“Mas, aku tahu kalau kamu bukan sekadar jurnalis,” ungkap Raina, akhirnya memberanikan diri. Suaranya terdengar mantap, meski ada nada ragu yang samar di ujung kalimatnya.
Dapat wanita itu lihat dengan jelas pundak Jovian yang langsung menegang mendengar perkataannya. Genggaman pria itu di tangan Raina semakin erat, nyaris menyakitkan. Wanita itu menahan napas, merasakan jemari suaminya yang terasa dingin namun kokoh, seolah tak mau melepaskannya.
“Aku nggak sengaja baca SMS kamu… soal penyelidikan sabotase di site,” tanpa memberi waktu bagi sang suami untuk berbicara, Raina melanjutkan perkataannya. Melayangkan pandangan lurus pada pria itu. Manik cokelatnya mencari kejujuran di wajah Jovian yang terlihat tetap tenang, namun kaku.
“Aku juga nggak sengaja dengar waktu kamu nyuruh anak buahmu buat ngehancurin Terra Development. Siapa k
Tawa yang renyah dan berderai seperti bunyi lonceng kecil milik sang suami pecah. Melihat sang istri yang mulai terlihat jengkel dan melepas genggaman mereka, Jovian segera menarik wanita itu ke dalam rangkulan. “Kamu kebanyakan nonton film, sayang,” ucapnya sambil mengecup puncak kepala Raina.Wanita itu menaruh jemari lentiknya di dada bidang Jovian lalu mendorongnya pelan, hingga ia dapat mendongak, menatap sang suami dengan pandangan saksama. “Bener ya? Awas aja kalau sampai kamu ketahuan berantem-berantem lagi kayak kemarin,” ancam Raina.Jovian terkekeh. “Semalem mah ibaratnya pertandingan persahabatan aja, Ray. Bukan berantem,” kilahnya, matanya berkilat nakal.Manik Raina memicing. Kakaknya sampai harus dirawat di rumah sakit, dengan tulang rusuk yang patah dan lebam di mana-mana, sedangkan Jovian juga penuh lecet dan memar. Da
Raina menunggu lift dengan sabar, tetapi pikirannya terus mengulang perlakuan yang didapat pagi ini. Bisikan, tatapan, dan senyum sinis yang dilemparkan karyawan-karyawan kantor sejak ia melangkah masuk, semuanya membekas dan memicu keheranan di dada.Dua karyawati berdiri tak jauh darinya, mengobrol dengan suara cukup keras seakan sengaja ingin didengar.“Enak ya, jadi cucu Dewan Komisaris, bisa cuti seenaknya padahal lagi ngurus proyek besar,” cibir seorang wanita yang mengenakan blus putih garis-garis.“Namanya privilege, sis,” sahut temannya sambil tertawa pendek. “Makanya besok-besok lo lahir di keluarga kaya raya,” lanjutnya dengan nada menggoda.“Tapi jangan deh, kalo cuma jadi anak istri kedua. Nambah-nambahin beban keluarga aja kayaknya,” sahut wanita berkemeja biru. L
Kedua saudari itu terdiam sejenak, saling melempar tatapan dingin sebelum sama-sama menoleh ke arah pintu. Mendapati sosok pria paruh baya masuk tergesa-gesa, wajahnya tegang, dengan alis yang berkerut dalam-dalam.“Astaga, apa yang kalian lakukan? Berhenti!” Pria itu segera menutup pintu dan menarik tirai jendela hingga manik-manik penasaran para karyawan di luar tak lagi dapat mengintip.“Papa!” Vanya langsung menghambur ke arah sang ayah, matanya basah seakan baru saja mendapat perlakuan yang sangat menyakitkan.“Kenapa, sayang? Kamu itu sudah besar kok masih berantem sama adik sendiri,” Papa berbisik lembut, mengusap punggung sang kakak seperti menenangkan anak kecil yang terluka.Vanya mengangkat wajah, sorot matanya penuh kebencian saat menatap Raina yang berdiri di ujung ruangan. “Dia
“Kakek mendengar rumor tidak menyenangkan.” Tanpa banyak basa-basi, sesepuh itu memulai perbincangan. Suaranya sarat dengan kekecewaan.Meski bisa menebak arah pembicaraan, Raina menegakkan tubuhnya. Memilih untuk mendengarnya secara langsung. “Rumor apa, Kek?”Sang sepuh menghela napas panjang sebelum kembali membuka mulut. “Bahwa kamu selingkuh dengan Aksa. Kalau kamu kemarin tidak ke kantor karena liburan dengan tunangan kakak kamu. Banyak cerita lainnya…” Kakek berhenti sejenak, mencengkeram sandaran sofa dengan jemari yang sudah tak sekuat dulu. “Yang bahkan lebih buruk dari itu.”Mendengar tuduhan tersebut dilontarkan dari mulut Kakek, Raina merasa darahnya mendidih. Merasa tak bersalah, manik cokelat wanita itu menatap lurus ke arah sang kakek. “Dan Kakek percaya?”
Raina dan Papa saling bertukar pandang, kebingungan bercampur tanda tanya. Tak satu pun dari mereka menyangka Jovian akan muncul di sini, di tengah situasi rumit ini.“Sebaiknya kamu menunggu di luar. Ini pembicaraan keluarga,” ucap Kakek, nada suaranya dingin dan ketus.Yang diusir hanya menatap sesepuh itu dengan tenang, bibirnya mengulas senyum tipis yang sulit ditebak artinya. “Justru karena itu saya harus hadir di sini. Karena saya suami Raina.”Tanpa menunggu dipersilakan, Jovian melangkah dengan mantap, lalu duduk di samping Raina. Jemari panjangnya meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat, seolah memberi kekuatan tak terucap.Meski masih mencurigai pria itu, senyum lembut Jovian cukup manjur untuk meredakan gejolak emosi dalam hati Raina. Wanita itu merasakan ketenangan yang mendadak mengalir d
Tak lama kemudian, seorang pria berjaket kulit hitam masuk, menggiring asisten Vanya yang terlihat pucat dan gemetaran. Diikuti oleh Jainitra dibelakangnya, yang melangkah ragu-ragu dengan ekspresi wajah penuh kecemasan.Menyadari situasi yang berlangsung, Kakek langsung berdiri, geram. “Apa-apaan ini, Jovian?! Ini perusahaan saya! Kamu tidak berhak ikut campur!” Suara Kakek terdengar mengguntur, nadanya sarat amarah. Pria tua itu memandangi sang menantu dengan tatapan yang nyaris menghujam.Papa ikut beranjak dari duduk, untuk menenangkan sang sepuh. “Ayah, mungkin Jovian punya informasi yang penting. Jika ini bisa membantu kita menemukan siapa yang menyebarkan gosip murahan ini, bukankah kita semua yang akan diuntungkan?” tutur pria dengan kemeja biru laut itu.Sementara Jovian tidak terpengaruh sedikit pun. Pria itu tetap duduk dengan tenang, tak gentar meski pria paling berkuasa di ruangan memandanginya dengan manik menyalang. Jemari panjang pria itu mengusap tangan Raina dengan l
Pundak pria berjaket kulit yang berdiri beberapa langkah di depan mereka bergerak pelan. Tak begitu kentara, namun tak luput dari perhatian Raina. Ada ketegangan samar dalam cara pria itu berdiri.Setelah jeda yang cukup panjang, Jovian tersenyum seraya mengelus pipi pualam sang istri. “Tentu, sayang,” ucap pria itu dengan tenang, ada pendar dalam manik cokelat mudanya yang sulit untuk diartikan. “Aku jamin, kamu akan mengetahui semuanya. Jika waktunya sudah tepat.”Alis Raina berkerut, mencoba memahami apa yang sebenarnya disiratkan oleh kata-kata itu.Sayangnya, sebelum sempat ia menyahut, obrolan mereka terjeda denting lift. Menandakan mereka telah mencapai lantai tujuan.Dengan isyarat singkat, Jovian menyuruh anak buahnya untuk pergi lebih dahulu menggunakan mobil lain. Raina mengamati interaksi kedua pri
KLOTAK!Dengan cepat Raina menoleh, tanpa sengaja mendorong Jovian menjauh. Sementara suaminya menjilat bibir dengan kesal, tampak terganggu oleh interupsi tak terduga yang menjeda keintiman mereka.Ternyata ponsel yang terselip disaku pria itu terjatuh, membentur aspal. Kemungkinan karena gerakan tubuh mereka yang semakin tak sabar menjamah tubuh satu sama lain.Sang wanita terkekeh pelan. Dia kembali berjinjit untuk mengecup rahang suaminya seraya berbisik lembut, “Nanti aku pulang cepat.”Namun ciuman ringan itu tampaknya tak cukup bagi Jovian. Saat Raina hendak berbalik, tangan pria itu menangkap pergelangan tangannya. Menarik wanita itu kembali dalam dekapan. Tanpa peringatan, sang suami melumat bibir Raina dalam ciuman dalam nan panas, membuat wanita itu kehilangan napas.&nb
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.