Blitz kamera sudah menjadi makanan sehari-harinya, wanita berparas cantik itu bisa menghabiskan waktu berjam-jam di lokasi shooting sampai mendapat hasil paling sempurna. Dia terus berpose dengan elok layaknya model profesional, memainkan posisi tangan, sikap tubuh dan raut wajahnya yang semulus boneka porselen.
Diana Park, penyanyi sekaligus model populer itu sedang sibuk dalam pemotretan album keenamnya yang mengusung konsep ceria. Benar-benar perpaduan sempurna dengan pribadinya yang periang dan menyenangkan. Diana sangat antusias untuk memakai baju-baju cerah, rambutnya juga diubah menjadi warna ungu pastel. Diana selalu bercerita kepada manajer bahwa comeback musim panas ini sangat menunjukkan diri Diana Park yang sesungguhnya. Oh, andai saja Diana bisa memberi tahu penggemarnya lebih awal tentang album ini.Segera setelah pemotretan sesi pertama selesai, beberapa staf mulai menghampirinya dan memberi tahu perempuan itu agar segera bersiap untuk melanjutkan proses pengambilan video klip. Namun, semua kegiatan di sana tiba-tiba terhenti akibat ulah seorang bapak berpenampilan rapi."Tunggu dulu, semuanya! Biarkan anakku istirahat!"Siapa lagi kalau bukan James Park? Sekonyong-konyong dia membawa Diana yang tampak kebingungan dan mengajaknya untuk duduk bersama di tempat yang lebih sepi. Tentu saja para staf tidak bisa memarahinya. Karena hanya Diana yang bisa."Ayah! Kenapa Ayah suka sekali mengganggu jadwalku, sih? Kenapa tidak menemuiku saat libur saja?" rengut Diana."Ini penting! Ayah sudah menemukan seseorang yang cocok untukmu! Pengusaha profesional dari Amerika, dia mapan, punya karier yang bagus dan setara denganmu! Begitu dia menyetujui perjodohan ini, kalian akan segera menikah. Kau juga setuju, 'kan?"Sejak awal berucap pun perkataan James tidak diindahkan oleh anaknya. Apalagi jika menyangkut perjodohan yang telah direncanakan dari jauh-jauh hari. Sejujurnya, Diana tidak pernah setuju untuk dinikahkan dengan orang asing, dia hanya mengiyakan permintaan sang ayah agar bisa bebas melakukan apa pun yang ia inginkan. Misalnya saja menjadi penyanyi. Karena jika waktu itu dia menolak, Diana tidak akan berada di dunia musik saat ini."Jangan sembarangan memilih pasangan untukku, bisa saja yang Ayah pilih itu adalah orang jahat.""Astaga, Diana, Ayah yakin 100% kalau dia itu orang baik-baik. Coba lihat ini, profilnya dan profil perusahaannya, bukankah sangat meyakinkan? Lagi pula, kau belum pernah bertemu langsung dengannya, Ayah yakin kau juga akan tertarik saat melihatnya dengan mata kepala sendiri."James Park terus menunjukkan ponselnya kepada Diana agar perempuan itu bisa melihat informasi tentang si calon suami. Namun Diana malah memalingkan wajah dan bersedekap dengan bibir mengerucut."Lihat dulu, Diana Park!"Dengan terpaksa, akhirnya wanita pemilik rambut ungu pastel itu menengok ke arah sang ayah, atau lebih tepatnya ke arah ponsel yang seketika membuat Diana terdiam seribu basa. Di situs web tersebut ada profil lengkap seseorang bernama Nathan Lee, mulai dari informasi pribadi sampai karier profesionalnya.Secercah senyuman hadir di bibir cantik Diana, namun segera ia tutupi dengan dalih menguap untuk tetap menjaga gengsi. Lalu dia berkata, "Sebenarnya, aku memang mudah menyukai seseorang, apalagi jika perilaku dan penampilan sangat baik. Tapi aku tetap harus hati-hati. Yang seperti dia ini biasanya hanya mengejar harta, atau mungkin sering bergonta-ganti wanita. Apa Ayah yakin kalau dia baik untukku?""Yakin, Ayah yakin sekali! Kau tidak akan percaya, dia ini tidak seperti yang kau pikirkan, dia berbeda dari calon-calon menantu yang pernah Ayah temui," seru James."Hmm ... baiklah, aku setuju. Aku melakukan ini demi Ayah.""Oh, syukurlah! Terima kasih, Ayah sangat senang karena akan melihatmu menikah. Tapi kita belum tahu keputusan calon menantuku itu, apa kau bisa menghubunginya untuk bertanya?"Sontak saja Diana menggelengkan kepala dan bersungut, "Tidak mau! Akan terdengar aneh kalau aku yang menghubunginya, Ayah saja! Oh ya, apa dia tahu kalau aku seorang artis? Aku takut dia merasa tidak nyaman kalau jadi sorotan publik, tolong katakan pada agensi untuk menutupi identitasnya.""Laksanakan, Tuan Putri!""Huh, sepertinya perilisan albumku harus diundur lagi."*****Kamar tidur itu tampak gelap gulita dan hanya ada pencahayaan dari sebuah laptop di atas meja. Nathan Lee duduk dengan lesu sambil memegang pelipisnya di hadapan dua teman yang terhubung melalui layar komputer. Sementara Nathan terlihat gundah dan bingung, teman-temannya justru menertawakan lelaki itu."Sudahlah, terima saja. Ketua berkata kalau perjodohan itu tidak riskan, selama kau bisa menyembunyikan identitas. Kau juga tidak harus mencintai orang itu. Kau hanya perlu bersikap ramah, menjadi suaminya dan jalankan tugasmu sampai selesai, lalu kau bisa meninggalkannya. Lagi pula, Nathan Lee yang akan menikah dengannya, bukan Austin Noran Davis," ucap salah satu dari teman Nathan yang bernama Julius.Kemudian Nicholas, satu lagi pria yang tampil di layar sebelah kanan Julius langsung menyahut, "Mungkin, masalahnya adalah karena Davis itu tidak pernah berhubungan dengan wanita mana pun selama 6 tahun, dia jadi kaku. Dan sekalinya ada, perjodohan yang terpaksa pula, malangnya.""Sepertinya kau butuh latihan khusus untuk menjadi suami yang baik," saran Julius."Kau benar. Selama ini aku hanya menjalani latihan bertahan hidup di lingkungan asing, tapi aku tidak pernah tahu bagaimana rasanya hidup dalam hubungan romantis. Bagaimana aku harus bersikap di depan pasanganku? Apa aku harus bersikap penuh cinta, atau tegas, atau jenaka?" Nathan benar-benar bingung, terlihat dari air mukanya yang kosong dan kusut secara bersamaan."Oh my gosh, Nicho, apa kau merasa ini akan lebih sulit dari misi utamanya?" tanya Julius.Di sana, Nicho lekas mengangguk, "Iya, sepertinya.""Aku mengerti betapa beratnya pernikahan jika kita tidak tahu seperti apa pasangan yang akan kita nikahi. Apalagi jika tidak ada cinta dalam pernikahan itu. Hidup memang seperti komedi.""Itu bukan masalah, Julius. Aku tidak masalah jika harus menikah tanpa mengetahui sifat pasanganku. Yang kutakutkan hanyalah diriku sendiri, aku khawatir akan menyakiti orang itu.""Cih, hipokrit sekali, bukannya kau memang sering menyakiti orang lain?" cetus Julius."Diam kau, sialan!""Aku hanya bergurau! Kau tidak akan menyakitinya, kami percaya padamu, kawan. Aku tahu bahwa kau hanya akan marah jika seseorang benar-benar menganggumu, selebihnya, kau itu orang yang tenang. Sudahlah, Dav, ini hanya tugas. Kau hanya perlu memilih iya atau tidak. Jika iya, kau bisa menikahi orang itu sampai perjanjian dan misinya selesai, tidak perlu melibatkan perasaan. Dan jika pilihanmu adalah tidak, maka tinggalkan semuanya.""Kalian terlalu dramatis." Nicholas menyela.Julius tidak lagi berbicara setelah Nicholas menunjukkan keseriusannya, benar-benar seperti orang yang berbeda. Paham kalau sekarang adalah waktunya untuk bicara, Nathan lekas menengahi."Apakah pilihan 'iya' akan menimbulkan masalah di masa depan?" tanyanya.Julius terlihat menggelengkan kepalanya dan tercengir tanpa dosa. "Kau tidak akan mendapat masalah, kecuali masalah rumah tangga dengan calon istrimu itu.""Shut the fuck up!"Sesaat kemudian Nicholas membuat kode dengan tangannya agar mereka berhenti bertengkar, sehingga dia bisa mengatakan hal yang lebih serius lagi. "Dav, apa kau juga sudah tahu? Ternyata dia adalah seorang penyanyi solo dari agensi besar di Korea. Maka jika ada berita bahwa dia akan menikah, identitasmu perlahan akan terungkap, kecuali jika kita membungkam semua media di sana atau meminta orang tuanya untuk menyembunyikan identitasmu.""Seberapa besar kemungkinan identitas asliku akan terekspos?""Orang biasa tidak akan mengetahui siapa dirimu yang sebenarnya, kecuali jika ada orang hebat yang bisa meretas keamanan Badan Intelijen Pusat atau ada informan yang berkhianat. Tapi kemungkinannya sangat kecil.”Nathan mengangguk. "Bagaimana pendapat kalian?" tanyanya."Aku setuju," balas Julius. "Jika pernikahan adalah syarat utama untuk bisa bekerja sama dengan mereka, mau tak mau harus kau lakukan agar misinya sukses. Lagi pula, dengan menikahi orang itu, kau mungkin punya peluang lebih banyak untuk mengetahui rahasia ayahnya.""Aku tidak."Mereka berdua sama-sama memandang Nicholas dengan heran."Menikah dengan anak direktur Han Hillen itu memang menguntungkan dari segi operasional, tapi merugikan dari segi moral. Pernikahan itu sifatnya sakral dan akan berlangsung seumur hidup, sementara misimu di sini hanya sesaat. Kau mungkin tidak akan keberatan untuk menikah karena itu hanyalah kedok. Tapi kau harus tahu, bahwa ini bukan hanya tentangmu, namun juga tentang pasanganmu."Julius tertawa sinis. "Kau ... terlalu dramatis. Tidak seharusnya kita memikirkan hal itu.""Kirimkan saja semua informasi tentangnya padaku, Nicho.""Baiklah, terserah kau."Nathan keluar dari obrolan itu lebih dulu, beralih memeriksa email yang telah dikirimkan oleh rekannya. Dalam sekejap, dia dapat melihat data lengkap seorang Diana Park. Mulai dari informasi umum tentang kependudukan, kegiatan di masa lalu dan masa kini, hingga hal apa saja yang menjadi kegemarannya. Nathan sedikit merasa heran karena tidak dapat menemukan informasi buruk tentang orang itu, kecuali skandal kencan.Yang dikatakan Nicholas adalah benar, perempuan cantik itu merupakan salah satu penyanyi dan penulis lagu terkenal di negaranya. Dia sudah punya puluhan lagu sejak mulai berkarier 5 tahun lalu.Nicholas juga berpesan agar Nathan menonton video musik dan mendengarkan lagu-lagunya. Segeralah Nathan menuju situs YouTube, mencari nama Diana Park dan pilihan pertamanya jatuh pada salah satu video dengan jumlah tayang ratusan juta, berjudul Angel's Secret. Pada menit pertama, Nathan sudah dibuat tersenyum. Suara unik milik Diana Park sukses memanjakan telinga, didukung dengan klip bertema vintage Amerika yang terkesan hangat, membuat Nathan rindu pada masa kecilnya.Sampai di ujung tayangan yang menampilkan Diana tengah berdiri membelakangi matahari, embusan angin yang menerpa rambut dan wajahnya membuat paras Diana jauh lebih indah. Salah satu penontonnya seolah terhipnotis.Dengan hati yang terasa gundah, Nathan terus memikirkan ucapan Nicholas. Barangkali keputusan untuk menerima perjodohan itu akan menimbulkan rasa sesal di lain hari. Namun, Nathan tidak peduli.*****Hari ini, dua minggu setelah Ayah memberi tahu Diana tentang perjodohan, dia akan bertemu dengan calon pasangannya untuk pertama kali."Nanti saat dia datang, kau harus menjabat tangannya saat berkenalan, ya? Orang Amerika pasti tidak biasa membungkuk. Jangan terlalu kaku juga, kau bisa menyapanya seperti seorang teman atau penggemar, tapi tetap harus menjaga kenyamanan satu sama lain."Diana mendengarkan semua nasihat sang ibu selagi mengulum bibirnya akibat gugup. Kedua kakinya pun tidak mau diam, hingga wanita paruh bayangkan di sampingnya berkali-kali memberi tahu Diana agar bersikap tenang. Yah, bagaimana bisa tenang jika akan bertemu dengan calon suami yang belum pernah ia lihat sebelumnya? Diana ingin mengubur diri saja saking gelisahnya.Sejak menjadi trainee, Diana tidak diperbolehkan untuk menjalin hubungan kekasih dengan siapa pun. Meski satu tahun lalu dirinya dibebaskan dari larangan itu karena James Park secara terang-terangan mengkritik agensi, namun tampaknya aturan tersebut masih melekat dalam jiwa Diana. Terasa ada yang mengganjal saat dia akhirnya punya pasangan apalagi sampai diajak menikah seperti ini. Terlebih, calon suaminya ini bukan keturunan Korea asli, Diana bingung memikirkan betapa susahnya mereka untuk berkomunikasi nanti."Apa aku harus memakai bahasa Inggris? Tapi Ayah bilang kalau dia adalah keturunan Korea, bolehkah aku pakai bahasa Korea saja? Aku yakin dia paham dengan apa yang kukatakan," ucap Diana.Wanita bernama Park Yuna itu segera menjawab pertanyaan anaknya. "Mungkin kau bisa bertanya apakah dia mengerti bahasa Korea atau tidak, tapi sebaiknya pakai bahasa Inggris dulu untuk berkenalan, bisa saja dia lupa bahasa kita karena sudah lama tinggal di Amerika.""Oh ya, Bu. Apa dia punya rumah di sini? Atau dia akan tinggal di rumahku?" tanya Diana lagi, dia tidak akan berhenti sebelum mengeluarkan semua pertanyaan dalam benaknya."Sepertinya sekarang dia tinggal di apartemen atau menyewa villa. Tapi setelah kalian menikah, Ibu rasa dia akan tinggal di rumahmu, tidak masalah 'kan?""Ah, tentu saja itu bukan masalah, rumahku sangat luas untuk ditempati bersamanya. Tapi, bukannya dia juga punya perusahaan di Amerika? Dia pasti akan sering pulang ke sana, dan sepertinya kami akan jarang bertemu.""Tidak apa, ya, Diana? Setelah menikah, kalian memang akan merasa tidak enak hati untuk meninggalkan satu sama lain, tapi kalian tetaplah orang dewasa yang punya kehidupan pribadi, kalian berhak untuk untuk punya kesibukan masing-masing, asal jangan sampai membuat hubungan kalian terasa asing. Mungkin nanti kau bisa menemaninya pulang ke Amerika, dan sebagai gantinya, mintalah dia untuk menemanimu bekerja juga. Berpacaran setelah menikah itu seru, lho! Dulu, Ayah dan Ibu juga begitu."Bibir Diana membentuk senyum tipis, dia berangguk-angguk dan hanya menggumamkan sepatah kalimat. "Baiklah, Ibu, aku mengerti."Tidak lama kemudian, pintu masuk ruangan direktur itu terbuka dan menampilkan dua orang pria yang selalu berpenampilan rapi. James Park dengan girangnya melambaikan tangan pada Diana, namun perempuan manis itu malah memusatkan perhatian pada sosok jangkung di samping ayahnya. Bagai diberi tonggak, tubuh Diana langsung menegang akibat rasa gugup, dia terus mengulum bibir sambil menata rambut ke samping telinganya.Nathan Lee berhasil membuat Diana terpesona oleh karisma dan auranya yang menyenangkan. Pria tampan itu juga terus mengumbar senyum, sehingga Ayah dan Ibu merasa bahagia atas kedatangannya. Kesan pertama yang sangat bagus!"Diana, ayo perkenalkan dirimu!" titah James ketika tiba di depan keluarganya.Mereka berdua lantas berdiri. Yuna lebih dulu menyalami Nathan dan berkenalan dengan ramah, kemudian disusul oleh Diana yang terkesan canggung dan malu-malu."Aku Diana Park," katanya selagi menjabat tangan dingin milik Nathan.Sebelum genggamannya terlepas, pria pemilik alis tebal itu segera membalas, "Saya Nathan Lee. Salam kenal, Diana, semoga kita bisa berhubungan dengan baik."Darahnya berdesir hangat, wajah Diana tidak luput dari rona merah setelah mendengar suara basnya. Cepat-cepat Diana menarik tangan karena merasa malu. Astaga, dia tidak percaya kalau Nathan berhasil membuatnya gelagapan sampai ingin kabur dari sana."Silakan duduk," ucap James kemudian. "Berhubung kalian akan menikah sebentar lagi, tidak ada salahnya untuk saling bertanya dan mengenal satu sama lain. Saya dan ibunya Diana akan menemani kalian agar tidak canggung, tapi kami tidak akan menganggu."Nathan terkekeh tipis. "Seperti ini malah lebih bagus, saya pikir akan lebih mudah untuk mengenal Diana dari orang tuanya. Tapi, maaf karena saya sendiri belum bisa mengajak keluarga," katanya."Oh, itu tidak masalah, Nak. Pasti akan merepotkan orang tuamu juga kalau harus datang sekarang. Asalkan mereka bisa hadir di acara pernikahan kalian nanti," sahut Yuna."Benar. Pernikahan kalian akan digelar dua minggu lagi, semuanya sedang dipersiapkan. Akan ada beberapa media juga, tapi tenang saja, wajah tampan dan nama Nathan akan dirahasiakan." James tertawa ringan khas bapak-bapak. "Semoga pernikahan ini lancar, begitu juga dengan kehidupan rumah tangga kalian. Nanti, kalian juga harus berbincang tentang rencana hidup kedepannya, bagaimana cara menjalin kebersamaan di tengah kesibukan, tentang rencana memiliki anak, atau mungkin kalian masih ingin fokus dengan pekerjaan, seperti itu," katanya.Yuna lantas menambahi, "Kalian harus banyak mengobrol dan terbuka satu sama lain. Dalam pernikahan, tiap waktunya pasti akan diisi oleh kompromi, kerja sama, komunikasi dan kemesraan juga. Mungkin awalnya memang malu-malu, tapi kalian pasti akan terbiasa untuk berkomunikasi seperti sahabat, pelan-pelan saja.""Nathan harus banyak bersabar, Diana ini anaknya memang pemalu, tapi kalau sudah kenal lama denganmu, dia pasti akan bercerita panjang lebar setiap hari.""Ayah, itu terlalu dilebih-lebihkan!" timpal Diana seraya tercengir. "Aku bukan pemalu yang mahal bicara ataupun periang yang hobi bercerita, aku bisa menyesuaikan diri dengan semua situasi.""Itu bagus." Nathan terseyum tipis sembari menatap sosok manis di hadapannya, namun Diana tidak pernah membalas tatapan itu dan terus menundukkan pandangan dengan wajah memerah. Dia pasti malu."Oh ya, Diana, sudah selesai membuat daftar undangan? Siapa saja yang akan diundang?" tanya James kemudian."Sudah, Ayah. Aku akan mengundang sebagian teman artis, staf pribadi dan manajerku.""Ah, baguslah, tidak perlu banyak-banyak. Kalau dirimu, Nathan? Apa kau juga akan mengundang teman, atau hanya keluarga? Jika perlu, saya bisa membiayai akomodasinya," ucap James yang segera dibalas gelengan kepala oleh Nathan."Tidak perlu, terima kasih. Hanya keluarga dekat saya yang akan datang dan mungkin beberapa rekan di perusahaan."Pembohong, seorang agen rahasia itu gemar berbohong. Nathan tidak mengundang satu pun anggota keluarga pada pernikahannya yang mewah dan meriah itu, tidak akan pernah dan tidak akan bisa. Orang-orang yang dia bawa kemari hanyalah agen bayaran yang tidak punya hubungan apa pun dengannya, ayah dan ibunya pun hanya figuran semata. Harap-harap tidak ada yang curiga. Memang terdengar kejam, namun itulah satu-satunya cara yang dapat Nathan lakukan.Pengecualian untuk dua orang yang sedang asyik mencicip makanan Korea di sana, Julius dan Nicholas. Mereka adalah teman-teman yang tidak pernah diundang oleh Nathan, namun nekat untuk ikut dengan alasan meramaikan."Makanlah sepuas kalian, atau bungkus saja sekalian untuk dibawa pulang, di Amerika tidak ada yang seperti ini 'kan?" Nathan menertawai kedua orang itu selagi menggandeng tangan Diana yang terlihat amat manis di sampingnya."Sumpah, ini sangat lezat! Aku bahkan tidak melirik taco saking lezatnya makanan ini. Kau beruntung bisa memakannya setiap hari, Nathan," kata Julius di saat mulutnya penuh oleh kimchi.Nicholas menyahut, "Tidak setiap hari juga, bodoh! Kau pikir setiap hari ada pernikahan?""Ah, sebenarnya kimchi memang bisa dihidangkan kapan saja." Ucapan Diana itu sontak membuat Nicholas terpojok, sementara Julius terus menertawakannya."Mereka berdua adalah rekan kantorku, mereka memang aneh," bisik Nathan kepada Diana dalam bahasa Korea, mungkin agar tidak dimengerti oleh mereka.Diana hanya tertawa kecil sebagai tanggapan. Sebenarnya dia agak terkejut karena belum biasa mendengar Nathan berbahasa Korea, dan yang tadi itu adalah kali kedua setelah ucapan janji sucinya.Ya, hari ini tanggal 23 Juni, Nathan Lee dan Diana Park sudah resmi menjadi sepasang suami istri di atas kertas. Tanpa mengetahui dengan pasti apakah saat ini atau di masa depan, akan ada rasa cinta dalam pernikahan mereka? Diana yang sejak awal terpikat oleh Nathan juga merasa bingung. Dia ini benar-benar mencintai Nathan atau hanya menyukainya sesaat? Banyak yang bilang bahwa cinta ada karena terbiasa. Mungkin nanti, perlahan-lahan benih cinta juga akan tumbuh di antara mereka."Diana!"Mereka semua menoleh ke arah datangnya wanita yang membawa sebuket bunga, itu adalah manajer Diana, namanya Jung Jihan. Syukurlah Jihan datang, Diana yang sama sekali tidak mengerti pembicaraan para lelaki itu akhirnya bisa kabur."Ayo bergabung denganku di sana! Jangan berduaan terus dengan suamimu, dia akan dapat jatahnya nanti malam," bisik Jihan, lalu cepat-cepat dia menarik dan menjauhkan Diana dari tiga pria di sana.Nathan hanya bisa tersenyum saat melihat istrinya dibawa pergi, mereka juga sempat melambaikan tangan dari kejauhan. Pria rupawan yang tampak sempurna dalam jas hitam itu kemudian berbalik menghadap dua orang di belakangnya yang malah terbahak-bahak."Ey, di sini banyak wanita cantik, ya. Waspadalah dengan para lelaki, istrimu bisa direbut oleh mereka." Ucapan Julius itu membuat Nicholas tertawa."Kau ini suka sekali berpikiran negatif! Tidak masalah untuk bersikap waspada, tapi kau harus ingat kalau seorang artis pasti punya penggemar di mana-mana dan dikagumi oleh banyak orang. Kau harus melatih kecemburuan, jangan sampai cemburu tanpa alasan," kata NicholasJulius tersenyum aneh dan berbisik kepada Nathan. "Tapi tenang, sekarang dia adalah milikmu, hanya kau yang bisa menciumnya kapan saja!"Nathan berjalan lambat laun memasuki rumah bernuansa modern milik Diana. Sekarang adalah hari kedua setelah mereka menikah, Nathan baru saja pulang dari pertemuannya dengan keluarga besar Park. Jam dinding hampir menunjukkan pukul 12 malam dan tidak ada siapa pun di sekitar Nathan. Seperti menyusuri museum, pria tampan itu terus mengamati setiap inci rumah dengan mata elangnya. Melihat-lihat vas bunga besar di sekitar ruang tamu, lukisan dan karya seni yang terpampang di dinding hingga sudut-sudut atas ruangan. Hanya ada satu CCTV yang terpasang di ruang tamu itu dan mengarah ke pintu masuk utama, maka Nathan berjalan menuju titik buta, lebih tepatnya mendekati kabinet yang terletak di samping tangga. Nathan langsung meletakkan benda seukuran kuku orang dewasa di antara tumpukan buku dan hiasan bunga. Bukan apa-apa, itu hanya alat perekam sederhana yang akan ia sembunyikan di kamarnya juga. Untuk berjaga-jaga. Kemudian Nathan berangsur menaiki tangga, dia tetap harus melangkah dengan
"Ini adalah kawasan manufaktur milik Han Hillen, semua proses mulai dari pengembangan hingga pembuatan senjata dilakukan di sini." Para petinggi Han Hillen bersama Nathan Lee sedang melakukan kunjungan ke pabrik besar di pinggiran Kota Seosan. Sebagai perusahaan senjata terbesar di Negeri Gingseng, Han Hillen punya infrastruktur memadai dan lingkungan kerja yang kondusif. Tempatnya cukup dekat dengan perairan dan jauh dari pemukiman penduduk, pun sering disebut sebagai area terlarang bagi orang biasa. Setidaknya itulah yang Nathan ketahui tentang tempat ini. Kebetulan mereka datang saat jam kerja, jadi tidak banyak orang yang berlalu lalang di luar pabrik, hanya ada beberapa pegawai berseragam dan juga tentara yang memandang eksistensi Nathan dengan aneh. "Satu jam lagi kita akan mengadakan pertemuan dengan pihak produksi, tapi sebelum itu, mari kita masuk lebih dalam ke area pabrik," ajak James. Tidak ada yang menarik, atau mungkin belum. Nathan hanya melihat puluhan senjata api y
Usia pernikahan mereka sudah memasuki minggu ke-empat. Sudah bisa meminimalkan rasa canggung dan saling mendekati layaknya remaja yang sedang berpacaran. Untuk mendukung usaha pendekatan itu, Diana sengaja membuat acara makan malam di halaman samping rumah, sekaligus juga menjadi perayaan karena dia akan merilis albumnya akhir bulan depan, pada akhir musim panas. Malam itu terasa hangat sebab panggangan barbeku yang masih menyala di depan mereka. Ditemani keindahan Kota Seoul dan secangkir teh hangat, Nathan terus memainkan gitar cokelat di tangannya sementara Diana bernyanyi ria. "Kau tahu lagu milik Justin Bieber, Off My Face?" tanya Diana selagi menatap suaminya. Nathan lantas tersenyum dan mengangguk, disusul petikan gitar untuk meyakinkan Diana kalau dirinya memang tahu. Diana jadi sangat gembira, dia kembali meminum tehnya sebelum mulai bernyanyi. "One touch and you got me stoned, higher than I've ever known, you call the shots and I'll follow. Sunrise but the night's stil
Nathan terbangun dari tidurnya pada jam setengah 4 pagi akibat getaran alarm ponsel yang memang sudah dia rencanakan. Dia beringsut turun dari kasur sambil membawa ponsel tersebut dan perlahan-lahan menuju sisi lain tempat tidur. Tangannya sedikit melambai di depan wajah Diana untuk memastikan bahwa wanita manis itu masih pulas. Kemudian Nathan juga mengambil ponsel milik Diana dan membuka layar kunci dengan sidik jari istrinya itu. Nathan hampir tidak menimbulkan suara sedikit pun, kecuali derit pintu balkon yang cukup nyaring hingga membuatnya panas dingin. Untung saja Diana tidak terbangun. Meski sudah berada di luar ruangan, Nathan tetap harus berjaga-jaga dan mengawasi Diana karena tidak ada tirai yang menutupi balkon kamarnya. Sebenarnya, apa yang sedang dilakukan oleh Nathan? Dia tampak membuka aplikasi telepon di smartphone milik Diana, lalu mencari-cari nomor dengan panggilan tak terjawab paling banyak. Ada 5 nomor telepon yang kemudian dia lacak menggunakan ponsel miliknya
Sekitar pukul 2 siang, suasana kantor cabang Edenma di Korea Selatan itu terlihat sepi, hanya ada beberapa orang di sana termasuk Nathan yang baru saja datang. Dia berlagak sibuk seperti direktur pada umumnya, turun dari mobil dan berjalan cepat menuju pintu masuk. Jangan berpikir kalau orang-orang di sana adalah pegawai perusahaan sungguhan, itu tidak tepat. Meskipun kalian akan melihat logo Edenma dan berkas-berkas riset mereka, namun semuanya jelaslah tipuan belaka. Seorang pria dengan name tag Johansson segera menghampiri Nathan ketika dia duduk di sofa khusus tamu. Bersamaan dengan itu, pramukantor wanita juga datang dan menyuguhkan kopi untuk mereka berdua. "Seperti yang sudah kubilang, ini tentang nomor yang kau berikan kepada Agen Mark." Ucapan Johansson menggantung, dia ingin duduk terlebih dahulu di depan Nathan. "Dia hanya berhasil meneror seorang wanita muda sebatang kara, tapi tidak sampai membunuhnya." "Bukankah aku memberikan 2 nomor?" tanya Nathan. "Ya, kau tidak ak
"Siapa yang mau koktail?" Sembari membawa nampan berisi dua gelas koktail di tangannya, Diana datang bersama senyuman manis kepada Nathan yang sedang asyik bersantai di ruang televisi. Akhir pekan memang waktu terbaik untuk bermalas-malasan, Nathan sangat menyukai kesempatan langka ini. Nyaris satu jam dia menonton tayangan drama Korea dan tidak pernah beranjak dari sana saking serunya. Namun ketika Diana datang, dia langsung mengalihkan seluruh atensi kepada istri cantiknya itu. "Tentu saja aku, Diana, siapa yang bisa menolak kesegaran koktail di musim panas?" Nathan tersenyum senang ketika menerima koktail yang disuguhkan. Meskipun dia sedikit merasa trauma terhadap minuman yang dicampur dengan tequila. Kenapa juga Diana harus menyajikan margarita? "Biasanya aku akan membuat teh omija untuk minuman musim panas, tapi kali ini aku membuat margarita khusus untukmu," kata Diana seraya duduk di sofa terpisah. Tidak lepas dari senyuman dan decakan kagum setelah mencicip minumannya, Na
"Bagaimana kabarmu di sana?" tanya Nathan, paginya terasa kosong karena hanya bisa menyapa Diana lewat panggilan telepon. "Aku baik-baik saja, hanya sedikit kelelahan dan jadwalku masih padat. Bagaimana denganmu?" "Aku juga baik, hanya rindu kepadamu." Bibir Nathan bekernyut menahan senyum sekaligus malu, kemudian langsung menambahi, "Tetap jaga kesehatan dan gunakan waktu istirahatmu dengan baik, Diana. Pagi ini kau sudah makan?" "Sudah! Kau juga jangan lupa makan, ya? Ehm, omong-omong, nanti malam aku ingin makan bersamamu, bisakah kau datang ke agensi hari ini?" "Kuharap aku bisa, aku akan membereskan pekerjaan dan datang ke sana secepat mungkin." "Yeay! Aku senang jika kau bisa datang, tapi aku juga tidak memaksa, selesaikanlah dulu semua pekerjaanmu sebelum datang ke sini." "Baiklah, sampai jumpa nanti sore." "Sampai jumpa!" Sebuah senyuman terus saja terukir di bibir Nathan meski sambungan telepon dengan Diana sudah berakhir. Nathan tidak sabar untuk bertemu Diana sore n
"Jadi, Hera, ada cerita menarik apa selama dua minggu terakhir?" tanya Nathan sembari memandang rekannya yang hampir 3 minggu tidak ia jumpai. Nathan sibuk menemani Diana di masa-masa promosinya yang sampai sekarang masih belum selesai. Tetapi akhirnya dia sadar bahwa dia tidak boleh melakukan itu terus menerus, dia harus menjalankan tugas yang jadi prioritas utamanya. Saat ini, dia dan Hera berada di sebuah kafe besar yang cukup ramai dan berisik. Mereka sengaja memilih tempat duduk paling ujung karena tidak ingin menanggung risiko jika rahasia mereka bocor kepada publik. Tidak lama kemudian, Hera memulai cerita panjangnya. "Dua minggu yang lalu, Direktur Park meliburkan hampir semua karyawan, pabriknya dijaga dengan sangat ketat dan hanya para pegawai terpilih yang bisa masuk, aku salah satunya. Jadi, sudah ada ilmuwan asing yang katanya akan mencoba meningkatkan kadar uranium dan membantu pembuatan senjata nuklir. Lalu, mereka juga akan membangun sesuatu di area paling belakang
Pandangnya tak beralih sedikitpun dari keramaian kota di bawah sana, mengamati lalu lintas masyarakat yang tengah bersiap menyambut hujan. Secangkir kopi di tangannya ampuh untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca sedang dingin. Luiza terpejam, mendengar alunan musik klasik yang baru saja diputar oleh seseorang. Lambat laun orang itu berjalan dan lantas memeluk tubuh Luiza dari belakang. "Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, pada akhirnya, kau tidak bisa lepas dan akan tetap jadi milikku. Bagaimana bila kita menikah?" tanya Kenzo, serta-merta membuat Luiza terpatung merenungkan berbagai hal di benaknya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengajakku menikah. Apa untungnya bagimu?" "Agar aku bisa memilikimu sepenuhnya, tentu saja. Kau akan jadi pendamping yang ideal, dan aku tidak akan ragu lagi untuk memberikan apapun kepadamu. Kau bisa mendapat setengah kekayaanku, kau bisa berkumpul dengan pasangan para petinggi, kau juga akan mendapat kekuasaan mutlak dalam organisasi."
Kegaduhan terus berlanjut, Kenzo menyeret Luiza masuk ke dalam kamar di samping ruangannya. Tempat serba merah yang biasa mereka pakai untuk memadu kasih atau sekedar beristirahat. Luiza tidak pernah suka jika dirinya dibawa kemari, apalagi dengan keadaan seperti sekarang, dia lebih baik mati. "Apa lagi yang akan kau lakukan?!" Kenzo membanting tubuh Luiza ke atas kasur, dia turut merangkak naik sehingga wanita cantik itu mundur ketakutan. Air mata tak hentinya membanjiri, Luiza semakin dibuat gelisah saat Kenzo mengambil dua gelung rantai besi. Dia hanya bisa menatap dengan nanar semua kelakuan sang bos. Pakaian Luiza dilucuti, menampilkan tubuh indah yang bergetar hebat menahan tangisan. Kedua tangan dan kakinya dibuka dan dirantai pada tiap sudut kasur, tangisan yang mengeras pun tidak pernah dihiraukan. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyentuh tubuh ini," ucap Kenzo. Perlahan-lahan mengelus dan meremas buah dada di hadapannya. Dia berusah
Tatapan bengis itu mengandung kobaran amarah, Kenzo tidak bisa tenang saat melihat wanitanya bersama dengan orang lain. Dia berlari secepat kilat ke arah mereka yang masih terpaku mencerna situasi. Kenzo menarik kerah baju Romano dengan keras, lantas melayangkan tatapan dan tinjuan nyalang. "Bajingan!" BUGH! BUGH! BUGH! Tiga tonjokan mendarat tepat di rahang Romano, membuat pemuda itu tersungkur ke atas sofa dengan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Tidak berhenti di sana, tangan Romano kembali ditarik hingga jatuh dan langsung dihantam pukulan telak pada kepalanya. Lumayan sakit, ralat, sakit sekali. Sampai-sampai Romano tidak dapat melihat sekitar dengan jelas. Namun, berkat instingnya, Romano berhasil membalas. Dia mendepak kaki dan punggung Kenzo dengan sangat keras, kemudian bangkit dan memakai sikunya untuk menyerang leher si bos berkali-kali sampai ia terjatuh. Ketika itu, Romano berpaling pada Luiza yang hanya bisa tertegun melihat perkelahian mereka. Tanpa mengeluark
Romano terus menatap wanita cantik yang mulai mengerjapkan mata dan tersadar dari tidurnya, dia sudah menanti-nanti momen ini bersama dengan seorang dokter. Itu adalah Bella. Nyaris 24 jam ia tak sadarkan diri akibat racun yang menyerang tubuhnya, namun dia beruntung karena berhasil diselamatkan. Meski dokter berkata bahwa sebagian tubuhnya itu akan sulit berfungsi selama beberapa waktu. "Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter kepada Bella. Perempuan itu hanya diam melihat dua orang di sebelahnya, lalu sekonyong-konyong dia menunjukkan raut terkejut. "Aku masih hidup?""Benar, kau berhasil selamat dari kematian, kau senang?""Tentu saja, Dok!" Bella tersenyum lebar, dia beralih menatap Romano dan bertanya, "Kau menyelamatkanku? Kau berhasil mendapatkan penawarnya dari Luiza? Terima kasih banyak, aku berhutang nyawa kepadamu."Romano ikut tersenyum. "Berterima kasihlah kepada Luiza," katanya."Baiklah, tapi dia juga adalah orang yang membuatku terbaring di sini," rengut Bella, ha
Suasana gelap dan sunyi kian dirasakan oleh beberapa anggota yang sedang bersembunyi di balik peti-peti kontainer. Gudang terbengkalai itu sering digunakan oleh gembong narkoba untuk bertransaksi dengan para pelanggannya, seperti saat ini. Luiza dan Romano, serta tiga mafioso lain terus mengawasi transaksi yang dilakukan oleh beberapa orang di seberang sana.Tentu saja itu bukan proses jual beli biasa, sebab, si gembong berkata bahwa pelanggannya kali ini adalah mantan napi dan berpotensi melakukan penipuan. Sialnya, semua dugaan itu benar-benar terjadi. Setelah menerima bungkusan hitam besar, pria penuh tato dan anteknya di sana tiba-tiba menembakkan pistol kepada seluruh anak buah gembong narkoba, lalu hendak kabur tanpa membayar sepeser pun. Beruntungnya, ada Luiza yang segera memerintahkan para anggota untuk turun tangan. Romano notabenenya sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, mau tak mau dia harus ikut berkelahi dan menyerang antek si mantan napi. Beberapa kali mendaratka
Pesta perayaan kembali terjadi di dalam aula besar klan Provenzano. Banyak para anggota dan rekanan yang menentang keputusan ini, namun mereka tidak bisa melakukan apa pun saat seorang primadona yang biasa mereka puja puji, yang biasa mereka gauli, kini telah diangkat menjadi anggota tetap seumur hidupnya. Melupakan fakta bahwa dia bukanlah keturunan asli Italia. Sekarang, tidak ada lagi yang dapat menggoda dan mendekatinya. Karena cinta, dilarang dalam keluarga. Meskipun begitu, tetap ada banyak orang yang bersuka ria dan memberi selamat kepada Luiza sebagai anggota keluarga baru mereka. Luiza telah mendapat tempat khusus yang membuatnya lebih ditinggikan. "Tidak akan ada orang yang berani menyentuhnya, kecuali jika orang itu ingin dibakar hidup-hidup oleh Roman," ucap Aldo sembari memperhatikan Luiza yang tengah bercakap-cakap di depan sana. Romano yang berada di sampingnya hanya terdiam, berlagak tak mendengar walaupun jelas-jelas ia memikirkan hal tersebut. Apakah nanti, Roman
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hati dan pikiran Romano rasanya tidak bisa sinkron mendengar penuturan itu. Ia tak habis pikir dengan semua hal yang terjadi barusan, apakah dirinya benar-benar mencumbu seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain? Apakah dia sudah bisa disebut sebagai bajingan? Pria itu tertunduk dalam-dalam dan memijat kepalanya yang pening, Luiza bahkan tidak menunjukkan rasa sesal karena telah berselingkuh. "Kenapa baru sekarang kau memberi tahuku? Apa kau tahu betapa bersalahnya aku? Kenzo adalah kekasihmu, lebih dari itu, dia adalah ayah dari anak yang kau kandung," tegas Romano, lalu terkekeh dengan sinis. "Kau lebih dari sekadar mengkhianatinya.""Tidak, kau tidak mengerti! Sudah kubilang Kenzo itu bukan manusia! Dia iblis yang sudah membunuh anaknya!"Luiza mulai terisak, dia menangis sejadi-jadinya. Masih dengan perasaan kacau, tubuhnya ditarik oleh tangan hangat Romano. Biarpun tak mengerti dengan keadaan ini, Romano tetap merengkuh tubuh
Kaki jenjang beralas high heels membawa wanita itu ke dalam ruangan gelap dan sunyi—apartemen mewah bernuansa klasik yang menjadi destinasinya hampir tiap hari. Jika tidak berada di markas, sudah pasti Luiza ada di sini. Tempat milik seorang lelaki yang saat ini masih terbalut jubah mandi, sedang duduk bersandar di atas kursi dan menikmati segelas anggur. "Kenapa tidak pergi ke markas, Tuan Kenzo?" Suara lembut itu membuat Kenzo berpaling pada kekasihnya yang tengah menampilkan senyum manis seperti biasa. Kenzo sudah lama menanti kedatangannya sampai jenuh, namun Luiza justru tercengir tanpa dosa selagi merebut gelas anggurnya. "Harusnya kau datang lebih awal." Kenzo merajuk, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luiza. "Banyak data perusahaan yang harus kulengkapi, harusnya aku juga ada di kantor utama saat ini. Membosankan, perkelahian jauh lebih baik daripada ini semua," katanya. Luiza hanya bergumam dan mengusap-usap kepala Kenzo dengan lembut selagi meminum habis
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj