Aku melihat sekilas wajah tampannya dengan bulu mata yang panjang. Aku menerka-nerka atas apa yang terjadi hari ini. Mengapa aku harus menemuinya. Sementara itu, ia tidak mau menerima kunci yang diberikan. Hingga akhirnya, aku harus terjebak di sini bersamanya.
Sesekali aku melirik ke arah arloji. Sudah hampir dua jam kami menunggu di sini. Dua polisi yang membawa anak itu tak juga kunjung datang.
“Sampai kapan kita di sini? Sebaiknya aku pergi saja.”
Laki-laki itu beranjak berdiri dan mengebut-ngebutkan jaketnya yang sedari tadi dijadikan alas untuk duduk di pinggiran parkiran.
Aku menoleh ke arah polisi dan anak itu memasuki gedung. “Bagaimana jika kita menyusul mereka?”
“Kau saja.
Terdengar suara langkah kaki bergerak cepat mengejar kami. Namun kali ini, suara gonggongan anjing menyertai derap langkahnya. Laki-laki itu menjauh dariku, sedangkan aku … tak ada pilihan lain selain ikut berlari. Suara gonggongan anjing semakin keras dan mendekat. Aku semakin mempercepat langkah kakiku. Laki-laki itu berhenti di sebelah kayu-kayu usang. “Ayo, Sini! Naik!” Aku menyambut tangannya yang membantuku naik ke atas. Ia mendorong pahaku. Semoga saja dia tidak berpikiran cabul karena berada tepat di bawahku. Sementara itu, tangan kanannya kujadikan pijakan untuk kaki. Setelah berhasil memanjat deretan kayu s
“Nyonya Anya!” panggilnya. “Ah … i-iya. Kenapa? Kau bisa memanggilku Anya saja.” “Owh … baiklah.,” jawabnya. “Kau punya handuk?” “Ada di dalam.” Aku merasa gugup setelah tertangkap mata menatapnya tanpa jeda. “Aku tak akan lama.” “Tak masalah,” jawabku seraya mengusap layar ponsel dan menekan nomor Vian. Aku harus memberitahunya jika ada seseorang di rumah. Jangan sampai ia tahu dari orang lain. Ini akan membuat suasana menjadi buruk. Lama kutunggu nada panggilan berbunyi, tapi suara Vian tak juga terdengar di seberang sana. Apa ia sudah tertidur padahal malam belum terlalu larut.
Jam di dinding lobi hotel menunjukkan pukul 11.05. Itu berarti sekarang di Jakarta pukul 13.05. Raya, sahabatku mungkin tengah makan siang bersama keluarganya.Ah … Raya. Aku rindu. Sudah lama tidak bertemu dengan sahabat kecilku.Mengingat Raya, semakin membuatku merasa bosan sendirian. Rasa kesepian kadang menyelimuti, tapi setidaknya hari ini Ayah datang. Itu sedikit mengobati rasa kesepianku.Di mana Ayah? Aku sudah bosan setengah mati menunggu di sini.Aku beranjak dari kursi menuju meja resepsionis.“Selamat siang, Apakah tamu atas nama Patrisia Eidween menginap di sini?”Wanita muda berparas cantik dengan balutan seragam karyawan itu menghentikan kegiatan
Aku menggunting perekat yang membungkus kotak. Kubuka perlahan dan melihat isinya. Benda ini berupa gagang seperti huruf S. Aku mengangkatnya perlahan. Keningku mengkerut. Sebuah gagang pemutar kaca jendela mobil telah dikirimkan untukku.Untuk apa ini?Aku tak tahu siapa pengirimnya dan untuk apa. Namun, firasatku menyatakan benda ini harus aku bawa, kemudian gagang itu aku masukan ke tas di bagian dalam. Sebuah foto teraba oleh kulit tanganku. Aku mengambil salah satunya.Foto itu membuatku bergidik. Bagaimana seseorang bisa mengambil foto di rumahku tanpa diketahui. Nampaknya, saat ini aku mulai tidak aman berada di rumah sendiri. Aku kembali mengamati foto itu, kemudian teringat akan Alee.Ah iya … Alee. Semua kejadian ini bermula setelah pertemuanku den
Rasa penasaran menggelitik di pikiran. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran air pada wastafel. Jantungku melonjak kaget, ketika kuputar kran, rupanya air itu tidak mengalir sama sekali, seperti rumah yang telah lama tidak berpenghuni.Ketika perasaan bingung melanda logika, Alee keluar dengan celana jeans dan jaket merah.“Mau minum?” Ia menenteng dua buah minuman kaleng.“Foto siapa ini?” Aku menantang Alee dengan pertanyaan.“Itu keluargaku di desa,” jawabnya tanpa beban.“Kalau begitu, tolong tunjukkan padaku. Bukalah foto ini!”Aku menyodorkan bingkai foto pada Alee.
Aku menoleh ke belakang. Rupanya van itu masih membuntuti kami.Alee mengarahkan mobil ke jalan utama yang menurun. Badanku terhentak ketika Alee memaksa mobil melaju di atas 100 meter/jam dan ban membentur pengaduh jalan.Di jalanan utama mulai terlihat beberapa mobil berlalu lalang. Namun, tak membuat Alee memperlambat kecepatan mobilnya. Ia terus memacu mobil semakin memasuki jalanan yang ramai.Benar saja. Mobil van itu mulai memperlambat kecepatannya dan semakin tertinggal jauh. Mereka tidak lagi mengejar kami.“Alee, mereka berhenti mengejar kita.” Aku menepuk pundaknya dengan girang. “Kamu berhasil!”Alee hanya menampakkan wajahnya yang semringah tanpa jawaban. Ia terus memegang kemudi dan
Keringat dingin lagi-lagi membasahi telapak tangan. Kali ini jantungku benar-benar akan melompat keluar. Kini, mobil berjalan lurus mengarah ke persimpangan. Sayangnya, aku tak bisa mengendalikannya. Tak kurang dari lima menit, aku yakin mobil ini akan melanggar sisi-sisi jalan dan tercebur ke dalam kanal. Cepat-cepat aku memasang sabuk pengaman di pinggang. Aku sempat menoleh kepada sopir yang berada di belakang mobil. Ia tampak berdiri di kejauhan dan hanya menatap ke arah mobil. Jantungku bertalu semakin kuat. Tubuh tersentak keras kala mobil menabrak sisi-sisi kanal dengan tinggi tak lebih dari sebetis. Bruuggg! Aku melihat langit dalam beberapa detik dari kaca depan mobil sebelum akhirnya menerjang
Laki-laki itu sempat limbung tetapi kemudian ia bisa mengendalikan tubuhnya. Tangan kirinya tengah menggenggam sebotol minuman yang kutaksir sebagai minuman beralkohol. Ia kemudian mencengkam kedua pundak dan mendorongku. Aku membuka mulut lebar dan melengking berteriak histeris. Tanganku berusaha mendorong wajahnya yang berjenggot dengan kekuatan yang tersisa. Posisi yang lemah membuat ia leluasa menindih tubuhku yang kelelahan karena melewati hari yang panjang. Kedua tangannya mengunci kedua tanganku, sementara tubuhnya menduduki perutku. Tekanannya membuat punggungku terasa sakit. Aku berusaha melawan sebisa mungkin dan terus meronta. Tangnaku berhasil lepas dari cekalannya. Segera kujampak rambutnya yang tertutup kupluk. Tak banyak yang bisa kuperbuat, karena cengekraman tanganku terlep
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi