Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.
Benarkah ia masih sendiri?
Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.
Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.
Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”
Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Selamat membaca ^-^
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Lepaskan aku, Vian! Aku gak mau! Lepas!” Sekuat tenaga aku mencoba melepaskan cekalan tangan kanan Vian yang telah membuatku meringis. Cekalan tangannya meninggalkan bekas merah di lengan kiriku.“Aku hanya meminta kamu melepaskan baju itu dan menari! Aku tidak suka melihat kamu mengenakan sweater bututmu itu. Cepat lepaskan!” Ia membelalakkan matanya, menatapku sinis.“Aku gak mau, Vian! Lepaskan!” Aku berteriak pada pria yang menikahiku beberapa waktu yang lalu. Bukan tanpa alasan aku menolak Vian. Imajinasinya akan percintaan, kerap kali membuat badanku remuk redam.Melihat perlawanku, Vian akhirnya melepaskan cekalan. Ia mundur dua langkah dan menjaga jarak dariku. Sorot matanya tajam
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi