Bab 113: Hadiah Untuk Tahun Depan – part 2
**
“Jo.., aku paham dengan kegiatanmu yang padat, dengan jadwal latihan vokal dan iklan-iklan endorsement ini itu. Kapan pun nanti kamu punya waktu untuk pulang ke Bandar Baru, telepon aku, Jo.”
Johan memandangku dengan kening mengerut.
“Aku serius, Jo. Kalau kamu sempat, detik ini juga aku bisa belikan kamu tiket pesawat.”
Johan terus memandangku dalam diam. Dia lalu terperangah ketika aku ceritakan jengukanku yang terakhir pada Joni.
“Dia bereaksi??”
“Iya, benar, Jo. Aku melihat sendiri. Jari tangannya bergerak-gerak, seakan-akan dia sedang memetik gitar.”
Johan mengatupkan dua tangannya di depan dada seperti biasanya dia berdoa.
“Puji Tuhan, Puji Tuhan..!” Katanya lirih. Matanya mulai berkaca-kaca.
Aku tidak ingin terus membawa Johan ke dalam suasana yang haru. Maka, aku utarakan niat yang telah aku bawa
Bab 114: Takut**Pertandingan kelima, aku melawan Carlos Benetto, asal Brazil, yang konon pernah bekerja sebagai pengawal truk-truk pengangkut marijuana milik seorang pengusaha dari Kuba.Sebagai petarung dapat dikatakan dia memiliki kemampuan yang kompleks. Jago pukul dari boxing, jago tendang dari karate, juga jago bantingan dan kuncian dari BJJ—Brazilian Jiu Jitsu.Satu lagi, aku tidak bisa memandang sebelah mata pada yang satu ini, dia jago Cavoeira, dan memadu-padankan kesemua itu di dalam satu sistem penyerangan dan pertahanan Mixed Martial Art—beladiri campuran—yang sempurna.Sempurna, setidaknya itu sebelum dia bertemu dengan The Pooh. Karena ketika bertanding melawan aku, dia kalah.Benar, aku yang menang!Apa sih hebatnya aku ini? Aku sering bertanya-tanya dalam hati.Hanya seorang mantan cleaning service, kerani, kondektur metromini dan mantan operator mesin konveksi, dengan postur tidak besar tida
Bab 115: Berita Langit – part 1**Aku sedang berjalan di beranda samping ketika Kassandra memanggilku.“Mas! Ke sini, cepat, sini!”Aku menghampiri Kassandra yang sedang berjongkok di tengah taman samping. Ia mematung dengan tangan memegang sekop kecil, sedang menanam bunga rupanya.Kepalanya sendiri sedang tertunduk seperti menatapi sesuatu di tanah, mungkin ulat, atau cacing.“Ada apa, Kas?”“Aku ingat, Mas!” Serunya sembari memandangku dengan wajah cerah. Sinar matahari pagi mampir di bibirnya yang sedikit basah.“Ingat apa?” Aku penasaran. Kuambil posisi berjongkok di depannya.“Nama perempuan terakhir yang kamu sebut waktu mengigau.”“Nah, siapa?” Aku semakin penasaran.Kassandra segera mengucap.., tapi mendadak dia bengong, dengan mulut setengah terbuka dan pandangan matanya tiba-tiba saja kosong melompong.“Ih
Bab 116: Berita Langit – part 2**“Tadi, waktu di bioskop, kamu tidurnya ngorok, Kas.” Kataku bergurau dengan mimik wajah yang tetap datar.“Enak saja! Dari mana kamu tahu? Kamu saja tertidur lebih dulu.”“Tapi kan, aku yang duluan bangun.”“Kamu tuh, yang tidurnya mangap.” Balas Kassandra.“Ah, ngawur kamu, Kas.”“Iya, serius. Untung saja aku tidak bawa garam. Kalau bawa, aku masukkan garam ke mulut kamu, Mas.” Kassandra cekikikan sambil menutup mulut.Aku diam sebentar.“Kamu serius, Kas, aku tidurnya mangap?”“Iya, geli aku melihatnya.” Kassandra cekikikan lagi.“Seberapa lebar?”“Tidak terlalu lebar sih. Tapi cukuplah kalau aku masukin sandal.”Kami berdua tertawa, sambil sedikit dorong-dorongan.“Sekarang, kita ke mana lagi?” Tanyaku
Bab 117: Congklak**Fiuh! Menipu si penipu, lalu siapa yang tertipu?Dalam hal ini, izinkan aku menjadi juri bagi ‘pertarunganku’ dengan sang Mami Gipsi itu.Aku berhasil menipunya, juga kroni setan yang telah mencuri berita langit untuknya. Aku menilai, seri. Skor kami, satu-satu, karena dia juga berhasil menipuku.Peramal Gipsi itu benar. Ainun masih hidup, dan akan tetap hidup. Dia ada di dalam dadaku, di dalam hatiku. Dengan kata lain, di dalam memoriku.Meskipun, dan walaupun.., aku nanti akan menjadi tua dan pikun. Ke mana pun aku melangkah pergi Ainun akan selalu membayangi serupa bayangan dari sebuah benda yang tersinar cahaya matahari.Benar kata orang, manusia tidak bisa melepaskan diri dari masa lalu. Benar pula orang lain yang berkata, bahwa masa lalu dan masa kini berjalan secara simultan, beriringan, dan akan terus begitu untuk membangun sebuah komposisi nasib di masa depan.Hai, k
Bab 118: Salinan - Part 1**“Ifat benar, Gun. Dia benar waktu bilang aku telah salah dalam berniat.”“Kenapa kamu tidak cerita ke aku, Leony?” Anggun bertanya.“Aku malu, Gun. Malu sekali.”“Kenapa mesti malu. Aku ini kan sahabatmu. Paling tidak, dengan bercerita ke aku itu sudah mengurangi sedikit beban pikiranmu.”Leony menatap wajah Anggun, sahabat karibnya yang malam ini telah menyempatkan diri mengunjunginya di rumah. Sudah dua bulan mereka tidak bertemu sejak terakhir di warung Ayam Penyet Solo.“Eh, aku bikin minum dulu ya?”“Tidak usah, Leony, tak usah repot-repot.”“Tidak apa-apa. Biar kita ngobrolnya bisa lama.”“Air putih saja ya, jangan teh manis.”“Kenapa?”“Karena aku sudah manis.”Leony tersenyum mendengar gurauan Anggun itu.“Iy
Bab 119: Salinan – Part 2**Malam ini, aku makan nasi lembek dengan sayur bayam dimasak bening, sambal terasi, pepes ikan asin, telur setengah matang, tahu tempe dan ayam goreng.Semuanya bisa aku makan kecuali ayamnya. Ompong di kanan kiri telah membuatku kesulitan mengunyah.Sate daging juga ada, Bik Laras tadi sore yang membakarnya. Akan tetapi, mana mungkin aku bisa menyantap. Bisa tanggal gigi seriku yang memang sudah bergoyang ini.Usai makan aku duduk di halaman samping, pada sebuah batu yang berada tepat di depan kolam hias. Aku memeluk lutut dan memandang ke atas.Bulan purnama sedang bulat sempurna, memendarkan cahaya emas kekuningan sedikit merah seperti tersepuh tembaga.Agak lama, dan khayalanku sudah jauh entah sampai di mana, ketika kemudian Kassandra datang dan berdiri di sampingku.Aku menyodorkan tangan kananku padanya. Melihat karet gelang di tanganku ini, dia mengambilnya dan seperti biasa ia menarik
Bab 120: One Two Seven**“One..! Two..! Seven..!”“One..! Two..! Seven..!”Sasana mini tempat biasa aku dilatih Reynold bersama para Sparring Partner letaknya ada di bagian belakang rumah.Bentuknya sebuah ruangan mirip aula, dengan kelengkapan sarana dan alat-alat bantu berupa sandbag, punchbag, boneka kayu, boneka lenting, dan alat-alat kebugaran lain.Lantainya dilapisi matras tebal. Lalu di salah satu sisinya dibuat sebuah sudut dengan jaring kawat, di mana itu adalah miniatur dari satu sudut ring oktagon yang bersegi enam.“One..! Two..! Seven..!”“One..! Two..! Seven..!”Samsak yang ada di ruangan ini berbeda dengan samsak yang ada di halaman belakang, yang tergantung di sebuah tiang dekat lapangan basket mini, di mana aku sering duduk di tengahnya dan membaca-baca lalu mencermati kitab kuno warisan Aldo.“Mas, ajarin aku silat dong,” kata Ka
Bab 121: Bekas Knalpot**Kota Tua, sudah. Itu yang paling menggugah.Seaworld, sudah, bulan lalu, dan di situ termasuk ‘vacation’ yang paling indah.Dufan juga sudah, dan di situ terjadi momen paling memorable.Kami menaiki roller coaster. Takut dan terkejutnya Kassandra ketika itu sampai memekik-mekik histeris serupa anak kecil, meningkahi suara penumpang wahana lainnya.Ia memegangi tangan kiriku kuat-kuat. Sementara aku, tak kurang menggilanya. Sumpah mati aku takut, bukan karena sensasi dari momentum yang ditimbulkan roller coaster.Akan tetapi, lebih kepada.., bagaimana kalau kereta luncur ini keluar jalur, lepas dari track dan, suiiiingg..! Jatuh??Selesai dengan itu, aku keluar dari kereta wahana dengan perasaan lega yang luar biasa.Oke, baiklah. Maka sekarang, ke mana lagi?TMII! Alias Taman Mini Indonesia Indah!Hari ini, kami berdua pun pergi ke situ.Aku dan Kassandra berjala
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.