Beranda / Thriller / Identity / Bab 3 Insting

Share

Bab 3 Insting

Penulis: UlfSanita
last update Terakhir Diperbarui: 2021-06-23 04:09:17

Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Vian di rumah barunya yang masih dalam cicilan. Ia bekerja di sebuah pabrik otomotif  sebagai manajer pemasaran selama empat tahun. Gajinya cukup untuk mencicil rumah dan membiayai hidup kami.

Sejak kejadian malam pertama, dia tidak pernah menyentuhku lagi. Sikapnya masih sama, baik, perhatian serta lembut. Setiap pulang dari kantor, ia selalu membawakan aku buah tangan. Entah buah-buahan ataupun kue. Ia cepat sekali memahami sifatku, meski kami baru tinggal serumah.

Ia tak pernah mengungkit kejadian malam itu dan tak pernah meminta maaf. Aku menganggapnya, itu sebagai bentuk rasa gugup Vian dalam melewati malam pertama. Meskipun, hati kecil mengatakan tidak mungkin.

     Pagi ini Vian sibuk membersihkan motor Royal Enfield Classic kesukaannya di teras rumah. Ia memiliki hobi pergi berjalan-jalan ke luar kota  dengan mengendarai motornya. Namun, entah dengan siapa ia berangkat touring. Hingga saat ini, aku belum pernah diperkenalkan dengan teman-temannya. Entahlah … apakah ia memiliki teman atau tidak. 

Terdengar suara ponsel milikku berbunyi. Dengan segera, aku mengambil ponsel yang berada di atas meja makan dan menekan tombol hijau. Seketika terdengar suara Tommy menyapa di seberang sana.

“Hallo, Tom. Hei … apa kabar?” tanyaku semringah.

Kabar baik, Anya. Apa kabarnya pengantin baru?” ledeknya kemudian tertawa kecil. “Sejak menikah, kamu jadi jarang chat aku?”

“Sekarang kan aku sibuk, Tom, Jadi Nyonya Vian,” jawabku sekenanya.

Tommy adalah sahabatku ketika di kampus dulu selain Raya. Laki-laki yang mengidolakan Messi ini selalu menemani kemanapun aku pergi. Sering membantuku terutama saat sibuk  mengerjakan skripsi. Ia bahkan menjadi pendampingku ketika wisuda sarjana.

Kami berbincang-bincang cukup lama, hingga aku tak sadar jika Vian telah berada di dalam rumah. Ia bersandar pada salah satu sisi pintu sambil menyilangkan tangan. Tatapannya begitu dingin. Aku merasa canggung dibuatnya, lantas segera kuakhiri obrolan dengan Tomy. Aku menghampiri dan mencoba menggodanya. Ia bergeming.

“Siapa itu tadi?” bentaknya.

“Yang mana, Vian?”

“Yang tadi nelpon kamu?” bentaknya lagi. Posisinya tak berubah, hanya matanya yang kini berubah seolah penuh marah.

“Sabar, Vian. Jangan emosi. Tadi itu Tommy, teman kampusku dulu.” Aku mencoba mengusap lengannya untuk sekadar menangkan, tetapi ia menghempaskan tanganku.

“Mana ponselnya!” pinta laki-laki yang baru saja menjadi suamiku.

“Untuk apa, Vian?” Insting pertahananku muncul kembali. “Kami gak ada hubungan apa-apa,” sanggahku.

“Pokoknya minta!” serunya lagi.

Ia merebut ponsel dari genggaman tanganku. “Hapus!” teriaknya.

“Jangan, Vian!” Aku mencoba merebut ponsel darinya. Namun, ia malah mendorongku hingga terjungkal dan menubruk sofa di belakangku.

“Vian!” Aku balik membentaknya. Sesaat aku lupa adab bersikap menghadapi suami, tetapi perlakuan Vian benar-benar keterlaluan.

Aku segera bangkit dari posisiku dan berdiri. “Kamu kenapa?” tanyaku dengan nada tinggi.

“Aku gak suka ada laki-laki yang menelepon kamu. Jangan pernah lakuin itu lagi! Aku gak suka!” Vian bersungut-sungut. Ia mengulangi kata-katanya sebanyak dua kali,

“Ma-Maaf, Vian. Aku janji gak ngobrol lagi dengan Tommy atau teman laki-laki lain.” lirih, aku menjawab keinginannya. Memang salahku, menerima telepon dari laki-laki lain tanpa seizin dia, sekalipun itu dari sahabatku sendiri karena posisiku sekarang sudah bersuami, sudah tak pantas lagi bercanda-canda dengan laki-laki lain.

***  

Setelah beberapa waktu tinggal bersama Vian, sekarang aku tahu jika ia seorang pencemburu. Sepulang kerja, ponselku selalu diperiksanya. Meski sebenarnya riwayat telepon selalu aku hapus terlebih dahulu.

“Sudah dulu, ya, Tom. Sebentar lagi suamiku pulang,” ucapku.

“Kamu takut banget si sama suami kamu. Santai aja napa?” ujar Tommy. Nada suaranya terdengar sangat kesal sekali.

“Dia kan suami aku, wajar aja si kalo dia cemburu. Akunya aja yang bandel, masih juga teleponan sama temen cowok. Abis aku kesepian, Tom,” jawabku lirih.

“Itu namanya gak wajar tau, Nya. Cemburu itu gak mesti sampe marah-marah sampe bentak-bentak. Apalagi sampe dorong kamu. Itu namanya kekerasan!” Aku dapat menangkap kemarahan Tommy melalui nada suaranya.

“Abis gimana lagi, Tom. Aku gak mungkin kan cerita sama Ayah juga Ibu-“

Terdengar suara pintu garasi terbuka. Aku mengintip dari balik tirai, ternyata benar, Vian sudah pulang.

“Tom, udah dulu ya.”

Tanpa menunggu jawaban dari Tommy, aku langsung menutup pembicaraan dan menyimpan ponsel di atas lemari es. Dengan tergesa-gesa, segera kubuka pintu depan. Vian terkadang marah jika aku lama membukakan pintu.

Blug.

Ahh, dasar teledor.

Aku mengusap lutut kiriku yang menyenggol pot tanaman hias -- terletak di dekat pintu ruang tamu. Aku membetulkan posisinya lalu membuka pintu.

Vian sudah berada di depan pintu dengan posisi tangan kanan terangkat. Rupanya ia baru saja akan mengetuk pintu. Aku menarik lengkung di kedua garis bibir lalu meraih tangan kanan dan menciumnya.

Ia mengecup kening dan membalas senyumanku. Jika melihatnya seperti itu, aku selalu meyakini jika Vian adalah suami yang baik.

“Gimana kabarmu hari ini?” ia mengelus pucuk kepalaku.

“Baik.”

Aku mengambil bungkusan brownies cokelat yang dibawa Vian. Ia tahu betul kesukaanku. Minum teh hangat ditemani sepotong brownies.

“Minum dong,” pintanya seraya duduk di sofa ruang tv. Kulihat tangannya membuka kancing baju paling atas, lalu menyandarkan punggungnya di sofa.

Aku berlalu menuju dapur dan mengambil cangkir yang terletak di rak piring. Kakiku bergeser ke sebelah kanan rak piring menuju lemari penyimpanan makanan. Aku menggabungkan teh dan gula dalam cangkir, lalu memberinya air panas.

Terdengar suara tv menyala.

Aku meletakkan cangkir dalam nampan dan membawanya. Namun, sebelum tubuh ini berbalik, genggaman tangan pada nampan mengendur hingga ia terlepas dan jatuh ke atas lantai.

Prangg.

“Awww!” aku mencoba meraih tangan kanan Vian yang tengah menjambak rambutku. Denyut hebat terasa di area kulit belakang kepalaku.

“Ampun, Vian. Ampun! Lepas!” Aku berteriak histeris tetapi ia tidak mengindahkan permintaanku.

“Tadi kamu telepon siapa?” bentaknya seraya menarik rambutku lagi.

Deggg.

Sesaat teringat kejadian tadi. Aku lupa menghapus riwayat telepon bersama Tommy karena terburu-buru.

Bodohnya aku.

“A-anu ….” Tekanan tenaganya terasa di setiap helai rambutku, hingga aku meringis. Aku genggam tangan kanannya untuk mengendurkan tarikannya, tetapi ia justru semakin kalap.

“Tadi telepon siapa? Jawab!” kali ini suaranya lebih menggelegar dibandingkan sebelumnya. Rumah kami berada di pojok komplek dan terhalang satu tanah kosong, jadi tidak ada tetangga yang akan mendengarkan keributan kami.

“Ma-maaf, Vian. Tadi aku telepon Tommy lagi. Maafkan aku,” rajukku pada Vian.

Laki-laki itu mendorongku dengan kuat hingga aku terjerembab dan lengan kananku membentur tembok wastafel. Aku hanya bisa meringis menahan sakit.

Kulihat ia berlalu menuju ruang TV dan mengambil ponselku yang kini tergeletak di atas sofa. Jari-jarinya menekan tombol ponsel. “Aku hapus saja semua kontak teman-teman kamu ya!” teriaknya.

“Jangan, Vian!”

Aku segera berdiri dan berlari menuju ke arahnya. Kucoba meraih ponsel yang berada di dalam genggamannya. Namun, ia berhasil menghalangiku dengan membalikkan badan. Terpaksa, aku mendorongnya untuk merebut ponsel berwarna biru itu.

Melihat usahaku, Vian berbalik. Matanya  melotot tajam dengan tangan mengepal. Ia melemparkan ponsel yang tadi berada di genggamannya. Tangan kanannya kini beralih meraih tubuhku kemudian tangan kekarnya mencoba mengunci leherku.

Aku tak dapat menghirup oksigen dengan leluasa. Kucoba membuka mulut lebih besar lagi, tetapi kerongkonganku tertekan oleh cengkeraman tangan Vian. Hidungku kembang kempis. Badanku mulai terasa lemas.

Melihat tenagaku melemas, ia melonggarkan cekikannya. Kedua kakiku tak dapat menahan beban tubuh, hingga aku menjatuhkan diri di lantai. Vian hanya menatap dan membiarkanku terduduk di lantai.

Kutekuk kedua lutut kemudian mendekapnya. Tak terasa, bulir bening itu akhirnya terjatuh dari kedua manikku. Tak dapat membendung isakan, aku hanya bisa membenamkan wajah di antara kedua lutut. Hening, yang terdengar hanya suara isakanku.

Entah apa yang kutangisi saat ini, apakah memiliki suami pemarah atau menyesali pilihan menerima tawaran Ibu di waktu dulu.

Bab terkait

  • Identity   Bab 4 Mencari Bahagia

    Aku mengusap lengan kananku. Masih terasa hangat meski teraliri air pancuran. Kuusap perlahan kulit yang berwarna kemerahan. Ahhh … Sepertinya benturan tadi membuat pembuluh darahku meradang dan aku kesulitan menggerakkan tanganku lebih jauh.Air pancuran mengguyur pucuk kepala dan membasahi seluruh tubuhku secara perlahan. Aku mengusap-usap wajahku yang tersiram air, menyamarkan tetesan air mata yang sejak tadi tak dapat aku bendung.Sakit masih terasa di lengan, tetapi rasanya tak menyamai rasa sakit di hati ini. Nyeri, serasa tertusuk sembilu. Ulu hati tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Aku mati rasa.Terasa sepasang tangan menyentuh pundakku. Awww … aku mengaduh. Deguban jantung terasa semakin cepat. Belum habis rasa terkejutku, kini Vian telah berada di belakangku lagi. Aku merasakan posis

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-23
  • Identity   Bab 5 Teman Baru

    Sudah berulang kali Tommy dan Raya menghubungiku, tapi aku menolak panggilan mereka. Vian memintaku untuk memblokir nomor mereka dan aku menuruti permintaannya sebagai bakti seorang istri. "Kalau kamu ketahuan berhubungan dengan teman-temanmu lagi, lihat sendiri nanti," ancamnya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Hobiku dulu tak pernah kusentuh lagi. Entah mengapa, rasanya aku tak punya minat apapun. Duniaku rasanya hanya seisi rumah ini dan Vian. Sesekali, aku menelepon Ibu sebagai pengusir rasa sepi. Meski tetap saja, itu bukan satu-satunya obat. Sebagai makhluk sosial, aku perlu berinteraksi dengan orang lain. Kehidupan berumah tangga yang monoton membuatku hampir tak waras. Selain melakukan tugas-tugas rumah, pekerjaanku hanya melamun saja. Pikiranku hanya diisi oleh Vian. Apalagi dengan sika

    Terakhir Diperbarui : 2021-06-23
  • Identity   Bab 6 Makan Malam

    Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa be

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-07
  • Identity   Bab 7 Janji temu

    Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-23
  • Identity   Bab 8 Merasa Bersalah

    Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-23
  • Identity   Bab 9 Aku Baik-baik Saja

    Vian duduk di belakang kemudi. Matanya terfokus ke jalanan yang ramai. Sesekali ia menoleh ke arahku, mungkin untuk memastikan jika aku baik-baik saja.Aku sedang tidak baik-baik saja dan gejolak di dalam perutku mulai terasa lagi. Ah tidak Tuhan … jangan di sini.Aku menutup mulut dengan tangan demi menahan rasa mual yang mulai menjalar ke arah kerongkongan. Humppp … aku menggembungkan pipi supaya mulut tak terbuka dan bersuara. Namun, rasa mual itu tak dapat aku tahan. Untuk mengalihkan perasaan tak nyaman, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi mobil agar perhatian teralihkan.“Kamu baik-baik saja, Anya?” Vian kembali menoleh ke arahku sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan.“Kenapa aku sebodoh itu, Vian? Bagaimana mun

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-26
  • Identity   Bab 10 Kunang-kunang

    Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat. Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan. Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind

    Terakhir Diperbarui : 2021-07-27
  • Identity   Bab 11 Siapa Dia

    Hari pertama di rumah, aku merasakan semangat baru. Semoga ini membantu hubunganku dengan Vian semakin baik. Melihat usahanya mendekatiku, rasanya tidak adil jika aku terus menutup hati.Kupalingkan bola mataku ke arah jam di dinding kamar. Waktu masih pukul tiga sore. Aku ingin menyenangkannya dengan menyiapkan makan malam romantis besok. Ya … meskipun aku yang berulang tahun, tidak ada salahnya jika aku yang membuat orang lain bahagia. Lagipula, siapa tahu Vian akan semakin bersikap baik kepadaku. Sebaiknya aku bergegas untuk berbelanja sebelum supermarket tutup.Mesin mobil mulai terdengar meraung-raung. Aku melajukan mobil sambil mataku sesekali melirik ke arah layar ponsel untuk melihat peta. Semoga tidak tersesat di jalan. Untung Vian berangkat dengan jemputan mobil kantor, jadi aku bisa leluasa untuk bepergian.

    Terakhir Diperbarui : 2021-08-04

Bab terbaru

  • Identity   Bab 40 Kebenaran Mulai Terkuak

    Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi

  • Identity   Bab 39 Wanita Tua

    “Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan

  • Identity   Bab 38 Jalanan Kota Tashkent

    “Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”

  • Identity   Bab 37 Malam Itu

    Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s

  • Identity   Bab 36 Rumah Tetangga

    “Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”

  • Identity   Bab 35 Perpustakaan

    “Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber

  • Identity   Bab 34 Sebuah Mimpi

    “Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah

  • Identity   Bab 33 Ivy

    Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.

  • Identity   Bab 32 Tetangga Baru

    Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi

DMCA.com Protection Status