Home / Lain / Ifat / Bab 101: Bayangan Seorang Perjaka

Share

Bab 101: Bayangan Seorang Perjaka

Author: Ayusqie
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Bab 101:  Bayangan Seorang Perjaka

**

Leony Dwi Andini, dia berjalan di sepanjang beranda samping hotel Mustika Bumi dengan langkah yang sedikit malas-malasan.

Ia menitipkan meja resepsionis pada sahabatnya untuk pergi ke belakang, menuju kantin dan lantas duduk di dekat kompor.

Leony duduk menghadap sebuah meja kecil, bertopang dagu, dan tiba-tiba saja ia merasa dipasung oleh sang waktu. Ia melihat seseorang yang sedang ia rindui duduk di sini, di depannya, di dekat meja kompor.

Lelaki itu membuka bekal makanan yang ia bawa dari rumah, yang Leony ketahui hanya berisi lauk berupa sambal teri yang dimasaknya sendiri.

Lelaki itu juga minum air putih dari botol Winnie The Pooh.

Air minum di botolnya habis, lelaki itu kemudian meminta izin pada Ibu Kantin dan mengisi botol Winnie The Pooh miliknya dengan air dari dispenser tak jauh di sampingnya.

Leony melihat lelaki itu yang mendadak saja terperangah. Mulutnya mengatup berhen

Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • Ifat   Bab 102: Mengigau

    Bab 102: Mengigau**Aku melihat Kassandra di tepi kolam hias, sedang memberi makan ikan koi.Ia berkata-kata seperti sedang berbincang dengan ikan yang melenggak-lenggok dengan warna-warni sisiknya yang indah.Sembari menggendong tangan kananku, aku berjalan pelan-pelan ke arahnya. Dia tahu aku sedang menuju ke arahnya, dan dia menunggu dengan senyum yang sedikit tersipu.andainya dia menyamarkan itu dengan terus menatap ke arah kolam. Aku berhenti di samping Kassandra yang sedang duduk di atas sebuah batu.“Aku boleh duduk di sini, Kas?” Aku bermaksud pada sebuah batu yang lain di samping Kassandra.“Boleh, silahkan,” sahutnya.Hingga beberapa menit kemudian, kami berdua tetap berdiam diri. Pandangan mataku tertuju ke kolam, memperhatikan ikan-ikan koi yang seakan sedang menari-nari mempertontonkan sebuah simfoni di hari jelang senja ini.Aku merasakan sesuatu yang menyenangkan dari perbicangank

  • Ifat   Bab 103: Obat Rahasia

    Bab 103: Obat Rahasia**Josep mengeluarkan sesuatu dari sebuah amplop besar yang ia kempit di ketiaknya saat datang tadi.Ternyata isinya adalah.., amplop lagi, yang lebih kecil.“Ini obat untuk kamu, Fat. Aku datangkan ini langsung dari China, menggunakan jasa kargo penerbangan paling ekspress. Satu butirnya, itu harganya dua juta setengah. Dan amplop ini berisi dua puluh butir.”Aku menerima lungsuran amplop berisi obat dari Josep. Sembari mengintip isinya melalui celah amplop yang terbuka, aku pun menghitung harga total keseluruhan. Dua setengah juta, dikali dua puluh, berarti 25 juta!“Jadi,” lanjut Josep. “Bisa kamu hitung sendiri, harga totalnya 50 juta!”50 juta? Oh, aku salah hitung tadi.Satu butir pil berhara dua setengah juta, obat macam apa pula ini? Hatiku bertanya-tanya.“Itu obat tradisional khas China, Fat. Terbuat dari ramu-ramuan rahasia yang diolah dari

  • Ifat   Bab 104: Samurai

    Bab 104: Samurai**Bagaimana aku bisa menjenguk Idah dalam keadaan terluka begini? Tidak, aku tidak mungkin melakukannya.Bagaimana pun rindunya aku, namun biarlah aku menyapanya hanya melalui telepon.Aku tidak ingin membuat dia bersedih sebab melihat kakaknya terluka lagi.Di dalam perbincangan melalui telepon itu, aku terus saja bertanya-tanya pada Idah untuk selalu memancingnya bertukar cerita.Aku sengaja telah menyusun semacam daftar hal-hal yang ingin kutanyakan padanya, mengingat aku yang pelupa, berikut pertanyaan pengalihan jika aku tidak berhasil di satu topik.Aku melakukan hal yang demikian agar Idah tidak terlarut di dalam suasana yang sedih.“Kak, boneka Winnie The Pooh-nya kotor, aku boleh cuci?”“Boleh,” sahutku.“Tapi..,” suara Idah tertahan sesuatu.“Tapi? Tapi kenapa?”“Kakak jangan marah ya.”

  • Ifat   Bab 105: Kayu Bakar di Hutan

    Bab 105: Kayu Bakar di Hutan**Tepat satu minggu pasca pertandingan melawan Elyaz Sharavan yang membuatku cedera, tangan kananku sudah bisa dilepas dari gendongan.Meski dada dan bahuku masih dibebat dengan lilitan kain, aku sudah mulai bisa menggerak-gerakkan tanganku dengan perlahan.Atas bimbingan Reynold aku rutin menjalani latihan untuk pemulihan tangan kananku ini. Obat yang diberi Josep itu ternyata sangat mujarab dan bekerja sebagai mana yang diharapkannya. Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat khasiat sampingan dari obat rahasia itu. Andai aku tidak cedera, sumpah mati aku tidak mau meminumnya.Sungguh, obat itu amit-amit jabang bayi, teramat sangat cocok sekali untuk mereka-mereka yang sudah bau tanah namun masih berhasrat untuk menikahi perawan muda.Malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya pun pasti akan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Begini gambarannya..,Teh Yuyun yang hampir berkepala empat da

  • Ifat   Bab 106: Surga Nomor Berapa

    Bab 106: Surga Nomor Berapa**Perjaka tulen?Di sarang pelxacur?Benar, ini tentang aku. Benar, aku masih perjaka. Sambar geledek aku berani sumpah. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, dan aku pun tidak tahu mengapa tiba-tiba saja aku ingin berkata tentang perjaka atau keperjakaan.********Sebuah kemenangan yang gilang-gemilang pada pertandinganku melawan Greg Christian. Hadi Wijaya alias Big Boss itu sampai terlupa pada encoknya.Aku tidak tahu bagaimana perhitungan atau algoritmanya, yang pasti dia menang besar dari pertandinganku itu. Memang lumrah, jarang ada bandar yang kalah. Termasuk di dalamnya Josep.Bagi mereka semua, aku ini membawa berkah. Maka bersyukurlah mereka dengan mengadakan perayaan kecil-kecilan di fasilitas hiburan milik Big Boss yang terletak di gedung depan itu.Josep dan Reynold mengajakku ke diskotik, yang bisa dikatakan hanya salah satu unit

  • Ifat   Bab 107: Reaksi

    Bab 107: Reaksi**Satu minggu pasca pertandinganku melawan Greg Christian—artinya tiga minggu pasca aku mendapat cedera dari Elyaz Sharavan—luka memar di wajah dan lebam di kedua mataku sudah benar-benar sembuh.Wajahku telah kembali pulih seperti sedia kala. Tapi tidak, dan belum untuk cedera di bahuku. Aku masih belum dapat melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beban.Aku sudah berencana untuk pulang ke Bandar Baru, dengan agenda utama menjenguk Joni dan Pak Latif sekeluarga.Agenda lain, bertemu dengan Leony, sesuai dengan janji kami dulu. Bondan segera mengurus tiket pesawatku pulang-pergi.“Berapa lama kamu di Bandar Baru, Mas?” Kassandra bertanya.Aku tahu dia ingin ikut, tapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, baik dari dia maupun dari aku-nya sendiri. Aku mengalihkan pandanganku dari kolam ikan koi kepadanya. Pertanyaan

  • Ifat   Bab 108: Siapa Mengawasi Siapa

    Bab 108: Siapa Mengawasi Siapa**Keesokan harinya..,Aku memasuki areal mall SKA dengan perasaan yang sedikit ganjil. Mungkin karena di dalam hatiku ini ada perasaan semacam hendak mengulangi sebuah kejadian, yaitu pertemuanku dengan Jihan sebulan yang lalu.Akan tetapi, sekarang dengan wanita yang berbeda, yaitu Leony.Seperti biasa, aku selalu datang lebih awal. Sebagai penghormatan atas orang dan atas waktu itu sendiri, juga supaya aku bisa mendapat keuntungan dari sisi sudut pandang maupun kesempatan-kesempatan lainnya.Aku ingin mengambil duduk di kursi panjang di depan sebuah restoran siap saji, di dekat pintu barat mall SKA, dan aku akan menyamarkan keberadaanku dengan duduk di samping patung badut seperti waktu yang lalu.Namun ternyata, kursi panjang tempat patung badut maskot restoran itu telah diduduki oleh orang lain, yaitu seorang wanita yang mungkin karena cuaca Bandar Baru sedang dingin pasca hujan, dia men

  • Ifat   Bab 109: Pelataran SKA dalam Mozaik Cinta

    Bab 109: Pelataran SKA dalam Mozaik Cinta**“Bagaimana, Fat? Aku sudah mengerjakan syarat yang kamu pinta.”Aku menghirup nafas berkali-kali untuk memompa dan mengumpul-ngumpulkan keberanian. Lalu, saat aku mengatakan sesuatu yang pernah aku katakan pada Jihan;“Kamu mengerjakan shalat itu karena aku, bukan karena Allah.”Seketika saja murkalah Leony, bercampur malu yang memerahkan wajahnya. Ia sampai menarik pundakku untuk memutar tubuhku supaya menghadap tepat ke arahnya.“Shalat itu urusanku dengan Tuhan, Fat! Dan kamu tidak berhak menghakimi aku!”Persis sama dengan Jihan. Maka jawaban yang aku beri pada Leony juga sama dengan yang pernah aku katakan pada Jihan.Demikian juga, dialog kami tidak berbeda dengan yang pernah terjadi antara aku dengan si gadis bermata perigi itu.“Pembohong kamu, Fat! Penipu kamu! Penipuu..!!” Leony memekik histeris.“Kal

Latest chapter

  • Ifat   Bab 232: Maha Cinta

    Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”

  • Ifat   Bab 231: Belah Duren

    Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.

  • Ifat   Bab 230: Kehadiran

    Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge

  • Ifat   Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu

    Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su

  • Ifat   Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!

    Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be

  • Ifat   Bab 227: Sang Perantau

    Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan

  • Ifat   Bab 226: Tujuh Koin

    Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik

  • Ifat   Bab 225: Jemputan

    Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel

  • Ifat   Bab 224: Nol Koma Satu Persen

    Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.

DMCA.com Protection Status