Bab 120: One Two Seven
**
“One..! Two..! Seven..!”
“One..! Two..! Seven..!”
Sasana mini tempat biasa aku dilatih Reynold bersama para Sparring Partner letaknya ada di bagian belakang rumah.
Bentuknya sebuah ruangan mirip aula, dengan kelengkapan sarana dan alat-alat bantu berupa sandbag, punchbag, boneka kayu, boneka lenting, dan alat-alat kebugaran lain.
Lantainya dilapisi matras tebal. Lalu di salah satu sisinya dibuat sebuah sudut dengan jaring kawat, di mana itu adalah miniatur dari satu sudut ring oktagon yang bersegi enam.
“One..! Two..! Seven..!”
“One..! Two..! Seven..!”
Samsak yang ada di ruangan ini berbeda dengan samsak yang ada di halaman belakang, yang tergantung di sebuah tiang dekat lapangan basket mini, di mana aku sering duduk di tengahnya dan membaca-baca lalu mencermati kitab kuno warisan Aldo.
“Mas, ajarin aku silat dong,” kata Ka
Bab 121: Bekas Knalpot**Kota Tua, sudah. Itu yang paling menggugah.Seaworld, sudah, bulan lalu, dan di situ termasuk ‘vacation’ yang paling indah.Dufan juga sudah, dan di situ terjadi momen paling memorable.Kami menaiki roller coaster. Takut dan terkejutnya Kassandra ketika itu sampai memekik-mekik histeris serupa anak kecil, meningkahi suara penumpang wahana lainnya.Ia memegangi tangan kiriku kuat-kuat. Sementara aku, tak kurang menggilanya. Sumpah mati aku takut, bukan karena sensasi dari momentum yang ditimbulkan roller coaster.Akan tetapi, lebih kepada.., bagaimana kalau kereta luncur ini keluar jalur, lepas dari track dan, suiiiingg..! Jatuh??Selesai dengan itu, aku keluar dari kereta wahana dengan perasaan lega yang luar biasa.Oke, baiklah. Maka sekarang, ke mana lagi?TMII! Alias Taman Mini Indonesia Indah!Hari ini, kami berdua pun pergi ke situ.Aku dan Kassandra berjala
Bab 122: Pak Menteri**Malam hari sebelum tidur, seperti biasa aku duduk di halaman belakang, di samping gazebo, tepat di tengah lapangan basket mini.Aku mencoba mengeja kitab kuno warisan Aldo, alias Aldiansyah sang Sutan Mudo.Ini tidak mudah bagiku, sebab kitab peninggalan perguruan Bungo Rampai yang telah hilang dari muka bumi ini menggunakan aksara Arab Melayu. Tambahan lagi, ternyata menggunakan bahasa Minangkabau yang bukan bahasa ibuku.Tentu saja aku tidak perlu mengartikan semuanya, kata per kata, sebab yang terpenting adalah maksud inti dari susunan kalimatnya, di mana ini berisi penjelasan singkat dari gerakan-gerakan yang dicontohkan dalam gambar, yang hanya berupa coretan garis-garis seperti manusia lidi.Beberapa saat kemudian, aku pun bangkit, lalu mencoba menirukan gerakan-gerakan pada kitab berisi rangkaian jurus Bumi Dipijak Langit Dijunjung ini.Tidak terlalu sulit aku menghafalnya, sebab di dalam memoriku telah
Bab 123: Pasak Bumi**“Be.., betul ini dengan Pak Menteri?” Tanyaku gugup.Tiba-tiba, meledaklah suara tawa dari seberang telepon sana.“Huahahaha..! Ini aku, Fat! Aku.., Ucon!”Kucing kurap! Makiku dalam hati. Tak urung aku tertawa juga.Novelis jadi-jadian itu memang selalu punya ide untuk bercanda. Tidak terasa sudah empat bulan lebih aku tidak bertemu dengannya.“Apa kabar, Ucon?” Tanyaku kemudian.“Baik, baik, kabarku baik, Fat. Walaupun di sini makannya susah, tapi syukurlah, masih bisa makan juga.”“Susah?” Aku penasaran.Ucon bercerita panjang lebar tentang areal tempat dia bekerja sekarang. Sebuah hutan pedalaman yang berjarak kurag lebih 120 kilometer dari jalan lintas Sumatera.Mengingat akses jalan yang hanya berupa rintisan, dibutuhkan paling tidak satu hari satu malam dari kampung terdekat untuk sampai ke sa
Bab 124: Karena Aku Suka Dia**Dengan perlahan, aku terus melangkah pada Kassandra..,Hingga kemudian, pada jarak sedekat ini tidak akan ada yang mampu menghalangi tafsirku pada keindahan yang dia persembahkan.Jelas, jelas sekali. Tiada noktah, baik itu panu, kadas, kudis, bekas kurap atau pun bekas knalpot. Benar-benar mulus seumpama panci dapur baru keluar dari plastik.Semakin khusyuk aku menghayatinya, maka semakin bertalu degup jantungku, semakin laju denyut nadiku, semakin menegang urat-uratku, dan semakin keras pula otot-ototku.Kini, aku telah sampai di depan Kassandra, yang berdiri mematung bak manekin peraga busana.Aku dekatkan wajahku pada wajahnya. Sedikit menyisi ke samping aku dekatkan pula bibirku pada pipinya.Lalu dengan tetap menjaga jarak hanya dua inci, pelan-pelan aku sapukan pandanganku pada sekujur tubuh Kassandra.Terus turun ke bawah, singgah sebentar di samping gunung gemumung tadi, singgah l
Bab 125: Sakura Mekar di Fujiyama**Jujur, aku mulai menyukai Kassandra. Benar, aku telah memasukkan namanya ke dalam daftar rencana-rencana.Tapi itu nanti, jauh, jauh sekali, dan dia mendapat porsi yang paling sedikit dari kuota probabilitas—aku mencintainya dan sedia hidup dalam ikatan yang sah.Bahkan, jika salinan dari Muhammad Fatih benar-benar ada namun dalam versi yang paling punya rasa tega, dia pasti akan berkata; “Kamu jangan berharap dulu ya, Kas.”Pastinya, Muhammad Fatih yang itu bukan aku.Jujur aku mengakui kekagumanku pada sikap Kassandra, yang mengungkapkan rasa cintanya tanpa mengucapkan kata cinta.Momen kemarin di kolam ikan, aku mencatat itu sebagai yang keempat, dan dia melakukan itu melalui perantara ikan koi di dalam kolam.Betapa elegannya, dan betapa berkelasnya. Sangat mengejutkan ketika itu dilakukan oleh seorang wanita tunasusila yang di dalam kehidupan sosial dan dalam tatanan n
Bab 126: Dunia Yang Kecil**Di bandara Sultan Syariq Qasim, menunggu pesawatku terbang ke Jakarta, aku melamun di ruang tunggu, ditemani majalah otomotif yang belum kubuka sejak membelinya di dekat kampus UNRI tadi.Aku terus saja melamunkan Jihan. Bagaimana mungkin hanya dengan sekali bertemu tadi aku langsung suka kepadanya?Tuhan memang Maha Pembolak-Balik Hati, dan sekarang ini, Dia pasti sedang kurang kerjaan!Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tetap tidak mengacuhkan para calon penumpang lain di sekelilingku, termasuk dua gadis yang duduk persis di depanku.Sekilas pandang sekilas dengar, aku baru sadar kalau kedua gadis itu bule. Cantik, yang satu. Yang satu lagi, biasa saja.Mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, dan sedang membahas isi berita di tabloid yang sedang mereka bentang bersama.Begitu antusiasnya mereka berbicara, hingga telingaku bisa mendengar dengan jelas isi perbincangan mereka.Aku tidak m
Bab 127: Abatasa**Satu-satunya benda milikku yang belum pernah dipegang atau disentuh oleh Kassandra adalah kitab perguruan Bungo Rampai warisan dari Aldo.Aku selalu menjaganya dengan pengawasan ekstra ketat. Jika aku pergi, aku sengaja menyembunyikannya di atas lemari supaya Kassandra tidak bisa menjangkaunya.Dia juga masih belum mengerti, apa yang aku cermati di hampir setiap malam di halaman belakang di lapangan basket mini.Hingga esok malamnya, mungkin karena sedikit melamun, aku tidak menyadari Kassandra yang tiba di sampingku dan aku terlambat menutup kitab Bungo Rampai.Kassandra sempat melihat isi tulisan di dalamnya yang beraksara Arab Melayu. Dia mematung beberapa saat, dan aku pun menunggu barangkali dia ingin menyampaikan sesuatu.“Kamu bisa mengaji, Mas?” Dia bertanya, terkait dengan aksara Arab Melayu di kitab Bungo Rampai.Aku tersenyum sembari menoleh padanya. Sedikit menarik ujung bibirku kemud
Bab 128: Sang Petarung – part 1**Flash! Flash! Flash! Sungguh, aku pernah mengalaminya. Kilatan cahaya menampar-nampar wajahku serupa blitz kamera; flash.. flash.. flash!Di masing-masing kilatan cahaya itu aku melihat semua orang yang aku kenal dan aku sayangi.Namun, di antara mereka hanya Joni yang wajahnya bersinar-sinar, dan dari jemarinya, seakan ia ingin memberikannya kepadaku, beberapa kuntum bunga kamboja berjatuhan, berputar seperti gasing tapi lambat, lalu jatuh pasrah diterima tanah.Joni dengan bunga kamboja.., inilah rupanya arti dari ‘vision’ itu!Mendadak saja duniaku menjadi gelap. Ke mana pun aku memandang yang tampak hanya jelaga yang pekat.Lalu tiba-tiba semburan api keluar dari perut bumi, menyala berkobar-kobar dan membumi-hanguskan apa pun yang berdiri dan tumbuh di atas tanah.Gedung-gedung seakan rubuh, langit berderak lalu amblas. Laut memuntahkan semua ya
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.