Merenung, sepertinya adalah kegiatan rutin Nathan akhir-akhir ini. Bukan tanpa alasan. Siang tadi, dia mendapat pesan dari Johansson untuk segera memutus hubungan dengan semua orang yang ada di Korea Selatan, termasuk Diana. Padahal, tadinya Nathan ingin mengajak Diana berlibur, namun dia tidak punya banyak waktu. Selama ini, Nathan menganggap bahwa pernikahannya dengan Diana akan berlanjut sampai mereka tua. Namun kemudian dia sadar, pernikahannya itu tidak suci, hanya main-main dan merupakan bagian dari rencana yang tak bermoral. Dia tidak ingin meninggalkan Diana, tidak pernah ingin. Namun dia harus. Bohong jika Nathan berkata bahwa dia tidak jatuh cinta kepada Diana. Dia jatuh cinta, dengan sangat dalam. Tiap ucapan, tiap pemikiran, tiap senyuman, tiap-tiap bagian dalam diri Diana, Nathan mencintai semuanya tanpa terkecuali. Perasaan yang awalnya ia sangkal, justru tumbuh semakin besar. Dan perasaan itu seharusnya tidak pernah ada. Sudahlah, percuma saja Nathan berandai-andai
Dua orang itu duduk berjauhan dan saling terdiam, tak ada sedikitpun ekspresi yang tampak di wajah mereka. Diana berada di pojok kepala kasur, bersandar sambil memeluk bantal dan pandangannya tertuju jauh ke arah balkon. Sedangkan suaminya, Nathan, duduk di tepi kasur setelah memperlihatkan surat cerai yang kini tergeletak tak berguna di antara mereka. Lamunan keduanya berlangsung cukup lama, memikirkan betapa sulitnya untuk mengakhiri hubungan saat tidak ada perkara yang terjadi, kecuali perbedaan. Sayang, mereka harus kembali menjalani hidup sesuai profesi yang bertentangan satu sama lain. Diana dengan hidupnya yang bergelimang harta dan popularitas, yang selalu disorot kamera dan disebarkan ke seluruh media. Sementara Nathan, dia bergerak di 'bawah tanah' agar baunya tak sedikitpun dicium oleh lawan. Hal itulah yang seolah memaksa mereka untuk melakukannya, perpisahan. "Diana ..." "Pergilah." Ketika itu, Nathan lebih dulu membuka suara, namun Diana langsung menyela dengan suara
"NATHAN LEE! KELUAR KAU!"Teriakan itu menggelegar ke segala penjuru rumah. Diana yang sedang berada di dapur lantas berlari ke arah depan dan menemukan James Park dengan amarah yang berapi-api. "Diana! Katakan di mana Nathan Lee! Aku akan membunuhnya sekarang juga!" ketus James.Diana menggelengkan kepala dengan tegas. "Tidak ada, dia sudah pergi," katanya. Pria paruh baya itu segera mendekat dan mencengkeram kedua bahu Diana, pandangannya tajam menusuk, sama seperti suaranya ketika dia bicara, "Ke mana perginya Nathan Lee? Jelaskan apa yang kau maksud, Diana Park! Apa kau tahu bahwa dia adalah mata-mata? Dia mencuri informasi perusahaanku! Dasar keparat sialan itu! Katakan ke mana dia pergi!" "A-aku tidak tahu, Ayah. Dia pergi tadi malam. Aku tahu siapa dia, dan ... kami sudah bercerai," gumam Diana sembari tertunduk menyembunyikan rasa takutnya. "Kenapa? Kenapa kau membiarkannya pergi?!""Mana kutahu! Jangan salahkan aku atas perbuatan yang sudah Ayah lakukan! Kenapa Ayah bisa
Pulang, adalah waktu yang paling dinantikan oleh Nathan. Liburan musim dingin tahun ini akan sepenuhnya ia gunakan untuk pulang ke Connecticut, kampung halaman, tempat orang tua dan kedua adiknya tinggal. Meski tugas menuntut Nathan untuk berpindah dari satu tempat ke tempat lain, rumah paling nyaman tentulah ada di Kota Ridgefield. Dia turun dari bus dengan senyuman gembira. Sembari menggendong tas punggung, kakinya melangkah lebih jauh ke dalam kompleks perumahan yang hijau dan asri, hingga akhirnya tiba di depan hunian bertingkat gaya Amerika. Nathan, sejatinya hanyalah seorang anak yang sedang merindukan rumah, begitu melihat sang ibu keluar dari pintu untuk menyambutnya, senyuman Nathan langsung terlukis amat lebar dan segera menghampiri wanita baya bernama Sarah itu. "Austin, akhirnya kau pulang. Tidak ada yang lebih membahagiakan selain melihatmu pulang dengan selamat." Sarah menangkup wajah anak sulungnya dengan bangga."Aku ingin eggnog hangat buatanmu," celetuk Nathan, itu
"Romano Emanuel? Kau sungguh-sungguh ingin bergabung dengan organisasi kami? Posisi apa yang kau harapkan?"Tatapan menantang dari mata setajam tombak itu tertuju kepada sosok lelaki yang berdiri di tengah ruangan. Dentingan metronom terdengar begitu keras, membuat atmosfer dalam ruangan mewah bergaya Eropa itu kian mencekam. "Kapten." Tanpa bergerak sedikitpun, orang yang disebut Romano menjawab.Gelak tawa meremehkan keluar begitu saja dari mulut seorang Victor Provenzano, bos besar mafia dari klan Provenzano. Lengkap dengan topi fedora dan jas hitam yang membalut tubuhnya, Victor berjalan menghampiri Romano. Dia dapat mengetahui semua riwayat hidup Romano dari berkas yang telah diberikan oleh ajudannya. Namun, tentu saja data dan informasi dalam berkas alakadarnya itu adalah palsu.Satu hal yang baru saja Romano ketahui, para mafia di Italia belum menggunakan teknologi canggih untuk membantu pekerjaan mereka. Tentu saja, pada bidang teknologi dan informasi, Romano yang paling ungg
"Apa tujuanmu mengundangku kemari?" Romano memberikan pertanyaan tersebut kepada Luiza, tepat setelah dirinya duduk pada sofa yang ada di dalam 'ruang beracun' milik wanita itu. Romano memang mendapat undangan lewat surat kertas dari Luiza untuk datang ke tempatnya malam itu. Saat datang, dia dibuat heran karena ruang beracun yang kiranya benar-benar 'beracun' itu ternyata hanya sebuah kamar normal dan wangi khas perempuan. Mungkin, parfum dengan aroma menyengat hidung adalah racun yang dimaksud oleh Luiza. "Sebelum itu, mari kita minum terlebih dahulu! Ini adalah anggur buatan Italia yang sudah difermentasi selama belasan tahun. Makin lama waktu fermentasi, makin nikmat pula rasa anggur ini." Luiza mengangkat gelas anggurnya, disusul oleh Romano yang segera menyesap minuman tersebut. "Baiklah, aku akan membaca tata tertib dan aturan organisasi untuk kau pahami." Luiza tersenyum manis, kemudian bangkit dan berdiri di hadapan Romano sembari memegang kertas kuning, kemudian mulai be
Asap tipis mengepul dari cangkir teh yang baru saja diseduh oleh pemiliknya. Luiza berjalan santai ke ruang tengah seraya membawa cangkir teh tersebut dan membiarkannya hangat di atas meja. Sementara itu, dia pergi untuk mengambil sebuah buku dari rak besar di sudut ruangan. Waktu luangnya memang sering ia habiskan untuk membaca buku dan menambah pengetahuan baru. Alih-alih novel cinta, Luiza memilih buku filsafat sebagai cerita yang menarik. Kaki jenjangnya menyilang di atas meja dan punggungnya bersandar pada sofa, kehangatan sore hari menambah fokus dan rileks. Tempat yang ia tinggali saat ini adalah rumah singgahnya di markas, yang di atas pintunya terdapat papan 'ruang beracun.' Hanya sampai pada lembaran ke empat, dirinya berhenti membaca akibat suara ketukan pintu yang menganggu. Luiza menutup buku dengan kesal, lalu melemparnya sembarang dan beranjak ke depan. Romano telah berdiri dengan percaya diri ketika Luiza membuka pintu. Wanita itu lantas tersenyum simpul dan mempers
Dering ponsel mengalihkan atensi Romano yang baru saja keluar dari kamar mandi, selesai menyegarkan tubuh yang lelah akibat belum sepenuhnya beradaptasi pada pekerjaan baru. Siapa sangka, bergabung dengan kelompok kriminal itu sangat melelahkan. Romano harus memeras orang-orang kaya setiap hari dan menggunakan kejahatan yang butuh tenaga lebih banyak. Cukup berlawanan dengan tugasnya sebagai agen intelijen yang hanya perlu mempermainkan pikiran. Dia berdecak malas saat mengambil ponsel, ada nama Leo di layar yang langsung membuatnya mengangkat panggilan tersebut. "Kapten sudah menunggumu."Matanya melirik jam dinding, belum genap pukul tujuh pagi. Lelaki itu segera menutup telepon dan beralih mengenakan pakaiannya. Kemeja putih, celana dan jas hitam menjadi setelannya hari ini. Satu kesamaan dengan pekerjaan asli, selalu tampil rapi. Romano juga tidak lupa menyisir rambutnya ke belakang, mengekspos dahinya dengan sempurna. Rahang tegas dan alis tebal membuat wajahnya berkharisma,
Pandangnya tak beralih sedikitpun dari keramaian kota di bawah sana, mengamati lalu lintas masyarakat yang tengah bersiap menyambut hujan. Secangkir kopi di tangannya ampuh untuk menghangatkan tubuh ketika cuaca sedang dingin. Luiza terpejam, mendengar alunan musik klasik yang baru saja diputar oleh seseorang. Lambat laun orang itu berjalan dan lantas memeluk tubuh Luiza dari belakang. "Tidak peduli seberapa besar kebencianmu, pada akhirnya, kau tidak bisa lepas dan akan tetap jadi milikku. Bagaimana bila kita menikah?" tanya Kenzo, serta-merta membuat Luiza terpatung merenungkan berbagai hal di benaknya. "Aku tidak pernah berpikir bahwa kau akan mengajakku menikah. Apa untungnya bagimu?" "Agar aku bisa memilikimu sepenuhnya, tentu saja. Kau akan jadi pendamping yang ideal, dan aku tidak akan ragu lagi untuk memberikan apapun kepadamu. Kau bisa mendapat setengah kekayaanku, kau bisa berkumpul dengan pasangan para petinggi, kau juga akan mendapat kekuasaan mutlak dalam organisasi."
Kegaduhan terus berlanjut, Kenzo menyeret Luiza masuk ke dalam kamar di samping ruangannya. Tempat serba merah yang biasa mereka pakai untuk memadu kasih atau sekedar beristirahat. Luiza tidak pernah suka jika dirinya dibawa kemari, apalagi dengan keadaan seperti sekarang, dia lebih baik mati. "Apa lagi yang akan kau lakukan?!" Kenzo membanting tubuh Luiza ke atas kasur, dia turut merangkak naik sehingga wanita cantik itu mundur ketakutan. Air mata tak hentinya membanjiri, Luiza semakin dibuat gelisah saat Kenzo mengambil dua gelung rantai besi. Dia hanya bisa menatap dengan nanar semua kelakuan sang bos. Pakaian Luiza dilucuti, menampilkan tubuh indah yang bergetar hebat menahan tangisan. Kedua tangan dan kakinya dibuka dan dirantai pada tiap sudut kasur, tangisan yang mengeras pun tidak pernah dihiraukan. "Aku sangat mencintaimu, aku tidak akan pernah membiarkan seorang pun menyentuh tubuh ini," ucap Kenzo. Perlahan-lahan mengelus dan meremas buah dada di hadapannya. Dia berusah
Tatapan bengis itu mengandung kobaran amarah, Kenzo tidak bisa tenang saat melihat wanitanya bersama dengan orang lain. Dia berlari secepat kilat ke arah mereka yang masih terpaku mencerna situasi. Kenzo menarik kerah baju Romano dengan keras, lantas melayangkan tatapan dan tinjuan nyalang. "Bajingan!" BUGH! BUGH! BUGH! Tiga tonjokan mendarat tepat di rahang Romano, membuat pemuda itu tersungkur ke atas sofa dengan darah yang keluar dari sudut bibirnya. Tidak berhenti di sana, tangan Romano kembali ditarik hingga jatuh dan langsung dihantam pukulan telak pada kepalanya. Lumayan sakit, ralat, sakit sekali. Sampai-sampai Romano tidak dapat melihat sekitar dengan jelas. Namun, berkat instingnya, Romano berhasil membalas. Dia mendepak kaki dan punggung Kenzo dengan sangat keras, kemudian bangkit dan memakai sikunya untuk menyerang leher si bos berkali-kali sampai ia terjatuh. Ketika itu, Romano berpaling pada Luiza yang hanya bisa tertegun melihat perkelahian mereka. Tanpa mengeluark
Romano terus menatap wanita cantik yang mulai mengerjapkan mata dan tersadar dari tidurnya, dia sudah menanti-nanti momen ini bersama dengan seorang dokter. Itu adalah Bella. Nyaris 24 jam ia tak sadarkan diri akibat racun yang menyerang tubuhnya, namun dia beruntung karena berhasil diselamatkan. Meski dokter berkata bahwa sebagian tubuhnya itu akan sulit berfungsi selama beberapa waktu. "Bagaimana perasaanmu?" tanya sang dokter kepada Bella. Perempuan itu hanya diam melihat dua orang di sebelahnya, lalu sekonyong-konyong dia menunjukkan raut terkejut. "Aku masih hidup?""Benar, kau berhasil selamat dari kematian, kau senang?""Tentu saja, Dok!" Bella tersenyum lebar, dia beralih menatap Romano dan bertanya, "Kau menyelamatkanku? Kau berhasil mendapatkan penawarnya dari Luiza? Terima kasih banyak, aku berhutang nyawa kepadamu."Romano ikut tersenyum. "Berterima kasihlah kepada Luiza," katanya."Baiklah, tapi dia juga adalah orang yang membuatku terbaring di sini," rengut Bella, ha
Suasana gelap dan sunyi kian dirasakan oleh beberapa anggota yang sedang bersembunyi di balik peti-peti kontainer. Gudang terbengkalai itu sering digunakan oleh gembong narkoba untuk bertransaksi dengan para pelanggannya, seperti saat ini. Luiza dan Romano, serta tiga mafioso lain terus mengawasi transaksi yang dilakukan oleh beberapa orang di seberang sana.Tentu saja itu bukan proses jual beli biasa, sebab, si gembong berkata bahwa pelanggannya kali ini adalah mantan napi dan berpotensi melakukan penipuan. Sialnya, semua dugaan itu benar-benar terjadi. Setelah menerima bungkusan hitam besar, pria penuh tato dan anteknya di sana tiba-tiba menembakkan pistol kepada seluruh anak buah gembong narkoba, lalu hendak kabur tanpa membayar sepeser pun. Beruntungnya, ada Luiza yang segera memerintahkan para anggota untuk turun tangan. Romano notabenenya sudah terbiasa dengan operasi semacam ini, mau tak mau dia harus ikut berkelahi dan menyerang antek si mantan napi. Beberapa kali mendaratka
Pesta perayaan kembali terjadi di dalam aula besar klan Provenzano. Banyak para anggota dan rekanan yang menentang keputusan ini, namun mereka tidak bisa melakukan apa pun saat seorang primadona yang biasa mereka puja puji, yang biasa mereka gauli, kini telah diangkat menjadi anggota tetap seumur hidupnya. Melupakan fakta bahwa dia bukanlah keturunan asli Italia. Sekarang, tidak ada lagi yang dapat menggoda dan mendekatinya. Karena cinta, dilarang dalam keluarga. Meskipun begitu, tetap ada banyak orang yang bersuka ria dan memberi selamat kepada Luiza sebagai anggota keluarga baru mereka. Luiza telah mendapat tempat khusus yang membuatnya lebih ditinggikan. "Tidak akan ada orang yang berani menyentuhnya, kecuali jika orang itu ingin dibakar hidup-hidup oleh Roman," ucap Aldo sembari memperhatikan Luiza yang tengah bercakap-cakap di depan sana. Romano yang berada di sampingnya hanya terdiam, berlagak tak mendengar walaupun jelas-jelas ia memikirkan hal tersebut. Apakah nanti, Roman
Bagaikan tersambar petir di siang bolong, hati dan pikiran Romano rasanya tidak bisa sinkron mendengar penuturan itu. Ia tak habis pikir dengan semua hal yang terjadi barusan, apakah dirinya benar-benar mencumbu seorang wanita yang sedang mengandung anak orang lain? Apakah dia sudah bisa disebut sebagai bajingan? Pria itu tertunduk dalam-dalam dan memijat kepalanya yang pening, Luiza bahkan tidak menunjukkan rasa sesal karena telah berselingkuh. "Kenapa baru sekarang kau memberi tahuku? Apa kau tahu betapa bersalahnya aku? Kenzo adalah kekasihmu, lebih dari itu, dia adalah ayah dari anak yang kau kandung," tegas Romano, lalu terkekeh dengan sinis. "Kau lebih dari sekadar mengkhianatinya.""Tidak, kau tidak mengerti! Sudah kubilang Kenzo itu bukan manusia! Dia iblis yang sudah membunuh anaknya!"Luiza mulai terisak, dia menangis sejadi-jadinya. Masih dengan perasaan kacau, tubuhnya ditarik oleh tangan hangat Romano. Biarpun tak mengerti dengan keadaan ini, Romano tetap merengkuh tubuh
Kaki jenjang beralas high heels membawa wanita itu ke dalam ruangan gelap dan sunyi—apartemen mewah bernuansa klasik yang menjadi destinasinya hampir tiap hari. Jika tidak berada di markas, sudah pasti Luiza ada di sini. Tempat milik seorang lelaki yang saat ini masih terbalut jubah mandi, sedang duduk bersandar di atas kursi dan menikmati segelas anggur. "Kenapa tidak pergi ke markas, Tuan Kenzo?" Suara lembut itu membuat Kenzo berpaling pada kekasihnya yang tengah menampilkan senyum manis seperti biasa. Kenzo sudah lama menanti kedatangannya sampai jenuh, namun Luiza justru tercengir tanpa dosa selagi merebut gelas anggurnya. "Harusnya kau datang lebih awal." Kenzo merajuk, lalu melingkarkan tangannya pada pinggang ramping Luiza. "Banyak data perusahaan yang harus kulengkapi, harusnya aku juga ada di kantor utama saat ini. Membosankan, perkelahian jauh lebih baik daripada ini semua," katanya. Luiza hanya bergumam dan mengusap-usap kepala Kenzo dengan lembut selagi meminum habis
"Selamat atas kemenanganmu, Eris!" "Full House! Lihat triple Ace itu, sepertinya kau punya banyak stok keberuntungan." "Yang benar saja, ini bukan keberuntungan, tapi strategi!" Luiza tersenyum pongah kepada para penonton dan lima lawan mainnya, dia bersandar pada kursi selagi menyisip anggur ketika seorang pelayan mengumpulkan chips poker yang telah ia menangkan. Sebagian pejudi di kasino itu sudah tak asing lagi dengan sosok Luiza dan kehebatannya. Namun entah mengapa, Luiza lebih sering dipanggil dengan nama Eris saat berada di sana. Di belakang kursinya, sedari tadi Romano berdiri dan mengamati permainan. Tepat setelah permainan itu selesai, dia beranjak pergi menuju bar yang lebih sepi. Kemudian mengapit sebatang rokok dan menyulutkan api dari korek gasnya. Dia tidak terlalu suka merokok, sebetulnya, ini hanya kedok agar dia tampak biasa-biasa saja seperti kebanyakan orang. Diam-diam dia berpikir, bagaimana cara untuk mendekati Luiza dan menghasutnya agar dia menyerahkan senj