Bab 96: Jangan Menyerah
**
Tubuh bagian atasku dibebat kain panjang, yang dililitkan sedemikian rupa melingkari bahu, dada dan pundak kananku.
Sementara tangan kananku sendiri dikunci, digantung dan tersangga dengan kain serupa gendongan bayi.
Dari balik lilitan kain ini, aku mencium aroma rempah-rempah yang jika hidungku tak salah membaui terbuat dari kencur, jahe, dan mungkin sedikit cengkeh.
Rasanya nyaman, tapi panas, bercampur aduk dengan denyutan di seluruh bagian tubuhku yang cedera.
Aku tetap saja menahan rasa sakit di sepanjang perjalanan pulang ke Jakarta. Aku merasa tidak sanggup berlama-lama duduk, namun sekuat tenaga aku mencoba bertahan.
Aku tidak ingin menyiksa Kassandra lagi dengan meminjam ‘bantal’nya.
Teringat aku, sebelum berangkat pulang tadi dia kepayahan berdiri. Sampai ia juga harus dipijit oleh istri Bapak Tukang Urut itu.
Aku melihat kakinya yang membiru sebab lama tertekuk dan menaha
Bab 97: Anjing di Tepi Sumur**Catatan:Saya memohon maaf kepada pembaca yang budiman jika saya terpaksa menggunakan kata “pxlacur” di dalam kisah ini, yang mungkin saja itu tabu bagi sebagian orang. Sebab, itu satu-satunya kata yang paling bisa menggambarkan isi hati dan pikiran Ifat sang tokoh utama.Terima kasih, dan selamat membaca—Author, Ayusqie.********“Tuhan-lah yang menciptakan kehidupan,” kata Ucon dulu, di salah satu perbincangan kami.“Kehidupan adalah tanda atau bukti dari firman-Nya. Sehingga Dia menetapkan dosa yang sangat besar bagi mereka yang melakukan pembunuhan, dengan kata lain mengakhiri hidup orang lain. Apa lagi, bagi mereka yang mengakhiri hidupnya sendiri, atau bunuh diri.”“Mensyukuri hidup berarti berterima kasih kepada Tuhan. Dengan demikian, menolong orang atau pun makhluk hidup yang lain guna menyelamatkan nyawa a
Bab 98: Kehangatan dari Sang Putri**Kassandra membaringkan aku lagi di ranjangku. Pelan dan sangat berhati-hati ia menata lagi posisi tangan kananku yang terikat kain gendongan.Ia juga menyusun bantalku, menambah tinggi posisinya menjadi sebuah tumpukan untuk membuatku nyaman.“Uh!” Aku merintih pelan saat dia menyentuh bahuku.“Maaf,” kata Kassandra juga lirih.Setelah aku benar-benar terbaring, ia menjangkau selimut di ujung ranjang dan menutupkannya ke tubuhku.Ia melanjutkan dengan memeriksa tiap ujung selimut seperti tidak yakin selimut ini bisa membuatku hangat.Terakhir, ia menatap wajahku. Dalam temaram lampu tidur, dia seakan mencari-cari bola mataku yang tersembunyi di antara kelopak yang membengkak. Ia menemukannya, dan untuk itu ia ingin membuatku tenang melalui pandangan dan juga ucapan.“Kalau butuh apa-apa, panggil saja aku.”Kassandra berisyarat pada sofa di d
Bab 99: Lingkaran Asih ** Aku bangun pukul sembilan, dan tidak menemukan siapa-siapa. Hening. Lengang.. Sunyi.. Senyap.. Aku menolehkan kepala kanan-kiri dan mencari-cari. Kassandra tidak ada, lantas aku kecewa. Sedikit mengumpulkan tenaga aku pun bangkit dan duduk di tepi ranjang. Demamku sudah mulai mereda. Sensasi hunjaman pisau di sekujur tulang dan sendi kini tinggal sepertiganya. Aku menatap ke arah jendela dan berharap Kassandra sedang berdiri di sana. Dia juga tidak ada. Aku mulai dicekam rasa cemas. Sekali lagi aku mengedarkan pandangan ke sekeliling kamarku, sembari berharap Kassandra bersembunyi di dalam lemari pakaian, di balik ranjang, di bawah meja lalu membuatku terkejut seperti sedang bermain petak umpet. Mendapati keinginan yang tidak menjadi kenyataan, sekejap saja aku menjadi takut. Iya, takut pada kesendirian. Aku takut Kassandra meninggalkan aku. Tiba-tiba aku teringat lagi p
Bab 100: Naungan Asuh ** Tiba-tiba, gerakan tangan Kassandra menyisir rambutku terhenti. Ia menyibak rambutku di sisi kanan seperti menemukan sesuatu. Memang benar, dia menemukan sesuatu. Bukan, bukan kurap, juga bukan kutu. “Ini kenapa, Mas?” Tanya Kassandra lembut, sembari jari telunjuknya menyentuh sebuah bekas luka di sisi kanan kepalaku. Aku memejamkan mata sebentar, untuk kemudian aku susul dengan senyuman. Dengan semua perlakuan Kassandra ini, aku tidak punya alasan lagi untuk terus meninggi-ninggikan nilai moral yang aku anut dan lantas menganggap diriku lebih suci. Aku tahu dia pxlacur, namun aku sadar aku hanyalah anjing di tepi sumur. Dia adalah budak yang dipuja-puji di altar pengkultusan birahi, sementara aku adalah budak yang disanjung-sanjung di meja persembahan judi. Kami berdua hanyalah budak bagi mereka yang menuhankan hawa nafsu. Aku dan Kassandra tiada berbeda pada essensinya, sebab kami bera
Bab 101: Bayangan Seorang Perjaka**Leony Dwi Andini, dia berjalan di sepanjang beranda samping hotel Mustika Bumi dengan langkah yang sedikit malas-malasan.Ia menitipkan meja resepsionis pada sahabatnya untuk pergi ke belakang, menuju kantin dan lantas duduk di dekat kompor.Leony duduk menghadap sebuah meja kecil, bertopang dagu, dan tiba-tiba saja ia merasa dipasung oleh sang waktu. Ia melihat seseorang yang sedang ia rindui duduk di sini, di depannya, di dekat meja kompor.Lelaki itu membuka bekal makanan yang ia bawa dari rumah, yang Leony ketahui hanya berisi lauk berupa sambal teri yang dimasaknya sendiri.Lelaki itu juga minum air putih dari botol Winnie The Pooh.Air minum di botolnya habis, lelaki itu kemudian meminta izin pada Ibu Kantin dan mengisi botol Winnie The Pooh miliknya dengan air dari dispenser tak jauh di sampingnya.Leony melihat lelaki itu yang mendadak saja terperangah. Mulutnya mengatup berhen
Bab 102: Mengigau**Aku melihat Kassandra di tepi kolam hias, sedang memberi makan ikan koi.Ia berkata-kata seperti sedang berbincang dengan ikan yang melenggak-lenggok dengan warna-warni sisiknya yang indah.Sembari menggendong tangan kananku, aku berjalan pelan-pelan ke arahnya. Dia tahu aku sedang menuju ke arahnya, dan dia menunggu dengan senyum yang sedikit tersipu.andainya dia menyamarkan itu dengan terus menatap ke arah kolam. Aku berhenti di samping Kassandra yang sedang duduk di atas sebuah batu.“Aku boleh duduk di sini, Kas?” Aku bermaksud pada sebuah batu yang lain di samping Kassandra.“Boleh, silahkan,” sahutnya.Hingga beberapa menit kemudian, kami berdua tetap berdiam diri. Pandangan mataku tertuju ke kolam, memperhatikan ikan-ikan koi yang seakan sedang menari-nari mempertontonkan sebuah simfoni di hari jelang senja ini.Aku merasakan sesuatu yang menyenangkan dari perbicangank
Bab 103: Obat Rahasia**Josep mengeluarkan sesuatu dari sebuah amplop besar yang ia kempit di ketiaknya saat datang tadi.Ternyata isinya adalah.., amplop lagi, yang lebih kecil.“Ini obat untuk kamu, Fat. Aku datangkan ini langsung dari China, menggunakan jasa kargo penerbangan paling ekspress. Satu butirnya, itu harganya dua juta setengah. Dan amplop ini berisi dua puluh butir.”Aku menerima lungsuran amplop berisi obat dari Josep. Sembari mengintip isinya melalui celah amplop yang terbuka, aku pun menghitung harga total keseluruhan. Dua setengah juta, dikali dua puluh, berarti 25 juta!“Jadi,” lanjut Josep. “Bisa kamu hitung sendiri, harga totalnya 50 juta!”50 juta? Oh, aku salah hitung tadi.Satu butir pil berhara dua setengah juta, obat macam apa pula ini? Hatiku bertanya-tanya.“Itu obat tradisional khas China, Fat. Terbuat dari ramu-ramuan rahasia yang diolah dari
Bab 104: Samurai**Bagaimana aku bisa menjenguk Idah dalam keadaan terluka begini? Tidak, aku tidak mungkin melakukannya.Bagaimana pun rindunya aku, namun biarlah aku menyapanya hanya melalui telepon.Aku tidak ingin membuat dia bersedih sebab melihat kakaknya terluka lagi.Di dalam perbincangan melalui telepon itu, aku terus saja bertanya-tanya pada Idah untuk selalu memancingnya bertukar cerita.Aku sengaja telah menyusun semacam daftar hal-hal yang ingin kutanyakan padanya, mengingat aku yang pelupa, berikut pertanyaan pengalihan jika aku tidak berhasil di satu topik.Aku melakukan hal yang demikian agar Idah tidak terlarut di dalam suasana yang sedih.“Kak, boneka Winnie The Pooh-nya kotor, aku boleh cuci?”“Boleh,” sahutku.“Tapi..,” suara Idah tertahan sesuatu.“Tapi? Tapi kenapa?”“Kakak jangan marah ya.”
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.