Kelopak yang menyembunyikan sepasang intan coklat pelan-pelan terbuka. Mengerjap beberapa kali sehingga penglihatannya yang buram menjadi jelas. Memerhatikan keadaan sekitar yang mana dia merasa agak berbeda dari biasanya. Bia menggeliat dan menemukan si gembul yang masih pulas di sebelahnya. Senyum si gadis mengembang.Mengusap pipi bayi gembul dan mengamati wajahbya yang damai. Lama dia memandang muka putranya yang sayang sekali tak mengambil banyak dari wajahnya. Perawakan Bian sangat Bimantara–kecuali intan coklat dan kehebohan si bayi; Bia tahu bila sikap Bian adalah cerminan dari pribadinya.Lama dia memandang wajah lucu, imut, menggemaskan yang minta di gigit tersebut, si gadis tersadar. Ini sudah pagi. Dia mesti membantu pekerjaan rumah tangga; menyiapkan sarapan, membangunkan si gembul dan memandikan. Dia bangkit dari berbaring–akibat gerakan yang dia lalukan, si bayi yang masih tertidur bergerak sedikit karena terganggu. Bia berhenti sejenak lalu mulai bergerak lagi perlahan
Adnan Bimantara selaku paman dari bayi gembul nan lucu, imut, menggemaskan serta membuat geram–terkadang ingin dia remas pipi tembam atau tangan yang mirip bantalan-bantalan si bayi saking gemas–siang ini melakukan ospek ke beberapa Rumah Sakit. Berhubung libur juga tak ada janji di luar jam kerja, si sulung Bimantara menyempatkan diri mencari petunjuk mengenai ibu kandung dari keponakannya. Biasanya dia meminta asistennya untuk menghubungi pihak Rumah Sakit untuk menanyakan hal-hal sehubungan kelahiran dan nama bayi di Rumah Sakit tersebut atau meminta seseorang mendatangi langsung–seperti yang dia lakukan sekarang.Dia menemui kepala Rumah Sakit untuk meminta ijin bertemu Dokter yang menangani kelahiran sekitar tujuh atau delapan bulan lalu juga ijin melihat berkas-berkasnya. Tentu saja Adnan menggunakan nama ayahnya sebagai jaminan agar kepala Rumah Sakit memberi ijin.Karena Bian sakit kemarin, keinginan Adnan menemukan ibu kandung si bayi makin menggebu-gebu. Meski si gembul buka
“Aku pulang ....” Putra sulung Bimantara mengucap salam dengan nada tak bersemangat sembari berjalan ke ruang keluarga. Dia langsung menjatuhkan badan di single sofa dan memeluk bantal kecil di sana. Mulutnya maju beberapa senti mirip muncung bebek.Bungsu Biman yang juga berada di ruang keluarga duduk di sofa panjang–di sisi kanan tempat kakaknya duduk–sedang memegang botol susu si gembul yang duduk di pangkuan ayahnya – mukanya menempel di dada Adrian–memutar mata melihat tampilan kusut dari si sulung.Selain karena memang hari libur, si Biman muda memutuskan sisa tiga hari perjanjian menyelesaikan pekerjaan di luar kota dia gunakan untuk istirahat. Dia baru merasakan akibat kurang istirahat–hampir tak tidur selama empat hari! Jika dihitung waktu tidurnya cuma satu atau dua jam saja. Bawah mata si bungsu sedikit menghitam karena kurang tidur. Setengah hari ini pun dia habiskan beristirahat. Bila bukan karena si gembul yang merengek dan hanya mau bersamanya dipastikan Adrian masih be
Cara dia memperoleh informasi soal si target bukan cuma dengan bertanya, pun dia bersosialisasi di lingkungan tempat tinggal si target. Jika informasi yang dibutuhkan klien seperti database, dia tidak perlu repot-repot keluar kamar. Tinggal otak-atik program di komputer, dia bisa mendapatkan apa pun. Beda cerita jika permintaan klien adalah mengetahui informasi seseorang. Kemal adalah tipe yang mengerjakan sesuatu secara sempurna, lengkap dan bersih–sampai tuntas. Maka dari itu dia rela keluar dari surganya dan berbaur dengan orang-orang.Saat ini dia bersosialisasi dengan warga desa di lingkungan sekolah tempat targetnya menuntut ilmu. Pun dia mencocokkan data yang di dapat di internet dengan di lapangan.Target yang dia selidiki; Rabia Anjasari – seorang gadis yang bisa bersekolah di SMA Bakti karena bantuan pemerintah. Penerima beasiswa dengan kategori yatim-piatu dan tak memiliki biaya pendidikan. Orang tua kandungnya tak diketahui. Nama yang digunakan adalah nama yang diberikan o
Hari masih menjelang malam. Pukul lima. Jadi, mengajak si gembul keluar tidak apa-apa. Pun sudah memberitahu pasangan Bimantara senior bahwasanya si tuan muda dan si pengasuh akan pergi keluar untuk membeli perlengkapan si gembul yang hampir habis. Rosa mengiyakan dengan senang hati, sementara Agam sedikit tak percaya melihat perilaku putra bungsunya.Adrian yang cuek dan jarang peduli itu makin melunak. Makin memperlihatkan sikap perhatian untuk si gembul. Tentu membuat sang Biman senior bahagia–tak perlu lagi memaksa, menyindir atau memerintah si bungsu agar mau memerhatikan si bayi.Mereka berangkat menggunakan kendaraan pribadi si bungsu; mobil. Bia duduk di kursi penumpang di sebelah si tuan muda sambil menggendong si gembul menggunakan alat bantu. Tak jarang mengajak si bayi bermain selama perjalanan. Bian sendiri asik melihat keluar melalui jendela, mengamati pemandangan di luar yang berlalu dengan cepat.Tempat yang dituju oleh si tuan muda adalah sebuah supermarket besar yang
Deg-deg-deg-deg!Kira-kira begitu irama jantung Bia saat sang Tuan muda memegang kakinya–bukan cuma jantung saja yang bereaksi, melainkan seluruh tubuh. Badan si gadis meremang; merinding. Ada desiran aneh saat kulit si majikan menyentuh kulitnya yang membuat operasi jantung di dada makin tak karuan; seperti tersengat.Dulu ..., dia takut berdekatan dengan Adrian–karena teringat malam di mana Bian di adon–yang membuat si gadis takut bukan cuma kejadian naas tersebut, tetapi dia yang tidak sadar, pikirannya kusut dan gelap, aroma aneh yang masih diingat sampai sekarang; seperti menjadi momok terbesar baginya. Bia takut dia mengalaminya lagi. Dia takut tak bisa mengendalikan diri. Takut bila saat sadar dia menemukan dirinya di keadaan mengerikan itu. Bia tidak mau.Namun ..., perasaan takut yang menggerogoti pelan-pelan terkikis. Ditambah sikap si tuan muda yang terlihat biasa–minus cueknya. Interaksi mereka tidak berlebihan, tidak ada perlakuan buruk atau kekejaman yang pernah dia baya
Mereka sudah siap untuk kembali. Posisi sudah berubah; Adrian menggendong si gembul dan dia yang akan membantu si gadis berjalan. Namun, sebelum niatan untuk pulang terlaksana, ponsel si Biman muda yang di simpan di saku celana berbunyi. Sebenarnya malas untuk mengambil dan menerima telepon, apalagi di luar jam kerja. Tapi, lelaki tampan ini tahu jika bukan keluarganya yang menghubungi–karena mereka tahu dia sedang di luar dan bakal malas mengangkat telepon–terlebih dia memberikan nada khusus untuk kontak keluarganya.Jadi, dia meminta si pengasuh untuk duduk kembali–menunggu sebentar–kemudian merogoh saku dan mengambil alat komunikasi yang masih berdering. Melihat nama di layar ponsel, Adrian ingin mendengus namun menahan diri. Dia memutuskan menjawab panggilan tersebut.“Hn?”Sahutan yang tidak boleh ditiru ya teman-teman.“Hm?” si Biman muda memutar badannya. Seperti menemukan yang dicari, dia kembali menyahut suara di seberang. “Oke.”Alat komunikasi tadi dimasukkan lagi ke saku.
Luka Bia sudah tak terlalu sakit. Warna memar–biru keunguan–di punggung kaki serta pinggang sisi kanan mulai memudar. Para Bimantara menyuruhnya untuk beristirahat sampai sembuh karena si gadis kesulitan bergerak maupun menggendong Bian. Pekerjaannya sementara diambil alih oleh Sri; cuma memandikan si gembul. Bagian memberi makan, membuatkan susu dan menidurkan si bayi dilakukan oleh para Bimantara secara bergantian. Lebih banyak si Biman bungsu sih yang melakukannya–Adrian sedang mendalami perannya sebagai seorang ayah.Lagi pula bungsu Biman itu sedang libur, jadi wajar dia yang menghabiskan waktu bersama si gembul.Pun Bia tidak mau berlama-lama beristirahat. Rasanya tak enak karena tidak melakukan apa-apa. Dirasa waktu istirahatnya cukup, si gadis memulai aktivitasnya kembali menjadi pengasuh dan pembantu rumah tangga di kediaman Bimantara. Apalagi putra bungsu Biman sudah masuk kantor lagi. Tak mungkin sang Atasan–Sri, selaku kepala pelayan– yang menggantikannya mengurus Bian. Sr