Bab 136: Lompat Tali
**
Pintu kamar terbuka. Ika Damayanti, yang sedang menonton televisi mengalihkan pandangannya pada Riska sang kakak yang baru keluar dari kamar itu.
“Kakak baru bangun tidur?”
Riska tak menjawab, hanya teruskan langkah ke arah dapur dengan langkah kaki yang malas-malasan, tampak berat seakan sedang memikul beban.
Wajahnya sendiri masih kusut dan rambutnya baru saja dia rapihkan dengan menyanggulnya ke arah belakang.
Usai meneguk air putih di dapur ia kembali ke ruang tengah, tempat Ika memencet-mencet remote televisi mencari tontonan yang asyik.
“Keterlaluan, pagi-pagi sudah tidur,” kata Ika menyindir kakaknya.
“Tidak sengaja.” Sahut Riska.
“Tidur kok tidak sengaja. Pagi-pagi mau melawak ya?”
“Iya, habis shalat subuh tadi Kakak ketiduran. Itu bisa dibilang tidak sengaja, kan?”
“Iyalah, tidak sengaja. Jadi bagaimana ini, k
Bab 137: Babeh**Pak Mulkan namanya, orang Betawi tulen, tapi cukup mahir berbahasa Batak sebab pergaulannya dengan sesama sopir yang banyak berasal dari Sumatera Utara.Benar, dia adalah sopir bus metromini jurusan Cililitan-Kampung Rambutan, di mana aku pernah menjadi kondekturnya selama lebih dari setahun.Aku cukup akrab dengan Pak Mulkan mantan sopirku itu, yang jika perhitunganku tak salah, maka sekarang dia genap berusia enam puluh tahun.Ramahnya dia, beserta istri dan tiga anaknya membuat hubunganku dengannya melebihi hubungan antara sopir dengan kondektur.Dia telah menganggapku sebagai anak, dan aku sebagai ‘anaknya’ telah memanggil dia pula dengan sebutan Babeh—ayah.Sejurus, aku ragu. Namun teringat sebuah nasehat bahwa silaturahmi bisa memanjangkan umur, akhirnya aku pun memantapkan hati.Setelah membayar ongkos taksi, aku pun keluar dan mengajak Idah menyeberangi jalan. Aku memega
Bab 138: Tak Ada Yang Abadi**Tiba-tiba saja, entah apa pasalnya, Idah memekik-mekik histeris.“Berhenti..! Berhenti..!”Setelah aku membayar ongkos taksi, Idah menarik-narik tanganku. Menuju arah sebaliknya.“Ada apa, Idah?” Tanyaku penasaran.Idah tak menjawab. Ia terus menarik tanganku dengan langkah tergesa. Aku tercepuk-cepuk di belakangnya.Akhirnya, kami berhenti di depan sebuah toko besar yang menjual barang-barang elektronik.Dari balik dinding kaca, aku melihat ratusan televisi yang terpajang di rak-rak besar, tersusun rapih bertingkat-tingkat.Ratusan televisi itu semuanya sedang menyala dan menampilkan sebuah mata acara yang menarik perhatian Idah tadi, yaitu; Audisi Bintang Indonesia!Baru kusadari, ini adalah malam grand final. Ada tiga orang finalis yang akan menunjukkan penampilan terbaiknya di putaran pamungkas. Dan sejauh ini, walaupun selalu berada
Bab 139: Terkenang**Masih ada beberapa jam sebelum kembali melaksanakan tugasnya sebagai flight attendant. Anggun duduk di depan sebuah meja kecil, menghadap jendela dan membuang pandangannya keluar hotel.Tangan kiri menopang dagunya, dan tangan kanan mengaduk-aduk kopi susu yang sudah mulai dingin.Di samping cangkir kopinya itu ada seporsi sarapan pagi berupa roti bakar dan beberapa irisan aneka macam buah yang sama sekali tidak disentuhnya.Herna, rekannya sesama pramugari baru saja keluar dari kamar mandi, berkimono putih dengan rambut terkemul handuk yang juga berwarna putih.Sementara Christin, rekannya yang lain baru saja masuk ke kamar mandi yang ditinggalkan Herna itu.“Hei!” Herna menegur Anggun, sembari melolosi handuk yang melingkari kepalanya.“Kok bengong?” Herna mengambil hair dryer dari dalam koper, mencucukkan colokannya ke soket listrik dan lantas mengeringkan rambutnya dengan perang
Bab 140: Drama di Ruang Tunggu**Seorang lelaki muda, berperawakan tinggi dan gagah, dengan usia sekitar dua puluh lima, berjalan memasuki ruang tunggu bandara Soekarno Hatta sembari menoleh kanan kiri.Sebelah tangannya memegang botol air mineral, sementara tangan yang lain memegang tiket pesawat.Matanya mencari bangku yang kosong, setidaknya dua tempat duduk supaya dia bisa leluasa meletakkan tas backpack-nya dan bisa membuka laptop untuk mereview laporan kerja, yang sedianya akan dia presentasikan pada meeting setelah cutinya berakhir nanti.Huh, menyebalkan, keluhnya dalam hati saat teringat hal yang satu itu. Mau pulang liburan untuk menjenguk orang tua saja, memanfaatkan jatah cuti yang sangat jarang diambilnya, dia sudah dibekali pekerjaan rumah oleh manajer tempatnya bekerja.Inginnya dia protes, tapi sebuah kebijaksanaan di dalam dirinya melarang dia melakukan itu.Pandangan mata si pemuda mendapatkan beberapa bangku yang k
Bab 14: Pulang**“Kak Cindiiiiy..!”“Kak Cindiiiiy..!”Idah melompat dari kursi dan berlari mengejar wanita yang ia panggil Kak Cindy tadi. Lalu aku, bagaikan terbangun dari mimpi cepat pula bangkit dan mengejar Idah.Kami berlarian melewati banyaknya orang-orang yang ada di ruang tunggu ini, menyusuri lorong-lorong yang dicipta barisan kursi-kursi yang dipenuhi para calon penumpang.“Idah..!” Panggilku menahan Idah.Rasa-rasanya aku tidak percaya, benarkah yang dikejar Idah itu adalah Kassandra??Nyatakah ini?? Atau mimpikah ini??Apakah ini hanya sebuah rangkaian skenario dari Tuhan untuk memberi aku kejutan??“Idaaahh..!”Beberapa tas entah milik siapa, tersambar kaki Idah. Aku hanya menyempatkan diri berkata ‘maaf’ kepada si empunya tanpa sempat membenahi tas tersebut.Idah tersandung sebuah kaki, lalu jatuh terjerembab di lantai, tapi dengan cepatnya ia bangkit lagi dan teruskan berlari.
Bab 142: Janji Yang Tunai**Mungkin, akibat pengaruh obat anti mabuk yang kuminumkan kepadanya tadi, beberapa kali Idah menguap dengan mata sayu dan berair.Dipaksanya terus membuka mata untuk melihat daratan yang kehijauan nun di bawah sana, juga lautan yang membiru serupa hamparan terpal di tengah padang.Pesawat semakin tinggi, yang tampak sekarang hanyalah awan.Idah tertidur dengan pertanyaan terakhir yang belum sempat aku jawab, sekaligus juga membuatku teringat pada cerita dia di salah satu jengukanku di rumah Menteng dulu.“Kak Cindy membelikan Idah sebuah kalung. Ini. Cantik tidak, Kak?” Idah menunjukkan kalung yang melingkar di lehernya, kalung yang terbuat dari rangkaian kerang laut dengan liontin berupa mutiara.“Cantik, cantik sekali kalungnya,” sahutku waktu itu.Aku baru saja menyadari saat membenahi kerah baju Idah. Kalung yang dibelikan Kassandra itu ternyata sedang dipakainya sekarang
Bab 143: Sepotong Kisah di Angkasa – part 1**Pesawat yang membawa seratusan lebih penumpang itu terbang memintas langit, mengembara di angkasa dan menyibak gerumbulan awan.Sistem navigasi canggih yang terkomputerisasi memandunya menyusuri rute sepanjang selat Malaka dengan ketinggian jelajah di 30 ribu kaki dari permukaan laut.Sistem auto-pilot diaktifkan, artificial intelligent di komputer pesawat menjaganya terbang stabil sesuai program.Sementara di dalamnya, pilot Rudi Gunawan sebagai kapten, keluar dari kokpit, meninggalkan Dedi Chaniago, co-pilotnya di depan flight instrument.Ia melangkah sedikit tergesa-gesa ke arah belakang, menuju bagian ekor pesawat. Di bagian belakang itu ia berbicara sembari berbisik-bisik dengan salah satu pramugari.Tak lama kemudian ia kembali lagi ke depan bersama si pramugari dengan wajah yang sedikit tegang.Ketika melintas di deretan kursi bagian tengah ia melirikkan matanya dengan
Bab 144: Sepotong Kisah di Angkasa – part 2**Sebagian penumpang tertidur di kursinya. Sebagian yang lain asyik menonton film lewat layar yang ada di head rest.Ada beberapa yang memainkan game, namun lebih banyak lagi yang sedang berbincang-bincang. Semuanya tenang, dan semuanya merasa nyaman dengan penerbangan mereka sekarang ini.Pada saat-saat yang tenang dan nyaman itulah, tiba-tiba terdengar suara dari seluruh speaker yang ada di kabin pesawat.“Selamat siang, Bapak Ibu penumpang Gxaruda Airline. Semoga kita selalu dalam lindungan Tuhan, dan semoga Bapak Ibu semua bisa menikmati penerbangan bersama maskapai kami..,”“Di sini, adalah Kapten Rudi Gunawan, pilot Anda yang sedang berbicara di angkasa, dengan ketinggian 30 ribu kaki bersama udara cerah, awan berarak tanpa mendung, badai atau pun hujan..,”“Izinkan saya untuk menyampaikan sebuah maklumat, yang penting atau tidak pentingnya sesuatu
Bab 232: Maha Cinta**Baiklah, kalau aku sedang membaca sebuah novel, untuk sementara aku tutup dulu novel ini.Baiklah, aku akan memasuki wilayah kehidupanku yang paling pribadi. Tep! Kring..! Kriiing..!Haah..?? Apa lagi ini? Ponselku berbunyi lagi!Ternyata, setelah membalas SMS dari Bang Fahmi tadi aku lupa untuk mematikannya. Merasa kesal sendiri, aku pun menjangkau ponsel.Entahlah, aneh saja, sebelum mematikan aku masih menyempatkan diri untuk melihat layar ponselku yang menyala.“Nomor asing,” batinku.Panggilan pun berakhir. Sedetik, aku ragu untuk segera mematikan ponsel, hingga kemudian panggilan dari nomor asing tadi pun masuk lagi.Kring..! Kriing..!Karena khawatir terjadi sesuatu yang buruk dengan orang-orang terdekatku di luar sana, akhirnya dengan berat hati aku pun menjawab panggilan.“Halo?” Sapaku.Beberapa saat aku menunggu, tidak ada sahutan.“Halo??”
Bab 231: Belah Duren**Wajahnya merajuk. Sedikit judes, seperti mau marah, mengomel, mencak-mencak, yah, tahu-lah, semacam itulah.“Kenapa lama sekali, Ifat? Kamu belum makan lho.”Aku melirik ke arah belakang Mira. Di satu pojok kamar, ada sebuah meja kecil dengan berupa-rupa hidangan yang telah tertata. Lengkap dengan beberapa batang lilin yang menyala.Aih, romantiknya! Lututku langsung gemetar. Segala yang menegang tadi serentak memudar. Aku tersenyum, dan teruskan langkah memasuki kamar.Tiba-tiba saja, Mira menubrukku, dan memeluk aku dengan sangat erat. Tangannya ia kalungkan ke leherku dengan kekuatan cengkeram yang seakan tak mengizinkan aku pergi walau sesaat.Wajahnya ia lesakkan di dadaku seperti mau bersembunyi. Aku bisa merasakannya, degup jantung Mira yang berkejaran dengan degup jantungku sendiri.“Sabar, Mira, sabar.” Kataku lembut, seraya mengalungkan pula kedua tanganku ke bahunya.
Bab 230: Kehadiran**Usai berfoto-foto, dua orang petugas dari wedding organizer segera mengarahkan Johan menuju ke dalam rumah. Sesi terakhir yang dimaksud juru rias tadi hanya kami lewati sebentar saja.Lagi pula, tamu-tamu undangan yang datang belakangan memang sudah tidak ada lagi yang kami kenal. Semuanya adalah tamu-tamu dari ayah Mira.Kami semua berkumpul di ruang samping. Kami yang aku maksud di sini adalah aku, Johan, Mira dan beberapa orang dari keluarganya.Acara silaturahmi kecil-kecilan, insidentil, dan sangat dadakan pun digelar. Kami semua saling bertanya kabar dan bertukar cerita.“Aku sedang flu, Fat.” Kata Johan.“Pantas saja aku tadi pangling dengan suara kamu.”“Hehe, iya, suaraku sengau ya?”“Iya, tapi tetap merdu kok, tetap asyik, enak dan berkelas artis.”“Kamu memang sengaja mau mengerjai aku ya, Jo?” Tanyaku lagi masih dengan ge
Bab 229: Bawa Aku ke Surgamu**Bahkan, ada pula pekikan histeris dari orang-orang, khususnya perempuan.Ada apa ini? Aku merasa penasaran.Sedang terjadi apa di luar sana?? Aku semakin saja penasaran.Aku ingin berdiri dan segera keluar, tapi Mira menahan tanganku dengan genggaman yang erat. Anehnya, wajah istriku ini tampak biasa-biasa saja, demikian pula dengan kata-katanya yang seakan ingin menenangkan aku.“Jangan khawatir, Fat. Tidak ada apa-apa kok.”Lalu, hampir bersamaan dengan kata-kata Mira itu, terdengar suara-suara yang berasal dari panggung hiburan di depan tadi.Aku menajamkan indera pendengaranku untuk mereka-reka apa yang sebenarnya terjadi. Orang-orang terdengar semakin riuh, ditingkahi pula dengan suara suitan dan, pekikan perempuan yang histeris pun menjadi-jadi.Aku juga mendengar suara distorsi dari perangkat sound sistem.Nguiiing..! Nguiiiing…!Sebentar kemudian su
Bab 228: Sabar Dong, Ciiin..!**Keterkejutanku masih juga belum berhenti. Karena Mira dengan segenap rasa syukurnya, memang benar-benar menyiapkan segala sesuatu di dua belas hari pra pernikahan kami ini.Ia telah menyuruh seseorang untuk mencari alamat Pak Latif di Bukittinggi, dan menjemput orang tua angkatku itu beserta seluruh keluarganya.Tentu saja yang paling spesial bagiku adalah Idah, anaknya yang sulung, yang wajahnya mirip dengan almarhumah Ainun adik kandungku.Mungkin karena ada sedikit hambatan di dalam perjalanan tadi, mereka terlambat dan tidak bisa menyaksikan prosesi ijab kabul kami.Di jelang pukul tiga, barulah mereka tiba. Aku sampai terpana melihat kehadiran mereka, dan demikian pula Idah saat melihatku.Seperti dulu ia yang berlari ke arahku ketika kami bertemu di Rumah Menteng di Jakarta, seperti itu jugalah ia sekarang berlari menuju kepadaku.Ia berlari melewati resepsionis, beberapa pagar ayu yang be
Bab 227: Sang Perantau** Seketika saja, pecahlah tawa orang-orang. Semuanya merasa geli dengan pantun Pak Husni yang salah secara kaidah, tapi sekaligus benar secara maksud.Bahkan di pojok, ada seorang ibu-ibu yang mungkin karena lambat dalam memahami humor yang lumayan berkelas dari Pak Husni itu, ia tertawa paling keras, seorang diri, di mana semua orang telah kembali diam. Dia bahkan sampai tak sadar gigi palsunya terlepas.Pak Husni kemudian berdehem. Sekali, dua kali, seakan sedang menyetel pita suaranya supaya lagu kesayangannya itu enak ia lantunkan.Aku pun semakin penasaran saja, kira-kira lagu apa yang akan ia nyanyikan. Hingga berikutnya, mengalirlah musik dangdut nan manis yang, oh, Ya Tuhan, lagi-lagi.., Bujangan!~ Tapi susahnya menjadi bujangan.~ Kalau malam tidurnya sendirian.~ Hanya bantal guling sebagai teman~ Mata melotot pikiran melayang~ Oh, bujan
Bab 226: Tujuh Koin**Aku dibawa ke suatu ruangan. Di situ telah menunggu beberapa orang, di mana salah satunya adalah juru rias.Aku disuruh membuka baju, maka aku tanggalkanlah kemeja biru dongker kesayanganku, yaitu kemeja kotak-kotak yang dulu ketiaknya pernah dijahit oleh almarhumah Kassandra.Aku dipakaikan busana khas Melayu, yaitu baju teluk belanga, lengkap dengan celana, kain songket dan juga songkok atau kopiyah.Dalam proses periasan itu, aku dikelilingi oleh beberapa orang yang sembari berbincang-bincang mereka memperkenalkan dirinya.Pertama, seorang lelaki yang mengaku sebagai suami Kak Farah.Lalu yang kedua, ini yang membuatku sedikit canggung. Dan saking canggungnya, begitu mudah aku melupakan nama aslinya, hingga berikutnya aku hanya hafal nama panggilannya saja. Yaitu, Gembul.Aku yakin, panggilan Gembul ini didasarkan pada postur tubuhnya yang tinggi besar dan gemuk. Dia menyebut dirinya sebagai adik
Bab 225: Jemputan**Hari-hari berikutnya aku lalui dengan sensasi seperti anak-anak yang sedang menunggu lebaran, tak sabar ingin segera memakai baju baru, sekaligus bisa kembali makan minum siang-siang.Waktu demi waktu, aku dicekam rindu. Hari demi hari, rinduku semakin menjadi-jadi.Karena tak tahan, aku mengirim SMS pada Mira. Satu kata saja, tapi itu sudah cukup mewakili segala perasaanku padanya. “Kangen.”Akan tetapi, tidak dibalas. Baiklah.“Mira, aku kangen.”Tetap tidak dibalas.“Mira, kamu kangen aku tidak, sih?”Akhirnya, Mira pun membalas.“Terus kalau kangen, bagaimana?”“Aku pengin ketemu.”“Terus, kalau sudah ketemu, mau bagaimana?”“Cuma mau bilang, kangen.”“Aku sibuk, Fat.”Selalu begitu, benar, selalu begitu. Setiap aku menghubungi Mira, dia sel
Bab 224: Nol Koma Satu Persen**“Aku tak mau!”Seketika saja aku lemas. Pesan Mira yang terakhir ini aku baca terus berulang-ulang. Seiring dengan itu ada sebuah rasa di dalam hatiku yang mulai menyesakkan.Aku juga mulai merasa cemas, pada kemungkinan apa pun yang akan terjadi di depan sana dan itu bisa apa saja.Pesan Mira pun masuk lagi. Kling! “Memangnya, seharga anak kambing yang kamu maksud itu berapa?”Usai membaca pesannya, aku menunduk. Tanganku mendadak lunglai, mengambil dompetku dari atas lemari.Beberapa lembar lima puluh ribuan sisa pemberian Johan tempo hari, aku lihat dengan mata yang nanar.“Tujuh ratus ribu rupiah.” Balasku pada Mira.Cepat pula Mira membalas.“Tujuh ratus ribu??”Aku menahan nafas.“Aku tak mau, Fat!”Rasa yang mulai menyesakkan tadi, sekarang semakin terasa menyesakkkan.