Nathan berjalan lambat laun memasuki rumah bernuansa modern milik Diana. Sekarang adalah hari kedua setelah mereka menikah, Nathan baru saja pulang dari pertemuannya dengan keluarga besar Park. Jam dinding hampir menunjukkan pukul 12 malam dan tidak ada siapa pun di sekitar Nathan.
Seperti menyusuri museum, pria tampan itu terus mengamati setiap inci rumah dengan mata elangnya. Melihat-lihat vas bunga besar di sekitar ruang tamu, lukisan dan karya seni yang terpampang di dinding hingga sudut-sudut atas ruangan. Hanya ada satu CCTV yang terpasang di ruang tamu itu dan mengarah ke pintu masuk utama, maka Nathan berjalan menuju titik buta, lebih tepatnya mendekati kabinet yang terletak di samping tangga. Nathan langsung meletakkan benda seukuran kuku orang dewasa di antara tumpukan buku dan hiasan bunga. Bukan apa-apa, itu hanya alat perekam sederhana yang akan ia sembunyikan di kamarnya juga. Untuk berjaga-jaga.Kemudian Nathan berangsur menaiki tangga, dia tetap harus melangkah dengan hati-hati agar tidak menimbulkan suara, karena mungkin saja Diana sudah tidur lebih dulu di kamar mereka. Namun ternyata dugaan Nathan meleset, di dalam ruangan gelap itu masih ada sumber cahaya dari lampu tidur dan ponsel yang sedang dimainkan oleh Diana. Perempuan manis itu tampaknya tidak sadar akan kehadiran Nathan."Di mana sakelar—""AHH!"Suara jeritan yang sangat tiba-tiba itu juga mengejutkan Nathan. Mereka berdua sama-sama terdiam sampai akhirnya Nathan berhasil menyalakan lampu kamar. Oh, malangnya, Nathan hanya bisa tersengih tipis melihat Diana yang benar-benar ketakutan hingga menutupi mulutnya dengan tangan."Aku minta maaf, aku tidak mengetuk pintu karena kukira kau sudah tidur," ucap Nathan."Aku hampir pingsan."Diana belum terbiasa dengan semua perubahan yang mendadak ini, dia lupa kalau kamar itu bukan lagi miliknya seorang, tetapi juga milik Nathan. Dan ternyata, ini adalah pertama kalinya mereka bertatap muka di dalam kamar. Pasalnya kemarin malam Diana tidur lebih dulu akibat kelelahan, lalu paginya dia bangun dan mendapat kabar dari Ibu bahwa Nathan telah pergi bersama Ayah serta saudaranya. Alhasil Diana mengira kalau pernikahan mereka benar-benar hanya satu hari. Namun sekarang Diana melihat pria itu lagi, sedang tersenyum sambil melepaskan arlojinya."Sekali lagi aku minta maaf. Kenapa kau belum tidur?" tanya Nathan."Aku ... menunggumu pulang." Diana bergumam dengan sangat pelan, namun suara kecil itu tetap terdengar jelas di telinga Nathan."Kau sangat manis."Diana tercenung mendengar kalimat biasa yang sering ia dapatkan dari penggemarnya. Tetapi kali ini sangat berbeda, yang mengatakan itu adalah Nathan. Jantungnya berdegup lebih kencang, menjalarkan rasa hangat pada sekujur tubuh sampai-sampai wajahnya pun ikut memanas.Kenapa Diana jadi salah tingkah? Padahal Nathan terlihat biasa saja, dia menaruh arlojinya di dalam lemari kecil dan pergi menuju kamar mandi dengan tenang. Sudahlah. Lebih baik Diana juga menyibukkan diri dengan cara menyapa penggemarnya di media sosial.Pertama-tama, dia membuka fitur kamera dan berpose dengan manis di depannya, kemudian dia memilih beberapa gambar yang paling bagus untuk diunggah. Sesekali Diana juga memberi tanggapan pada postingan para penggemarnya. Penyanyi berusia 27 tahun itu sangat populer di kalangan penggemar musik berkat suara dan visualnya yang paripurna. Selain berbakat di bidang musik, Diana juga berbakat dalam melumpuhkan hati penggemarnya. Tidak heran kalau dia sering disebut-sebut sebagai kekasih mereka, sampai berbondong-bondong menggunakan hastag patah hati setelah mendengar berita bahwa Diana akan menikah. Sakit perut Diana akibat tertawa melihatnya."Sedang menyapa penggemarmu?" Pertanyaan yang sangat tepat itu keluar dari bibir Nathan, dia masih menyisir rambutnya ketika berjalan menghampiri kasur."Ya, you're right," balas Diana sambil tersenyum. Segeralah dia menyudahi kegiatan itu dan menyimpan ponselnya di atas nakas. "Kau pasti lelah, biar kumatikan lampunya agar kau bisa cepat tidur," katanya, kemudian beranjak untuk mematikan tombol lampu.Ruangan itu kembali gelap, hanya tersisa pencahayaan dari lampu tidur di kedua sisi kasur. Diana beringsut merebahkan dirinya lagi di samping Nathan, namun karena perasaan canggung yang masih meliputi hati, mereka berdua enggan untuk lebih mendekatkan diri.Tetapi bukannya cepat-cepat tidur, Nathan malah membuka percakapan. "Bagaimana tanggapan mereka saat tahu kau menikah?" tanyanya."Penggemarku? Ya ... pastinya banyak yang merasa sedih dan kecewa, tapi sebagian besar dari mereka mendukung dan mengirimkan banyak ucapan selamat kepadaku.""Baguslah. Selalu dengarkan orang-orang yang mendukungmu, kau tidak perlu membaca komentar buruk."Diana mengangguk setuju, kemudian ada sekelebat persoalan di benaknya yang mendorong dia untuk bertanya, "Ehm ... aku masih penasaran, kenapa kau menerima perjodohan ini?"Tidak langsung menjawab, Nathan lebih dulu tersenyum dan melirik Wanita di sampingnya. Dia berkata, "Awalnya aku menolak, tapi setelah mengetahui siapa yang akan menjadi jodohku, keputusanku berubah. Aku pernah melihat beritamu di TV dan internet, benarkah kau menjadi relawan? Ternyata kau bukan hanya populer, tapi juga punya empati dan jiwa sosial yang tinggi. Aku selalu menghormati orang-orang seperti itu. Sungguh seperti mimpi saat ayahmu memilihku untuk jadi menantunya. Bagaimana denganmu?""Ehm, terima kasih banyak. Sepertinya alasanku agak aneh, aku hanya ... menuruti keinginan Ayah. Dia selalu berkata bahwa hidupnya tidak akan lama lagi, dan selalu ingin melihatku menikah. Tapi, ini bukan berarti aku terpaksa untuk menerimamu sebagai suamiku, entah kenapa aku malah merasa senang." Diana tersenyum kecil sambil terus menundukkan pandangan. "Kukira kau tidak mengenalku dan akan menganggapku seperti orang biasa, ternyata kau sama seperti penggemarku.""Aku memang penggemarmu yang paling beruntung. Aku akan sangat bahagia jika kau menyanyikan sebuah lagu untukku dengan suaramu yang indah itu," ucap Nathan yang serta merta membuat Diana tersipu."Nanti saja, ini sudah malam, kita perlu tidur."*****Denting alat makan saling bersahutan dari arah dapur, dua orang penghuninya terlihat duduk bersebelahan dan asyik menyantap sarapan. Mereka tidak bertengkar, namun tiap kali Nathan mengatakan sesuatu atau sekadar basa-basi memuji makanan, Diana hanya meresponnya dengan singkat. Mungkin karena canggung atau memang tidak ingin bicara. Nathan jadi segan untuk kembali bersuara.Padahal nyatanya, Diana sedang memikirkan cara yang tepat untuk mengajak Nathan berkeliling kota. Mungkin bisa saja dia berkata dengan lugas seperti 'Ayo berkeliling denganku!' atau 'Aku ingin jalan-jalan,' tetapi Diana terus merasa kalau itu akan terdengar aneh. Ini semua karena perintah ayahnya, ingin sekali Diana menolak dan berkata 'Kalau begitu kenapa tidak Ayah saja yang mengajak Nathan jalan-jalan?' namun itu juga pasti terdengar aneh."Kau belum memakannya sedikitpun."Ucapan Nathan tiba-tiba mengagetkan Diana, dia tersadar dan segera menatap sang suami yang sedang mentransfer lauk-pauk ke dalam piringnya."Nathan, aku harus mengatakan ini."Kini giliran Nathan yang terdiam menatap Wanita di sampingnya. "Kenapa? Sarapannya tidak enak? Atau kau ingin menu lain?" tanyanya."Eh, tidak, aku hanya ingin mengajakmu berkeliling kota karena disuruh Ayah."Sempat waswas karena Diana terus menunduk, ternyata jawabannya justru membuat Nathan tergelak. Entah gugup atau memang polos, padahal kan tidak perlu mengatakan kalau itu perintah dari ayahnya."Kau membuatku takut. Tapi baiklah, kita akan berkeliling setelah ini."Tidak butuh waktu lama untuk bersiap-siap, dua jam kemudian mereka sudah berada di dalam mobil dengan Nathan yang memegang kemudi. Nathan terlihat sangat tampan dalam kemeja pendek dan kacamata hitamnya, sesuai tema musim panas. Sedangkan Diana justru memakai hoodie panjang ditambah topi yang hampir menutupi matanya! Meskipun begitu, raut wajah Diana menyiratkan kalau dirinya sangat antusias, sayangnya dia malu untuk menunjukkan semangat itu di depan Nathan. Dia hanya bisa tersenyum-senyum saat mobil putih yang mereka tumpangi meninggalkan area perbukitan tempat rumahnya berada.Melaju perlahan-lahan saja, Nathan masih harus menyesuaikan diri dengan kendaraan baru yang diberikan oleh James Park. Sungguh luar biasa perlakuan yang Nathan dapatkan, apa dia masih tega untuk meninggalkan Diana setelah misinya selesai? Entahlah, tidak ada yang tahu bagaimana hati terdalam Nathan memandang ini semua."Kita pergi ke arah mana?" tanya Nathan."Kanan! Nanti kita akan mengunjungi istana, museum, taman hiburan, pusat perbelanjaan, dan yang paling utama adalah Itaewon! Apa kau pernah melihatnya di drama Korea? Itaewon itu bagaikan surga untukku, di sana ada banyak sekali kedai makanan dan tempat hiburan, kita bisa mampir dan membeli makanan di sana!" seru Diana."Wow, ada berapa tujuan kita?""Banyak! Aku ingin menunjukkan semuanya padamu. Tapi kita harus berkendara lebih lama, karena di sekitar sini hanya ada hotel, kantor pemerintah, bursa saham, gedung perkantoran, bank dan pusat keuangan. Area ini selalu padat saat pagi dan sore, mungkin karena banyak karyawan yang pulang pergi. Kau harus berangkat sangat pagi untuk menghindari kemacetan, atau sebaliknya, berangkat sangat siang setelah lenggang."Nathan terkekeh. "Sepertinya kau sering terjebak macet sampai paham lalu lintasnya. Memangnya, di mana tempatmu bekerja? Apa di sekitar sini juga?"Lagi-lagi Diana bergeleng. "Masih jauh, nanti kita juga akan melewatinya, atau mungkin kau mau berkunjung? Agensiku terbuka untukmu. Tapi, jangan lupa memakai masker!" Diana segera mengambil dua buah masker hitam dari tas kecilnya, sengaja disiapkan untuk mereka berdua."Haruskah?" tanya Nathan lagi. Untuk dia sendiri, barang itu memang sangat penting dan berguna.Diana menjawab, "Tentu saja! Selain berfungsi untuk menghalau debu dan virus, ini juga bisa menyembunyikan wajah kita dari paparazi. Aku selalu memakainya saat ada di tempat umum.""Ada satu lagi fungsinya," sahut Nathan."Apa?""Meningkatkan ketampanan dan kecantikan."Diana terpingkal-pingkal sampai memukul tangan Nathan yang tak bersalah. "Kau benar! Aku juga merasa jauh lebih tampan saat memakai masker!" serunya.Lelaki yang sedang berusaha fokus pada jalanan itu hanya mengulum senyum, dia tidak mengerti kenapa candaannya bisa membuat Diana terbahak. Akan tetapi, saat itu Nathan merasa bahwa Diana mulai terbuka dan tidak lagi malu untuk menunjukkan perasaannya."Ini adalah kawasan manufaktur milik Han Hillen, semua proses mulai dari pengembangan hingga pembuatan senjata dilakukan di sini." Para petinggi Han Hillen bersama Nathan Lee sedang melakukan kunjungan ke pabrik besar di pinggiran Kota Seosan. Sebagai perusahaan senjata terbesar di Negeri Gingseng, Han Hillen punya infrastruktur memadai dan lingkungan kerja yang kondusif. Tempatnya cukup dekat dengan perairan dan jauh dari pemukiman penduduk, pun sering disebut sebagai area terlarang bagi orang biasa. Setidaknya itulah yang Nathan ketahui tentang tempat ini. Kebetulan mereka datang saat jam kerja, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang di luar pabrik, hanya ada beberapa pegawai berseragam dan juga tentara yang memandang eksistensi Nathan dengan aneh. "Satu jam lagi kita akan mengadakan pertemuan dengan pihak produksi, tapi sebelum itu, mari kita masuk lebih dalam ke area pabrik," ajak James. Tidak ada yang menarik, atau mungkin belum. Nathan hanya melihat puluhan senjata api y
Usia pernikahan mereka sudah memasuki minggu ke-empat. Sudah bisa meminimalkan rasa canggung dan saling mendekati layaknya remaja yang sedang berpacaran. Untuk mendukung usaha pendekatan itu, Diana sengaja membuat acara makan malam di halaman samping rumah, sekaligus juga menjadi perayaan karena dia akan merilis albumnya akhir bulan depan, pada akhir musim panas. Malam itu terasa hangat sebab panggangan barbeku yang masih menyala di depan mereka. Ditemani keindahan Kota Seoul dan secangkir teh hangat, Nathan terus memainkan gitar cokelat di tangannya sementara Diana bernyanyi ria. "Kau tahu lagu milik Justin Bieber, Off My Face?" tanya Diana selagi menatap suaminya. Nathan lantas tersenyum dan mengangguk, disusul petikan gitar untuk meyakinkan Diana kalau dirinya memang tahu. Diana jadi sangat gembira, dia kembali meminum tehnya sebelum mulai bernyanyi. "One touch and you got me stoned, higher than I've ever known, you call the shots and I'll follow. Sunrise but the night's stil
Nathan terbangun dari tidurnya pada jam setengah 4 pagi akibat getaran alarm ponsel yang memang sudah dia rencanakan. Dia beringsut turun dari kasur sambil membawa ponsel tersebut dan perlahan-lahan menuju sisi lain tempat tidur. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Diana untuk memastikan bahwa wanita manis itu masih pulas. Kemudian Nathan juga mengambil ponsel milik Diana dan membuka layar kunci dengan sidik jari istrinya itu. Nathan hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun, kecuali derit pintu balkon yang cukup nyaring hingga membuatnya panas dingin. Untung saja Diana tidak terbangun. Meski sudah berada di luar ruangan, Nathan tetap harus berjaga-jaga dan mengawasi Diana karena tidak ada tirai yang menutupi balkon kamarnya. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Nathan? Dia tampak membuka aplikasi telepon di smartphone milik Diana, lalu mencari-cari nomor dengan panggilan tak terjawab paling banyak. Ada 5 nomor telepon yang kemudian dia lacak menggunakan ponsel miliknya
Sekitar pukul 2 siang, suasana kantor cabang Edenma di Korea Selatan itu terlihat sepi, hanya ada beberapa orang di sana termasuk Nathan yang baru saja datang. Dia berlagak sibuk seperti direktur pada umumnya, turun dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu masuk. Jangan berpikir kalau orang-orang di sana adalah pegawai perusahaan sungguhan, itu tidak tepat. Meskipun kalian akan melihat logo Edenma dan berkas-berkas riset mereka, namun semuanya jelaslah tipuan belaka. Seorang pria dengan name tag Johansson segera menghampiri Nathan ketika dia duduk di sofa khusus tamu. Bersamaan dengan itu, pramukantor wanita juga datang dan menyuguhkan kopi untuk mereka berdua. "Seperti yang sudah kubilang, ini tentang nomor yang kau berikan kepada Agen Mark." Ucapan Johansson menggantung, dia ingin duduk terlebih dahulu di depan Nathan. "Dia hanya berhasil meneror seorang wanita muda sebatang kara, tapi tidak sampai membunuhnya." "Bukankah aku memberikan 2 nomor?" tanya Nathan. "Ya, kau tidak ak
"Siapa yang mau koktail?" Sembari membawa nampan berisi dua gelas koktail di tangannya, Diana datang bersama senyuman manis kepada Nathan yang sedang asyik bersantai di ruang televisi. Akhir pekan memang waktu terbaik untuk bermalas-malasan, Nathan sangat menyukai kesempatan langka ini. Nyaris satu jam dia menonton tayangan drama Korea dan tidak pernah beranjak dari sana saking serunya. Namun ketika Diana datang, dia langsung mengalihkan seluruh atensi kepada istri cantiknya itu. "Tentu saja aku, Diana, siapa yang bisa menolak kesegaran koktail di musim panas?" Nathan tersenyum senang ketika menerima koktail yang disuguhkan. Meskipun dia sedikit merasa trauma terhadap minuman yang dicampur dengan tequila. Kenapa juga Diana harus menyajikan margarita? "Biasanya aku akan membuat teh omija untuk minuman musim panas, tapi kali ini aku membuat margarita khusus untukmu," kata Diana seraya duduk di sofa terpisah. Tidak lepas dari senyuman dan decakan kagum setelah mencicip minumannya, Na
"Bagaimana kabarmu di sana?" tanya Nathan, paginya terasa kosong karena hanya bisa menyapa Diana lewat panggilan telepon. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan jadwalku masih padat. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, hanya rindu kepadamu." Bibir Nathan bekernyut menahan senyum sekaligus malu, kemudian langsung menambahi, "Tetap jaga kesehatan dan gunakan waktu istirahatmu dengan baik, Diana. Pagi ini kau sudah makan?" "Sudah! Kau juga jangan lupa makan, ya? Ehm, omong-omong, nanti malam aku ingin makan bersamamu, bisakah kau datang ke agensi hari ini?" "Kuharap aku bisa, aku akan membereskan pekerjaan dan datang ke sana secepat mungkin." "Yeay! Aku senang jika kau bisa datang, tapi aku juga tidak memaksa, selesaikanlah dulu semua pekerjaanmu sebelum datang ke sini." "Baiklah, sampai jumpa nanti sore." "Sampai jumpa!" Sebuah senyuman terus saja terukir di bibir Nathan meski sambungan telepon dengan Diana sudah berakhir. Nathan tidak sabar untuk bertemu Diana sore n
"Jadi, Hera, ada cerita menarik apa selama dua minggu terakhir?" tanya Nathan sembari memandang rekannya yang hampir 3 minggu tidak ia jumpai. Nathan sibuk menemani Diana di masa-masa promosinya yang sampai sekarang masih belum selesai. Tetapi akhirnya dia sadar bahwa dia tidak boleh melakukan itu terus menerus, dia harus menjalankan tugas yang jadi prioritas utamanya. Saat ini, dia dan Hera berada di sebuah kafe besar yang cukup ramai dan berisik. Mereka sengaja memilih tempat duduk paling ujung karena tidak ingin menanggung risiko jika rahasia mereka bocor kepada publik. Tidak lama kemudian, Hera memulai cerita panjangnya. "Dua minggu yang lalu, Direktur Park meliburkan hampir semua karyawan, pabriknya dijaga dengan sangat ketat dan hanya para pegawai terpilih yang bisa masuk, aku salah satunya. Jadi, sudah ada ilmuwan asing yang katanya akan mencoba meningkatkan kadar uranium dan membantu pembuatan senjata nuklir. Lalu, mereka juga akan membangun sesuatu di area paling belakang
Situasi Haven tampak sangat damai, di halaman depan rumah ada seorang wanita yang sedang asyik menyiram tanaman. Ketika Nathan datang dengan mobil putihnya, wanita itu langsung menyambut dan mengajak Nathan masuk ke dalam rumah. "Jo sudah menunggu di ruang kerja, di sana juga ada Julius, baru datang malam tadi," ucap wanita itu. "Julius? Sejak kapan dia ada di Korea Selatan?" gumam Nathan, jawabannya akan dia temukan setelah berjumpa langsung dengan kawan dekatnya tersebut. Sampai di sana, Nathan melihat Johansson sedang duduk dan fokus pada komputer, sedangkan Julius yang berdiri di sampingnya langsung tersenyum semringah saat menyadari kehadiran Nathan. "Apa kabar, Davis? Wah, kulihat kau semakin bugar, apa kehidupan pernikahanmu berjalan dengan lancar?" tanya Julius selagi berjabat tangan. Nathan tersengih. "Begitulah. Omong-omong, sejak kapan kau datang ke Korea dan untuk hal apa?" "Dua hari lalu, aku ditugaskan untuk ikut bersama Duta Besar dalam pertemuannya dengan Perdana
Pandangnya tak beralih sedikitpun dari keramaian kota di bawah sana, mengamati lalu lintas masyarakat yang tengah bersiap menyambut hujan. Secangkir kopi di tangannya ampuh untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca sedang dingin. Luiza terpejam, mendengar alunan musik klasik yang baru saja diputar oleh seseorang. Lambat laun orang itu berjalan dan lantas memeluk tubuh Luiza dari belakang. "Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, pada akhirnya, kau tidak bisa lepas dan akan tetap jadi milikku. Bagaimana bila kita menikah?" tanya Kenzo, serta-merta membuat Luiza terpatung merenungkan berbagai hal di benaknya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengajakku menikah. Apa untungnya bagimu?" "Agar aku bisa memilikimu sepenuhnya, tentu saja. Kau akan jadi pendamping yang ideal, dan aku tidak akan ragu lagi untuk memberikan apapun kepadamu. Kau bisa mendapat setengah kekayaanku, kau bisa berkumpul dengan pasangan para petinggi, kau juga akan mendapat kekuasaan mutlak dalam organisasi."
Kegaduhan terus berlanjut, Kenzo menyeret Luiza masuk ke dalam kamar di samping ruangannya. Tempat serba merah yang biasa mereka pakai untuk memadu kasih atau sekedar beristirahat. Luiza tidak pernah suka jika dirinya dibawa kemari, apalagi dengan keadaan seperti sekarang, dia lebih baik mati. "Apa lagi yang akan kau lakukan?!" Kenzo membanting tubuh Luiza ke atas kasur, dia turut merangkak naik sehingga wanita cantik itu mundur ketakutan. Air mata tak hentinya membanjiri, Luiza semakin dibuat gelisah saat Kenzo mengambil dua gelung rantai besi. Dia hanya bisa menatap dengan nanar semua kelakuan sang bos. Pakaian Luiza dilucuti, menampilkan tubuh indah yang bergetar hebat menahan tangisan. Kedua tangan dan kakinya dibuka dan dirantai pada tiap sudut kasur, tangisan yang mengeras pun tidak pernah dihiraukan. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyentuh tubuh ini," ucap Kenzo. Perlahan-lahan mengelus dan meremas buah dada di hadapannya. Dia berusah
Tatapan bengis itu mengandung kobaran amarah, Kenzo tidak bisa tenang saat melihat wanitanya bersama dengan orang lain. Dia berlari secepat kilat ke arah mereka yang masih terpaku mencerna situasi. Kenzo menarik kerah baju Romano dengan keras, lantas melayangkan tatapan dan tinjuan nyalang. "Bajingan!" BUGH! BUGH! BUGH! Tiga tonjokan mendarat tepat di rahang Romano, membuat pemuda itu tersungkur ke atas sofa dengan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Tidak berhenti di sana, tangan Romano kembali ditarik hingga jatuh dan langsung dihantam pukulan telak pada kepalanya. Lumayan sakit, ralat, sakit sekali. Sampai-sampai Romano tidak dapat melihat sekitar dengan jelas. Namun, berkat instingnya, Romano berhasil membalas. Dia mendepak kaki dan punggung Kenzo dengan sangat keras, kemudian bangkit dan memakai sikunya untuk menyerang leher si bos berkali-kali sampai ia terjatuh. Ketika itu, Romano berpaling pada Luiza yang hanya bisa tertegun melihat perkelahian mereka. Tanpa mengeluark
Romano terus menatap wanita cantik yang mulai mengerjapkan mata dan tersadar dari tidurnya, dia sudah menanti-nanti momen ini bersama dengan seorang dokter. Itu adalah Bella. Nyaris 24 jam ia tak sadarkan diri akibat racun yang menyerang tubuhnya, namun dia beruntung karena berhasil diselamatkan. Meski dokter berkata bahwa sebagian tubuhnya itu akan sulit berfungsi selama beberapa waktu. "Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter kepada Bella. Perempuan itu hanya diam melihat dua orang di sebelahnya, lalu sekonyong-konyong dia menunjukkan raut terkejut. "Aku masih hidup?""Benar, kau berhasil selamat dari kematian, kau senang?""Tentu saja, Dok!" Bella tersenyum lebar, dia beralih menatap Romano dan bertanya, "Kau menyelamatkanku? Kau berhasil mendapatkan penawarnya dari Luiza? Terima kasih banyak, aku berhutang nyawa kepadamu."Romano ikut tersenyum. "Berterima kasihlah kepada Luiza," katanya."Baiklah, tapi dia juga adalah orang yang membuatku terbaring di sini," rengut Bella, ha
Suasana gelap dan sunyi kian dirasakan oleh beberapa anggota yang sedang bersembunyi di balik peti-peti kontainer. Gudang terbengkalai itu sering digunakan oleh gembong narkoba untuk bertransaksi dengan para pelanggannya, seperti saat ini. Luiza dan Romano, serta tiga mafioso lain terus mengawasi transaksi yang dilakukan oleh beberapa orang di seberang sana.Tentu saja itu bukan proses jual beli biasa, sebab, si gembong berkata bahwa pelanggannya kali ini adalah mantan napi dan berpotensi melakukan penipuan. Sialnya, semua dugaan itu benar-benar terjadi. Setelah menerima bungkusan hitam besar, pria penuh tato dan anteknya di sana tiba-tiba menembakkan pistol kepada seluruh anak buah gembong narkoba, lalu hendak kabur tanpa membayar sepeser pun. Beruntungnya, ada Luiza yang segera memerintahkan para anggota untuk turun tangan. Romano notabenenya sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, mau tak mau dia harus ikut berkelahi dan menyerang antek si mantan napi. Beberapa kali mendaratka
Pesta perayaan kembali terjadi di dalam aula besar klan Provenzano. Banyak para anggota dan rekanan yang menentang keputusan ini, namun mereka tidak bisa melakukan apa pun saat seorang primadona yang biasa mereka puja puji, yang biasa mereka gauli, kini telah diangkat menjadi anggota tetap seumur hidupnya. Melupakan fakta bahwa dia bukanlah keturunan asli Italia. Sekarang, tidak ada lagi yang dapat menggoda dan mendekatinya. Karena cinta, dilarang dalam keluarga. Meskipun begitu, tetap ada banyak orang yang bersuka ria dan memberi selamat kepada Luiza sebagai anggota keluarga baru mereka. Luiza telah mendapat tempat khusus yang membuatnya lebih ditinggikan. "Tidak akan ada orang yang berani menyentuhnya, kecuali jika orang itu ingin dibakar hidup-hidup oleh Roman," ucap Aldo sembari memperhatikan Luiza yang tengah bercakap-cakap di depan sana. Romano yang berada di sampingnya hanya terdiam, berlagak tak mendengar walaupun jelas-jelas ia memikirkan hal tersebut. Apakah nanti, Roman
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hati dan pikiran Romano rasanya tidak bisa sinkron mendengar penuturan itu. Ia tak habis pikir dengan semua hal yang terjadi barusan, apakah dirinya benar-benar mencumbu seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain? Apakah dia sudah bisa disebut sebagai bajingan? Pria itu tertunduk dalam-dalam dan memijat kepalanya yang pening, Luiza bahkan tidak menunjukkan rasa sesal karena telah berselingkuh. "Kenapa baru sekarang kau memberi tahuku? Apa kau tahu betapa bersalahnya aku? Kenzo adalah kekasihmu, lebih dari itu, dia adalah ayah dari anak yang kau kandung," tegas Romano, lalu terkekeh dengan sinis. "Kau lebih dari sekadar mengkhianatinya.""Tidak, kau tidak mengerti! Sudah kubilang Kenzo itu bukan manusia! Dia iblis yang sudah membunuh anaknya!"Luiza mulai terisak, dia menangis sejadi-jadinya. Masih dengan perasaan kacau, tubuhnya ditarik oleh tangan hangat Romano. Biarpun tak mengerti dengan keadaan ini, Romano tetap merengkuh tubuh
Kaki jenjang beralas high heels membawa wanita itu ke dalam ruangan gelap dan sunyi—apartemen mewah bernuansa klasik yang menjadi destinasinya hampir tiap hari. Jika tidak berada di markas, sudah pasti Luiza ada di sini. Tempat milik seorang lelaki yang saat ini masih terbalut jubah mandi, sedang duduk bersandar di atas kursi dan menikmati segelas anggur. "Kenapa tidak pergi ke markas, Tuan Kenzo?" Suara lembut itu membuat Kenzo berpaling pada kekasihnya yang tengah menampilkan senyum manis seperti biasa. Kenzo sudah lama menanti kedatangannya sampai jenuh, namun Luiza justru tercengir tanpa dosa selagi merebut gelas anggurnya. "Harusnya kau datang lebih awal." Kenzo merajuk, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luiza. "Banyak data perusahaan yang harus kulengkapi, harusnya aku juga ada di kantor utama saat ini. Membosankan, perkelahian jauh lebih baik daripada ini semua," katanya. Luiza hanya bergumam dan mengusap-usap kepala Kenzo dengan lembut selagi meminum habis
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj