Di tengah kesibukan lokasi syuting yang riuh, Bleon duduk dengan santai di kursinya, kakinya terjulur ke depan dengan ekspresi penuh percaya diri. Para kru sibuk berlalu-lalang, mengatur pencahayaan dan kamera untuk adegan berikutnya, sementara Maleta berdiri di sampingnya, tangannya cekatan merapikan riasan di wajah Bleon."Akhirnya aku bisa kembali berakting!" seru Bleon dengan nada puas, sembari menatap pantulan dirinya di cermin. "Drama ini terlalu memfokuskan karakter utama wanita hingga karakter utama pria sering tidak terpakai!"Maleta hanya terkekeh kecil, menyapukan kuas dengan lihai ke pipi Bleon. "Sudahlah, anggap saja itu sebagai waktu liburan untukmu."Tapi Bleon bukan tipe orang yang bisa diam begitu saja. Dia menoleh ke arah Maleta dengan tatapan penuh arti, suaranya sedikit lebih rendah saat bertanya, "Omong-omong, apa kau sudah melakukan apa yang aku perintahkan?"Maleta tersenyum penuh keyakinan, matanya berkilat puas. "Tentu saja sudah," jawabnya tanpa ragu. "Aku su
Suara tawa memenuhi ruangan. Di ruang pribadi Kaelen, Kamila terbahak-bahak, menutupi mulutnya dengan tangan, namun matanya bersinar penuh kepuasan. "Lucu sekali! Aku sangat penasaran seperti apa wajah Maleta saat dia melihat pesan chat yang aku kirimkan padanya," katanya di sela tawa. Kaelen bersandar santai di kursinya, menatap Kamila dengan ekspresi penuh kemenangan. Bibirnya melengkung membentuk senyuman sinis. "Mereka menakut-nakuti kita dengan cara seperti itu, maka kita juga harus menakut-nakuti mereka dengan cara yang sama," ujarnya, nada suaranya tenang tapi menusuk. Tommy, yang sejak tadi menyimak, menyandarkan tubuhnya ke meja dengan ekspresi serius. "Benar. Tapi alat perekam suara itu juga bisa kita gunakan sebagai bukti. Untuk sekarang, simpan saja benda itu di tempat yang aman agar kita bisa menggunakannya suatu saat nanti," katanya sambil menyilangkan tangan di dadanya. Kamila mengangguk paham, namun kemudian keragu-raguan tergambar di wajahnya. Matanya beralih ke
Mobil melaju di tengah kota yang mulai diselimuti kegelapan malam. Jalanan tampak lengang, hanya sesekali kendaraan melintas di sisi lain, menciptakan siluet kelam di jendela mobil. Suara mesin mendengung pelan, berpadu dengan desahan napas para penumpang yang dipenuhi ketegangan. Di dalam kabin, suasana begitu tegang, seolah udara yang mereka hirup semakin menipis. Bleon, Maleta, dan Jeremiah duduk dalam diam, masing-masing tenggelam dalam pikirannya. Namun, ketenangan itu terpecah saat Maleta tiba-tiba berbisik, suaranya nyaris tak terdengar. "Bleon..." Dia merapatkan tubuhnya ke arah Bleon, tangannya menyodorkan ponselnya dengan gemetar. Wajahnya pucat, matanya dipenuhi kecemasan. Bleon melirik layar ponsel Maleta, dan dalam sekejap, matanya membelalak lebar. Otot-otot di rahangnya menegang, dadanya naik-turun menahan gelombang amarah yang seketika meledak dalam dirinya. Dengan gerakan kasar, dia mengepalkan tangannya da
Mobil itu berhenti dengan perlahan di depan sebuah gedung bercat abu-abu dengan tulisan besar di atasnya: Kantor Polisi.Di dalam mobil, Maleta, Bleon, dan Jeremiah langsung saling berpandangan, napas mereka tercekat. Ini bukan tempat yang seharusnya mereka tuju. Ini bukan tempat yang aman.Dari kursi pengemudi, pria yang sejak tadi mereka kira sebagai supir mereka menarik topi hitam yang dikenakannya. Rambut hitam pekatnya terurai, wajah tampannya kini menampilkan seringai penuh arti."Halo semua!" sapanya ringan, seolah mereka hanyalah teman lama yang sedang berkumpul dalam suasana santai.Jeremiah langsung menatapnya tajam, ekspresi terkejut sekaligus marah terlihat jelas di wajahnya. "Kau! Siapa kau? Dan apa yang kau lakukan dengan Pak Asep, supir kami?"Pria itu—Kevin—hanya mengangkat bahu dengan santai, seakan pertanyaan itu sama sekali tidak mengusiknya. "Oh, dia? Aku hanya memberinya sedikit uang supaya pulang lebih awal. Kurasa dia tidak keberatan. Lagipula, aku hanya menggan
"Bukan urusanmu!" jawab Bleon dengan lantang, suaranya menggema di ruangan yang penuh ketegangan.Kaelen tidak tinggal diam. Dalam hitungan detik, ia melangkah cepat ke arah Bleon, menarik kerah bajunya dengan kasar. Mata biru lautnya yang tajam bersinar penuh amarah, mencerminkan kobaran emosi yang selama ini ditahannya. Nafasnya memburu, menggambarkan betapa ia menahan diri untuk tidak melepaskan pukulan ke wajah pria itu."Jawab selagi aku masih bertanya denganmu baik-baik!" suaranya nyaring, membuat beberapa orang menahan napas.Polisi bernama Asep dengan sigap merelai mereka, menarik Kaelen menjauh dari Bleon sebelum situasi semakin memanas. "Kalian semua! Jelaskan saja di dalam!" perintahnya, suaranya penuh otoritas.Kaelen menghela napas kasar, lalu berbalik dengan ekspresi kesal. Dia menggenggam tangan Kamila, menariknya masuk ke dalam kantor polisi tanpa sepatah kata pun. Tommy, manajernya, mengikuti dari belakang, wajahnya tampak cemas.Sementara itu, di sisi lain ruangan, M
Zeyon duduk kaku di kursi, kedua tangannya saling bertaut di atas pahanya. Napasnya tersengal, tenggorokannya tercekat seolah ada sesuatu yang menghalangi kata-kata yang ingin keluar. Tubuhnya bergetar, bukan hanya karena ketakutan, tetapi juga karena perasaan terjebak di antara dua dunia—antara keberanian dan ketakutan, antara kebenaran dan ancaman yang membayangi."A-aku... Aku ingin..." katanya dengan suara lirih, hampir tak terdengar.Reyford mencondongkan tubuhnya ke depan, tatapan matanya lembut namun penuh dorongan. "Katakan saja, Zeyon. Tidak masalah. Kau aman bersama kami."Namun, ketakutan yang mencengkeram tubuh Zeyon masih terlalu kuat. Bibirnya bergetar, kata-kata tertahan di ujung lidahnya.Mata biru Bleon, tajam dan menusuk, menatap langsung ke arahnya, penuh dengan ancaman yang tak tersirat. Pandangan itu bagai belati yang siap menembus ke dalam keberaniannya yang rapuh.Reyford, yang menangkap tatapan mengancam itu, langsung bergerak. Dengan satu langkah cepat, dia be
Bleon menghantam meja dengan keras, suara dentuman kayu menggema, memantul di dinding-dinding ruangan. Napasnya memburu, matanya berkilat tajam seperti bara api yang siap membakar siapa pun yang berani menentangnya. Dengan gerakan penuh emosi, ia bangkit berdiri, menatap satu per satu orang yang ada di ruangan itu, memastikan mereka memahami betapa seriusnya ancaman yang akan ia lontarkan."Aku akan memanggil daddy!" suaranya bergetar, bukan karena takut, tetapi karena kemarahan yang mendidih di dalam dadanya. "Daddyku adalah pejabat di negara ini. Kalian akan merasakan akibatnya karena berani menantangku, si putra sulung Menteri Pariwisata dan Industri Kreatif, Rendra Kusuma!"Ia mengangkat dagunya dengan angkuh. "Selama ini aku memilih untuk tidak melibatkan daddyku. Tapi sekarang, sudah cukup. Jika daddy berada di pihakku, aku bisa menghancurkan TLM Entertainment dalam sekejap! Aku bisa membuat mereka kehilangan izin konser. Bahkan, aku bisa memastikan mereka ti
Suasana di dalam ruangan itu menegang. Semua mata tertuju pada Kaelen dan Bleon, dua sosok yang berdiri tegap di tengah ruangan, menatap satu sama lain seakan saling mengukur langkah berikutnya."Kau duluan yang sebutkan keputusanmu!" suara Bleon memecah keheningan. Nada suaranya penuh gengsi, tetapi ada sedikit getaran halus di sana. Seolah, meskipun ingin terlihat kuat, hatinya masih dipenuhi bara dendam yang belum padam.Namun, Kaelen hanya menatapnya dengan senyum miring. Ia menyilangkan tangan di dadanya, sikapnya santai tetapi jelas mengundang. "Oh?" katanya sambil terkekeh pelan, "Melihat ekspresi kesalmu, kau pasti memilih untuk berdamai saja, kan?"Kaelen mulai melangkah maju, mempersempit jarak di antara mereka. Pandangannya tajam, tetapi bibirnya tetap melengkung dalam seringai penuh ejekan. "Kenapa?" lanjutnya, suaranya lebih rendah, lebih menekan, "Kau pasti tidak ingin kariermu hancur. Makanya lebih memilih untuk berdamai saja, ya?"Bleon mengepalkan tangannya, jari-jari
Kamila menatap Kaelen, hatinya berdenyut perih melihat pria itu yang masih berusaha menutupi air matanya.Cahaya lampu restoran yang temaram memantulkan kilau pucat di wajah Kaelen, menyorot garis-garis ekspresi yang lebih dalam dari yang pernah Kamila ingat. Ia terlihat lebih dewasa, lebih dingin, tapi juga lebih rapuh dari yang pernah ia bayangkan.Jemari Kamila gemetar saat ia mengangkat tangannya sedikit. Ada dorongan dalam dirinya untuk menyentuh Kaelen, untuk menenangkan kegelisahan yang melingkupinya. Tapi sebelum ia bisa melakukannya, Kaelen sudah menurunkan tangannya sendiri, memperlihatkan sorot mata biru lautnya yang tajam—mata yang kini dipenuhi amarah dan kepedihan yang belum terobati."Kak Kaelen, aku minta maaf... Aku—""Tidak perlu minta maaf!" Kaelen memotong cepat.Suaranya menggema di ruangan yang kosong, membuat dada Kamila semakin sesak. Bukan hanya karena ketegangan yang terasa di antara mereka, tetapi juga karena emosi yang mengalir deras dalam nada suara Kaelen
Restoran itu sunyi.Hanya ada dua orang di dalamnya—Kamila dan Kaelen. Tidak ada pelanggan lain, tidak ada suara bising dari meja-meja sekitar, hanya keheningan yang terasa begitu menekan.Kamila baru saja duduk ketika sebuah pertanyaan menghantamnya seperti petir di siang bolong."Sekarang suasana sudah sangat tenang. Apa yang mau kau katakan tentang... Kenapa memutuskan hubungan denganku saat kita masih SMK dulu?"Napas Kamila tercekat. Ia belum sempat menyesuaikan diri dengan situasi ini, belum sempat menenangkan hatinya yang berdebar karena pertemuan mereka, tapi Kaelen langsung menembaknya dengan pertanyaan yang selama ini ia hindari.Tangannya yang hendak merapikan rambutnya sedikit gemetar. Dengan cepat, ia menata ekspresinya agar tetap tenang, lalu mengalihkan pandangannya ke Kaelen yang duduk di seberang meja.Setelah beberapa detik keheningan, ia akhirnya menjawab dengan suara yang terdengar lebih mantap dari perasaanny
Ruangan itu remang-remang, hanya diterangi lampu meja yang redup. Di tengahnya, Bleon duduk di kursi dengan santai, satu kakinya terlipat di atas lutut yang lain. Namun, ada sesuatu yang dingin dalam tatapannya saat matanya menelusuri sosok remaja lima belas tahun yang berdiri di hadapannya—Evan, seorang trainee GS Entertainment yang seumuran dengan adiknya.Tak ada suara selain detak jam di dinding.Bleon mengetuk-ngetukkan jarinya di atas meja, ekspresi di wajahnya penuh ketidaksabaran. "Bagaimana? Apa kau sudah mendapatkan apa yang aku suruh?" tanyanya, nada suaranya terdengar tenang, tetapi ada ketegangan samar yang menyelip di baliknya.Evan tidak langsung menjawab. Rahangnya sedikit mengeras, tangannya mengepal di sisi tubuhnya. Ia menarik napas dalam, lalu perlahan merogoh ponselnya dari saku.Bleon menyeringai. Matanya berbinar penuh antisipasi."Bagus. Ini pasti rekaman skandal yang bisa menjatuhkan Kaelen."Namun, alih-
Lorong itu terasa semakin sunyi ketika Kamila melangkah mendekat. Cahaya lampu neon di langit-langit memantulkan bayangannya di lantai keramik yang mengilap, menciptakan suasana dingin yang tak wajar. Detak sepatu haknya menggema, setiap langkah terdengar begitu jelas di antara keheningan yang menyesakkan.Di ujung lorong, Kaelen berdiri diam, nyaris tak bergerak. Kepalanya tertunduk, napasnya dalam dan teratur, tetapi ada sesuatu dalam cara bahunya sedikit tegang yang membuat Kamila tahu—dia sedang menahan sesuatu.Kemarahan. Frustrasi.Tatapan kosongnya tertuju pada lantai, namun sorot matanya tajam, seperti badai yang tengah berkecamuk di dalam dirinya. Rahangnya mengeras, otot-otot di pipinya menegang, dan kedua tangannya mengepal di sisi tubuhnya, seakan berusaha keras menahan emosi yang nyaris meluap.Kamila menelan ludah. Rasa ragu menyelusup di dadanya, tetapi ia tahu ia tak bisa hanya diam. Dengan sedikit keberanian yang tersisa, ia akhirnya bertanya, suaranya nyaris bergetar
"Ka- Kaelen... Sepertinya... Ki-kita harus keluar dulu dari sini," suara Kamila terdengar lemah, hampir bergetar. Ia menunduk, berusaha mengatur napasnya yang masih tersengal, tapi jelas sekali tubuhnya sedikit gemetar. Kaelen menatapnya dalam diam, masih bisa merasakan denyut jantungnya yang berpacu setelah konfrontasi barusan. Rasa frustrasi masih bergelayut di dadanya, tapi melihat ekspresi Kamila yang ketakutan, ia hanya bisa menghela napas panjang, berusaha menenangkan dirinya sendiri. Akhirnya, ia menurunkan tangannya dari sisi kepala Kamila, memberinya ruang. "Baiklah," ucapnya akhirnya, suaranya lebih tenang. "Ayo kita saling jelaskan di luar saja." Begitu pintu kamar mandi terbuka, Kamila langsung berlari keluar dengan tergesa-gesa. Kaelen menatap punggungnya yang menjauh. Dia bisa melihat bagaimana bahu gadis itu naik turun cepat, napasnya masih belum stabil. Apa yang baru saja terjadi memang terlalu mendadak—bagi mereka berdua. Namun, ada sesuatu yang janggal.
Konser akhirnya usai. Sorak-sorai penonton mulai mereda, digantikan dengan suara idol-idol yang kelelahan menyeka keringat mereka. Beberapa duduk di sofa ruang tunggu, meneguk air dalam sekali minum, sementara yang lain masih tertawa dan mengobrol, berbagi euforia atas kesuksesan panggung mereka malam ini. Namun, di sudut ruangan, Kaelen tidak ikut bersantai seperti yang lain. Ia menghilang ke kamar mandi, meninggalkan jejak basah di lantai setelah penampilannya yang spektakuler dalam akuarium raksasa. Kamila menggigit bibirnya, rasa penasaran menggerogoti pikirannya. Kaelen adalah seorang idol. Seorang profesional. Ia bisa saja benar-benar hanya cosplay sebagai merman. Tapi... kenapa semuanya terasa begitu nyata? Sisanya yang sempat ia lihat—sisik samar yang terlihat di kaki Kaelen, cara tubuhnya bergerak begitu alami di dalam air, dan ekspresi yang muncul di wajahnya saat melayang di sana. Itu bukan sekadar akting. Itu... sesuatu yang lebih dari sekadar pertunjukan. Tanpa b
Konser besar TLM Entertainment akhirnya digelar. Stadion megah itu bergemuruh oleh suara teriakan dan sorakan ribuan penggemar yang telah menanti momen ini selama berbulan-bulan. Cahaya sorot panggung berputar-putar, menciptakan kilauan yang seakan menari di udara, sementara layar raksasa di belakang panggung menampilkan logo agensi dengan efek visual yang memukau.Di balik panggung, suasana tak kalah sibuk. Para makeup artist dan stylist berlarian ke sana kemari, memastikan setiap idol tampil sempurna di bawah sorotan lampu. Aroma hairspray dan foundation bercampur dengan suara panik para kru yang memberi instruksi melalui headset mereka.Di salah satu sudut ruang rias, Kamila tengah menyempurnakan sentuhan terakhir pada Kaelen. Dengan cekatan, tangannya mengusap foundation di wajah pria itu, memastikan kulitnya tampak sempurna di bawah lampu panggung."Semangat!" ujar Kamila, suaranya lembut namun penuh dorongan.Kaelen menoleh dan tersenyum. Sorot matanya berkilat dengan kepercayaa
Kaelen memasuki kamarnya dalam diam, langkah kakinya terdengar berat di lantai kayu yang dingin. Pintu ditutup perlahan, namun suara klik kunci terasa nyaring di telinganya sendiri, seolah mengunci segala gejolak yang bergemuruh di dalam dadanya.Tanpa menyalakan lampu, dia berjalan menuju ranjang dan membiarkan tubuhnya jatuh ke atas kasur, menatap kosong ke langit-langit kamar. Cahaya bulan yang masuk melalui celah jendela menerpa wajahnya, membuat sorot matanya yang biru semakin redup, nyaris seperti samudra yang kehilangan kilauannya."Kamila... Sebenarnya apa yang terjadi padamu?"Pikiran itu terus berputar di kepalanya, menari-nari dalam bayangannya seperti hantu yang enggan pergi. Bayangan Kamila—dengan sorot mata ketakutan, suara yang bergetar saat memohon kepadanya, tangan yang mencengkeram lengannya dengan erat—semuanya terasa begitu nyata, seakan kejadian tadi masih berlangsung di depan matanya.Kaelen menghela napas berat, mencoba memejamkan mata, memaksa dirinya untuk tid
Mata Kamila berkaca-kaca, bibirnya bergetar ketika dia berbisik, seolah suaranya sendiri nyaris tak sanggup menahan ketakutan yang menggerogoti hatinya."Kak Kaelen, aku mohon... Aku tidak mau memperpanjang masalah ini. Tolong hapus rekamannya... Aku mohon..."Suasana di dalam mobil terasa mencekam, seakan udara di antara mereka dipenuhi oleh ketegangan yang bisa meledak kapan saja. Kaelen menatapnya dengan sorot tajam, rahangnya mengeras, jemarinya mencengkeram setir dengan erat. Ada kemarahan yang bergejolak dalam dirinya, bukan hanya karena situasi ini, tetapi karena kebiasaan Kamila yang selalu menelan sendiri semua kepedihannya."Kenapa kau seperti ini, Kamila? Kenapa kau selalu saja menyembunyikan semua rasa sakitmu sendiri?" suaranya berat, penuh emosi yang tertahan, hampir terdengar putus asa. Matanya menatap Kamila dengan tajam, mencoba menembus tembok yang selalu gadis itu bangun. "Aku tidak mau menghapusnya! Aku akan menjadikan ini barang bukti jika kau ingin melaporkannya!