"Ini adalah kawasan manufaktur milik Han Hillen, semua proses mulai dari pengembangan hingga pembuatan senjata dilakukan di sini."
Para petinggi Han Hillen bersama Nathan Lee sedang melakukan kunjungan ke pabrik besar di pinggiran Kota Seosan. Sebagai perusahaan senjata terbesar di Negeri Gingseng, Han Hillen punya infrastruktur memadai dan lingkungan kerja yang kondusif. Tempatnya cukup dekat dengan perairan dan jauh dari pemukiman penduduk, pun sering disebut sebagai area terlarang bagi orang biasa. Setidaknya itulah yang Nathan ketahui tentang tempat ini.Kebetulan mereka datang saat jam kerja, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang di luar pabrik, hanya ada beberapa pegawai berseragam dan juga tentara yang memandang eksistensi Nathan dengan aneh."Satu jam lagi kita akan mengadakan pertemuan dengan pihak produksi, tapi sebelum itu, mari kita masuk lebih dalam ke area pabrik," ajak James.Tidak ada yang menarik, atau mungkin belum. Nathan hanya melihat puluhan senjata api yang sedang dirakit oleh alat-alat produksi, namun itu semua adalah jenis senjata lama, K-10 buatan Korea yang sudah mendunia, tidak jarang Nathan melihatnya di toko senjata."Berapa unit yang diproduksi dalam satu hari?" tanya Nathan kepada pria paruh baya yang belum lama ini bergabung dengan kelompok mereka."Untuk jenis ini, sekitar 50 unit termasuk amunisi 20 butir. Kami memproduksi beberapa macam senjata secara bergilir, bulan ini ada K-10, lalu bulan depan ada K-7, begitu seterusnya," jawab Lee Jun, seorang manajer produksi.Jun juga membawa asistennya yang bernama Hera. Jika dilihat dari gelagatnya, Hera tampak tertarik kepada Nathan. Bagaimana tidak, sejak di area pabrik hingga di dalam ruang rapat, wanita itu secara terang-terangan memperhatikan Nathan. Tentu saja Nathan tahu karena tempat duduk mereka saling berhadapan."Baiklah, saudara-saudara sekalian, dengan bergabungnya dua perusahaan ini diharapkan bisa menjadi tonggak kesuksesan untuk kita semua dalam usaha mengembangkan teknologi. Edenma juga telah setuju untuk merahasiakan proyek ini sampai hasil akhirnya siap didistribusikan kepada militer, dan perjanjian dengan militer ini bernilai miliaran won, nanti kita juga akan membicarakan pembagian keuntungannya dengan Pak Min. Hal pertama yang akan kita bahas adalah proses pengembangan dan produksinya, untuk Pak Jun, silakan." Selesai memberi sambutan, James Park mempersilakan Jun untuk memulai laporannya."Terima kasih untuk rekan-rekan, yang terhormat Direktur Park dan tamu kita Nathan Lee. Kemarin, Edenma sudah menunjukkan hasil risetnya kepada tim produksi, dan ini mengharuskan kami untuk sedikit mengubah rancangan sebelumnya." Jun mulai menunjukkan gambar kerja dari senapan laras panjang di depan mereka semua."Sebagai informasi, ini adalah rancangan lama yang punya fitur-fitur mengesankan, seperti bisa digunakan di medan apa pun, punya jangkauan tembak super jauh dan akurasi yang tinggi, bisa disesuaikan dengan penggunanya serta memiliki teknologi canggih yang belum pernah digunakan. Tapi karena adanya tambahan peluru pintar, kami akan menyisipkan sistem pemandu optikal di bagian atas, lalu mengubah ukuran kaliber agar sesuai dengan amunisinya. Dan masih ada fitur keren lain yang tidak bisa saya sebutkan sekarang saking banyaknya. Saya dengan bangga mengatakan kalau senjata tipe ini adalah yang pertama di dunia, namanya adalah KR-06, penembak amatir pun tidak akan pernah gagal jika menggunakannya. Sampai di sini, apa ada pertanyaan? Kalau tidak, saya akan lanjut membahas bahan dan alat produksinya."Nathan segera mengangkat tangannya dan bertanya, "Apa ada senjata jenis lain yang sedang dikembangkan oleh Han Hillen saat ini?""Oh, tentu saja ada." Jun tersenyum simpul. "Sayangnya kami belum bisa memberi tahu pihak luar, masih jadi rahasia perusahaan, tapi itu semua tergantung kebijakan Direktur. Untuk saat ini, KR-06 adalah proyek utama kita."Pria tampan itu hanya berangguk-angguk, sementara Jun kembali melanjutkan presentasinya. Nathan hanya berbasa-basi, namun jika manajer produksinya berkata seperti itu, tentu memang ada hal lain yang menarik untuk Nathan ketahui. Dia tidak boleh melewatkan apa pun. Salah satu caranya adalah dengan menyembunyikan alat perekam tepat di bawah kursi.Setelah rapat itu selesai, satu persatu dari mereka mulai meninggalkan ruangan kecuali James Park, Jun dan Min yang tidak sedikitpun ingkah dari tempat duduknya.James kemudian berpesan pada Nathan. "Menantuku, Ayah masih punya urusan dengan mereka, kau pulanglah lebih dulu bersama yang lain," ucapnya.Entah apa yang akan James bicarakan dengan dua orang itu, namun yang pasti, Nathan akan mengetahuinya nanti. Ini saatnya dia mengejar wanita cantik bernama Hera yang telah pergi lebih dulu. Ada satu alasan kenapa Nathan melakukan itu."Tunggu, Nona."Hera berhenti dan menengok ke belakang, langsung dihadapkan dengan Nathan yang tersenyum ramah seolah-olah menyiratkan kalau dia ingin berkenalan, maka Hera juga ikut tersenyum."Bolehkah saya meminta kartu nama Anda?" tanya Nathan."Oh, tentu!"Hera segera mengambil kartu nama dari dalam tas, lalu memberikan benda berisi nama serta nomor pribadinya itu kepada Nathan."Terima kasih, Nona Kim Hera. Jika berkenan, Anda juga bisa menyimpan milik saya." Nathan melakukan hal yang sama, dia memberikan sebuah kartu namanya untuk wanita itu, kemudian tersenyum dan berkata, "Baiklah kalau begitu, saya masih punya urusan di luar, sampai jumpa."Hanya itu saja untuk saat ini, Nathan akhirnya melangkah pergi dari tempat tersebut. Dia tidak mendengar suara ketukan high heels yang mengikutinya, barangkali Hera masih terpesona di belakang sana. Jika itu benar, maka Nathan yakin rencananya akan berjalan dengan lancar. Hanya perlu hati-hati agar tidak diketahui oleh keluarga Park. Nathan harus tetap sadar kalau dirinya sudah menikah.*****"Dia pernah menjadi teman dekat pasanganmu, tapi tidak berkesempatan untuk debut dan akhirnya menjadi pegawai tetap di perusahaan itu. Mungkin kau bisa bertanya kenapa dia sangat loyal pada mereka. Sejauh ini, tidak ada jejak kriminal. Data lainnya akan kukirimkan padamu nanti.""Ya, daftarkan namanya."Nathan menutup panggilan itu setelah mendapat notifikasi email dari pusat terkait calon informannya, Kim Hera. Dia terbukti cocok untuk dimanfaatkan. Tinggal menunggu waktu yang tepat.Ruangan yang ia tinggali saat ini adalah salah satu kamar di rumah singgah sementara, yang juga digunakan oleh para agen untuk bekerja. Tidak seperti di kantor cabang Edenma ataupun rumah barunya bersama Diana, di sini Nathan bisa lebih leluasa mengoperasikan laptop yang berisi data-data rahasianya.Tujuan utama Nathan datang hari ini adalah untuk mendengarkan rekaman dari alat yang tersembunyi di ruang rapat Han Hillen. Ada sebuah percakapan menarik yang sampai-sampai membuat Nathan tertegun di depan laptopnya. Tangan kirinya terus menekan earphone agar dia bisa mendengar lebih jelas, sementara tangan kanannya cepat-cepat menulis semua informasi yang ia dapatkan.Ternyata, pertemuan itu juga dihadiri oleh Kepala Staf Angkatan Darat Korea Selatan. Tidak heran kenapa Han Hillen menjadi perusahaan senjata terbesar di negaranya, sebab pihak militer pun mendukung dan mendanai mereka. Nathan mengira bahwa Han Hillen bisa saja diambil seluruhnya oleh pemerintah jika James Park tidak punya pertahanan yang kuat.Pria itu mulai terlarut dalam obrolan mereka."Kudengar kalian baru saja membuat perjanjian dengan perusahaan asing. Itu tidak menjadi masalah selama mereka tidak ikut campur pada rencana kita. Jangan sampai pihak eksternal tahu, termasuk perusahaan asing yang bekerja sama dengan kalian itu. Dan jangan biarkan mereka masuk lebih jauh ke dalam kawasan ini.""Jangan khawatir.""Tapi, mari kita pertimbangkan untuk menggaet ilmuwan asing yang bisa dipercaya, manajer SDM berkata bahwa kita kekurangan tenaga ahli.""Saya rasa insinyur dan ahli IT sudah banyak yang bekerja untuk kita.""Bukan. Ahli IT dan orang-orang teknik memang sudah banyak, yang kita butuhkan adalah ilmuwan nuklir. Kita tidak bisa mengambil ilmuwan dari universitas atau PLTN saja karena mereka belum terbiasa menggunakan nuklir sebagai senjata. Jika mungkin, kita bisa mencari ilmuwan pembelot dari negara yang berhasil mengembangkan nuklir seperti Pakistan, India atau bahkan Rusia.""Kami akan mencoba merekrut ilmuwan dari Rusia."“Bukannya terlalu berisiko untuk berhubungan dengan Rusia saat ini? Dan saya masih heran, kenapa tidak langsung meminta bantuan Amerika saja?"Hanya tertawaan khas bapak-bapak yang terdengar setelah itu."Baru bicara tentang nuklir saja, kami mungkin akan langsung didepak dari sana.""Begini, Pak Kepala. Sekitar 8 bulan lalu, kami sempat membeli ribuan mesin sentrifugal dari Rusia yang lebih canggih. Rusia mendukung kami. Saya rasa, mereka juga akan bersedia mengirimkan salah satu ilmuwannya kepada kita.""Kami punya kendala dalam proses ekstraksi bahan bakunya, jadi kami butuh ahli senjata nuklir untuk bisa menyelesaikan masalah itu.""Baiklah. Selagi menunggu, sepertinya kita harus mengembangkan rudal konvensional atau senjata AI terlebih dahulu.""Maaf harus mengatakan ini, tapi senjata AI bisa lebih berbahaya daripada nuklir, biaya yang dikeluarkan juga tidak main-main. Kita tidak seharusnya menciptakan itu semua, bagaimana dengan perjanjiannya? Kita bisa diberi sanksi dan dikecam dunia.""Mereka tidak bisa memberi kita sanksi, kita punya pengaruh besar di bidang industri dan hiburan bagi dunia.""Pak Min, hanya kau satu-satunya yang tidak setuju pada rencana ini. Sudah kubilang, jika kau ingin keluar, keluar saja!""Saya bertahan di sini karena hanya ingin melihat seberapa jauh kalian bertindak, tapi ini sudah kelewatan. Negara kita punya kelebihannya sendiri, industri dan hiburan, dan mungkin itu memang bukan di ranah kekuatan militer. Biarkan saja negara-negara adidaya menciptakan teknologi paling canggih, kita tidak perlu ikut berkompetisi, toh kita akan tetap kalah dan tertinggal. Tapi jika kalian masih nekat, silakan lanjutkan, saya akan keluar sekarang."Nathan terbengong-bengong, makin dibuat bingung saat mendengar derit kursi dan bunyi pintu yang tertutup. Sepertinya salah satu dari mereka benar-benar mengundurkan diri dan rapat tersebut tidak berjalan lancar sampai akhir.Ucapan Ketua ternyata benar, ada sesuatu yang sangat besar sedang disembunyikan oleh mereka. Makin rumit saja."Jo!" seru Nathan.Kemudian, seseorang bernama Johansson muncul dari balik pintu dan memberikan tatapan penuh tanda tanya kepadanya."Apakah pusat sudah tahu kalau Korea Selatan juga membeli mesin sentrifugal dari Rusia?""Are you fucking serious?"*****Tidak butuh waktu lama bagi Nathan untuk mendekati Hera. Mereka sering bertemu di acara formal ataupun acara yang sengaja diadakan oleh Nathan, misalnya makan malam bersama. Seperti saat ini. Nathan dan Hera sedang duduk berhadapan di sebuah restoran cepat saji yang sangat sepi, menunggu pesanan mereka datang sambil bertukar obrolan.Makin akrab, makin dalam pula topik obrolan mereka. Tak jarang Nathan menyinggung sesuatu yang akan membuat Hera nyaman untuk bercerita tentang pengalamannya. Kemudian satu pertanyaan dari Nathan ini sepertinya akan mengawali hubungan mutualisme yang mereka jalin."Kau tidak bosan bekerja di sana?""Bosan? Astaga, aku sangat-sangat bosan! Aku ingin mencoba pekerjaan baru, berkali-kali aku mengajukan surat pengunduran diri, tapi mereka selalu menolaknya!""Kenapa?" tanya Nathan."Kau bisa berjanji untuk tidak memberi tahu siapa pun tentang percakapan kita?" Hera terdiam sampai pria di hadapannya mengangguk, kemudian dia lanjut berbicara, "Entahlah, mungkin karena aku mengetahui semua rahasia perusahaannya. Maaf, tapi aku harus bilang kalau keputusanmu untuk bekerja sama dengan perusahaan itu adalah hal yang buruk. Mereka tidak membagi keuntungan dengan benar. Apalagi setelah pihak militer bergabung, direkturnya jadi kalap untuk menghasilkan produk baru. Bagian produksi dituntut untuk selalu punya inovasi yang bisa menguntungkan, tapi, hasil akhirnya sangat tidak baik. Aku tidak ingin bergabung lagi dengan mereka.""Kenapa kau berpikir itu tidak baik? Soal produk yang dulu kita bahas? Saya rasa itu tidak buruk," ucap Nathan, padahal jelas-jelas dia tahu kemana arah pembicaraan itu. Tidak apa, Nathan harus melakukannya dengan perlahan namun pasti."Tidak bisa kukatakan."Nathan tersenyum tipis. "Katakan saja, saya butuh informasi tentang rancangan itu untuk keperluan riset perusahaan."Hera tetap menggelengkan kepala.Akhirnya Nathan melirik sekitar untuk memastikan kalau area itu aman, lalu dia berbisik, "Begini saja, bagaimana kalau kita melakukan kesepakatan? Saya memercayaimu, dan saya benar-benar menghargai tiap informasi darimu. Sebagai gantinya, informasi itu bisa ditukar dengan uang."Sepertinya berhasil. Hera lantas memandang Nathan dengan raut wajah penasaran."Benarkah?" tanyanya."Benar, saya bisa menjamin. Tapi, kau juga harus merahasiakan perjanjian ini, atau karier kita berdua akan hancur. Jangan sampai kau mengatakannya kepada siapa pun termasuk orang-orang yang dekat denganmu. Ingat, ada akibat dari segala perbuatan."Hera mengangguk dan kembali bertanya, "Sepenting itukah informasinya untukmu? Berapa nilainya?""Satu lembar informasi bisa bernilai jutaan won, tergantung seberapa akurat dan pentingnya informasi itu," kata Nathan."Setuju!"Nathan mengangkat kedua alisnya lantaran heran, semudah itukah Hera menyepakati perjanjian mereka? Dasar materialis, disuguhkan uang saja semangatnya langsung berkobar-kobar. Bukan hanya satu atau dua, hampir semua informan yang Nathan dapatkan pasti luluh oleh uang. Bagaimanapun, itu sangat memudahkan pekerjaannya."Baiklah, saya akan menunggu fakta tentang rencana mereka. Jangan mengacau."Usia pernikahan mereka sudah memasuki minggu ke-empat. Sudah bisa meminimalkan rasa canggung dan saling mendekati layaknya remaja yang sedang berpacaran. Untuk mendukung usaha pendekatan itu, Diana sengaja membuat acara makan malam di halaman samping rumah, sekaligus juga menjadi perayaan karena dia akan merilis albumnya akhir bulan depan, pada akhir musim panas. Malam itu terasa hangat sebab panggangan barbeku yang masih menyala di depan mereka. Ditemani keindahan Kota Seoul dan secangkir teh hangat, Nathan terus memainkan gitar cokelat di tangannya sementara Diana bernyanyi ria. "Kau tahu lagu milik Justin Bieber, Off My Face?" tanya Diana selagi menatap suaminya. Nathan lantas tersenyum dan mengangguk, disusul petikan gitar untuk meyakinkan Diana kalau dirinya memang tahu. Diana jadi sangat gembira, dia kembali meminum tehnya sebelum mulai bernyanyi. "One touch and you got me stoned, higher than I've ever known, you call the shots and I'll follow. Sunrise but the night's stil
Nathan terbangun dari tidurnya pada jam setengah 4 pagi akibat getaran alarm ponsel yang memang sudah dia rencanakan. Dia beringsut turun dari kasur sambil membawa ponsel tersebut dan perlahan-lahan menuju sisi lain tempat tidur. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Diana untuk memastikan bahwa wanita manis itu masih pulas. Kemudian Nathan juga mengambil ponsel milik Diana dan membuka layar kunci dengan sidik jari istrinya itu. Nathan hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun, kecuali derit pintu balkon yang cukup nyaring hingga membuatnya panas dingin. Untung saja Diana tidak terbangun. Meski sudah berada di luar ruangan, Nathan tetap harus berjaga-jaga dan mengawasi Diana karena tidak ada tirai yang menutupi balkon kamarnya. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Nathan? Dia tampak membuka aplikasi telepon di smartphone milik Diana, lalu mencari-cari nomor dengan panggilan tak terjawab paling banyak. Ada 5 nomor telepon yang kemudian dia lacak menggunakan ponsel miliknya
Sekitar pukul 2 siang, suasana kantor cabang Edenma di Korea Selatan itu terlihat sepi, hanya ada beberapa orang di sana termasuk Nathan yang baru saja datang. Dia berlagak sibuk seperti direktur pada umumnya, turun dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu masuk. Jangan berpikir kalau orang-orang di sana adalah pegawai perusahaan sungguhan, itu tidak tepat. Meskipun kalian akan melihat logo Edenma dan berkas-berkas riset mereka, namun semuanya jelaslah tipuan belaka. Seorang pria dengan name tag Johansson segera menghampiri Nathan ketika dia duduk di sofa khusus tamu. Bersamaan dengan itu, pramukantor wanita juga datang dan menyuguhkan kopi untuk mereka berdua. "Seperti yang sudah kubilang, ini tentang nomor yang kau berikan kepada Agen Mark." Ucapan Johansson menggantung, dia ingin duduk terlebih dahulu di depan Nathan. "Dia hanya berhasil meneror seorang wanita muda sebatang kara, tapi tidak sampai membunuhnya." "Bukankah aku memberikan 2 nomor?" tanya Nathan. "Ya, kau tidak ak
"Siapa yang mau koktail?" Sembari membawa nampan berisi dua gelas koktail di tangannya, Diana datang bersama senyuman manis kepada Nathan yang sedang asyik bersantai di ruang televisi. Akhir pekan memang waktu terbaik untuk bermalas-malasan, Nathan sangat menyukai kesempatan langka ini. Nyaris satu jam dia menonton tayangan drama Korea dan tidak pernah beranjak dari sana saking serunya. Namun ketika Diana datang, dia langsung mengalihkan seluruh atensi kepada istri cantiknya itu. "Tentu saja aku, Diana, siapa yang bisa menolak kesegaran koktail di musim panas?" Nathan tersenyum senang ketika menerima koktail yang disuguhkan. Meskipun dia sedikit merasa trauma terhadap minuman yang dicampur dengan tequila. Kenapa juga Diana harus menyajikan margarita? "Biasanya aku akan membuat teh omija untuk minuman musim panas, tapi kali ini aku membuat margarita khusus untukmu," kata Diana seraya duduk di sofa terpisah. Tidak lepas dari senyuman dan decakan kagum setelah mencicip minumannya, Na
"Bagaimana kabarmu di sana?" tanya Nathan, paginya terasa kosong karena hanya bisa menyapa Diana lewat panggilan telepon. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan jadwalku masih padat. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, hanya rindu kepadamu." Bibir Nathan bekernyut menahan senyum sekaligus malu, kemudian langsung menambahi, "Tetap jaga kesehatan dan gunakan waktu istirahatmu dengan baik, Diana. Pagi ini kau sudah makan?" "Sudah! Kau juga jangan lupa makan, ya? Ehm, omong-omong, nanti malam aku ingin makan bersamamu, bisakah kau datang ke agensi hari ini?" "Kuharap aku bisa, aku akan membereskan pekerjaan dan datang ke sana secepat mungkin." "Yeay! Aku senang jika kau bisa datang, tapi aku juga tidak memaksa, selesaikanlah dulu semua pekerjaanmu sebelum datang ke sini." "Baiklah, sampai jumpa nanti sore." "Sampai jumpa!" Sebuah senyuman terus saja terukir di bibir Nathan meski sambungan telepon dengan Diana sudah berakhir. Nathan tidak sabar untuk bertemu Diana sore n
"Jadi, Hera, ada cerita menarik apa selama dua minggu terakhir?" tanya Nathan sembari memandang rekannya yang hampir 3 minggu tidak ia jumpai. Nathan sibuk menemani Diana di masa-masa promosinya yang sampai sekarang masih belum selesai. Tetapi akhirnya dia sadar bahwa dia tidak boleh melakukan itu terus menerus, dia harus menjalankan tugas yang jadi prioritas utamanya. Saat ini, dia dan Hera berada di sebuah kafe besar yang cukup ramai dan berisik. Mereka sengaja memilih tempat duduk paling ujung karena tidak ingin menanggung risiko jika rahasia mereka bocor kepada publik. Tidak lama kemudian, Hera memulai cerita panjangnya. "Dua minggu yang lalu, Direktur Park meliburkan hampir semua karyawan, pabriknya dijaga dengan sangat ketat dan hanya para pegawai terpilih yang bisa masuk, aku salah satunya. Jadi, sudah ada ilmuwan asing yang katanya akan mencoba meningkatkan kadar uranium dan membantu pembuatan senjata nuklir. Lalu, mereka juga akan membangun sesuatu di area paling belakang
Situasi Haven tampak sangat damai, di halaman depan rumah ada seorang wanita yang sedang asyik menyiram tanaman. Ketika Nathan datang dengan mobil putihnya, wanita itu langsung menyambut dan mengajak Nathan masuk ke dalam rumah. "Jo sudah menunggu di ruang kerja, di sana juga ada Julius, baru datang malam tadi," ucap wanita itu. "Julius? Sejak kapan dia ada di Korea Selatan?" gumam Nathan, jawabannya akan dia temukan setelah berjumpa langsung dengan kawan dekatnya tersebut. Sampai di sana, Nathan melihat Johansson sedang duduk dan fokus pada komputer, sedangkan Julius yang berdiri di sampingnya langsung tersenyum semringah saat menyadari kehadiran Nathan. "Apa kabar, Davis? Wah, kulihat kau semakin bugar, apa kehidupan pernikahanmu berjalan dengan lancar?" tanya Julius selagi berjabat tangan. Nathan tersengih. "Begitulah. Omong-omong, sejak kapan kau datang ke Korea dan untuk hal apa?" "Dua hari lalu, aku ditugaskan untuk ikut bersama Duta Besar dalam pertemuannya dengan Perdana
Tiga hari sejak kejadian tak menyenangkan yang dialami oleh pasangan suami istri itu, mereka berdua masih saling mendiamkan. Sempat beberapa kali Nathan mengajak Diana berbincang, tetapi hasilnya nihil, Diana tetap kukuh merajuk pada suaminya itu. Bahkan ketika tidur pun, Diana mengambil tempat paling pinggir di kasurnya agar tak bersentuhan dengan Nathan. Pada awalnya, Diana 100% sadar dengan apa yang ia lakukan, namun saat melihat Nathan yang tampak hilang semangat dan mulai tak peduli padanya, hati Diana tiba-tiba terasa sakit. Ada waktu di mana Nathan hanya tersenyum saat mereka berpapasan, tidak menyapa atau mencoba berkomunikasi dengannya kemudian langsung berangkat dari rumah. Ya, pagi ini. Pagi ini Nathan melakukan itu. Dan Diana benar-benar dibuat menyesal. "Aku tidak bisa datang hari ini, Kak, maaf," ucap Diana kepada manajernya dalam sambungan telepon. Dia menutup dan menyimpan benda pipih itu di atas meja, lalu beranjak ke dapur sebab ingin membuat minuman hangat untuk
Pandangnya tak beralih sedikitpun dari keramaian kota di bawah sana, mengamati lalu lintas masyarakat yang tengah bersiap menyambut hujan. Secangkir kopi di tangannya ampuh untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca sedang dingin. Luiza terpejam, mendengar alunan musik klasik yang baru saja diputar oleh seseorang. Lambat laun orang itu berjalan dan lantas memeluk tubuh Luiza dari belakang. "Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, pada akhirnya, kau tidak bisa lepas dan akan tetap jadi milikku. Bagaimana bila kita menikah?" tanya Kenzo, serta-merta membuat Luiza terpatung merenungkan berbagai hal di benaknya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengajakku menikah. Apa untungnya bagimu?" "Agar aku bisa memilikimu sepenuhnya, tentu saja. Kau akan jadi pendamping yang ideal, dan aku tidak akan ragu lagi untuk memberikan apapun kepadamu. Kau bisa mendapat setengah kekayaanku, kau bisa berkumpul dengan pasangan para petinggi, kau juga akan mendapat kekuasaan mutlak dalam organisasi."
Kegaduhan terus berlanjut, Kenzo menyeret Luiza masuk ke dalam kamar di samping ruangannya. Tempat serba merah yang biasa mereka pakai untuk memadu kasih atau sekedar beristirahat. Luiza tidak pernah suka jika dirinya dibawa kemari, apalagi dengan keadaan seperti sekarang, dia lebih baik mati. "Apa lagi yang akan kau lakukan?!" Kenzo membanting tubuh Luiza ke atas kasur, dia turut merangkak naik sehingga wanita cantik itu mundur ketakutan. Air mata tak hentinya membanjiri, Luiza semakin dibuat gelisah saat Kenzo mengambil dua gelung rantai besi. Dia hanya bisa menatap dengan nanar semua kelakuan sang bos. Pakaian Luiza dilucuti, menampilkan tubuh indah yang bergetar hebat menahan tangisan. Kedua tangan dan kakinya dibuka dan dirantai pada tiap sudut kasur, tangisan yang mengeras pun tidak pernah dihiraukan. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyentuh tubuh ini," ucap Kenzo. Perlahan-lahan mengelus dan meremas buah dada di hadapannya. Dia berusah
Tatapan bengis itu mengandung kobaran amarah, Kenzo tidak bisa tenang saat melihat wanitanya bersama dengan orang lain. Dia berlari secepat kilat ke arah mereka yang masih terpaku mencerna situasi. Kenzo menarik kerah baju Romano dengan keras, lantas melayangkan tatapan dan tinjuan nyalang. "Bajingan!" BUGH! BUGH! BUGH! Tiga tonjokan mendarat tepat di rahang Romano, membuat pemuda itu tersungkur ke atas sofa dengan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Tidak berhenti di sana, tangan Romano kembali ditarik hingga jatuh dan langsung dihantam pukulan telak pada kepalanya. Lumayan sakit, ralat, sakit sekali. Sampai-sampai Romano tidak dapat melihat sekitar dengan jelas. Namun, berkat instingnya, Romano berhasil membalas. Dia mendepak kaki dan punggung Kenzo dengan sangat keras, kemudian bangkit dan memakai sikunya untuk menyerang leher si bos berkali-kali sampai ia terjatuh. Ketika itu, Romano berpaling pada Luiza yang hanya bisa tertegun melihat perkelahian mereka. Tanpa mengeluark
Romano terus menatap wanita cantik yang mulai mengerjapkan mata dan tersadar dari tidurnya, dia sudah menanti-nanti momen ini bersama dengan seorang dokter. Itu adalah Bella. Nyaris 24 jam ia tak sadarkan diri akibat racun yang menyerang tubuhnya, namun dia beruntung karena berhasil diselamatkan. Meski dokter berkata bahwa sebagian tubuhnya itu akan sulit berfungsi selama beberapa waktu. "Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter kepada Bella. Perempuan itu hanya diam melihat dua orang di sebelahnya, lalu sekonyong-konyong dia menunjukkan raut terkejut. "Aku masih hidup?""Benar, kau berhasil selamat dari kematian, kau senang?""Tentu saja, Dok!" Bella tersenyum lebar, dia beralih menatap Romano dan bertanya, "Kau menyelamatkanku? Kau berhasil mendapatkan penawarnya dari Luiza? Terima kasih banyak, aku berhutang nyawa kepadamu."Romano ikut tersenyum. "Berterima kasihlah kepada Luiza," katanya."Baiklah, tapi dia juga adalah orang yang membuatku terbaring di sini," rengut Bella, ha
Suasana gelap dan sunyi kian dirasakan oleh beberapa anggota yang sedang bersembunyi di balik peti-peti kontainer. Gudang terbengkalai itu sering digunakan oleh gembong narkoba untuk bertransaksi dengan para pelanggannya, seperti saat ini. Luiza dan Romano, serta tiga mafioso lain terus mengawasi transaksi yang dilakukan oleh beberapa orang di seberang sana.Tentu saja itu bukan proses jual beli biasa, sebab, si gembong berkata bahwa pelanggannya kali ini adalah mantan napi dan berpotensi melakukan penipuan. Sialnya, semua dugaan itu benar-benar terjadi. Setelah menerima bungkusan hitam besar, pria penuh tato dan anteknya di sana tiba-tiba menembakkan pistol kepada seluruh anak buah gembong narkoba, lalu hendak kabur tanpa membayar sepeser pun. Beruntungnya, ada Luiza yang segera memerintahkan para anggota untuk turun tangan. Romano notabenenya sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, mau tak mau dia harus ikut berkelahi dan menyerang antek si mantan napi. Beberapa kali mendaratka
Pesta perayaan kembali terjadi di dalam aula besar klan Provenzano. Banyak para anggota dan rekanan yang menentang keputusan ini, namun mereka tidak bisa melakukan apa pun saat seorang primadona yang biasa mereka puja puji, yang biasa mereka gauli, kini telah diangkat menjadi anggota tetap seumur hidupnya. Melupakan fakta bahwa dia bukanlah keturunan asli Italia. Sekarang, tidak ada lagi yang dapat menggoda dan mendekatinya. Karena cinta, dilarang dalam keluarga. Meskipun begitu, tetap ada banyak orang yang bersuka ria dan memberi selamat kepada Luiza sebagai anggota keluarga baru mereka. Luiza telah mendapat tempat khusus yang membuatnya lebih ditinggikan. "Tidak akan ada orang yang berani menyentuhnya, kecuali jika orang itu ingin dibakar hidup-hidup oleh Roman," ucap Aldo sembari memperhatikan Luiza yang tengah bercakap-cakap di depan sana. Romano yang berada di sampingnya hanya terdiam, berlagak tak mendengar walaupun jelas-jelas ia memikirkan hal tersebut. Apakah nanti, Roman
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hati dan pikiran Romano rasanya tidak bisa sinkron mendengar penuturan itu. Ia tak habis pikir dengan semua hal yang terjadi barusan, apakah dirinya benar-benar mencumbu seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain? Apakah dia sudah bisa disebut sebagai bajingan? Pria itu tertunduk dalam-dalam dan memijat kepalanya yang pening, Luiza bahkan tidak menunjukkan rasa sesal karena telah berselingkuh. "Kenapa baru sekarang kau memberi tahuku? Apa kau tahu betapa bersalahnya aku? Kenzo adalah kekasihmu, lebih dari itu, dia adalah ayah dari anak yang kau kandung," tegas Romano, lalu terkekeh dengan sinis. "Kau lebih dari sekadar mengkhianatinya.""Tidak, kau tidak mengerti! Sudah kubilang Kenzo itu bukan manusia! Dia iblis yang sudah membunuh anaknya!"Luiza mulai terisak, dia menangis sejadi-jadinya. Masih dengan perasaan kacau, tubuhnya ditarik oleh tangan hangat Romano. Biarpun tak mengerti dengan keadaan ini, Romano tetap merengkuh tubuh
Kaki jenjang beralas high heels membawa wanita itu ke dalam ruangan gelap dan sunyi—apartemen mewah bernuansa klasik yang menjadi destinasinya hampir tiap hari. Jika tidak berada di markas, sudah pasti Luiza ada di sini. Tempat milik seorang lelaki yang saat ini masih terbalut jubah mandi, sedang duduk bersandar di atas kursi dan menikmati segelas anggur. "Kenapa tidak pergi ke markas, Tuan Kenzo?" Suara lembut itu membuat Kenzo berpaling pada kekasihnya yang tengah menampilkan senyum manis seperti biasa. Kenzo sudah lama menanti kedatangannya sampai jenuh, namun Luiza justru tercengir tanpa dosa selagi merebut gelas anggurnya. "Harusnya kau datang lebih awal." Kenzo merajuk, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luiza. "Banyak data perusahaan yang harus kulengkapi, harusnya aku juga ada di kantor utama saat ini. Membosankan, perkelahian jauh lebih baik daripada ini semua," katanya. Luiza hanya bergumam dan mengusap-usap kepala Kenzo dengan lembut selagi meminum habis
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj