“Kamu kemarin diajak Bu Celo kemana, Nur? Semakin sering kamu diajak pergi sama beliau,” tanya Gun tanpa tedeng aling-aling.
Nur menarik nafas dalam-dalam, menghembuskannya kuat-kuat. Lalu dia menjawab, “Diajak ke Surabaya, ketemu orang bengkel resmi. Katanya mau kerjasama. Jadi nanti kalau jadi, mobil-mobil yang agak lama, yang biasanya mereka tidak mau menangani atau kewalahan, dikasih ke kita.” Ia berusaha keras agar nada suaranya tidak terdengar sombong.
Gun mendengus, tersenyum sinis lalu berkata, “Kok sama kamu? Bukannya Bu Celo punya sopir sendiri? Bengkel punya sopir kan? Kalau kaya gini, sopir-sopir itu makan gaji buta. kita punya dua sopir, dan dua mobil operasional. Bukankah kerjasama itu hasil jerih payah Pak Anwar, kenapa enggak sama Pak Anwar?”
“Bu Celo bilang kalau Pak Anwar kemarin lagi ada pekerjaan yang enggak bisa ditinggal. Bu Celo ngajak aku bukan sopir karena beliau butuh sesorang buat pertimbangan. Kalau ngajak sopir, mungkin sopirnya enggak bisa kasih masukan atau second opinion.”
“Lagian, kerjasama kaya gitu tidak menguntungkan kita. Kita kan jadi third party atau outsourcing. Mereka enggak ngapa-ngapain, dapat uang. Kita yang capek, cuma dapat segitu-segitu saja.”
“Malah sebaliknya, kerjasama seperti ini malah menguntungkan kita. Biaya servis dan suku cadang di kita kan memang di bawah bengkel resmi, jadi mereka bayar ke kita sesuai dengan tarif kita. Kita dapat proyek yang berarti bisa dapat uang.”
“Ya enggak bisa, kita harus pasang tarif sama dengan mereka, kan mereka enggak melakukan apapun. Enak banget mereka.”
Nur diam saja mendengar argumen temannya itu. Dia ingin sekali membantah perkataan Gun, namun dia lebih memilih diam karena tidak mau berdebat.
“Kamu tahu Nur? Kemarin aku sudah usulkan tidak mengadakan acara ulang tahun di tahun ini. Kita kan lagi suasana berduka, belum ada 7 hari sejak meninggalnya Pak Mis, masa kita sudah senang-senang dan makan-makan, enggak punya empati. Gini nih, kalau punya Bos perempuan, enggak ngerti mesin, bisnis, dan kemanusiaan. Angkuhnya itu lo enggak ketulungan. Enggak mau dengar pendapat bawahannya.”
Nur mendengus perlahan sambil memaksa dirinya untuk tersenyum. "Memangnya kamu usul ke siapa Gun?" tanya Nur dalam hati.
“Maksudku, kalau misal meninggalnya itu karena sakit atau apa, mungkin kita sudah persiapan atau apa begitu. Ini meninggalnya mendadak, serasa tidak etis. keluarga Pak Mis lagi kesusahan, kita sekarang senang-senang.”
“Permisi Pak Nur, Pak Gun.”
“Eh,” kata Nur sambil menoleh ke asal suara. Disampingnya sudah ada Anna. Dilihatnya Anna memakai jilbab panjang warna merah muda. Anna juga memakai gamis lebar.
“Apa saya boleh duduk di sini?” tanya Anna sopan.
“Silakan Mbak Anna,” lalu Nur berdiri dan melangkah ke belakang kursi di sampingnya. Dia memundurkan kursi itu, sambil berkata, “Silakan.”
Anna tersipu dan berucap, “Terima kasih.”
Setelah Anna masuk diantara kursi dan meja, Nur mendorong pelan-pelan sementara Anna mendudukinya.
Nur lalu duduk kembali dan melihat sekelilingnya. Ruangan itu sudah mirip sarang lebah, suara mendengung percakapan bercampur menjadi satu. Dia melihat ke depan. Ada 5 kursi panjang di ruangan ini, termasuk yang dia duduki bersama Gun, yang berukuran sekitar 10 x 2 meter, dan hampir semuanya sudah diduduki mekanik-mekanik yang kebanyakan pria, belum ada satupun karyawan perempuan yang datang. Sementara di mejanya, yang berada tepat di depan pintu masuk, di sebelah kiri Gun juga sudah penuh dengan para pria. Bangku yang kosong tinggal bagian kanan dan depan Nur.
Nur mengernyitkan dahi, memiringkan kepalanya, dan membatin, “Dia pasti malu kalau duduk di meja yang lain dan dia bisa mati kutu duduk dikelilingi para pria kalau tidak ada satupun karyawan perempuan yang duduk dimeja yang sudah penuh.”
“Mbak Anna baru pertama kalinya ikut acara ini?” tanya Gun sambil menoleh ke sebelah kanannya, dia melihat Anna mengangguk mengiyakan sambil tersenyum, pandangannya tetap kearah meja di depannya, tangannya ditumpuk ditaruh di atas pahanya.
“Rookie mistake,” tukas Gun. “Biasanya para karyawan perempuan datangnya mepet-mepet acara dimulai. Memang baru berapa bulan Mbak?”
Anna mengangkat kepalanya menoleh pada Gun sambil tersenyum, Anna menjawab, “Baru enam bulan ini Pak. Acara seperti ini berarti regular tiap tahun ya Pak?”
Gun menjawab, “Yes, biasanya memang seperti ini. Seluruh karyawan diundang kumpul-kumpul dan makan-makan. Kadang kita dibawa ke Batu, nginep di hotel selama weekend, bahkan 2 tahun kemarin berturut-turut ada family gathering. Enggak tahu nih tahun ini ko cuma makan-makan di restoran. Resto ini lagi, dikiranya para pegawai enggak bosan apa makan di restoran masakan Jawa kaya ini. Mana kadang-kadang makanannya enggak enak.”
“Mungkin karena pandemi,” sahut Nur, Dia berpikir kalau kamu diajak makan di restoran all you can eat malah protes tidak karuan, yang kolesterol lah, apa lah, ada saja.
“Meskipun pandemi, kan bengkel kita tetep saja rame toh. Bengkel kita enggak kepengaruh, orang tetap datang ke kita servis mobil. Mobil rusak dan butuh servis enggak kenal pandemi Nur.” balas Gun setengah berapi-api.
Nur melirik Anna, Anna memalingkan wajahnya dari Gun lalu setengah mengangguk mengiyakan dengan sedikit rasa canggung.
“Sore Bapak-Bapak dan Mbak Anna.” sapa Salama yang langsung mengambil duduk di sebelah Anna.
Nur melihat Salama melepaskan jaket dan tas selempang warna peach-nya dan menaruh di sandaran kursinya. Lalu, Nur melihat Salama mengeluarkan tempat bedak dari dalam tas tersebut, membuka dan berkaca mengecek make up-nya dengan menoleh ke kanan dan ke kiri. Setelah Salama puas, Salama menutup tempat bedak tersebut dan mengembalikannya ke dalam tasnya.
“Bagaimana Mbak Anna kerja disini? Kerasan?”
“Alhamdulillah Bu, saya kerasan kerja di sini. Teman-temannya baik-baik dan saling mendukung. Saya banyak belajar di sini. Banyak yang mau mengajari saya.”
“Halah, itu cuma sementara Mbak Anna, nanti juga semua kelihatan belangnya. Banyak orang jahat disini, orang-orang oportunis.” sela Gun.
“Pak Gun ini bagaimana, sama anak baru ko malah kasih doktrin jelek. Orang- orang disini memang baik-baik kok, semuanya saling dukung. Apalagi Bu Celo, orangnya baik banget. Bu Celo perhatian banget sama pegawainya. Contohnya kemarin itu, Si Agung kena virus terus sakit. Dia tetap dapat gaji penuh dan tunjangan-tunjangannya tidak dipotong. Ingat juga pas tahun lalu Bu Celo bilang gimana pas acara kaya gini juga?”
Salama mengambil nafas panjang lalu berakting seperti sedang berpidato, “Bengkel ini tidak akan pernah jadi besar dan terkenal kalau bukan karena keringat teman-teman semuanya. Makanya Bu Celo perhatian banget sama kita.”
Nur melihat Gun nyengir dengan memberikan ekspresi tidak senang pada Salama, kemudian dia mendengar Salama berbisik pada Anna, “Enggak usah didengerin apa kata Pak Gun. Orangnya memang begitu.”
Anna membentuk bulatan kecil dengan mulutnya sambil mengangguk dua kali.
“Pak Nur.” sapa Salama.Nur menoleh, memperlihatkan wajah antusias dan tersenyum, “Ya Bu, ada apa?”“Pak Nas kan jadi wakil ketua di cabang Surabaya ya, terus, terus siapa yang mau menggantikan Pak?”“Wah Bu Salama, kok tanya saya. Saya tidak tahu,” jawab Nur.“Ayolah Pak Nur, Pak Nur kan sering pergi sama Bu Celo, masak Bu Celo ndak kasih bocoran? Sedikit saja. Pak Anwar ya?”Nur memejamkan matanya sambil terkekeh, “Haduh Bu Salama ini, memangnya saya ini siapa ko Bu Celo mau bocorin hal penting begitu ke saya?”“Pak Anwar” tukas Gun. “Siapa saja kandidatnya? Enggak ada kan? Tinggal Beliau saja. Pak Anwar punya insting bisnis kuat, disiplin, pekerja keras. Patut untuk jadi seorang wakil ketua. Ini kerjasama dengan bengkel resmi kan dari beliau juga pencetusnya.”“Idih, amit-amit jabang bayi.” tukas Salama menyanggah.&ld
Jantung Nur masih berdetak dengan kencang. Hatinya membuncah membawanya terbang kegirangan namun otaknya memaksa untuk mengingkari, memandang semua berdasar logika dan tetap berpijak di bumi. Pikirannya, pada akhirnya, mau tidak mau melayang layang dan berangan-angan. Dengan kedudukannya sekarang ini dia akan mendapat gaji yang lebih besar daripada sebelumnya. Gaji seorang wakil ketua berada pada level dua digit jutaan daripada seorang kepala divisi yang hanya satu digit jutaan saja. Dia tak sabar ingin segera sampai di rumah dan memberi tahu istrinya. Dengan gaji sebesar itu dan bonus yang juga naik, dia bisa memberikan fasilitas kesehatan yang lebih baik pada anaknya. Akhirnya dia kan bisa mendaftarkan anaknya untuk mendapatkan donor ginjal seperti yang dia dan istrinya inginkan selama ini. Dengan ginjal donor yang sehat, anaknya akan tumbuh sehat seperti anak-anak lainya. Tidak akan ada cuci darah minimal 2 minggu sekali yang menghabiskan sebagian besar gaji dan bonus-bon
Dilepasnya sepatu di depan pintu dan ditaruh di rak sepatu sebelah pintu. “Assalamualaikum, Sayang?” katanya sambil membuka pintu. Hening, tidak ada jawaban.“Jam segini masa sudah tidur?” pikirnya. Terbersit perasaan kecewa di hatinya. Pelan-pelan dia berjalan menuju kamar depan agar tidak membangunkan istri dan anaknya. Dilihatnya lewat pintu yang terbuka, istrinya dengan mata terbuka baru bangun tidur disamping anaknya yang tetap terlelap.Dilambaikanlah tangan kirinya dan menjunjung tas kresek hitam di tangan kanannya sambil berbicara tanpa suara, “Maaf.” Nur berharap istrinya tidak sebal karena telah membuatnya terbangun. Nur pernah membuat istrinya sebal karena dia secara sengaja membangunkan istrinya yang sedang tidur untuk makan malam. Istrinya bilang saat itu, dengan suasana hati yang buruk dan bersungut-sungut, berbicara pada Nur, dia lebih memilih untuk tidur daripada makan. Istrinya juga bilang bahwa dia sakit kepala kare
Nur memarkir motornya di bawah pohon keres yang berdaun jarang. Lalu dia berjalan ke dalam warung, diliriknya tempat favoritnya, seperti biasa belum ada yang menduduki. Di dalam warung, Nur melihat tidak ada antrian, maka dia langsung menuju ke meja yang terdapat laci kaca dan berisi bermacam-macam lauk pauk. Nur berkata, “Mak, pecel satu kayak biasanya ya.”“Nggeh Mas Nur.” Jawab Mak Nem.Nur menunggu sebentar. Sesaat kemudian Mak Nem memberikan piring yang sudah berisi nasi pecel pesanannya. Dia teringat sesuatu lalu berkata lagi pada Mak Nem, “Sama kopi Mak, nggeh?”Mak Nem mengangguk sambil berteriak pelan ke arah dapur, “Kopi siji.”Nur tidak menunggu kopi tersebut, dia langsung berjalan menuju pintu keluar yang hanya beberapa langkah dari meja. Dia duduk di kursi panjang tanpa sandaran di teras warung tersebut. Piringnya ditaruh di meja panjang di depannya. Dikeluarkannya ponsel, roko
Dia memarkir motornya di tempat parkir yang berada di belakang bengkel. Parkir itu luas dan berkanopi, berkonsep semi-indoor. Biasanya, hanya ada empat mobil yang parkir disana, mobil Aston Martin DB5 biru langit milik Bu Celo, Honda Civic hitam 2018 milik Pak Anwar, dan dua mobil Avanza tipe G putih 2018 yang menjadi mobil operasional bengkel. Hanya ada mobil operasional yang terparkir. Selain itu, semua pegawai menggunakan motor ataupun menggunakan transportasi umum.Lalu dia berjalan beriringan dengan Gun menuju pintu utama bengkel. Bengkel itu berpagar tinggi bercat putih dengan kawat berduri di atasnya. Tepat disamping pagar itu, ada tempat duduk panjang di bawah kanopi seng untuk para pegawai yang istirahat. Para mekanik yang biasanya duduk di sana sambil merokok.“Hari pertama masuk sebagai wakil ketua.” suara hati Nur dengan diselimuti rasa bangga dan senang. Dilihatnya di dalam pagar sebelah pintu masuk bengkel, ada tulisan berwarna putih dengan wa
“Tok.. Tok..”Nur mengetuk pintu ruangan Bu Celo yang sudah terbuka lebar. Dilihatnya dari pintu Bu Celo sedang berdiri tegap di depan jendela belakang membelakangi pintu masuk. Sepertinya, batin Nur, Bu Celo sedang memantau aktivitas para pegawai di bengkel. Tangan Bu Celo mungkin di lipat di depan tubuh. Nur lihat, Bu Celo memakai celana panjang warna biru tua dan kemeja putih lengan panjang dan sepatu hak tinggi berwarna hitam. Sedangkan, di gantungan bajunya yang berbentuk tongkat di pojok ruangan, tergantung outer Bu Celo dengan warna yang senada dengan celana.Siluet sosok itu, dipikiran Nur, mencerminkan pose wanita yang tangguh dan mandiri. Sikap dan pembawaan seorang wanita karir sukses, tak lain, seorang pemilik bengkel berkelas nasional. Pose menawan yang memancarkan sihir pesona karena kepercayaan diri tinggi dengan sedikit keangkuhan.“Silahkan masuk Pak Nur.”Nur masuk ke ruangan Bu Celo. Dia berhenti di depan sofa. D
Nur mendapati dirinya sudah berdiri di depan pintu Pak Anwar. Pintu itu masih tertutup rapat, tapi dia tahu Pak Anwar sudah ada di dalam ruangan. Dirinya ragu untuk mengetuk pintu tersebut. Seolah-olah dia mau masuk ke kandang singa. Hatinya berdebar tak karuan.Tok Tok. Suara pintu itu diketuk.“Masuk.” Nur mendengar suara Pak Anwar dari dalam ruangan.Nur membuka pintu itu pelan-pelan. Sambil tersenyum, dia berkata dengan sopan, “Selamat pagi Pak Anwar.” Dianggukannya kepalanya pada si empunya kantor. Dilihatnya Pak Anwar duduk di kursi kerjanya, beliau sedang membaca berkas-berkas yang ada di depannya. Seperti biasa, beliau selalu memakai dasi, pakaian bisnis formal.Nur merasakan pandangan Pak Anwar dari balik kacamata, pandangan yang tajam. Sakit. Pandangan yang tajam itu serasa menusuk hatinya. Dia merasa tertekan, serasa ruangan itu sempit.Nur masuk ruangan Pak Anwar dengan canggung, seolah-olah dia adalah bawahan ya
Nur masuk ke ruangannya dan duduk di kursinya. Hatinya berdebar kencang berkecamuk antara bingung, takut, dan marah. Benar kata Gun, Pak Anwar bisa melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang dia mau.“Gun, apa yang kamu lakukan? Kamu bilang kemarin cuma mengambil dua puluh juta, kenapa Si Anwar bilang sampai seratus juta?” desis Nur. Diambilnya rokoknya, dinyalakannya, dan dihisapnya kuat-kuat. Dia menggaruk dahinya.Diambilnya ponselnya, dia mulai mengetik pesan singkat.“Gun, kemarin yang kamu ambil berapa? Dua puluh atau seratus?”Dikirimnya pesan itu. Disingkirkannya ponsel itu, tiba-tiba dia tidak ingin melihat ponselnya. Dijauhkannya ponsel itu dari dirinya, diletakkan di ujung meja. Dia takut dengan apa isi balasan dari Gun.Dihisapnya rokok itu.Hatinya cemas tidak karuan. Pikirannya berkecamuk. Dia berdiri. Dia menuju ke jendela samping, dihisapnya lagi rokoknya dengan kuat. Sesaat kemudian dia merasa tena
Sekitar tiga setengah tahun kemudian.Nur sedang duduk di food court sebuah mall besar di kota itu. Di hadapannya terhidang makanan mie dan es teh. Makanan itu sama sekali belum dia sentuh, mie itu sudah dingin. Dia hanya dari tadi minum es teh itu terus-menerus, hingga es itu sudah habis, dan hanya tersisa es batu saja di dalamnya. Meski begitu, dia masih menyeruput sisa-sisa teh yang tertinggal.Dia menyandarkan tubuhnya di kursi. Dia pandangi orang-orang yang berlalu lalang hiruk-pikuk disekitarnya. Hampir mereka semua membawa teman, pasangan, dan ada anak-anak. Nur mencelos hatinya. Hatinya berlubang. Rasa kehilangan masih terasa di hatinya.Nur ingat dulu, Dara selalu mengajaknya ke mall ini, dan makan mie ini, es teh ini pula dulu yang menjadi minuman favorit mereka berdua.Hari ini, entah mengapa, ada dorongan yang sangat kuat dari dalam hatinya untuk pergi ke mall ini dan makan mie, juga minum es teh ini. Kerinduan yang
Nur menutup pintu ruangan Dara. Di luar ruangan itu, dia bersandar pada tembok dan kembali menangis. Air mata deras membasahi pipinya. Penyesalan yang dalam. Dada yang sesak. Hati yang berlubang.Kedua kalinya, dia membuat perempuan yang dia cintai menangis.Dia segera cepat menguasai dirinya. Nur tidak ingin ada orang yang lewat di lorong itu dan melihatnya menangis. Dia mengambil nafas dalam-dalam dan menghembuskannya kuat-kuat. Dipandanginya pintu kamar Celo yang ada di seberang lorong, tepat di sebelah kamarnya.“Aku harus kesana. Aku mau melihat Celo dan aku harus mengakhiri ini dengan baik-baik. Aku mengenal dia dengan baik. Tidak ada alasan bagiku untuk tidak mengakhirinya dengan baik-baik pula. Meski semalam dia sudah secara aktif mau membunuhku, tapi rasaku tetap sama. Semua kata cinta itu adalah jujur. Aku tidak bohong semalam ketika aku bilang aku mencintainya.” batin Nur.Dengan langkah yang masih pelan-pelan, Nur menyeberangi loro
“Aku sebenarnya menerima pekerjaan lepas waktu sebagai penerjemah sejak setahun yang lalu. Aku enggak pernah bilang soalnya aku takut Mas Nur tersinggung. Aku takut kalau Mas Nur merasa kecil karena berpikir uang yang diberikan Mas Nur kurang. Oleh sebab itu, aku tidak pernah bilang soal ini. Oleh sebab itu pula, pekerjaan rumah banyak yang terbengkalai. Aku minta maaf soal itu.”Dara melihat Mas Nur menutupi mukanya denga kedua telapak tangannya. Mas Nur sepertinya menangis. Dara tadi sebenarnya melihat ada bekas-bekas tangisan di wajah Mas Nur, namun Dara diam saja. Dara tidak pernah tahu dan tidak mau tahu alasan Mas Nur menangis.“Aku minta maaf juga Sayang, gara-gara itu, aku menyangka Sayang berselingkuh. Aku berpikiran buruk ketika laptop Sayang itu menyala dan setiap kali laptop itu menyala, semua pekerjaan rumah terbengkalai.”“Aku minta maaf Mas, aku sudah menyimpan rahasia di hubungan kita.”“Sayang, ak
Dara masih melihat Mas Nur dengan kemarahan yang memuncak. Dia benar-benar ingin meluapkan segala kemarahan kepada Mas Nur saat itu juga. Kalau saja tidak ada Papa dan Wahid di kamar itu. Dia pasti sudah melempar Mas Nur keluar jendela dan membiarkannya terjatuh dari lantai lima dan remuk di bawah sana.“Bagaimana keadaanmu Nur?” tanya Papa kepada Mas Nur yang terlihat masih menahan sakit karena luka di perutnya. Kepalanya juga di perban.Dara mengetahui sebab Mas Nur menderita itu semua. Dokter Mus tadi pagi datang dan menjelaskan semuanya kepada dirinya dan Papa. Ketika dokter Mus menceritakan cerita kepahlawanan Mas Nur yang membantu Bu Celo lepas dari para perampok yang menyatroni rumah Bu Celo, Dara merasakan sebersit kekhawatiran atas keselamatan Mas Nur. Ingin dia segera berlari dan melihat keadaan Mas Nur yang ada di seberang ruangannya.Niat itu diurungkannya.Dara masih marah kepada Mas Nur. Dara merasa jijik dengan Mas Nur. Entah me
Nur benar-benar berusaha untuk bisa bangkit dari posisi rebahannya. Kalau saja dia benar-benar kangen dan ingin bertemu Wahid dan Dara, di pasti mengalah dengan rasa sakit yang mendera itu. Dia mungkin lebih memilih untuk menyerah pada sakit di sisi kiri perutnya daripada harus berusaha agar bangkit.Setelah sekitar tiga puluh menit berusaha, usaha Nur membuahkan hasil. Dia bisa bangkit dari rebahan. Kakinya sekarang sudah menggantung di pinggir ranjang. Kini tinggal berusaha unutuk berjalan ke kamar mandi. Dia juga baru sadar kalau dia tidak dipasang kateter untuk buang air kecil.Tiba-tiba juga dia merasa ingin buang air kecil. Dorongan yang kuat untuk buang air kecil.Dalam waktu satu jam, dia telah berhasil menjalankan misi yang diberikan oleh dokter Mus. Kini tinggal memanggil meminta tolong perawat untuk mengantarnya ke kamar Wahid. Tapi buat apa Nur meminta bantuan perawat? Dia bisa sendiri. Bukankah tadi dokter Mus bilang bahwa kamar Wahid ada di depan k
Nur membawa Celo ke rumah sakit internasional. Nur tadi dengan sigap memasukkan Celo ke mobil Aston Martin dan membawanya ke rumah sakit. Nur khawatir dengan Celo. Sementara itu, dirinya juga khawatir dengan nasib anak dan istrinya. Dia hanya menuruti instingnya. Dia hanya menyelamatkan Celo dan dirinya yakin Wahid dan Dara tidak ada di rumah yang meledak itu. Nur yakin kalau Celo tidak sejahat itu. Sesampainya di rumah sakit, dirinya dan Celo langsung dibawa ke instalasi gawat darurat. Celo mengalami syok dan luka pukulan dan bantingan. Sedangkan Nur mengalami luka sayatan. Nur mengatakan bahwa Celo dan dirinya adalah korban perampokan. Nur tidak mau mengatakan yang sebenarnya. Dia tidak mau berurusan dengan polisi dan membuat semuanya semakin kacau. Ini hanyalah masalah kecil yang seharusnya bisa diselesaikan dengan mudah dan dengan cara damai. Luka yang dialami Nur tidak parah. Benar dugaan Nur, luka sayatan yang dangkal dan sama sekali tidak berba
“Kalau aku tidak bisa memilikimu Nur, maka Dara dan Wahid pun tidak.” kata Celo menyeringai.Nur merasakan kengerian. Dengan cepat dia bangkit sambil mengelus pipi kanannya. Sakit.Celo memainkan pisaunya, melemparkannya ke tangan kanan dan kiri bergantian. Seolah-olah Nur adalah binatang buruan yang terperangkap dan pasti mati.“Aku mencintaimu Nur. Aku ingin memilikimu sepenuhnya. Aku tidak ingin berbagi dengan Dara ataupun Wahid.”“Tunggu dulu, aku tidak mengerti. Bagaimana bisa kamu membuat gosip di bengkel?”“Toni. Toni adalah anak buahku yang setia. Dia memang aku tugaskan untuk menjadi bawahan Anwar. Dengan bantuan Toni, aku bisa membisikkan apapun ke tua bangka serakah itu, termasuk gosip kita yang selingkuh, kita yang sekamar di Jakarta, dan laporan keuanganmu. Invoice itu gampang didapatkan. Aku yang punya hotel itu dan aku juga sudah mengatur agar kita sekamar. Ban yang meletus dan syok
Nuraga memacu motornya dengan cepat ke rumah Celo. Dia khawatir dengan nasib anak isrinya dan juga penasaran apa yang dimaksud Celo dengan kata-katanya di telefon tadi.“Bagaimana bisa Celo tahu tentang Wahid dan Dara disaat aku saja tidak tahu dimana mereka berdua?”“Apakah mungkin Celo berbuat yang tidak-tidak dan di luar nalar?”“Apa yang telah dilakukan Celo terhadap Wahid dan Dara?”“Tidak, Celo tidak mungkin berbuat yang tidak-tidak terhadap Wahid dan Dara. Celo bukan orang yang kejam. Celo bukan orang yang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan yang dia mau.”“Kata Dara, Celo menunjukkan kedekatan yang luar biasa terhadap Wahid selama ini.”“Celo tidak ungkin berbuat kejam pada Wahid dan Dara.”Deggg…Jantung Nur berdegup kencang. Nur menyadari sesuatu.Ingatan Nur melayang pada si kurus yang dihajar Celo sampai babak belur se
Di ulang tahun perempuan remaja itu yang ke lima belas, Dad menghadiahi seorang pengawal. Seorang pengawal laki laki dengan tubuh sebesar dan setinggi Dad. Dad bilang bahwa perempuan remaja itu perlu diawasi agar tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas. Pengawal itu harus selalu mengikuti kemanapun si perempuan remaja itu pergi. Dad membayar pengawal itu untuk bekerja selama dua puluh empat jam sehari tujuh hari seminggu.Sesaat perempuan remaja itu melihat kepada si pengawal, ini semua hanya akal-akalan Dad. Pengawal ini hanyalah kepanjangan tangan dari Dad. Pengawal ini hanyalah bentuk baru dari penjara yang selama ini mengungkungnya. Dari pengawal ini, semua gerak-geriknya akan semakin terpantau dan Dad akan tahu semua tingkah lakunya.Perempuan remaja itu hanya pasrah menerima hadiah dari Dad. Dengan cepat perempuan remaja itu memeluk Dad dan mengucapkan terima kasih dengan berurai a