Bab 105: Kayu Bakar di Hutan
**
Tepat satu minggu pasca pertandingan melawan Elyaz Sharavan yang membuatku cedera, tangan kananku sudah bisa dilepas dari gendongan.
Meski dada dan bahuku masih dibebat dengan lilitan kain, aku sudah mulai bisa menggerak-gerakkan tanganku dengan perlahan.
Atas bimbingan Reynold aku rutin menjalani latihan untuk pemulihan tangan kananku ini. Obat yang diberi Josep itu ternyata sangat mujarab dan bekerja sebagai mana yang diharapkannya.
Aku tersenyum-senyum sendiri mengingat khasiat sampingan dari obat rahasia itu. Andai aku tidak cedera, sumpah mati aku tidak mau meminumnya.
Sungguh, obat itu amit-amit jabang bayi, teramat sangat cocok sekali untuk mereka-mereka yang sudah bau tanah namun masih berhasrat untuk menikahi perawan muda.
Malaikat maut yang hendak mencabut nyawanya pun pasti akan geleng-geleng kepala. Bagaimana tidak? Begini gambarannya..,
Teh Yuyun yang hampir berkepala empat da
Bab 106: Surga Nomor Berapa**Perjaka tulen?Di sarang pelxacur?Benar, ini tentang aku. Benar, aku masih perjaka. Sambar geledek aku berani sumpah. Aku tidak perlu membuktikan apa-apa pada siapa-siapa, dan aku pun tidak tahu mengapa tiba-tiba saja aku ingin berkata tentang perjaka atau keperjakaan.********Sebuah kemenangan yang gilang-gemilang pada pertandinganku melawan Greg Christian. Hadi Wijaya alias Big Boss itu sampai terlupa pada encoknya.Aku tidak tahu bagaimana perhitungan atau algoritmanya, yang pasti dia menang besar dari pertandinganku itu. Memang lumrah, jarang ada bandar yang kalah. Termasuk di dalamnya Josep.Bagi mereka semua, aku ini membawa berkah. Maka bersyukurlah mereka dengan mengadakan perayaan kecil-kecilan di fasilitas hiburan milik Big Boss yang terletak di gedung depan itu.Josep dan Reynold mengajakku ke diskotik, yang bisa dikatakan hanya salah satu unit
Bab 107: Reaksi**Satu minggu pasca pertandinganku melawan Greg Christian—artinya tiga minggu pasca aku mendapat cedera dari Elyaz Sharavan—luka memar di wajah dan lebam di kedua mataku sudah benar-benar sembuh.Wajahku telah kembali pulih seperti sedia kala. Tapi tidak, dan belum untuk cedera di bahuku. Aku masih belum dapat melakukan pekerjaan berat seperti mengangkat beban.Aku sudah berencana untuk pulang ke Bandar Baru, dengan agenda utama menjenguk Joni dan Pak Latif sekeluarga.Agenda lain, bertemu dengan Leony, sesuai dengan janji kami dulu. Bondan segera mengurus tiket pesawatku pulang-pergi.“Berapa lama kamu di Bandar Baru, Mas?” Kassandra bertanya.Aku tahu dia ingin ikut, tapi situasi dan kondisinya tidak memungkinkan, baik dari dia maupun dari aku-nya sendiri. Aku mengalihkan pandanganku dari kolam ikan koi kepadanya. Pertanyaan
Bab 108: Siapa Mengawasi Siapa**Keesokan harinya..,Aku memasuki areal mall SKA dengan perasaan yang sedikit ganjil. Mungkin karena di dalam hatiku ini ada perasaan semacam hendak mengulangi sebuah kejadian, yaitu pertemuanku dengan Jihan sebulan yang lalu.Akan tetapi, sekarang dengan wanita yang berbeda, yaitu Leony.Seperti biasa, aku selalu datang lebih awal. Sebagai penghormatan atas orang dan atas waktu itu sendiri, juga supaya aku bisa mendapat keuntungan dari sisi sudut pandang maupun kesempatan-kesempatan lainnya.Aku ingin mengambil duduk di kursi panjang di depan sebuah restoran siap saji, di dekat pintu barat mall SKA, dan aku akan menyamarkan keberadaanku dengan duduk di samping patung badut seperti waktu yang lalu.Namun ternyata, kursi panjang tempat patung badut maskot restoran itu telah diduduki oleh orang lain, yaitu seorang wanita yang mungkin karena cuaca Bandar Baru sedang dingin pasca hujan, dia men
Bab 109: Pelataran SKA dalam Mozaik Cinta**“Bagaimana, Fat? Aku sudah mengerjakan syarat yang kamu pinta.”Aku menghirup nafas berkali-kali untuk memompa dan mengumpul-ngumpulkan keberanian. Lalu, saat aku mengatakan sesuatu yang pernah aku katakan pada Jihan;“Kamu mengerjakan shalat itu karena aku, bukan karena Allah.”Seketika saja murkalah Leony, bercampur malu yang memerahkan wajahnya. Ia sampai menarik pundakku untuk memutar tubuhku supaya menghadap tepat ke arahnya.“Shalat itu urusanku dengan Tuhan, Fat! Dan kamu tidak berhak menghakimi aku!”Persis sama dengan Jihan. Maka jawaban yang aku beri pada Leony juga sama dengan yang pernah aku katakan pada Jihan.Demikian juga, dialog kami tidak berbeda dengan yang pernah terjadi antara aku dengan si gadis bermata perigi itu.“Pembohong kamu, Fat! Penipu kamu! Penipuu..!!” Leony memekik histeris.“Kal
Bab 110: Tentang Nama**Keesokan harinya..,Setelah kembali dari Bandar Baru, aku singgah di rumah Menteng. Aku menjemput Kassandra untuk kembali ke rumah Pluit.Kami berdua butuh waktu lama untuk membujuk Idah supaya bisa melepas kami pergi. Untunglah Bunda Mulan dan Bunda Tiwi, pengasuh Idah, membantu kami membujuk.Untuk itu dan juga untuk hal-hal lainnya, secara khusus aku mengucapkan terima kasih kepada mereka berdua. Beberapa saat saling peluk yang penuh haru, akhirnya Idah merelakan kami. “Kamu tidak bercerita apa-apa soal pertandinganku di oktagon kan, Kas?” Tanyaku di dalam perjalanan.“Tidak, Mas. Sesuai pesan kamu, aku cerita ke Idah kalau kamu kerjanya di pergudangan, dan aku bekerja di warung makan dekat gudang kamu.”Aku mengangguk. Sebentar aku melirik Wisnu yang memegang kemudi melalui kaca spion di atas dashboard, lalu kualihkan pandanganku ke kanan, menatap kosong pada apa
Bab 111: Latihan dan Ujian**Hari-hariku selanjutnya kujalani dengan tiga kegiatan utama, yaitu; latihan, latihan, dan latihan. Terapi untuk pengobatan bahu dan lenganku, itu juga latihan.Makan minum dengan menggunakan tangan kanan, aku golongkan juga itu ke dalam latihan, dan tentu saja termasuk mengangkat barbel ringan.Akan tetapi, lari pagi di sepanjang jalan pemukiman hingga sampai di ujung rute berupa sebuah danau kecil, aku menganggap itu bukan latihan, karena yang lebih tepat adalah ujian.Bagaimana tidak? Kassandra yang selalu menemani aku lari pagi dengan sepedanya dia berada di depanku. Dia mengayuh sepeda dengan bersemangat tapi aku yang paling banyak berkeringat.Dia memakai topi bisbol dengan rambutnya yang menjuntai, dengan kaus tak berlengan ‘ngepress’ yang mencetak tali bra-nya, dengan celana ekstra pendek dan super ketat yang menyiluetkan bentuk bokongnya.Gitar espanyola di depan mata dan betapa gatal
Bab 112: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 1**Beberapa hari kemudian..,Akhirnya, Johan mendapat jeda dari kesibukannya sebagai peserta Audisi Bintang Indonesia. Kami berdua segera mengatur rencana untuk bertemu.Ketika hari pertemuan kami sudah tiba, pukul sepuluh pagi aku mendatangi kamar Kassandra. Ini adalah momen yang sangat tepat untuk menunaikan janjiku padanya.Yaitu membuat dia percaya bahwa Johan Purba sang finalis di Audisi Bintang Indonesia itu, yang selalu ia dukung dengan mengirimkan SMS voting, yang Kristiani itu, yang pernah membuatnya terpana dengan lagu keroncong Bengawan Solo dalam tayangan ulang, adalah sahabatku sekaligus saudaraku.Akan tetapi, sayang sekali, Kassandra sedang tidak fit hari ini. Padahal, aku sudah menelepon Josep supaya dia mengatur ‘legalitasku’ untuk membawa Kassandra keluar.Aku memanggil Putri Ok Soo-ku di depan pintu kamarnya yang tertutup. Selang beberapa saat handel pintu
Bab 113: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 2**“Jo.., aku paham dengan kegiatanmu yang padat, dengan jadwal latihan vokal dan iklan-iklan endorsement ini itu. Kapan pun nanti kamu punya waktu untuk pulang ke Bandar Baru, telepon aku, Jo.”Johan memandangku dengan kening mengerut.“Aku serius, Jo. Kalau kamu sempat, detik ini juga aku bisa belikan kamu tiket pesawat.”Johan terus memandangku dalam diam. Dia lalu terperangah ketika aku ceritakan jengukanku yang terakhir pada Joni.“Dia bereaksi??”“Iya, benar, Jo. Aku melihat sendiri. Jari tangannya bergerak-gerak, seakan-akan dia sedang memetik gitar.”Johan mengatupkan dua tangannya di depan dada seperti biasanya dia berdoa.“Puji Tuhan, Puji Tuhan..!” Katanya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.Aku tidak ingin terus membawa Johan ke dalam suasana yang haru. Maka, aku utarakan niat yang telah aku bawa
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.