kini mengemudi.“Kau pasti ingin menertawakanku yang begitu pengecut bukan? Bahkan, untuk menemani putraku saja tidak bisa. Begitu Papi meminta kembali untuk mengurus perusahaan, aku langsung pergi, padahal Eka belum sadarkan diri,” celetuk Gilang tiba-tiba memecahkan keheningan yang tadi begitu mencekam.“Tidak mungkin saya berani, Pak Gilang,” sahut Rivan sesopan mungkin.Gilang tergelak. Namun, tawanya itu te
Tubuh Surtini hampir menghempas lantai. Beruntung, Rehan sempat menahannya. Dia menggendong gadis itu, lalu membaringkannya di sofa. Sementara Eka berusaha duduk dan hendak turun dari ranjang rumah sakit. Rehan mendecakkan lidah. Dia bergegas memegangi tubuh Eka.“Lepaskan aku sialan!” Eka meronta.“Jangan bodoh! Kamu baru saja operasi! Kalau lukanya terbuka lagi, Surtini pasti akan sangat sedih,” tegur Rehan.Eka seketika terdiam. Dia mengepalkan tangan dengan kuat, membenci ketidakberdayaannya kini. Ucapan Rehan memang benar. Saat ini saja, Eka merasakan luka di perutnya terasa amat perih. Dia juga sangat yakin, Surtini yang begitu setia akan menangis histeris jika hal buruk terjadi.“Surtini hanya kelelahan. Dia sangat mencemaskanmu, tidak tidur semalaman, juga makan sedikit sekali. Aku akan mengantarnya pulang. Tante Rukmini dan Mbak Tuti pasti cemas. Apa pengawalmu berjaga dengan baik jika kutinggal sebentar?”
Meskipun hati masih terluka akibat tidak diizinkan tetap bekerja dengan Eka, Surtini tetap datang ke rumah sakit. Dia ingin mengisi waktu yang tersisa dengan kenangan manis. Rukmini ikut serta dengan tatapan tajam seperti akan memancarkan sinar laser. Sementara Hastuti sudah pulang ke rumah karena besok harus masuk kerja.Surtini membuka pintu kamar rawat inap dengaan hati berdebar. Rasa rindu meluap, bercampur dengan kecemasan. Jantungnya seakan berhenti saat melangkah masuk. Sosok tertutup kain putih di atas ranjang besi membuat lututnya lemas. Dia mengepalkan tangan untk menguatkan hati, lalu mendekat dengan setengah berlari."Non! Non Eka!" jerit Surtini.Tubuhnya sudah tak kuat menahan beban kesedihan, terduduk lemas di lantai. Dia mulai menggerung seperti anak kecil. Rukmini yang masuk belakangan melongo melihat tingkah Surtini. Wanita itu tentu bertanya-tanya kenapa anaknya menangis di depan ranjang rawat inap tanpa pasien.Namun, belum sempat Rukm
“Beneran, Mak? Emak benar-benar ngebolehin Surti tetap kerja sama Non Eka?” cecar Surtini.Matanya tampak berbinar-binar. Dia yang sedari tadi memasukkan barang-barang ke tas seketika menghentikan gerakan. Surtini menatap ibunya lekat, bahkan hampir seperti melotot.“Iya," sahut Rukmini singkat.Surtini masih terbengong-bengong. Rukmini menggeleng pelan. Dia menepuk bahu Surtini, lalu menunjuk tas yang baru terisi setengah."Katanya tadi mau mengemas barang-barang Eka, kenapa malah bengong?"Surtini gelagapan. Dia kembali mengemas barang-barang. Hari itu, Eka memang telah diperbolehkan pulang. Meskipun luka tembak belum sepenuhnya sembuh, pemulihan pemuda itu bisa dilanjutkan dengan rawat jalan.Namun, setelah selesai mengemas barang-barang, dia kembali menatap lekat sang ibu. Surtini masih tak percaya Rukmini akan mencabut larangan bekerja dengan Eka. Kemampuan sang "nona" dalam mengambi
Para pengawal semakin sibuk menghalau wartawan. Mereka sedikit lengah dan menyisakan celah. Si penyusup tak menyia-nyiakan kesempatan. Dia merangsek maju dengan cepat. Gerakannya begitu gesit hampir tak terlihat. Sebilah belati terarah lurus.Srat! Krak!"Surti!" teriak Eka dan Rukmini berbarengan.Sementara itu, darah merembes dari telapak tangan Surtini, lalu menetes di paving blok. Tangannya cedera karena menangkap langsung belati yang terarah kepada Eka. Dia juga memelintir lengan si penjahat hingga patah.Tak hanya sampai di situ, Surtini membanting penjahat. Tak lama kemudian, tendangan-tendangan mautnya menghantam orang suruhan Jihan itu bertubi-tubi. Tak ayal, si lelaki menjadi babak belur dan terengah-engah.Cahaya blitz menghujani Surtini. Wartawan tak akan menyia-nyiakan kesempatan di depan mata. Berita tentang putra sulung Gilang Hartono yang baru keluar dari rumah sakit diserang lelaki misterius akan menjadi gorengan lar
Mobil yang dikemudikan Jihan memasuki halaman sebuah kafe. Dia memang sengaja tak menggunakan supir. Seseorang yang akan ditemuinya kini bukanlah sebatas relasi bisnis. Ada rahasia besar di antara mereka.Setelah memarkirkan mobil, Jihan keluar dengan elegan. Beberapa pasang mata mengalihkan pandangan. Meskipun sudah kepala empat, perawatan intensif membuat wajah cantiknya tetap awet muda."Dasar orang-orang menjijikkan!" umpat Jihan dalam hati.Selanjutnya, dia melenggang memasuki kafe. Namun, Jihan tidak duduk di salah satu meja ataupun memesan minuman. Dia terus berjalan melewati pintu khusus, lalu menaiki tangga untuk menuju lantai dua.Seorang pria sebaya dengannya menyambut dengan senyuman menggoda. Meskipun tidak setampan dan seatletis Gilang Hartono, lelaki itu cukup menawan. Saat dia menyunggingkan senyuman, ada daya tarik tersendiri, bisa juga disebut berkharisma.Namanya Saga. Hubungan rahasia mereka sudah terjalin lebih d
"Sampai kapan aku harus menunggu! Kenapa mencari satu anak saja kalian tidak becus, hah?"Bruk! Bruk! Bruk!Tiga tubuh tegap menghantam meja. Tinju keras bertubi-tubi baru saja dilancarkan oleh Gilang. Orang-orang suruhannya telah gagal menjalankan tugas. Dia berpikir mereka memang patut diberi hukuman.Sudah 10 tahun terakhir, Gilang mencoba mencari putra di luar nikahnya dengan Murni secara diam-diam. Jika sudah ditemukan, dia akan menyembunyikannya di tempat aman. Namun, pencarian tak pernah membuahkan hasil, padahal Gilang harus berpacu dengan mata-mata ayahnya. Jika Bambang menemukan lebih dulu, anak itu bisa dipastikan hanya tinggal nama."Arggh! Di mana kamu, Nak? Aku bahkan tak tahu siapa namamu!" keluh Gilang seraya menjambak rambut sendiri.Setelah itu, dia kembali menendang tiga lelaki yang meringkuk di lantai. Rivan berdiri kaku di sisi Gilang. Wajahnya tampak datar dan dingin seperti biasa. Begitu sang atasan puas menghajar or