Alina mengangguk, matanya tersenyum membalas keramahtamahan staf wanita itu. Sedang Zayyad terus menempel di samping Alina, benar-benar seperti anak ayam yang mencari perlindungan induknya. Kemudian staf wanita itu membungkuk sopan, permisi untuk pergi.
Alina dan Zayyad berjalan masuk kedalam kamar. Mendapati kamar itu ternyata cukup sederhana, jauh dari ekspektasi kemewahan yang disediakan hotel bintang lima pada umumnya. Ada sebuah ranjang besar yang terbuat dari kayu cendana, membuat kamar tidur didominasi dengan aroma cendana yang merilekskan. Ranjang itu menggunakan seprai putih, membuatnya berkolaborasi menawan dengan dinding kayu kamar yang berlapiskan cat minyak kehitaman.
Alina mengira di atas ranjang putih itu akan berserakan kelopak mawar merah berbentuk hati dengan sepasang angsa putih yang dibentuk dari selimut. Tapi itu tidak sama sekali. Hanya ada satu bantal panjang—
"A-apa? Kenapa hanya ada satu bantal di sini?" Alina berjalan mendat
Alina ingat, kali pertama dan terakhir kali ia pernah datang ke pantai, itu pada saat umurnya sepuluh tahun. Tidak ada yang membahagiakan saat itu. Ia datang bersama ibu, ayah tirinya dan tak lupa dengan si istri muda yang kala itu tengah hamil besar. Alina ingat, waktu itu ia sangat ingin bermain-main di pantai seperti keluarga kecil lainnya yang datang untuk menghapus rasa penat.Tapi melihat mata sendu ibunya yang cemburu tak berdaya melihat kebersamaan suami keduanya dengan istri muda, rasa senang di mata Alina saat itu seketika padam. Walau ibunya datang padanya, mengajaknya bermain. Tapi Alina tidak bisa senang. Karena kala itu Alina berpikir, 'Bagaimana aku bisa senang melihat ibu yang memaksakan senyum bahagia...tapi sebenarnya tidak'"Kau melamun atau merenungi pantai?"Pertanyaan Zayyad mengejutkan Alina. Kilasan masa lalu yang suram lenyap begitu saja dari minda nya, "Entahlah.. mungkin dua-duanya"Alina melepaskan kedua sendalnya dan membiarka
"Tolong espresso dingin satu" Pesan Alina pada seorang pegawai wanita yang bertugas menjaga kedai minuman. Tampilannya terlihat segar dengan rambut kunciran kuda tinggi ke atas . Ia tampak cukup menarik dengan seragam kuning cerah yang senada dengan warna mobil yang mereka gunakan sebagai tempat jualan. "Baik sebentar!" Wanita itu tersenyum cantik dan pergi mengambil cup menyiapkan pesanan. Sembari menunggu, Alina menoleh ke depan. Melihat Zayyad yang berdiri tepat di bawah pohon kelapa menunggunya. Zayyad menolak untuk ikut kemari karena penjaga kedai merupakan seorang wanita. Alina memperhatikan, sesekali angin pantai menerpa menghancurkan tatanan rambut hitam Zayyad hingga terlihat acak. Diam-diam Alina tersenyum, detik itu dimatanya, Zayyad tampak segar dan menawan. "Yang di sana suami anda bu?" Pertanyaannya itu sedikit mengejutkan Alina dan langsung berpaling, "Ah, ya" "Anda sungguh dianugerahi banyak keberuntungan. Anda cantik dan
Zayyad tidak mengira, Alina akan begitu licik sampai menjepit hidungnya. Itu membuat Zayyad kesulitan bernafas dan tidak punya pilihan, selain membuka mulutnya. Detik itu Zayyad dapat merasakan bibir kecil Alina terbuka, menyalurkan rasa pahit dari espresso yang sudah tidak lagi dingin ke mulutnya. Rasa pahit itu membuat mata Zayyad mengerut. Tapi bibir kecil Alina yang mendominasi mulutnya, membuat daun telinga Zayyad memerah malu. Alina menarik bibirnya menjauh dari bibir Zayyad. Mata hitamnya tersenyum puas, "Bagaimana rasanya?" Saat itu wajah Alina berjarak hanya sejengkal dengan wajah Zayyad yang berada tepat dibawahnya. "P-pahit!" Zayyad mengalihkan tatapannya kebawah, posisi itu benar-benar membuatnya rumit. Alina masih tidak bangun, membiarkan dirinya berada di atas tubuh Zayyad dengan kedua tangan bertopang di atas pasir. Mata Alina terus menatap kebawah, fokus memperhatikan lekuk wajah tampan Zayyad yang tampak memerah malu karena perbuatannya tadi.
Malam harinya Alina dan Zayyad pergi ke restoran hotel untuk makan malam. Sekali lagi, hotel ini sama sekali tidak mengambil konsep kelas atas atau menengah. Bagian dalam dan luar di desain dengan tampilan sederhana. Tak lupa dengan konsep sentuhan permai dan asri.Restorannya berada di luar bangunan hotel. Di bangun dengan bahan dasar kayu dan beratapkan daun kelapa yang dikeringkan. Sekilas tampak seperti gubuk dengan sentuhan berkelas. Posisinya yang berdekatan dengan pantai, membuat siapapun yang makan di sana dapat merasakan simpang siur angin laut yang menyejukkan."Pakai syal mu!" Zayyad melilitkan syal merah marun di leher Alina yang sudah tertutupi pasmina putih bermotifkan bunga-bunga sakura kecil. Malam itu Alina tampil modis dalam balutan blus merah muda berpadu celana kulot putih."Aku tidak merasa dingin.." Di luar memang dingin, tapi Alina tidak sampai merasa kedinginan. Menurutnya Zayyad terlalu berlebihan dalam memperlakukannya. Itu nyaris seper
Sepanjang jalan kembali ke kamar, Alina tidak berhenti tertawa membayangkan penampilan Cavell di restoran tadi yang menurutnya sangat memprihatinkan. Berdiri diam tak berkutik ditempat dengan wajah dingin menahan amarah, itu sungguh menggelitik perut Alina untuk tertawa keras. Tapi demi menyakinkan permainan, Alina menahan diri agar tidak tergelak saat itu."Akting mu semakin bagus saja!" Alina dengan murah hati memuji kesuksesan akting Zayyad.Mereka sudah tiba didepan kamar. Zayyad bergegas pergi membuka pintu dengan kunci ditangannya."Sejauh ini aku cukup belajar banyak darimu.." Zayyad mendorong pintu dan mempersilahkan Alina masuk lebih dulu."Ah, kau memang pembelajar yang cepat!" Alina mengacungkan dua jempol kearah Zayyad, lalu melempar tubuhnya keatas ranjang yang empuk. Serat seprai putih yang menyentuh kulitnya, itu benar-benar halus dan lembut. Belum lagi dengan aroma cendana yang mendominasi kamar, benar-benar merilekskan."Tapi, dari
Alina tidak menduga Zayyad akan datang dengan pertanyaan apakah ia sudah mengeringkan rambutnya. Alina menatap ke bawah, memperhatikan beberapa helai rambutnya yang tergerai itu masih meneteskan air. Di sini tidak ada hair dryer dan Alina terlalu malas mengeringkannya dengan handuk. Itu cukup membuang waktu dan tangannya menjadi lelah karena menggosok. "Tidak, aku hanya mengelapnya sedikit. Nanti juga bakal kering sendiri.." Zayyad berjalan kearah sofa hitam yang terletak di dekat jendela kamar. Alina yang duduk di tepi ranjang, diam-diam memperhatikan wajah Zayyad. Alina mendapati itu datar tanpa ekspresi, terkesan tidak memiliki sentuhan emosi. Bibir coklat keunguannya yang tertutup rapat, membuatnya seperti tidak ingin berbicara banyak. Secara keseluruhan, sikap Zayyad itu membuat atmosfer kamar terasa tegang tak bersahabat. Alina mendesah pelan. Melihat Zayyad yang sudah duduk di sofa, Alina berpikir Zayyad mungkin masih marah dan memilih untuk tidur di s
Jendela kamar dibuka dan segerombolan angin pantai di awal pagi yang cerah, menerobos masuk kedalam. Tiupannya yang kencang, tampak bersemangat menampar tirai putih jendela yang belum di singkap. Kedua pintu balkon ditarik dan suasana mentari pagi yang hangat menyusup masuk mendominasi ruangan.Alina yang masih tertidur pulas di atas bantalan yang empuk, perlahan terjaga dari lautan mimpi yang menyenangkan. Merentangkan kedua tangannya keatas, Alina membuka separuh mulutnya menguap. Tampak secercah sinar keemasan yang hangat, mendarat di kedua lengan telanjangnya yang putih bersih.Alina menurunkan tangannya ke bawah tepat di atas selimut yang masih menutupi separuh badannya. Mata khas baru tidurnya yang sayu tanpa sengaja menatap kearah pintu balkon yang terbuka. Di sana Alina melihat...Seorang pria berdiri bersandar di pegangan balkon. Punggungnya tampak menawan dibalik jubah tidur biru gelap yang sesekali tampak berkibar tertiup angin. Tampak rambut hi
"Zayyad gynophobic seperti itu pasti memiliki kisah suram di baliknya dan kau datang dengan teganya memperparah lukanya yang belum sembuh. Ah, itu seperti luka tertusuk yang masih berdarah dan kau datang menuangkan air panas di atasnya..stt" Sesaat Cavell mendesis, wajahnya benar-benar mengekspresikan betapa tak tertahankan nya itu.Di samping itu Alina menggertak kan giginya, matanya yang menatap bengis Cavell merasa ingin membunuhnya detik itu juga. Bajingan itu yang tidak tau apa-apa tentangnya. Dengan kejam menggambarkan dirinya seperti seorang wanita tanpa hati dan nurani.."Tapi di samping itu aku ingin memberikan penawaran sempurna padamu. Apa kau benar-benar tidak ingin berselingkuh dengan ku?""..." Tampak dada Alina naik turun, benar-benar menahan diri untuk tidak meledak."Ku pikir jika kau menerimanya, kau dapat berkesempatan mendiskriminasi pria sombong seperti ku" Sesaat Cavell menyeringai tajam, itu tampak seperti iblis yang penuh godaan da
Setelah makan siang, Zayyad mau tak mau harus bergegas ke perusahaan karena urusan mendesak. Alina yang tiduran santai di kamar, masih merasa penasaran sebenarnya apakah ada yang spesial dengan hari itu.Baru saja Alina membuka ponselnya dan sebuah notifikasi muncul. Tidak lain itu adalah pengingat anniversary pernikahannya dengan Zayyad yang ke enam."Ah, jadi hari ini anniversary pernikahan kami yang ke enam" Tanpa sadar mata Alina berkaca-kaca. Masih teringat dulu tekadnya yang akan segera bercerai dengan Zayyad setelah semuanya usai. Tapi tak mengira jalan takdir begitu indah, membuat hatinya luluh dan memutuskan untuk mempertahankan ikatan sucinya dengan Zayyad."Kira-kira aku beri kejutan apa ya?"Tepat di malam harinya. Alina mendapat telfon dari Maya. Seperti tebakannya, si kembar sedang nangis-nangis menolak pulang dan merengek minta menginap di rumah Maya. Kebetulan besok adalah akhir pekan, mereka tidak ke sekolah, akhirnya Alina memberi izin, "Janji gak buat repot aunty Ma
Alina duduk santai di atas sofa setelah menyelesaikan pekerjaan rumah. Ferdi yang hanya fokus mengurusi hal-hal di luar vila, sudah menyelesaikan pekerjaannya dan pulang lebih awal. Sebelum itu Ferdi pamit pada Alina dan tentunya Alina tidak lagi judes seperti dulu. Perubahan sikap Alina itu membuat Ferdi sangat bersyukur.Alina melipat kedua kakinya di atas sofa dan memegang semangkuk buah strawberry di tangan. Menyalakan televisi, Alina menonton acara gosip pagi yang membosankan sambil mengemil strawberry segar kedalam mulutnya.Begitulah keseharian yang Alina jalani jika seorang diri di rumah. Zayyad pergi ke perusahaan dan anak-anak ke sekolah. Hanya Alina seorang yang berdiam diri di rumah. Tentunya hal itu tidak lagi membosankan, karena Alina sudah cukup terbiasa menjalani hari-hari panjangnya sebagai ibu rumah tangga."Sayang, aku pulang"Alina terkejut. Mendapati seseorang berbisik halus di telinganya dan kedua tangan besar yang memijat lembut pundaknya. Dengan strawberry di a
Dear, My loyal readers..❤️ Sebelumnya saya ingin berterima kasih sekali untuk kalian semua yang sudah mengikuti kisah cinta sederhana Alina dan Zayyad yang tentu saja fiktif, tapi saya berharap kisah ini dapat menjadi sedikit menginspiratif. Novel yang terdiri dari dua ratusan chapter lebih ini, pernah membuat saya beberapa kali ragu dan pesimis dalam menyelesaikannya. Saya merasa cerita ini berubah menjadi membosankan dan alurnya terasa tidak lagi menarik. Terkadang saya berpikir, "Siapa yang akan membaca karangan membosankan ini?" Tapi melihat vote-an dan membaca beberapa komentar kalian yang saya temui di beberapa akhir chapter, rasanya saya seperti baru saja menemukan oasis di padang pasir. Seketika semangat saya bangkit dan saya berpikir— saya harus segera menamatkan kisah ini dan jangan sampai membuat para pembaca setia saya kecewa. Jujur, dukungan dan komentar positif kalian, sangat berperan besar dalam proses saya menamatkan cerita yang penuh
Kini Alina hidup bahagia dengan keluarga kecilnya. Tidak pernah terduga, semua itu bermula dari perjodohan yang diatur neneknya. Alina yang bertekad kuat untuk tidak menikah, akhirnya terikat dalam ikatan sakral pernikahan dengan seorang pria asing. Alina yang berpikir untuk bercerai setelah semuanya usai, tapi takdir malah membuatnya terjerat dengan Zayyad.Segalanya berawal dari paket bulan madu dan hotel. Disinilah tragedi bermula atau lebih tepatnya sekarang Alina berpikir— puncak dari rezeki tak ternilai harganya lahir di dunia ini. Yang tak lain 'si kembar'. Kado terindah dalam hidup Alina. Yang membuat Alina tak ragu untuk menghabiskan sisa hidupnya bersama dengan Zayyad, ayahnya si kembar.Lima tahun berlalu sudah. Vila Zayyad tidak lagi hening dengan keberadaan dua buah hati mereka. Zayyad yang sudah lama tak bekerja, memutuskan untuk kembali ke perusahaan demi menjadi sosok panutan ayah yang baik untuk putra putri mereka. Sedang Alina memutuskan untuk m
Sekitar dua hari Alina terbaring di rumah sakit, Alina yang sudah tak tahan lagi membujuk Zayyad untuk segera membawanya pulang. Jikapun harus beristirahat, ia ingin merehatkan tubuhnya di rumah. Zayyad mengkonfirmasi ke dokter, apakah Alina dan anak mereka sudah bisa dibawa pulang. Setelah memperoleh izin dari dokter, mereka pun bersiap-siap untuk pulang. Maya turut membantu membereskan barang-barang. Di mobil, Alina duduk menggendong bayi perempuannya dan dan bayi laki-lakinya digendong Maya yang duduk di belakang. "Apa menurut mu kita perlu menyewa jasa babysitter?" Alina menoleh kearah Zayyad yang fokus mengemudi. Ini adalah pertama kalinya bagi Alina. Tapi tidak taunya sudah dapat dua saja. Alina takut akan linglung kebingungan merawat si kembar seorang diri nanti. "Tidak perlu. Kita kan sama-sama gak bekerja. Jadi menurutku, kita berdua saja sudah cukup" "Kamu yakin?" "Em" "Janji ya nanti mau ikut repot sama aku?" "Janji"
Di sinilah aku terbaring sekarang. Di atas ranjang rumah sakit, di mana aku berjuang keras melahirkan makhluk kecil yang sudah ku kandung sembilan bulan lamanya. Rasanya seluruh saraf dalam tubuhku seperti akan putus, tenaga ku seakan habis. Perasaan itu begitu baru bagiku dan terasa cukup nyata. Berada antara hidup dan mati demi memperjuangkan makhluk hidup baru. Detik itu aku terpikir, apakah seperti ini yang ibu rasakan dulu ketika melahirkan ku? Aku meremas kain seprai ranjang rumah sakit, mengigit bibir bawah ku dan kembali mengejan. Hingga entah kapan seorang pria datang menyingkap tirai dan bergegas masuk. Sesaat aku melirik siapa yang datang. Itu tak lain adalah sosok tubuh dari pemilik mata coklat bening yang paling menawan yang pernah ku temui— Zayyad. Seketika bola mata hitam ku bergetar pedih. Aku tak mengerti kenapa, serasa dunia ku berhenti berputar hingga beberapa detik. Aku melihatnya datang padaku. Meraih tangan ku dan menggenggamnya
"Nenek, engga lama lagi cicit mu akan segera lahir" Alina tersenyum dan berbicara seorang diri. Alina mengelus perut besarnya dan wajahnya terus menoleh ke samping. Seakan-akan ada neneknya yang duduk tepat disebelah nya.Pemandangan dari ruang tamu itu, diam-diam di intip oleh Maya dan Zayyad. Maya menghela nafas berat dan menoleh pada Zayyad, "Kau lihat sendiri kan!" Maya bersuara pelan tapi tak mengurangi emosi marah dan kesal yang terukir jelas di raut wajahnya, "Sebulan sudah berlalu lagi dan Alina masih saja begitu. Zayyad, apa kau akan terus membiarkannya seperti ini?"Zayyad diam, memilih untuk tidak berkata apa-apa. Bukan hanya Maya yang mengkhawatirkan keadaan psikis Alina tapi dirinya pun juga. Hanya ia memutuskan untuk yakin, percaya dan sabar menanti. Kalau Alina akan segera menjadi Alina yang dulu— istrinya yang arogan, keras kepala dan tangguh."Kalau bukan karena aku menghargai keputusanmu sebagai suami dari Alina. Aku pasti akan memb
Delapan bulan akhirnya berlalu sudah. Aura ibu hamil dari seorang Alina kian sempurna. Emosinya pun tampak jauh lebih stabil dari trimester pertama dan kedua. Perut Alina membesar dan itu cukup besar nyaris membuat Maya curiga kalau dugaannya itu benar. Bayi yang dikandung sahabatnya itu adalah kembar.Banyak baju yang Alina tidak muat memakainya dan nyaris sobek. Alhasil Zayyad membeli banyak baju khusus untuk ibu hamil buat Alina yang masih tinggal di rumah almarhum neneknya itu.Zayyad mengira kondisi Alina akan segera membaik, tapi ternyata sebaliknya. Istrinya itu mulai berhalusinasi kalau Erina masih hidup dan masih bersama dengan mereka di rumah kecil itu."Kamu udah siap buat buburnya?" Alina datang ke meja makan dan melihat Zayyad yang baru saja menghidangkan semangkuk bubur hangat."Sudah" Zayyad tersenyum. Ada setitik kesedihan jauh di dasar mata coklat bening itu."Kalau begitu aku bawa ke kamar nenek ya" Alina mengambil mangkuk bubur d
Tiga hari setelah kabar duka itu. Para kerabat dari pihak Irsyad dan rekan Erina berdatangan ke vila Zayyad setiap malamnya untuk membaca Yasin. Termasuk dengan Maya dan keluarganya yang sudah hadir sejak hari pemakaman. Mereka menginap di vila Zayyad membantu Zayyad mengurus segala keperluan.Zayyad benar-benar lemah tak bertenaga dengan keadaan ini. Sepasang matanya terlihat kuyu dan tubuhnya mengurus. Ia sedih dengan kepergian Erina yang begitu mendadak. Salah seorang wanita di samping Alina yang baru-baru ini menjadi pengecualian dari rasa takutnya.Zayyad pun tak berdaya menghadapi dua orang yang di sayangi nya yang jelas begitu drop dengan kenyataan pahit ini. Kakeknya terus jatuh bangun tak sadarkan diri dan Alina yang sampai hari ini menolak kenyataan kalau Erina sudah meninggal.Tepat di hari pemakaman, kakeknya tersungkur jatuh mencium tanah dan Alina mengurung diri seharian di kamar neneknya dengan sepiring nasi goreng yang sudah basi. Nasi goreng yan