Bab 128: Sang Petarung – part 1
**
Flash! Flash! Flash!
Sungguh, aku pernah mengalaminya. Kilatan cahaya menampar-nampar wajahku serupa blitz kamera; flash.. flash.. flash!
Di masing-masing kilatan cahaya itu aku melihat semua orang yang aku kenal dan aku sayangi.
Namun, di antara mereka hanya Joni yang wajahnya bersinar-sinar, dan dari jemarinya, seakan ia ingin memberikannya kepadaku, beberapa kuntum bunga kamboja berjatuhan, berputar seperti gasing tapi lambat, lalu jatuh pasrah diterima tanah.
Joni dengan bunga kamboja.., inilah rupanya arti dari ‘vision’ itu!
Mendadak saja duniaku menjadi gelap. Ke mana pun aku memandang yang tampak hanya jelaga yang pekat.
Lalu tiba-tiba semburan api keluar dari perut bumi, menyala berkobar-kobar dan membumi-hanguskan apa pun yang berdiri dan tumbuh di atas tanah.
Gedung-gedung seakan rubuh, langit berderak lalu amblas. Laut memuntahkan semua ya
Bab 129: Sang Petarung – part 2**Reynold memberi tahu aku bahwa taruhan malam ini mencapai angka yang bisa membangun 750 desa tertinggal. Lengkap dengan semua infrastrukturnya, fasilitas pendidikan, juga fasilitas kesehatan.Josep sendiri bertaruh 5 milyar dan Big Boss 15 milyar. Dua bandit itu berkepentingan besar dengan kemenanganku malam ini.Dan aku, setelah ketiadaan Joni, berkepentingan dengan Idah. Hanya dia, seorang Idah. Aku bahkan sudah tidak peduli dengan diriku sendiri.Lawanku di pertarungan malam ini bukanlah orang sembarang. Dia bernama Jordan Smith, seorang Afro-Amerika dari California, USA.Julukannya Black Mamba, diambil dari nama ular yang bisanya paling mematikan di dunia.Berbeda dengan ular kobra yang tidak akan menyerang manusia jika tidak merasa terganggu, ular mamba hitam selalu menyerang siapa pun, dan apa pun yang terdeteksi ke dalam indera penciuman di lidahnya.Karena itu, dis
Bab 130: Sang Petarung – part 3**Mataku berkunang-kunang. Semua yang kulihat serba berbayang. Tapi aku tahu di luar ring sana, dekat Wisnu dan Bondan, Kassandra tengah menatapku sembari menangkupkan dua tangannya di depan bibir.Airmatanya meleleh, dan samar dapat kulihat ia berbisik lamat-lamat; “Bangun, Mas,”Perlahan aku bangkit. Kukerjap-kerjapkan mata dan kugoyang-goyangkan kepala untuk menarik penuh kesadaranku dari pengaruh ‘black out’. Para penonton kembali berteriak riuh.“The Pooh..! The Pooh..! The Pooh..!!”“Jordan.! Jordan.! Jordan..!!!”Jordan menyeringai. Cepat ia menghampiriku. Karena masih kunang-kunang aku kurang waspada ketika ia menyergap kepalaku, bersamaan dengan lututnya bertubi-tubi menghantam wajahku.Aku berusaha menahan serangan itu dengan kedua tangan, tak banyak berguna. Aku juga berusaha menghindar dengan menggerakkan kepala kan
Bab 131: Antara Cinta dan Sang Kekasih**Wasit masih memandangku. Jordan yang terlentang di kanvas juga masih menunggu jawabanku. Ia berusaha mati-matian mempertahankan kesadarannya.Dengan jurus dari kitab kuno yang diwariskan Aldo aku berhasil mengalahkan Jordan Smith dengan mudah. Entahlah, mengapa bisa begitu.Aku tak perlu menyerang, yang kulakukan hanyalah menari seumpama rumpun bambu dicumbu sang bayu.Dengan gerak liukan yang efisien dan kibasan balik aku hanya perlu sedikit menyentuh. Semua kekuatan Jordan aku pergunakan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Berkali-kali aku menjatuhkan Jordan, dan berkali-kali pula ia bangkit dan kembali menyerangku. Sampai pincang kakinya, sampai patah tangannya, habis tenaganya dan di bantingan terakhir, ia tidak mampu lagi untuk bangkit.Ia tergolek tanpa daya, menyerah, dan wasit segera menyilangkan tangan di atas kepala. Aku menang, dan hatiku membuncah.Baru saja a
Bab 132: Perancang Skenario Terbaik**Aku terduduk lemas sembari terus memeluk jasad Kassandra. Aku sudah tidak punya air mata lagi untuk aku keluarkan. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menangis.Hal terakhir yang bisa aku lakukan hanyalah menempelkan pipiku ke pipi Putri Ok Soo-ku, dan menimang-nimang tubuhnya yang lekat di dalam pelukanku.Tubuh kami berdua bergoyang kanan kiri seakan berada di dalam kuali. Aku menggumam-gumamkan lagu yang terbersit di dalam ingatan dari masa kecilku.Aku ingin menina-bobokan Putri Ok Soo-ku ini dengan lagu Bengawan Solo seperti dulu ibuku selalu melakukannya. Hemm, hmm, hemmm.., heem, heemm..!Hemm, hemm, hmmm, hmmm, hmmmm..!Apakah aku sudah gila?Apakah aku sudah kehilangan kewarasanku?Aku tertawa!“Hahahaha..! Huahahaha..!”Engkau lihat ini, Tuhan?? Hah?? Engkau lihat ini?? Begitu sempurnanya Engkau memberi aku kesakitan dan jug
Bab 133: Kisah yang Terungkap**Apakah Bondan dan Wisnu salah menerjemahkan perintah?Tidak! Mereka paham dan mereka tidak ingin melaksanakan. Dengan kesadaran penuh mereka sekarang berbalik menodongkan senjata di tangan mereka kepada Josep.Seketika saja bandit kemayu itu memelototkan matanya. Pipa rokok berhenti di depan bibir yang mulai gemetaran.“A..a.., apa maksud kalian?”“Aku muak jadi kesetmu, Jos!” Maki Bondan.“Dan aku muak jadi alas kakimu!” Sambung Wisnu.“Pis.., pistol di tangan kalian itu milikku..,”Bondan tak menggubris. Cepat ia merebut pipa gading di tangan Josep.“Ini milikku! Jangan kau lupa itu!”“Dan ini milikku, warisan kakekku!” Kata Wisnu pula seraya melucuti blue sapphire di jari Josep.********Beberapa saat kemudian..,Aku berlari-l
Bab 134: Revolver**Keterangan lanjutan dari Bondan dan Wisnu membuatku segera memahami apa yang terjadi di ruang ofisial.Di tengah pertandinganku dalam oktagon, Kassandra mendapat kesempatan untuk pergi ke belakang.Ia juga melihat dan mengetahui Idah ketika Bombi mempertunjukkannya kepadaku sebelum pertandingan berlangsung.Atas suruhan Bondan dan Wisnu, Kassandra pun menemui Bombi untuk mengelabuinya, dengan dalih untuk bergantian menjaga.Namun, Bombi si licik itu memang tidak mudah ditipu. Hingga akhirnya sebuah perkelahian yang sangat tidak adil terjadi antara Bombi dan Kassandra.One Two Seven, sebuah teknik maut yang kuajarkan kepada Kassandra benar-benar ia pakai untuk mengalahkan Bomi.Seven, sebuah angka yang kusebut sembarangan ketika mengajarkannya kepada Kassandra, adalah ilustrasi untuk bentuk kaki dengan lutut yang tertekuk, lutut yang menyodok selangkangan laki-laki!Bomi tak sanggup menahan rasa sesak
Bab 135: Menunggumu di Surga**“Sadar kamu, Fat! Sadar!” Pekik Wisnu dengan suara tertahan di samping telingaku, sembari terus menindih tubuhku yang tengkurap di tepian dermaga.Aku meronta-ronta, tapi Bondan yang beberapa detik lalu juga sadar akan niatku bunuh diri segera pula menindih dan memiting bagian tubuhku yang lain.“Lepaskan aku! Lepaskaaan..!” Aku memekik dan menggelinjang-gelinjangkan tubuhku, sembari berusaha menggapai pistol di jarak tiga meter dari kami bertiga yang saling bergumul.Wisnu bangkit, lalu cepat melompat dan bergulingan di lantai dermaga untuk meraih pistol dan lantas melemparkannya jauh ke arah laut sana.Dia yang tadi pertama melihatku akan meletuskan pistol, cepat menerjang dan menampas tanganku sehingga laras pistol tercabut keluar dari mulutku.Sebuah gerakan taktis darinya juga berhasil membuat pistol terlepas dari tanganku. Bondan yang masih memiting tubuhku secepat kilat me
Bab 136: Lompat Tali**Pintu kamar terbuka. Ika Damayanti, yang sedang menonton televisi mengalihkan pandangannya pada Riska sang kakak yang baru keluar dari kamar itu.“Kakak baru bangun tidur?”Riska tak menjawab, hanya teruskan langkah ke arah dapur dengan langkah kaki yang malas-malasan, tampak berat seakan sedang memikul beban.Wajahnya sendiri masih kusut dan rambutnya baru saja dia rapihkan dengan menyanggulnya ke arah belakang.Usai meneguk air putih di dapur ia kembali ke ruang tengah, tempat Ika memencet-mencet remote televisi mencari tontonan yang asyik.“Keterlaluan, pagi-pagi sudah tidur,” kata Ika menyindir kakaknya.“Tidak sengaja.” Sahut Riska.“Tidur kok tidak sengaja. Pagi-pagi mau melawak ya?”“Iya, habis shalat subuh tadi Kakak ketiduran. Itu bisa dibilang tidak sengaja, kan?”“Iyalah, tidak sengaja. Jadi bagaimana ini, k
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.