Bab 126: Dunia Yang Kecil
**
Di bandara Sultan Syariq Qasim, menunggu pesawatku terbang ke Jakarta, aku melamun di ruang tunggu, ditemani majalah otomotif yang belum kubuka sejak membelinya di dekat kampus UNRI tadi.
Aku terus saja melamunkan Jihan. Bagaimana mungkin hanya dengan sekali bertemu tadi aku langsung suka kepadanya?
Tuhan memang Maha Pembolak-Balik Hati, dan sekarang ini, Dia pasti sedang kurang kerjaan!
Aku menggeleng-gelengkan kepalaku. Tetap tidak mengacuhkan para calon penumpang lain di sekelilingku, termasuk dua gadis yang duduk persis di depanku.
Sekilas pandang sekilas dengar, aku baru sadar kalau kedua gadis itu bule. Cantik, yang satu. Yang satu lagi, biasa saja.
Mereka berbicara menggunakan bahasa Inggris, dan sedang membahas isi berita di tabloid yang sedang mereka bentang bersama.
Begitu antusiasnya mereka berbicara, hingga telingaku bisa mendengar dengan jelas isi perbincangan mereka.
Aku tidak m
Bab 127: Abatasa**Satu-satunya benda milikku yang belum pernah dipegang atau disentuh oleh Kassandra adalah kitab perguruan Bungo Rampai warisan dari Aldo.Aku selalu menjaganya dengan pengawasan ekstra ketat. Jika aku pergi, aku sengaja menyembunyikannya di atas lemari supaya Kassandra tidak bisa menjangkaunya.Dia juga masih belum mengerti, apa yang aku cermati di hampir setiap malam di halaman belakang di lapangan basket mini.Hingga esok malamnya, mungkin karena sedikit melamun, aku tidak menyadari Kassandra yang tiba di sampingku dan aku terlambat menutup kitab Bungo Rampai.Kassandra sempat melihat isi tulisan di dalamnya yang beraksara Arab Melayu. Dia mematung beberapa saat, dan aku pun menunggu barangkali dia ingin menyampaikan sesuatu.“Kamu bisa mengaji, Mas?” Dia bertanya, terkait dengan aksara Arab Melayu di kitab Bungo Rampai.Aku tersenyum sembari menoleh padanya. Sedikit menarik ujung bibirku kemud
Bab 128: Sang Petarung – part 1**Flash! Flash! Flash! Sungguh, aku pernah mengalaminya. Kilatan cahaya menampar-nampar wajahku serupa blitz kamera; flash.. flash.. flash!Di masing-masing kilatan cahaya itu aku melihat semua orang yang aku kenal dan aku sayangi.Namun, di antara mereka hanya Joni yang wajahnya bersinar-sinar, dan dari jemarinya, seakan ia ingin memberikannya kepadaku, beberapa kuntum bunga kamboja berjatuhan, berputar seperti gasing tapi lambat, lalu jatuh pasrah diterima tanah.Joni dengan bunga kamboja.., inilah rupanya arti dari ‘vision’ itu!Mendadak saja duniaku menjadi gelap. Ke mana pun aku memandang yang tampak hanya jelaga yang pekat.Lalu tiba-tiba semburan api keluar dari perut bumi, menyala berkobar-kobar dan membumi-hanguskan apa pun yang berdiri dan tumbuh di atas tanah.Gedung-gedung seakan rubuh, langit berderak lalu amblas. Laut memuntahkan semua ya
Bab 129: Sang Petarung – part 2**Reynold memberi tahu aku bahwa taruhan malam ini mencapai angka yang bisa membangun 750 desa tertinggal. Lengkap dengan semua infrastrukturnya, fasilitas pendidikan, juga fasilitas kesehatan.Josep sendiri bertaruh 5 milyar dan Big Boss 15 milyar. Dua bandit itu berkepentingan besar dengan kemenanganku malam ini.Dan aku, setelah ketiadaan Joni, berkepentingan dengan Idah. Hanya dia, seorang Idah. Aku bahkan sudah tidak peduli dengan diriku sendiri.Lawanku di pertarungan malam ini bukanlah orang sembarang. Dia bernama Jordan Smith, seorang Afro-Amerika dari California, USA.Julukannya Black Mamba, diambil dari nama ular yang bisanya paling mematikan di dunia.Berbeda dengan ular kobra yang tidak akan menyerang manusia jika tidak merasa terganggu, ular mamba hitam selalu menyerang siapa pun, dan apa pun yang terdeteksi ke dalam indera penciuman di lidahnya.Karena itu, dis
Bab 130: Sang Petarung – part 3**Mataku berkunang-kunang. Semua yang kulihat serba berbayang. Tapi aku tahu di luar ring sana, dekat Wisnu dan Bondan, Kassandra tengah menatapku sembari menangkupkan dua tangannya di depan bibir.Airmatanya meleleh, dan samar dapat kulihat ia berbisik lamat-lamat; “Bangun, Mas,”Perlahan aku bangkit. Kukerjap-kerjapkan mata dan kugoyang-goyangkan kepala untuk menarik penuh kesadaranku dari pengaruh ‘black out’. Para penonton kembali berteriak riuh.“The Pooh..! The Pooh..! The Pooh..!!”“Jordan.! Jordan.! Jordan..!!!”Jordan menyeringai. Cepat ia menghampiriku. Karena masih kunang-kunang aku kurang waspada ketika ia menyergap kepalaku, bersamaan dengan lututnya bertubi-tubi menghantam wajahku.Aku berusaha menahan serangan itu dengan kedua tangan, tak banyak berguna. Aku juga berusaha menghindar dengan menggerakkan kepala kan
Bab 131: Antara Cinta dan Sang Kekasih**Wasit masih memandangku. Jordan yang terlentang di kanvas juga masih menunggu jawabanku. Ia berusaha mati-matian mempertahankan kesadarannya.Dengan jurus dari kitab kuno yang diwariskan Aldo aku berhasil mengalahkan Jordan Smith dengan mudah. Entahlah, mengapa bisa begitu.Aku tak perlu menyerang, yang kulakukan hanyalah menari seumpama rumpun bambu dicumbu sang bayu.Dengan gerak liukan yang efisien dan kibasan balik aku hanya perlu sedikit menyentuh. Semua kekuatan Jordan aku pergunakan untuk mengalahkan dirinya sendiri. Berkali-kali aku menjatuhkan Jordan, dan berkali-kali pula ia bangkit dan kembali menyerangku. Sampai pincang kakinya, sampai patah tangannya, habis tenaganya dan di bantingan terakhir, ia tidak mampu lagi untuk bangkit.Ia tergolek tanpa daya, menyerah, dan wasit segera menyilangkan tangan di atas kepala. Aku menang, dan hatiku membuncah.Baru saja a
Bab 132: Perancang Skenario Terbaik**Aku terduduk lemas sembari terus memeluk jasad Kassandra. Aku sudah tidak punya air mata lagi untuk aku keluarkan. Aku bahkan tidak tahu lagi bagaimana caranya menangis.Hal terakhir yang bisa aku lakukan hanyalah menempelkan pipiku ke pipi Putri Ok Soo-ku, dan menimang-nimang tubuhnya yang lekat di dalam pelukanku.Tubuh kami berdua bergoyang kanan kiri seakan berada di dalam kuali. Aku menggumam-gumamkan lagu yang terbersit di dalam ingatan dari masa kecilku.Aku ingin menina-bobokan Putri Ok Soo-ku ini dengan lagu Bengawan Solo seperti dulu ibuku selalu melakukannya. Hemm, hmm, hemmm.., heem, heemm..!Hemm, hemm, hmmm, hmmm, hmmmm..!Apakah aku sudah gila?Apakah aku sudah kehilangan kewarasanku?Aku tertawa!“Hahahaha..! Huahahaha..!”Engkau lihat ini, Tuhan?? Hah?? Engkau lihat ini?? Begitu sempurnanya Engkau memberi aku kesakitan dan jug
Bab 133: Kisah yang Terungkap**Apakah Bondan dan Wisnu salah menerjemahkan perintah?Tidak! Mereka paham dan mereka tidak ingin melaksanakan. Dengan kesadaran penuh mereka sekarang berbalik menodongkan senjata di tangan mereka kepada Josep.Seketika saja bandit kemayu itu memelototkan matanya. Pipa rokok berhenti di depan bibir yang mulai gemetaran.“A..a.., apa maksud kalian?”“Aku muak jadi kesetmu, Jos!” Maki Bondan.“Dan aku muak jadi alas kakimu!” Sambung Wisnu.“Pis.., pistol di tangan kalian itu milikku..,”Bondan tak menggubris. Cepat ia merebut pipa gading di tangan Josep.“Ini milikku! Jangan kau lupa itu!”“Dan ini milikku, warisan kakekku!” Kata Wisnu pula seraya melucuti blue sapphire di jari Josep.********Beberapa saat kemudian..,Aku berlari-l
Bab 134: Revolver**Keterangan lanjutan dari Bondan dan Wisnu membuatku segera memahami apa yang terjadi di ruang ofisial.Di tengah pertandinganku dalam oktagon, Kassandra mendapat kesempatan untuk pergi ke belakang.Ia juga melihat dan mengetahui Idah ketika Bombi mempertunjukkannya kepadaku sebelum pertandingan berlangsung.Atas suruhan Bondan dan Wisnu, Kassandra pun menemui Bombi untuk mengelabuinya, dengan dalih untuk bergantian menjaga.Namun, Bombi si licik itu memang tidak mudah ditipu. Hingga akhirnya sebuah perkelahian yang sangat tidak adil terjadi antara Bombi dan Kassandra.One Two Seven, sebuah teknik maut yang kuajarkan kepada Kassandra benar-benar ia pakai untuk mengalahkan Bomi.Seven, sebuah angka yang kusebut sembarangan ketika mengajarkannya kepada Kassandra, adalah ilustrasi untuk bentuk kaki dengan lutut yang tertekuk, lutut yang menyodok selangkangan laki-laki!Bomi tak sanggup menahan rasa sesak