Semburat senja mewarnai cakrawala, menghiasi hari dimana aku akan mengucap janji bersama Vian. Deburan ombak berkejaran menciptakan irama musik ritmis. Riuh suara para tamu terdengar samar seiring angin sepoi menyibakkan kain-kain putih. Deretan kursi dan meja memenuhi hampir seluruh area. Nuansa eksterior acara bernuansakan putih gading memenuhi segala penjuru tempat. Hiasan bunga lily dengan pot tinggi tertata rapi di sepanjang sudut.
Aku berdiri di penghujung venue wedding. Balutan gaun berwarna putih gading senada dengan dekorasi, terpasang di tubuhku yang tergolong tinggi dan langsing. Aku sengaja memilih gaun dengan model Sabrina agar bisa leluasa bergerak.
Raya menghampiri dan memelukku. Tangannya menepuk-nepuk pundak seraya tersenyum. “Semoga ia bisa menjadi imam yang baik ya, sesuai dengan harapan kamu,” ucapnya dengan tatapan yang terlihat tulus setelah kedua tangannya lepas dari dekapan.
“Terima kasih. Ya.” Aku menggenggam kedua tangannya.
Aku bersyukur memiliki sahabat, Raya. Perempuan berambut pendek teman sepermainanku sejak kecil. Ia tahu benar bagaimana jatuh bangunnya usahaku dalam melupakan almarhum Aldo. Oleh karena itu, sama seperti halnya Ibu, ia sangat mendukung ketika tahu aku akan menikah dengan Vian.
“Yuk!” ajaknya.
Aku menganggukkan kepala, menyambut tangan kanannya yang akan menemaniku dalam prosesi akad. Kami berjalan beriringan menuju meja akad nikah. Jantungku berdebar ketika melihat laki-laki berpakaian serba putih duduk membelakangi kami.
Sekilas, sosoknya mirip Aldo. Berperawakan tinggi kurus dan memiliki kumis dan jambang yang tipis, hanya matanya yang berbeda. Mata Aldo lebih sipit daripada mata Vian. Jelas mata Aldo lebih kecil karena ia memiliki garis keturunan cina. Mengingat tatapannya yang menenangkan, membuatku selalu merindukan Aldo.
Suara Raya, menyadarkan lamunanku. Ia menarik kursi di sebelah kiri Vian dan menyilakan aku untuk duduk. Kemudian, ia melangkah mundur dan berbalik arah, menuju deretan kursi keluarga di belakang kami. Ayah dan seorang penghulu telah duduk di hadapan kami.
Rentetan acara dimulai. Aku berusaha mengikutinya dengan khidmat, walaupun bayangan Aldo selalu menggangguku. Pria paruh baya yang menjadi pembawa acara, sesekali melihatku. Mungkin aneh baginya, melihat wanita dalam acara pernikahan dengan ekspresi yang datar.
“Bagaimana, saksi? Sah?” tanya penghulu.
“Sah!” tegas saksi.
“Alhamdulillah.” Terdengar suara riuh dari para tamu undangan yang mengucap syukur.Selesai acara akad nikah, salah satu fotografer memberi kode supaya kami berdiri. Ia meminta kami berpose sambil menunjukkan cincin. Aku dapat menangkap, wajah yang sama-sama datar ditampilkan Vian.
***
“Vian, ini tehnya.” Aku menyodorkan secangkir teh hangat ke arahnya.
Terima kasih,” ucapnya tanpa menoleh sedikitpun. Matanya terpusat pada siaran berita di televisi.
“Kalo gitu, aku tidur duluan ya. Makan malam ada di meja makan. Tadi aku pesan nasi goreng dari restoran terdekat,” seruku seraya berlalu menuju kamar, tanpa menunggu jawaban dari Vian.
Perasaan risih hadir karena ini kali pertama aku tidur selain di rumah Ayah dan Ibu. Baru saja kupegang gagang pintu, tiba-tiba sepasang tangan memegang pundak dan memaksa tubuhku untuk berbalik. Kedua manik Vian menatapku lekat seolah menelanjangi.
“Vi-Vian …,” ucapku lirih.
Vian membuka pintu lalu mengangkat tubuh dan mengantarkanku ke peraduan. Ia merebahkanku dengan perlahan dan mulai membelai wajahku yang sudah bersih dari polesan make up, sejak tadi sore. Jari jemarinya, memainkan anak rambut yang berada di area cuping telinga.
Plakkk!
“Vian! Apa-apaan ini!” Aku mendorong tubuh tinggi milik Vian. Telapak tangan kanannya masih terasa panas membekas di pipi kiriku.
Ia tak berkata apa-apa, hanya menatapku tajam. Pria beralis tebal itu kembali mendekati. Aku beringsut mundur, hingga mencapai ke sandaran ranjang. Senyumnya samar, tak dapat aku artikan.
Hati berdesir. Jantungku berdetak sangat cepat, keringat dingin keluar dari pelipis dan telapak tanganku. Ada apa dengan Vian? Mengapa sikapnya berubah seperti ini. Tatapan tajam Vian tak pernah kulihat sebelumnya.
Kedua tangan aku persiapkan, tinggal menunggu aba-aba otak jika sikap Vian membahayakan lagi seperti tadi. Kulihat tatapannya masih sama. Ia merangkak di atas ranjang, mendekatiku. Secepat kilat aku menghindarinya dan melompat dari atas ranjang.
Aku berlari menuju pintu keluar, tetapi ia sigap menarik belakang bajuku hingga aku tersentak. Susah payah kucoba menggapai pintu dan berpegangan pada sisi-sisinya. Akan tetapi tarikan tangan Vian begitu kuat, hingga ruas-ruas jariku memerah akibat tekanan di telapak tangan.
Vian memeluk erat dan menarikku dari belakang. Embusan napas kasarnya sangat terasa di belakang telinga. Ia menghentakkan badan hingga akhirnya peganganku terlepas. Ia kembali membawaku ke arah ranjang. Aku meronta-ronta dan mencoba melepaskan pelukannya. Semakin aku meronta, semakin kuat ia menahanku.
“Vi-Vian! Henti-hentikan! Aku tidak bisa bernapas!”
Ia berbisik di telingaku “Aku, lepaskan … tapi kamu jangan kabur,” ucapnya seraya mengecup belakang kepalaku.
Aku mengangguk perlahan, kemudian kurasakan pelukannya melonggar. Setelah dirasa cukup, aku berusaha untuk menghindar dan kabur lagi darinya. Kali ini ia berhasil menjambak rambut panjangku, hingga kulit kepala terasa terangkat. Sakit sekali.
Vian mencengkram pundak dan membantingku ke atas ranjang. Belum lagi aku berhasil bangkit, ia sudah menyerbu dan menamparku kembali dengan sangat keras. Mataku seketika berkunang-kunang. Terdengar samar bentakan Vian “Aku bilang jangan kabur!” kemudian semuanya terasa gelap.
***
Aku memicingkan mata akibat sinar matahari yang menerobos celah tirai kamar. Seketika rasa terkejut hadir setelah menatap jam weker di atas meja. Pukul 06.30 pagi dan aku belum salat Subuh. Bagaimana mungkin bisa terbangun jam segini dan melupakan kewajibanku sebagai seorang muslim.
Sejenak, berdiam diri dan menatap tubuhku yang hanya terbalut selimut. Rasa nyeri mulai terasa di area pangkal paha. Aku memeluk kedua lutut dan menatap dinding-dinding kamar yang berwarna krem. Setelah beberapa menit, kuseret tubuhku dari ranjang dan menuju kamar mandi. Air hangat dari pancuran, mengobati rasa nyeri di kepala akibat jambakan Vian. Aku terdiam sesaat, menikmati kesendirian dalam guyuran air hingga ketukan halus di pintu menghentikan kegiatan mandiku.
“Anya … Anya …,” panggil Vian. Suaranya berbeda dengan sikapnya semalam. Jantungku kembali berdebar-debar. Tak sadar, aku meremas pegangan besi yang ada di dalam kamar mandi.
“Aku sudah buatkan bubur untuk kamu. Ayo makan! Nanti keburu dingin,” ucapnya lagi.
“Se-sebentar,” jawabku dengan suara pelan.Ragu-ragu, aku mengambil handuk dan mengintip dari celah pintu. Ia tidak ada. Aku segera menuju lemari baju dengan isi yang masih belum tertata rapi, mengambil salah satu baju dan juga mukena yang sempat aku bawa minggu lalu.
Setelah melakukan ritual ibadah pagi, aku menuju arah dapur. Kulihat Vian tengah menuangkan bubur ke dalam mangkuk berwarna putih. Ia melempar senyuman ketika menyadari kehadiranku. Kemudian, ia menarik salah satu kursi makan seraya mengerlingkan mata, memberi kode kepadaku untuk duduk di sebelahnya
“Ini buburnya.” Ia menyodorkan semangkuk bubur. Ragu-ragu, kujulurkan tangan kanan dan meraihnya lalu mencoba memakan bubur perlahan. Aku tak berani menatapnya yang tengah duduk menghadapku.
Suaranya kembali terdengar “Aku sudah buatkan kamu teh dan susu hangat. Kamu suka minum apa?” tanyanya lembut.
Sikapnya kali ini membuatku bingung. Ada apa dengannya? Mengapa sikapnya begitu manis dan bertolak belakang dengan kejadian semalam.
Sudah hampir seminggu aku tinggal bersama Vian di rumah barunya yang masih dalam cicilan. Ia bekerja di sebuah pabrik otomotif sebagai manajer pemasaran selama empat tahun. Gajinya cukup untuk mencicil rumah dan membiayai hidup kami.Sejak kejadian malam pertama, dia tidak pernah menyentuhku lagi. Sikapnya masih sama, baik, perhatian serta lembut. Setiap pulang dari kantor, ia selalu membawakan aku buah tangan. Entah buah-buahan ataupun kue. Ia cepat sekali memahami sifatku, meski kami baru tinggal serumah.Ia tak pernah mengungkit kejadian malam itu dan tak pernah meminta maaf. Aku menganggapnya, itu sebagai bentuk rasa gugup Vian dalam melewati malam pertama. Meskipun, hati kecil mengatakan tidak mungkin. Pagi ini Vian sibuk membersihkan motor R
Aku mengusap lengan kananku. Masih terasa hangat meski teraliri air pancuran. Kuusap perlahan kulit yang berwarna kemerahan. Ahhh … Sepertinya benturan tadi membuat pembuluh darahku meradang dan aku kesulitan menggerakkan tanganku lebih jauh.Air pancuran mengguyur pucuk kepala dan membasahi seluruh tubuhku secara perlahan. Aku mengusap-usap wajahku yang tersiram air, menyamarkan tetesan air mata yang sejak tadi tak dapat aku bendung.Sakit masih terasa di lengan, tetapi rasanya tak menyamai rasa sakit di hati ini. Nyeri, serasa tertusuk sembilu. Ulu hati tercabik-cabik hingga tak berbentuk. Aku mati rasa.Terasa sepasang tangan menyentuh pundakku. Awww … aku mengaduh. Deguban jantung terasa semakin cepat. Belum habis rasa terkejutku, kini Vian telah berada di belakangku lagi. Aku merasakan posis
Sudah berulang kali Tommy dan Raya menghubungiku, tapi aku menolak panggilan mereka. Vian memintaku untuk memblokir nomor mereka dan aku menuruti permintaannya sebagai bakti seorang istri. "Kalau kamu ketahuan berhubungan dengan teman-temanmu lagi, lihat sendiri nanti," ancamnya. Aku menyibukkan diri dengan pekerjaan rumah. Hobiku dulu tak pernah kusentuh lagi. Entah mengapa, rasanya aku tak punya minat apapun. Duniaku rasanya hanya seisi rumah ini dan Vian. Sesekali, aku menelepon Ibu sebagai pengusir rasa sepi. Meski tetap saja, itu bukan satu-satunya obat. Sebagai makhluk sosial, aku perlu berinteraksi dengan orang lain. Kehidupan berumah tangga yang monoton membuatku hampir tak waras. Selain melakukan tugas-tugas rumah, pekerjaanku hanya melamun saja. Pikiranku hanya diisi oleh Vian. Apalagi dengan sika
Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa be
Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam
Vian duduk di belakang kemudi. Matanya terfokus ke jalanan yang ramai. Sesekali ia menoleh ke arahku, mungkin untuk memastikan jika aku baik-baik saja.Aku sedang tidak baik-baik saja dan gejolak di dalam perutku mulai terasa lagi. Ah tidak Tuhan … jangan di sini.Aku menutup mulut dengan tangan demi menahan rasa mual yang mulai menjalar ke arah kerongkongan. Humppp … aku menggembungkan pipi supaya mulut tak terbuka dan bersuara. Namun, rasa mual itu tak dapat aku tahan. Untuk mengalihkan perasaan tak nyaman, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi mobil agar perhatian teralihkan.“Kamu baik-baik saja, Anya?” Vian kembali menoleh ke arahku sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan.“Kenapa aku sebodoh itu, Vian? Bagaimana mun
Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat. Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan. Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi