Rasa penasaran menggelitik di pikiran. Aku segera bergegas ke kamar mandi dan menyalakan kran air pada wastafel. Jantungku melonjak kaget, ketika kuputar kran, rupanya air itu tidak mengalir sama sekali, seperti rumah yang telah lama tidak berpenghuni.
Ketika perasaan bingung melanda logika, Alee keluar dengan celana jeans dan jaket merah.
“Mau minum?” Ia menenteng dua buah minuman kaleng.
“Foto siapa ini?” Aku menantang Alee dengan pertanyaan.
“Itu keluargaku di desa,” jawabnya tanpa beban.
“Kalau begitu, tolong tunjukkan padaku. Bukalah foto ini!”
Aku menyodorkan bingkai foto pada Alee.
Aku menoleh ke belakang. Rupanya van itu masih membuntuti kami.Alee mengarahkan mobil ke jalan utama yang menurun. Badanku terhentak ketika Alee memaksa mobil melaju di atas 100 meter/jam dan ban membentur pengaduh jalan.Di jalanan utama mulai terlihat beberapa mobil berlalu lalang. Namun, tak membuat Alee memperlambat kecepatan mobilnya. Ia terus memacu mobil semakin memasuki jalanan yang ramai.Benar saja. Mobil van itu mulai memperlambat kecepatannya dan semakin tertinggal jauh. Mereka tidak lagi mengejar kami.“Alee, mereka berhenti mengejar kita.” Aku menepuk pundaknya dengan girang. “Kamu berhasil!”Alee hanya menampakkan wajahnya yang semringah tanpa jawaban. Ia terus memegang kemudi dan
Keringat dingin lagi-lagi membasahi telapak tangan. Kali ini jantungku benar-benar akan melompat keluar. Kini, mobil berjalan lurus mengarah ke persimpangan. Sayangnya, aku tak bisa mengendalikannya. Tak kurang dari lima menit, aku yakin mobil ini akan melanggar sisi-sisi jalan dan tercebur ke dalam kanal. Cepat-cepat aku memasang sabuk pengaman di pinggang. Aku sempat menoleh kepada sopir yang berada di belakang mobil. Ia tampak berdiri di kejauhan dan hanya menatap ke arah mobil. Jantungku bertalu semakin kuat. Tubuh tersentak keras kala mobil menabrak sisi-sisi kanal dengan tinggi tak lebih dari sebetis. Bruuggg! Aku melihat langit dalam beberapa detik dari kaca depan mobil sebelum akhirnya menerjang
Laki-laki itu sempat limbung tetapi kemudian ia bisa mengendalikan tubuhnya. Tangan kirinya tengah menggenggam sebotol minuman yang kutaksir sebagai minuman beralkohol. Ia kemudian mencengkam kedua pundak dan mendorongku. Aku membuka mulut lebar dan melengking berteriak histeris. Tanganku berusaha mendorong wajahnya yang berjenggot dengan kekuatan yang tersisa. Posisi yang lemah membuat ia leluasa menindih tubuhku yang kelelahan karena melewati hari yang panjang. Kedua tangannya mengunci kedua tanganku, sementara tubuhnya menduduki perutku. Tekanannya membuat punggungku terasa sakit. Aku berusaha melawan sebisa mungkin dan terus meronta. Tangnaku berhasil lepas dari cekalannya. Segera kujampak rambutnya yang tertutup kupluk. Tak banyak yang bisa kuperbuat, karena cengekraman tanganku terlep
“Lantai ini kosong sejak setahun yang lalu. Belum ada pihak yang mau menyewa tempat ini selagi pengembang belum memperbaiki saluran air AC dan kamar mandi yang bocor.”“Tidak mungkin!” Aku mengusap rambut dengan frustasi.Pertanyaan berkelebatan di pikiran. Bagaimana bisa kantor kosong dalam waktu dua hari.“Nyonya, sesuai dengan laporan, kantor ini telah lama kosong. Apakah kami perlu mengantar Nyonya untuk pergi ke dokter?”Owh tidak … tidak. Aku sedang tidak bermimpi. Aku yakin kemarin lusa berada di sini.“Tidak, terima kasih. Mungkin aku perlu istirahat,” ucapku dengan kepala berdenyut.“Kalau begitu, sa
Aku berjalan lebih dulu, diikuti olehnya. Mataku berlarian ke segala penjuru, mencari kesempatan untuk kabur. Penglihatanku menangkap peluang saat melihat vas bunga. Cekatan, aku mengambil vas, berbalik lalu melemparkan ke arahnya. Spontan, ia menghindar, lalu aku menghujaninya kembali dengan hiasan keramik yang lain.Kemudian, aku segera berlari keluar, berhenti di depan pintu lalu mengambil lampu model topi bergagang. Aku mengayunkan lampu sekeras mungkin ke arahnya dan mengenai perut Matt.Matt mundur satu langkah lalu merunduk. Tangannya memegang perut dengan ekspresi wajah meringis.Tanpa ampun, tanganku sigap mengambil hiasan guci paduan keramik dan besi yang berada di lorong kamar. Aku menghantamnya dengan keras ke arah tengkuk hingga Matt terjatuh. Pistolnya terlepas dari genggaman dan terpental tak ja
Aku bangkit dari duduk dan berjalan menuju ke atas. Tanganku berpegangan pada railing tangga dan menyusurinya perlahan, bersamaan dengan langkah kaki yang konstan. Lalu, tanganku menggenggam handle pintu dan memutarnya. Perlahan, aku mendorong pintu hingga seisi ruang kamar terlihat jelas oleh netraku.Namun, yang menjadi sumber kecemasanku di bawah tadi telah raib. Tak ada bekas tubuh siapapun di kamar. Jejak perkelahian antara Matt denganku kemarin nyaris tak berbekas.Mataku menyisir semua benda-benda di dalam kamar. Semuanya tersusun rapi dan berada di tempatnya dengan baik.Tanganku menggapai vas bunga yang tertata di meja. Utuh
Aku mengangkat kepala, terkesiap. Seketika darahku memanas melihat sosok perempuan yang sama tengah membawakan sebuah iklan. Suara, rupa dan gesture badannya persis sama dengan pembawa berita yang ada di televisiku beberapa hari yang lalu.Bagaimana mungkin dia tahu jika aku di sini? Jangan-jangan mereka yang membawaku ke rumah kosong tadi?“Kau tahu, bintang iklan itu baru saja menikah. Pernikahannya dilakukan diam-diam supaya tidak diketahui publik.” Terdengar suara pria muda membicarakan wanita yang berada di dalam kotak elektronik itu.“Ah … percuma saja berbohong. Di zaman teknologi begini, tidak ada hal yang tidak diketahui oleh orang lain.” Seorang pria lain menimpali. “Aku s
Sialan! Darahku memanas. Ubun-ubun terasa akan meledak. Otot-ototku menegang karena menahan amarah. Terlebih setelah aku berjalan memasuki ruangan, kulihat Alee tengah mengobrol dengan seseorang. “Jadi apa maksud semua ini!” Aku menggebrak meja dengan pistol tergenggam. Alee tampak terkesiap melihatku berada di ruangan itu. Ia menatapku sesaat, kemudian mengalihkan pandangannya pada Azia seolah hendak mengatakan mengapa aku bisa berada di sini. Laki-laki itu bangkit secara perlahan. Kedua tangannya terangkat "Tenang, Anya. Ini tidak seperti yang kau lihat. Aku bisa menjelaskan semua ini." Aku menarik pistol dan menodongkannya pada Alee. Terlihat ekspresi wajah orang-orang di dalam ruangan menegang.
Suara wanita itu tampak kaget. "Benarkah? Anak itu memang sedikit aneh, mungkin karena ia pernah menderita sewaktu kecil, tapi aku belum mengetahui penyebabnya. Yang aku tahu, ibunya meninggal sewaktu ia berusia 6 tahun.""Jika ibunya meninggal, siapa wanita yang bersamanya saat ini?" Pekikku kaget."Entahlah ... yang pasti ia meninggalkan panti karena seorang wanita mengadopsinya. Aku tidak tahu persis, karena saat itu kepala panti yang mengurusi semuanya.""Apakah ibunya seorang blesteran? Selain itu, sikap apa lagi yang sering Vian tunjukkan ketika tinggal di panti?""Tidak, tidak. Ibunya seorang lokal, bukan keturunan." Wanita tua itu terdiam sesaat. Sementara itu, aku terus menyimak."Hmm ... anak itu ramah dan baik tapi
“Mereka anak-anak yatim piatu. Anak yang berbaju biru itu,” telunjuknya mengarah ke salah satu anak. “Kami menemukan ketika bayi dan tengah menangis di depan pintu panti,” ujarnya lagi.“Kasihan sekali. Hmm … mungkinkah aku bisa mengadopsi salah satu dari mereka?’ tanyaku dengan hati-hati.Entah mengapa tiba-tiba aku berhasrat untuk memiliki satu dari mereka.“Kami senang sekali. Mereka pasti berbahagia jika memiliki orangtua baru.” Bibir wanita tua itu melengkung. Wajahnya berbinar-binar.Tiba-tiba terdengar nyaring suara klakson dari arah jalan. Sebuah mobil terparkir tak jauh dari panti asuhan. Perlahan sang sopir menurunkan kaca mobilnya.Ah tidak! Apa yan
“Jangan ganggu dia!” Entah mengapa, Vian malah berbalik membelaku. “Pergi kau dari sini wanita murahan. Aku sudah tak butuh kau lagi. Tinggalkan rumahku!” Deg! Rumahku kata Vian. Maksudnya rumah yang ditinggali Sisilia sekarang adalah rumah Vian? “Vian!” hardikku. “Rumah siapa maksudmu?” Vian tampak tercengang dan salah tingkah. “Katakan saja dengan jujur,” ucap Sisilia. “Percuma kau berbohong terus menerus.” Sisilia bangkit dari posisinya yang sempat terjatuh. Tangan kanan merapikan rambutnya yang berantakan sembari menyeringai. “Atau … aku saja yang mengatakannya.”
Aku memutar langkah. Namun, desahan lain terdengar sebelum kaki pertama bergerak. Suara yang tak asing di telinga ini, membuat kaki mendadak kaku. Jantungku berdegub dengan cepat. Debaran di dada berubah menjadi gemuruh bara cemburu. Mengapa aku sebodoh ini? Benarkah Sisilia tengah bersama dengan Vian? Rasa berani tiba-tiba muncul ke permukaan. Dengan napas tersenggal, aku mengintip dari celah kamar. Tanganku terkepal, aliran darah memanas dengan mata membulat sempurna menyaksikan dua manusia yang tampak tengah melepaskan hasrat. Sisilia yang mengenakan pakaian ketat berwarna hitam terlihat meliuk-liukkan tubuhnya dengan membawa sebuah tongkat. Benda panjang itu ia main-mainkan dengan menyentuh kulit Vian. Laki-laki yang beberapa bulan telah sah menjadi s
“Entah apa yang dia inginkan tentang Sisilia.” Terdengar suara wanita itu berbicara.Suasana hening sesaat.“Mengapa kau biarkan dia masuk?” Terdengar suara lain yang sedikit berbeda.Aku mengunci pendengaran dan memperhatikannya baik-baik. Suara itu mirip milik Bibi Sisilia tetapi dengan logat yang berbeda.Perlahan kuputar kenop pintu dan berjalan kembali menuju ruang tamu. Tiba-tiba hidungku terasa gatal.Hatsyiii!Bibi Sisilia tampak terperanjat dan bangkit dari kursinya seraya mengendong kucing.“Owh, maafkan aku telah datang dengan tiba-tiba.”
“Di mana Sisilia?”“Entah. Sewaktu aku turun, dia sudah menghilang. Kemudian aku kembali menemanimu tidur.”Aku hanya terdiam. Apa benar itu hanya sebuah mimpi. Aku tak bisa membuktikan penglihatanku."Aku siap-siap ke kantor dulu." Vian beranjak dari ranjang lalu mengambil baju setelan dari dalam lemari.Pagi itu Vian berangkat kerja seperti biasa. Sikapnya sekarang tampak jauh membaik dan terlihat lebih tenang. Apapun itu, aku bersyukur karena tak perlu lagi merasakan denyutan di kepala.Sebisa mungkin, aku menghindari penyebab ia marah. Tidak ada kotoran di meja, sup kacang merah setiap hari, dan lainnya.Kini, aku bahkan bisa ber
“Dengar, Anya. Tadi aku hendak mampir ke rumahmu untuk mengantarkan klapertaart dan aku melihat suamimu datang. Kukira ia sedang bersamamu, tetapi ternyata dia bersama Sisilia. Dan mereka memasuki rumah tanpa kau, Anya!”Deg.“Tidak mungkin, Ivy! Sisilia tidak seperti itu. Kurasa ia orang yang baik,” sanggahku berusaha mematahkan keyakinan Ivy.“Rupanya kau telah diracuni wanita itu, Anya. Sadarlah!” Terdengar nada suara Ivy meninggi.“Kurasa kau salah, Ivy. Dengar, aku tidak membela Sisilia, tapi kupikir ia tidak sejahat itu.”“Aku sangat menyesal sekali mendengar ini, Anya.”Ivy menutup panggilannya. Biarlah
Rumah Sisilia tidak terlalu jauh, hanya terhalang satu rumah dari kami. Rumahnya tidak sebesar rumah kami. Mungkin ia tidak perlu rumah yang luas karena tinggal sendiri.Benarkah ia masih sendiri?Aku cukup terkejut ketika melihat siapa yang melambai dari teras rumah Sisilia. Benarkah ia Sisilia. Pertanyaan-pertanyaan liar mulai muncul di kepala. Aku menahannya agar tidak terlalu mengganggu pikiranku saat ini.Vian membalas lambaian Sisilia--wanita yang malam itu menyambut kedatangan kami. Sementara itu, sebeah tangannya Vian tetap menggandeng tanganku.Sisilia tersenyum, mengulurkan tangan, mengajak berjabat tangan “Sisilia Feruza.”Aku membalasnya. “Anya Eidween,” sahutku.
Aku menatapnya lekat, mencari kebenaran dari sorot matanya. Mata yang tak pernah bisa aku baca dan pahami. “Berjanjilah, jika kau berbohong lagi, kau tak berhak mencariku lagi.” “Baik. Aku berjanji.” Vian langsung mendekap, memelukku erat. “Terima kasih,” bisiknya. Aku hanya terdiam menunggu ia melepaskan pelukannya. Apakah ia bisa dipercaya lagi? Aku bimbang. Vian memegang tanganku. “Ayo,” ajaknya. Aku menerima permintaannya dan membiarkan ia membawaku untuk menemui Mama. Untuk Mama, bukan untuknya. Kami melewati lorong panjang dengan lantai marmer berwarna abu gradasi