Zayyad tidak mengira, Alina akan begitu licik sampai menjepit hidungnya. Itu membuat Zayyad kesulitan bernafas dan tidak punya pilihan, selain membuka mulutnya. Detik itu Zayyad dapat merasakan bibir kecil Alina terbuka, menyalurkan rasa pahit dari espresso yang sudah tidak lagi dingin ke mulutnya. Rasa pahit itu membuat mata Zayyad mengerut. Tapi bibir kecil Alina yang mendominasi mulutnya, membuat daun telinga Zayyad memerah malu.
Alina menarik bibirnya menjauh dari bibir Zayyad. Mata hitamnya tersenyum puas, "Bagaimana rasanya?" Saat itu wajah Alina berjarak hanya sejengkal dengan wajah Zayyad yang berada tepat dibawahnya.
"P-pahit!" Zayyad mengalihkan tatapannya kebawah, posisi itu benar-benar membuatnya rumit.
Alina masih tidak bangun, membiarkan dirinya berada di atas tubuh Zayyad dengan kedua tangan bertopang di atas pasir. Mata Alina terus menatap kebawah, fokus memperhatikan lekuk wajah tampan Zayyad yang tampak memerah malu karena perbuatannya tadi.
Malam harinya Alina dan Zayyad pergi ke restoran hotel untuk makan malam. Sekali lagi, hotel ini sama sekali tidak mengambil konsep kelas atas atau menengah. Bagian dalam dan luar di desain dengan tampilan sederhana. Tak lupa dengan konsep sentuhan permai dan asri.Restorannya berada di luar bangunan hotel. Di bangun dengan bahan dasar kayu dan beratapkan daun kelapa yang dikeringkan. Sekilas tampak seperti gubuk dengan sentuhan berkelas. Posisinya yang berdekatan dengan pantai, membuat siapapun yang makan di sana dapat merasakan simpang siur angin laut yang menyejukkan."Pakai syal mu!" Zayyad melilitkan syal merah marun di leher Alina yang sudah tertutupi pasmina putih bermotifkan bunga-bunga sakura kecil. Malam itu Alina tampil modis dalam balutan blus merah muda berpadu celana kulot putih."Aku tidak merasa dingin.." Di luar memang dingin, tapi Alina tidak sampai merasa kedinginan. Menurutnya Zayyad terlalu berlebihan dalam memperlakukannya. Itu nyaris seper
Sepanjang jalan kembali ke kamar, Alina tidak berhenti tertawa membayangkan penampilan Cavell di restoran tadi yang menurutnya sangat memprihatinkan. Berdiri diam tak berkutik ditempat dengan wajah dingin menahan amarah, itu sungguh menggelitik perut Alina untuk tertawa keras. Tapi demi menyakinkan permainan, Alina menahan diri agar tidak tergelak saat itu."Akting mu semakin bagus saja!" Alina dengan murah hati memuji kesuksesan akting Zayyad.Mereka sudah tiba didepan kamar. Zayyad bergegas pergi membuka pintu dengan kunci ditangannya."Sejauh ini aku cukup belajar banyak darimu.." Zayyad mendorong pintu dan mempersilahkan Alina masuk lebih dulu."Ah, kau memang pembelajar yang cepat!" Alina mengacungkan dua jempol kearah Zayyad, lalu melempar tubuhnya keatas ranjang yang empuk. Serat seprai putih yang menyentuh kulitnya, itu benar-benar halus dan lembut. Belum lagi dengan aroma cendana yang mendominasi kamar, benar-benar merilekskan."Tapi, dari
Alina tidak menduga Zayyad akan datang dengan pertanyaan apakah ia sudah mengeringkan rambutnya. Alina menatap ke bawah, memperhatikan beberapa helai rambutnya yang tergerai itu masih meneteskan air. Di sini tidak ada hair dryer dan Alina terlalu malas mengeringkannya dengan handuk. Itu cukup membuang waktu dan tangannya menjadi lelah karena menggosok. "Tidak, aku hanya mengelapnya sedikit. Nanti juga bakal kering sendiri.." Zayyad berjalan kearah sofa hitam yang terletak di dekat jendela kamar. Alina yang duduk di tepi ranjang, diam-diam memperhatikan wajah Zayyad. Alina mendapati itu datar tanpa ekspresi, terkesan tidak memiliki sentuhan emosi. Bibir coklat keunguannya yang tertutup rapat, membuatnya seperti tidak ingin berbicara banyak. Secara keseluruhan, sikap Zayyad itu membuat atmosfer kamar terasa tegang tak bersahabat. Alina mendesah pelan. Melihat Zayyad yang sudah duduk di sofa, Alina berpikir Zayyad mungkin masih marah dan memilih untuk tidur di s
Jendela kamar dibuka dan segerombolan angin pantai di awal pagi yang cerah, menerobos masuk kedalam. Tiupannya yang kencang, tampak bersemangat menampar tirai putih jendela yang belum di singkap. Kedua pintu balkon ditarik dan suasana mentari pagi yang hangat menyusup masuk mendominasi ruangan.Alina yang masih tertidur pulas di atas bantalan yang empuk, perlahan terjaga dari lautan mimpi yang menyenangkan. Merentangkan kedua tangannya keatas, Alina membuka separuh mulutnya menguap. Tampak secercah sinar keemasan yang hangat, mendarat di kedua lengan telanjangnya yang putih bersih.Alina menurunkan tangannya ke bawah tepat di atas selimut yang masih menutupi separuh badannya. Mata khas baru tidurnya yang sayu tanpa sengaja menatap kearah pintu balkon yang terbuka. Di sana Alina melihat...Seorang pria berdiri bersandar di pegangan balkon. Punggungnya tampak menawan dibalik jubah tidur biru gelap yang sesekali tampak berkibar tertiup angin. Tampak rambut hi
"Zayyad gynophobic seperti itu pasti memiliki kisah suram di baliknya dan kau datang dengan teganya memperparah lukanya yang belum sembuh. Ah, itu seperti luka tertusuk yang masih berdarah dan kau datang menuangkan air panas di atasnya..stt" Sesaat Cavell mendesis, wajahnya benar-benar mengekspresikan betapa tak tertahankan nya itu.Di samping itu Alina menggertak kan giginya, matanya yang menatap bengis Cavell merasa ingin membunuhnya detik itu juga. Bajingan itu yang tidak tau apa-apa tentangnya. Dengan kejam menggambarkan dirinya seperti seorang wanita tanpa hati dan nurani.."Tapi di samping itu aku ingin memberikan penawaran sempurna padamu. Apa kau benar-benar tidak ingin berselingkuh dengan ku?""..." Tampak dada Alina naik turun, benar-benar menahan diri untuk tidak meledak."Ku pikir jika kau menerimanya, kau dapat berkesempatan mendiskriminasi pria sombong seperti ku" Sesaat Cavell menyeringai tajam, itu tampak seperti iblis yang penuh godaan da
Alina sadar, dulu ia terlalu sering memanfaatkan kelemahan Zayyad dengan mengancamnya. Tidak hanya itu, ia bahkan menghina betapa lemahnya Zayyad sebagai seorang pria dan juga mencium kasar bibirnya sampai berdarah. Secara tidak langsung Alina menyadari— Itu mungkin karena instingnya sebagai seorang misandris, sedikit demi sedikit telah mengikis nuraninya terhadap pria. "Kenapa kau tiba-tiba bertanya begitu?" Zayyad menatap serius ke bawah, memandangi wajah Alina yang samar-samar terlihat muram. "Tidak ada, hanya bertanya saja" Alina mengalihkan tatapannya dari memandang wajah Zayyad, pergi melihat jauh lurus ke dinding kamar kayu yang bercat kan hitam minyak. Zayyad berhenti mengusap kepala Alina. Pelan Zayyad mengambil pergelangan tangan Alina dan membawa telapak tangan itu melekap lembut di pipinya, "Bagaimanapun itu semua sudah menjadi masa lalu. Tidak peduli apa! Sekarang aku hanya mencintaimu..." Mata Alina yang menatap lurus ke de
Tak terasa sudah itu menjadi hari terakhir bagi Zayyad dan Alina menginap di hotel 'pulau cinta'. Meskipun mereka datang untuk berbulan madu seperti yang diharapkan dua orang tua itu. Tapi yang terjadi mereka menjalaninya lebih seperti dua orang bersama untuk menikmati liburan yang menyenangkan.Ya, hanya itu.Tepat pukul delapan pagi, Alina mengajak Zayyad untuk berjemur di tepi pantai. Mereka berbaring di atas kursi panjang yang sudah di siapkan oleh staf hotel. Sinar matahari yang hangat, memantul menawan di wajah Alina yang putih bersih. Membuat kulit wajahnya terlihat cerah dan bercahaya cantik.Alina memilih memejamkan mata dan menikmati kehangatan matahari pagi bersama udara bersih pantai yang tentunya sangat jauh berbeda dari perkotaan yang padat akan debu dan polusi.Di samping itu Zayyad duduk bersandar di kepala kursi, tampak sangat menikmati buku di tangannya."Apa yang kau baca?" Alina bertanya dalam keadaan mata terpejam."..."
"Ah, aku tau pengakuan ku ini membuat mu sangat terkejut" Alina hampir saja lupa kalau ia baru saja mengaku pada Chana kalau ia ingin balas dendam pada suaminya itu. Biarpun keduanya bukan pasangan suami-istri yang hangat, tapi Chana tetaplah seorang istri yang baik, nuraninya begitu bersih dan sifatnya begitu halus."Kau benar! Sejujurnya aku sangat terkejut" Chana tersenyum pelan, mengakuinya. Tampak bulu matanya bergetar gugup dan mulutnya terbuka pelan ragu-ragu ingin mengatakan sesuatu, "Tapi bolehkah aku memohon sesuatu padamu.."Alina menahan senyum lurus di bibirnya. Dari sorot mata Chana, ia seakan mampu menebak apa yang akan wanita cantik itu mohon padanya, "Apa itu?""Kau tau..Atifa masih kecil" Tampak Chana meremas ujung blusnya. Suaranya terdengar ragu-ragu dan takut, "Alasanku bertahan sejauh ini dengan pernikahan ku yang hambar itu juga untuk memberikan keluarga yang lengkap untuk Atifa. Jadi..."Alina menatap Chana diam dan menunggu.