Aku hanya mendengar suara isakan dari diri sendiri. Entah kemana Vian. Aku tak peduli, Cukup lama aku menangis sendiri di dapur, hingga pada akhirnya aku memutuskan untuk merapikan diri dan menuju toilet.
Kumulai melepaskan dekapan di lutut dan memindai sekeliling dapur. Vian tidak ada di sini. Lantas segera kurapikan kembali serpihan mangkok dengan cepat sambil membungkuk. Aku tak ingin Vian datang dalam keadaan dapur masih berantakan. Aku mengemas pecahan ke dalam kantong plastik, kemudian beranjak menuju tempat sampah yang berada di pojok meja dan menekan pijakan tempat sampah dengan kaki, lalu membuangnya.
Dengan tertatih aku berjalan menuju toilet kamar. Namun, langkahku terhenti seketika melihat Vian tengah terduduk di pinggiran ranjang dan menatap ke arahku. Aku tertegun, melanjutkan langkah menuju toilet atau berbalik arah. Aku hanya bisa berdiri mematung.
Tanpa aku sangka, Vian menghambur ke arahku dan langsung menjatuhkan diri tepat di hadapan, Ia memegang kedua lututku lalu memohon “Anya, tolong maafkan aku. Aku tidak bermaksud kasar!” Vian terisak-isak.
Aku terkejut melihat sikapnya yang berubah drastis. Ia menangis layaknya seorang anak kecil yang merasa bersalah dan takut untuk dihukum.
Ini gila. Bagaimana bisa ia berubah begitu cepat! Tanpa terlihat merasa bersalah, ia memukuliku kemudian sekarang ia meminta maaf.
“Ssshuhh ….” Aku memegang kepala Vian dan mengusap-usapnya. “Its oke, Vian. Aku tahu kamu tidak bermaksud begitu. Benar kan?” Aku mengangkat dagunya. Ia menatapku dengan tatapan memelas.
Ia berusaha bangkit dan memelukku. “Maafkan aku yaa.” Selama beberapa detik, kami saling berpelukan.
Kemudian ia mengurai pelukannya. “Bagaimana kalau kita makan malam romantis di luar? Sudah lama aku tidak mengajakmu jalan-jalan,” ajaknya.
Aku menganggukan kepala. “Kalau begitu, aku siap-siap berganti pakaian terlebih dahulu.” Aku menatapnya meminta persetujuan untuk menjauh dari tempatku berdiri.
Vian tampaknya mengerti. Ia memberi jalan dan membiarkanku melewatinya. Sementara itu, aku menjauh darinya dan menuju wastafel. Kemudian mengambil sabun pencuci wajah yang tersimpan rapi di sudut wastafel drop-in dan mulai mencuci wajahku. Guratan mata sembab masih terlihat di kelopak mata. Aku membasuhnya lagi dengan air dingin dari kran. Terasa sejuk.
Sementara itu, dari kaca wastafel aku bisa melihat Vian sibuk berganti pakaian. Ia mengganti bajunya dengan kemeja berwarna putih, celana denim dan sepatu kets.
“Anya.” Ia memanggilku. “Aku tunggu di ruang tamu ya,” ujarnya seraya menyambar sebuah jas berwarna cokelat dari lemari pakaian.
“Oke,” jawabku tanpa menoleh, hanya melihat dari kaca wastafel.
Aku berjalan menuju lemari baju dan membuka pintunya. Memilih satu persatu pakaian yang tergantung di dalamnya. Tanganku berhenti pada baju model off shoulder dan celana hitam panjang.
“Anya!” Terdengar suara Vian memanggil dari arah ruang tamu.
“Oke … oke. Sebentar lagi!” seruku dari dalam kamar tidur.
Aku bergegas mengambil setelan dan memakainya. Baju model pundak terbuka dan celana hitam dipadu padan dengan sabuk berwarna hitam bergaris putih. Tak lupa, aku memasukan ponsel dan dompet ke dalam clunch berwarna senada.
Sepatu high heels yang kukenakan membuatku tak bisa berjalan lebih cepat, hingga terdengar suara klakson yang dibunyikan oleh Vian.
Oke … Oke. sabarlah sedikit Tuan Vian Aaric.
Aku akhirnya sampai di teras rumah. Terlihat Vian berdiri di samping mobil Chevrollet kami. Ia membukakan pintu untukku. Jika melihatnya seperti itu, aku hampir melupakan sikap kasarnya tadi.
Setelah yakin semua pintu telah terkunci, aku menaiki mobil dan Vian menutup pintunya. Kemudian, ia berputar menuju kursi kemudi dan membawa kami menuju ke arah pusat kota Bukhara.
Mobil membelah jalanan yang sepi dan mulai dihujani rintik kecil. Kota Bukhara adalah kota kecil di Uzbekistan yang tidak terlalu padat penduduk. Untuk menuju restoran kami melewati deretan gang-gang kecil bak labirin dan tembok-tembok tua berwarna cokelat.
Tak memakan waktu lama, akhirnya kami sampai di restoran Chasmai-Mirob. Dua orang pelayan membukakan pintu mobil kami dan salah seorang di antaranya memarkirkan mobil Vian di tempat parkir valet.
Vian menggandeng tangan kiriku dan mengajak menuju meja di rooftop. Katanya suasana di atas lebih cantik dan romantis. Aku hanya mengikutinya tanpa banyak kata dan apa yang dikatakan Vian benar. Aku dibuat takjub karenanya.
Seorang pelayan mengarahkan kami untuk duduk di sebuah meja bulat lengkap dengan sebuah lilin. Langit dengan taburan bintang menjadi atap kami. Pemandangan dan kerlip lampu malam di kota Bukhara langsung terpampang di depan mata kami. Menara Kalyan Minaret berdiri angkuh tepat di seberang restoran. Indah sekali.
Pelayan itu menyodorkan dua buah menu. “Silakan mau pesan apa Tuan dan Nyonya?” tanyanya tak lupa menyunggingkan senyuman.
Vian terlihat membuka-buka buku menu kemudian ia berhenti di halaman tertentu.“Ah … Saya mau pesan Shaslik dan wine,” ucap Vian seraya menutup buku menu. “Kamu mau pesan apa, Anya?”
“Aku pesan fettuccini carbonara saja dan teh hijau,” pintaku pada pelayan tanpa membuka-buka buku menu. Fettuccini adalah makanan yang selalu ada di setiap restoran karenanya aku tak perlu sibuk membuka buku menu. Aku sedang tidak terlalu lapar.
“Oke.” Vian menyodorkan kembali kedua buku menu kepada pelayan.
“Baik. Silakan ditunggu.” Ia menanggukkan kepala dan berlalu pergi.
Mataku memindai kembali sekeliling. Tempat yang romantis dengan malam yang terang. Aku bisa melihat bintang-bintang dengan sangat jelas mungkin karena kandungan gas di kota kecil ini tidak terlalu banyak.
Tatapanku terhenti pada sebuah panggung kecil di tengah-tengah restoran. Seorang wanita muda berumur dua puluh limaan tengah berdiri di sana. Tak berapa lama, terdengar suara musik menghentak, wanita itupun mulai menggerakkan tangan dan pinggulnya. Lincah sekali.
“Aku mengajakmu ke sini karena acara ini,” ujar Vian tanpa ditanya.
“Ah … ya.” Aku hanya menjawab pelan. Tentu saja ia suka melihat tarian seperti ini. Bukankah dulu ia juga pernah memintaku menari sebelum mengajakku bercinta. Pada akhirnya ia marah ketika mengetahui aku tidak bisa menari macam ular seperti itu. Huffff.
Kami menunggu makanan datang hampir setengah waktu tarian. Ternyata itu kekurangan tempat ini. Makanan datang cukup lama sekali, hingga rasa lapar itu kini benar-benar singgah di perutku.
Pelayan perempuan itu segera menghidangkan pesanan kami. Spageti itu kini terhidang di depanku. Tanpa melihat Vian, aku segera menyantap makanan. Setelah satu suap, aku menghentikan makan. “Aku duluan makan ya,” ucapku malu-malu.
“Ah ya, tak apa,” jawabnya. “Owh iya … minuman anggurku mana?” Terdengar suara vian bertanya pada pelayan.
“Ini, Tuan,” jawab pelayan itu.
“Tidak … tidak. Aku tidak memesan anggur putih, aku memesan anggur merah. Red wine!” bentaknya tiba-tiba.
Aku menghentikan kembali makanku dan menatap Vian. Keningnya mengkerut. Kedua tangan saling berpautan, tangan kirinya memain-mainkan cincin di jari kanannya. Raut wajahnya terlihat sangat kesal sekali.
“B-baiklah, Tuan. Tunggu sebentar.”
Tak berapa lama, pelayan itu kembali datang dengan sebotol anggur merah. Ia menyisihkan gelas yang tadi telah terisi anggur putih dan menggantinya dengan gelas baru. Sementara itu, Vian bersandar pada kursi. Tangan kanannya ia mainkan dengan mengetuk-ngetukkan jarinya ke meja, hingga terdengar suara gemeretak. Pelayan itu berhasil dibuat gugup oleh Vian. Entah bagaimana, tiba-tiba pelayan itu memercikkan minumannya ke kemeja Vian hingga suara lantang itu jelas terdengar.
“Sialan! Apa kamu tidak bisa bekerja dengan baik, hah!” Vian memukul meja dengan tangan kanannya. Giginya terlihat gemeretak.
“Ma-maaf, Tuan.” Perempuan itu mengambil sebuah lap yang tersampir di pinggangnya dan mencoba membersihkan noda pada baju Vian. Namun, Vian mengibaskan tangannya dengan kuat hingga perempuan itu terjengkang, hampir terjatuh.
“Vian, tenang.” Kali ini aku mencoba menenangkannya karena sudah menyangkut orang lain. Vian terdiam.
“Tenanglah, itu kan hanya sebuah kemeja. Nanti aku cuci.” Mendengar kalimat keduaku, bukan bertambah tenang, tapi ia malah menggebrak meja.
“Aku tidak suka bajuku kotor!” teriaknya lantang.
Ya Tuhan … suara menggelegar di tengah-tengah suasana restoran. Hampir semua pasang mata kini beralih ke meja kami. Aku hanya menunduk. Ingin rasanya menyembunyikan wajahku dari tatapan mereka. Vian benar-benar merusak selera makan malamku.
Seorang berpakaian rapi yang aku taksir manajer restoran datang menghampiri kami. “Ada apa, Tuan?” tanyanya.
Vian hanya terdiam di kursinya. Wajahnya masih terlihat kesal.
Detik kemudian, terdengar bisikan dari salah seorang pengunjung wanita di sebelah kami. “Gak seharusnya dia bersikap begitu pada wanita,” ujarnya pada salah seorang temannya.
Vian tiba-tiba bangkit dari kursinya dan menghampiri meja si pembisik. “Apa maksud kamu? Tidak ada urusan! Jangan ikut campur!”
Wanita itu tampak terkejut dan terlihat berusaha mengendalikan diri “Tapi bukankah memang tidak seharusnya kamu bersikap seperti itu pada perempuan!” ucapan wanita itu semakin memancing kekesalan Vian.
Vian tampak mengangkat tangan kanannya dan mencoba menampar si wanita tadi. Namun, tangannya dicekal, dihalangi oleh seorang pria teman si wanita.
Melihat tangannya dihentikan orang asing, Vian tampak semakin kesal. Ia mengibaskan tangan kanannya, secepat kilat memukul dagu sebelah kiri si pria hingga ia mundur sebanyak beberapa langkah.
Aku segera bangkit, mendekati Vian dan menariknya mundur. Manajer restoran itu mencoba melerai pertikaian di antara mereka. “Tolong hentikan, Tuan-tuan. Nanti saya panggil polisi jika tidak berhenti juga!” tegasnya.
Vian berbalik arah dan menuju tangga. Aku mengekorinya yang menuju pintu keluar.
“Ambilkan mobilku!’ serunya pada pegawai parkir valet seraya menyodorkan sebuah tiket yang diambilnya dari dompet.
Aku hanya terdiam menatapnya. Ia terkadang berubah menjadi seseorang yang manis, tapi kadang juga berubah menjadi seseorang yang temperamen. Sungguh, aku tak mengerti.
Sebuah notifikasi pesan masuk dari aplikasi berwarna biru. Terlihat nama Leo sebagai pengirim pesan. Aku mulai tertarik kepadanya. Ia terlihat begitu jujur. Sikap yang tampak terbuka dan apa adanya membuatku tertarik untuk lebih dekat dengannya.Sedikit demi sedikit, aku pun mulai berani terbuka dan menceritakan tentang Vian padahal aku baru mengenalnya tiga minggu yang lalu. Ia selalu siap mendengarkan ketika aku berkeluh kesah tentang perlakuan Vian yang terkadang aneh. Setiap kali aku memanggilnya, ia langsung terlihat online.[Kamu dipukul lagi?] tanyanya.[Iya]Kali ini ceritaku tanpa tangis. Aku sudah lupa jika aku masih memiliki airmata.
Bab 8“Owh … hai. Leo ya.” Aku menangkupkan kedua tangan di dada sebagai salam.Kulitnya begitu putih dan halus untuk seukuran pria Uzbekistan. Hidung mancung dengan mata sipit menawan. Meski rambutnya tak biasa dengan model belah dua, tetapi tidak mengurangi ketampanannya. Aku terkesima.“Wow … aku tak menyangka kamu secantik ini.” Ia membuka percakapan. Meskipun terdengar basa-basi, tapi aku cukup senang mendengarnya.“Ah ya … sebaiknya kita mengobrol di atas saja. Di sini penuh.” Leo menggerakkan kepala memberi tanda untuk mengikutinya.Aku kembali memindai ruangan, meski ada beberapa sofa yang kosong tapi tempat ini tampak penuh. Mungkin karena jam
Vian duduk di belakang kemudi. Matanya terfokus ke jalanan yang ramai. Sesekali ia menoleh ke arahku, mungkin untuk memastikan jika aku baik-baik saja.Aku sedang tidak baik-baik saja dan gejolak di dalam perutku mulai terasa lagi. Ah tidak Tuhan … jangan di sini.Aku menutup mulut dengan tangan demi menahan rasa mual yang mulai menjalar ke arah kerongkongan. Humppp … aku menggembungkan pipi supaya mulut tak terbuka dan bersuara. Namun, rasa mual itu tak dapat aku tahan. Untuk mengalihkan perasaan tak nyaman, aku menghempaskan punggung ke sandaran kursi mobil agar perhatian teralihkan.“Kamu baik-baik saja, Anya?” Vian kembali menoleh ke arahku sepersekian detik sebelum kembali fokus ke jalanan.“Kenapa aku sebodoh itu, Vian? Bagaimana mun
Aku merapikan setelanku. Klasik, blus terusan pompa berwarna salem dengan bolero. Tak lupa sepatu dengan warna senada dan tas tangan. Jangan sampai penampilanku kacau ketika bertemu ibu mertua. Tata rambut sengaja kugerai untuk menutupi bekas tamparan Vian. Meskipun tidak terlalu terlihat, tetapi jika diperhatikan lebih detil, bekas tamparan itu masih bisa terlihat. Tak memakan waktu lama, aku sudah berada di rumah Mama. Rumah model tropikal yang berada di penghujung jalan dengan beberapa pohon palm di sekitar rumah. Jendela dan pintu yang dipilih relatif besar. Mungkin bertujuan agar rumah itu memiliki sirkulasi udara yang sehat. Mama memang selalu mengedepankan kesehatan. Mama menyongsong kedatanganku. Setelah berpelukan, Mama mengajakku masuk menuju ruang belakang. Sebuah teras yang diperuntukkan untuk tempat makan. Berbagai makanan khas Uzbekistan dan Ind
Hari pertama di rumah, aku merasakan semangat baru. Semoga ini membantu hubunganku dengan Vian semakin baik. Melihat usahanya mendekatiku, rasanya tidak adil jika aku terus menutup hati.Kupalingkan bola mataku ke arah jam di dinding kamar. Waktu masih pukul tiga sore. Aku ingin menyenangkannya dengan menyiapkan makan malam romantis besok. Ya … meskipun aku yang berulang tahun, tidak ada salahnya jika aku yang membuat orang lain bahagia. Lagipula, siapa tahu Vian akan semakin bersikap baik kepadaku. Sebaiknya aku bergegas untuk berbelanja sebelum supermarket tutup.Mesin mobil mulai terdengar meraung-raung. Aku melajukan mobil sambil mataku sesekali melirik ke arah layar ponsel untuk melihat peta. Semoga tidak tersesat di jalan. Untung Vian berangkat dengan jemputan mobil kantor, jadi aku bisa leluasa untuk bepergian.
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar.Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar.Tak … Tak … Tak.Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung.Klik.Lampu di seluruh rumah tiba-tiba
Aku mendengus kesal mengingat kejadian tadi. Pasangan menyebalkan di supermarket benar-benar mempermalukan aku. Ingin rasanya aku membalas wanita itu, tapi untuk apa jika hanya menjadi bahan tontonan orang-orang di sekitar. Wortel yang tidak terlalu keras itu, kupotong-potong dengan kasar. Tak … Tak … Tak. Suaranya terdengar jelas di sekeliling dapur. Tentu saja terdengar jelas. Rumah ini terlalu besar dan kosong untuk ditinggali berdua. Kadang terlintas keinginan hadirnya seorang anak kecil di rumah ini, tapi cepat-cepat kutepis pikiran itu. Rasanya aku perlu melihat perkembangan sikap Vian terlebih dahulu. Perubahan sikapnya yang drastis terkadang membuatku bingung. Klik. Lampu di seluruh rumah tiba-tiba mati. Ak
Sedikit lega saat mengetahui semua pintu dan jendela sudah terkunci. Semoga ini hanya permainan untuk malam ini saja. Tidak ada permainan-permainan lainnya pada esok hari.Aku menghempaskan badan ke ranjang. Rasa letih mulai mendera seluruh tubuh. Kejadian barusan membuatku otakku lelah, hingga aku enggan untuk sekadar berganti pakaian apalagi membilas badanku.Besok aku akan pergi lagi ke kantor agen Boscha dan membatalkan undangan petualangan.Aku merogoh ponsel dari dalam tas. Kutekan beberapa angka agar tersambung pada Vian. Namun, nada dering itu tidak pernah terdengar, yang ada hanyalah suara pemberitahuan jika telepon tengah dialihkan.Kemana dia? Di saat genting seperti ini, Vian tidak bisa aku hubungi.Ak
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi