Raina dan Papa saling bertukar pandang, kebingungan bercampur tanda tanya. Tak satu pun dari mereka menyangka Jovian akan muncul di sini, di tengah situasi rumit ini.
“Sebaiknya kamu menunggu di luar. Ini pembicaraan keluarga,” ucap Kakek, nada suaranya dingin dan ketus.
Yang diusir hanya menatap sesepuh itu dengan tenang, bibirnya mengulas senyum tipis yang sulit ditebak artinya. “Justru karena itu saya harus hadir di sini. Karena saya suami Raina.”
Tanpa menunggu dipersilakan, Jovian melangkah dengan mantap, lalu duduk di samping Raina. Jemari panjangnya meraih tangan sang istri dan menggenggamnya erat, seolah memberi kekuatan tak terucap.
Meski masih mencurigai pria itu, senyum lembut Jovian cukup manjur untuk meredakan gejolak emosi dalam hati Raina. Wanita itu merasakan ketenangan yang mendadak mengalir d
Tak lama kemudian, seorang pria berjaket kulit hitam masuk, menggiring asisten Vanya yang terlihat pucat dan gemetaran. Diikuti oleh Jainitra dibelakangnya, yang melangkah ragu-ragu dengan ekspresi wajah penuh kecemasan.Menyadari situasi yang berlangsung, Kakek langsung berdiri, geram. “Apa-apaan ini, Jovian?! Ini perusahaan saya! Kamu tidak berhak ikut campur!” Suara Kakek terdengar mengguntur, nadanya sarat amarah. Pria tua itu memandangi sang menantu dengan tatapan yang nyaris menghujam.Papa ikut beranjak dari duduk, untuk menenangkan sang sepuh. “Ayah, mungkin Jovian punya informasi yang penting. Jika ini bisa membantu kita menemukan siapa yang menyebarkan gosip murahan ini, bukankah kita semua yang akan diuntungkan?” tutur pria dengan kemeja biru laut itu.Sementara Jovian tidak terpengaruh sedikit pun. Pria itu tetap duduk dengan tenang, tak gentar meski pria paling berkuasa di ruangan memandanginya dengan manik menyalang. Jemari panjang pria itu mengusap tangan Raina dengan l
Pundak pria berjaket kulit yang berdiri beberapa langkah di depan mereka bergerak pelan. Tak begitu kentara, namun tak luput dari perhatian Raina. Ada ketegangan samar dalam cara pria itu berdiri.Setelah jeda yang cukup panjang, Jovian tersenyum seraya mengelus pipi pualam sang istri. “Tentu, sayang,” ucap pria itu dengan tenang, ada pendar dalam manik cokelat mudanya yang sulit untuk diartikan. “Aku jamin, kamu akan mengetahui semuanya. Jika waktunya sudah tepat.”Alis Raina berkerut, mencoba memahami apa yang sebenarnya disiratkan oleh kata-kata itu.Sayangnya, sebelum sempat ia menyahut, obrolan mereka terjeda denting lift. Menandakan mereka telah mencapai lantai tujuan.Dengan isyarat singkat, Jovian menyuruh anak buahnya untuk pergi lebih dahulu menggunakan mobil lain. Raina mengamati interaksi kedua pri
KLOTAK!Dengan cepat Raina menoleh, tanpa sengaja mendorong Jovian menjauh. Sementara suaminya menjilat bibir dengan kesal, tampak terganggu oleh interupsi tak terduga yang menjeda keintiman mereka.Ternyata ponsel yang terselip disaku pria itu terjatuh, membentur aspal. Kemungkinan karena gerakan tubuh mereka yang semakin tak sabar menjamah tubuh satu sama lain.Sang wanita terkekeh pelan. Dia kembali berjinjit untuk mengecup rahang suaminya seraya berbisik lembut, “Nanti aku pulang cepat.”Namun ciuman ringan itu tampaknya tak cukup bagi Jovian. Saat Raina hendak berbalik, tangan pria itu menangkap pergelangan tangannya. Menarik wanita itu kembali dalam dekapan. Tanpa peringatan, sang suami melumat bibir Raina dalam ciuman dalam nan panas, membuat wanita itu kehilangan napas.&nb
Melihat ekspresi panik di wajah Jainitra, Raina segera bangkit dari kursi dan berjalan cepat keluar ruangan. Dengan Papa mengikuti di belakang. Derap langkah mereka bergema di lorong sunyi, menambah ketegangan yang perlahan mengisi udara.“Ada masalah apa?” tanya Papa dengan nada serius ketika mereka tiba di depan lift.Dengan cepat Jainitra mengangguk, menarik napas dalam-dalam sebelum menjawab. “Ada informasi baru, Pak. Hotel saingan kita kabarnya akan meluncurkan area wisata baru…” jelas asisten muda itu. “Tepat beberapa minggu sebelum rencana pembukaan Hotel Sakala,” tambahnya dengan nada khawatir.Mendengar kabar itu, Raina menghela napas panjang dan memijat pelipisnya. Baru saja ia berharap bisa bersantai setelah rapat yang penuh tekanan, kini masalah lain muncul dan kembali mengusik ketenangannya.Ia melirik jam di pergelangan tangan,
“Menurut saya, kita tidak boleh terburu-buru.” Kalimat itu meluncur dari bibir Vanya dengan nada mantap. “Seperti yang Raina katakan, jika kita mengejar waktu tanpa persiapan matang, dampaknya akan jauh lebih buruk. Kita tidak hanya akan kehilangan momentum, tetapi juga merusak citra yang sudah dibangun dengan susah payah.”Meski mengucapkan persetujuan atas pendapat sang adik, rahang Vanya terlihat mengeras, seolah menelan obat pahit. Ada ketidaksukaan yang tak mampu disembunyikan dalam sorot matanya. Perasaan enggan terpendam namun tak bisa dihindari.“Target pasar serta positioning kedua hotel jelas berbeda,” lanjut Vanya, nada suaranya kini lebih terkendali. “Proyek kita kali ini akan memiliki fasilitas premium baru yang belum pernah ada di hotel-hotel Sakala sebelumnya. Ada baiknya kalau strategi marketing kita fokus pada keunggulan itu sebagai nilai ta
‘Apa… kami kemalingan?’Pikiran itu terlintas cepat di benak Raina, namun langsung ia singkirkan. Tidak masuk akal. Jika ini benar pencurian, barang-barang mahal seperti perhiasan dan elektronik pasti akan hilang terlebih dahulu.Tapi yang lenyap justru perlengkapan pribadi milik Raina dan Jovian—buku, dokumen, serta produk perawatan kulit. Semua benda yang mengindikasikan bahwa mereka pernah tinggal di sini. Hal-hal yang membentuk “jejak” kehidupan mereka, seolah telah dihapus dengan sengaja.‘Kalau begitu…apa yang sebenarnya terjadi?’ pikir Raina, perasaan waswas perlahan merayapi pikirannya.Saat ia masih terheran-heran, ponselnya bergetar. Ia melirik sekilas pada layar gawai, membaca nama yang tertera.Jovian.
PRANG!Suara vas porselen pecah berkeping-keping menggema di ruangan gelap. Potongan-potongan kecilnya terpental ke lantai, memantulkan kilau samar di bawah sinar bulan yang menembus jendela. Raina terengah-engah, matanya terbelalak saat menyadari siapa yang berdiri di depannya.“Ray, apa-apaan ini?” Suara berat itu terdengar, diiringi tangan Jovian yang masih terangkat, melindungi kepala dari serangan mendadak sang istri.Raina sama terkejutnya, menyadari ternyata sosok sang suami lah yang muncul di hadapan. Seluruh tubuhnya menegang, campuran keterkejutan dan rasa bersalah menghantam jantungnya.“Mas Jovian? Kamu ngapain di sini?” tanya wanita itu dengan suara bergetar.Melalui temaram cahaya bulan yang melintasi jendela, Raina melihat jelas luka di lengan suaminya. Tak begitu dalam namun mengeluarkan tetes-tetes merah yang mengaliri lengan pria itu.“Mas!&
Jovian yang sudah lebih dulu berjalan di depan tiba-tiba menghentikan langkahnya. Namun pria itu tak langsung berbalik. Ada jeda yang terasa panjang sebelum pria itu akhirnya memutar badan, menatap sang istri. Pada manik kelamnya, sekejap terlihat bayangan yang sulit diartikan—seolah menyimpan rahasia yang tak ingin dibuka.“Dia adikku, sayang,” jawabnya dengan suara rendah. Jemarinya terulur, meraih tangan Raina dan menggenggamnya erat. “Kamu mandi dulu gih, sudah dari pagi kan keluar rumah,” lanjutnya tanpa memberi kesempatan bagi sang istri untuk bertanya lebih jauh.Yang dibalas dengan anggukan pelan oleh Raina, tak ingin membantah meski pikirannya dipenuhi pertanyaan. Kulitnya mulai terasa gatal akibat keringat dan debu yang menempel seharian.Setelah menatap Jovian sejenak, ia melangkah menuju kamar mandi, meninggalkan suaminya yang ma
Persiapan pernikahan berjalan dengan lancar. Terutama karena memang tak banyak yang harus dipikirkan, mengingat pihak keluarga mempelai wanita menginginkan acara yang sederhana. Akad serta resepsi akan dilakukan sesederhana mungkin, hanya dihadiri oleh keluarga dekat serta beberapa kerabat terpercaya.Jovian menurut, karena baginya, yang terpenting adalah menyusup ke dalam kediaman Hartanto. Hal-hal lain hanyalah formalitas belaka.Namun siang itu, suara rendah sarat akan wibawa menghentikan langkah Jovian, kala pria itu baru menyelesaikan sesi terapinya. Atau yang sebenarnya rapat strategi bersama Saka, Aji dan para petinggi Sindikat Sinara.“Anak muda, bisa kita berbicara sejenak?”Sang pria muda menoleh, mendapati sosok Adi Prakoso Hartanto berdiri tak jauh darinya. Tubuhnya tinggi, tegap, meskipun usia senja telah men
Dengan tertatih-tatih, Jovian menyusuri trotoar, melangkah secepat yang kaki pincangnya sanggup. Tongkat di tangannya mengetuk ritmis di atas permukaan aspal, seolah mengiringi detak jantungnya yang gelisah.Udara malam terasa lebih dingin dari biasanya, menusuk tulang, tapi itu tak sebanding dengan kecemasan yang mencengkeram hatinya. Kata-kata Raina di telepon tadi terus terngiang-ngiang di benaknya.“Mas, tolong datang ke sini. Cepat.”Hanya satu alamat yang disebutkan sebelum sambungan terputus. Terdengar napas berat yang tak biasa dari wanita itu.‘Sial!’ Jovian mengumpat dalam hati. Kenapa ia harus berpura-pura pincang? Kalau saja ia tidak membatasi dirinya dengan cedera palsu ini, mungkin ia sudah sampai lebih cepat. ‘Kenapa juga aku tidak memilih pura-pura cacat tangan saja?’ pikirnya penuh
Jovian membuka matanya perlahan, siluet lampu putih menyilaukan penglihatannya. Kepalanya berat, dan tubuhnya terasa kaku, nyeri menusuk-nusuk dari sisi tubuh hingga ke kakinya. Namun pandangannya tak butuh waktu lama untuk menangkap sosok wanita di samping ranjang. Manik kecokelatan yang memancarkan kecemasan itu adalah hal pertama yang ia lihat saat kesadarannya kembali.Raina.Menyipitkan mata, pria itu mencoba memastikan bahwa apa yang ia lihat bukan ilusi. Wanita itu benar-benar ada di sana, duduk di kursi, wajahnya khawatir namun tetap anggun di bawah cahaya lembut lampu ruangan.Jovian langsung menyadari sesuatu—luka kecil di pelipis Raina terlihat sudah mengering, tak ada perban kasat mata lainnya di tubuh wanita itu. Syukurlah, kecelakaan itu tak meninggalkan cedera serius pada dirinya.Namun, sebelum ia sempat memikirkan lebih jauh, s
“Jovian!”Teriakan lantang menggema di lorong rumah sakit, memecah kesunyian malam. Langkah tergesa-gesa dua pria terdengar semakin mendekat. Di ambang pintu unit gawat darurat, Aji dan Saka muncul dengan napas tersengal. Raut wajah mereka campuran antara cemas dan panik.Di ranjang yang tak terlalu lebar, Jovian membuka matanya dengan susah payah. Wajahnya pucat, tubuhnya basah oleh keringat dingin. Namun, seperti biasa, ia mencoba menyembunyikan kelemahannya di balik ekspresi datar yang ia latih bertahun-tahun. Meski kali ini, kelopak matanya yang berat dan bibirnya yang pucat membuat semua itu sia-sia.“Ngapain kalian di sini? Gimana dengan pesta pendiriannya?” tanyanya dengan suara serak dan lemah, berusaha terdengar biasa saja meski kesadarannya nyaris kabur.“Masih sempat mikirin itu?!” bentak Saka, matanya memicing tajam, sorotnya penuh amar
Sebuah amplop cokelat dilempar kasar oleh pria bertubuh kekar dengan jaket hitam. “Ini laporan tentang Raina Asmarani Hartanto minggu ini,” ucap pria tersebut tanpa basa-basi. Nada suaranya terdengar bosan, seolah tugas ini adalah rutinitas yang sudah ia lakukan terlalu sering.Jovian, yang duduk di kursi kerjanya, melirik sekilas amplop itu. Namun sebelum ia sempat bereaksi, Aji, yang kebetulan juga berada di ruangan, langsung menoleh dengan penuh minat. Manik cokelatnya bergerak cepat antara amplop dan pria bertubuh kekar itu, bibirnya terangkat membentuk senyum nakal.“Raina?” tanya Aji, menaikkan satu alisnya dengan nada menggoda. Dia memutar tubuh, memandang ke arah Saka, tangan kanan sang kakak. “Apa maksudnya nih?”Yang ditatap hanya mengedikkan bahu santai sambil melempar tubuhnya ke sofa di sudut ruangan. “Tanya Mas-mu i
“Oh,” suara berat pria tambun itu tiba-tiba terdengar, diiringi tawa pendek. “Kamu bartender ruang VVIP yang dulu sering membantuku, kan?” Ucapannya seolah hanya sekadar basa-basi, namun seringai di bibirnya menyiratkan lebih dari itu.Jovian mendongak, meski tubuhnya terasa berat setelah dihantam habis-habisan. Napasnya tersengal, darah mengalir pelan dari sudut bibirnya, namun ia tetap diam. Wajahnya tetap datar.Pria itu tertawa lagi, kali ini lebih keras, seakan menemukan hiburan. “Anak muda, aku tidak menyangka kamu bisa sampai pada titik ini. Bahkan hanya dengan sedikit dorongan dariku.” Dengan santai, pria itu menjentikkan jarinya.Seorang anak buahnya—pria berjaket hitam dengan wajah tanpa ekspresi—bergerak cepat. Dalam sekejap sebuah kursi dilapisi kulit didorong ke arahnya.“Sebagai senior di bidang ini,
Semenjak malam-malam kelam dipenuhi oleh rasa bersalah yang menghantui pikirannya, Jovian mulai mempertimbangkan untuk menghentikan rencana balas dendamnya.Namun, perasaan itu menghimpit seperti kabut tebal—tak memberi ruang untuk napas. Tidak tenang, itu pasti. Tapi, bahkan jika ia ingin berhenti sekarang, apakah itu mungkin?Pria itu sudah kadung basah. Rencana ini bukan lagi sekadar tentang dirinya. Terlalu banyak yang ia seret ke dalam jalan gelap ini.“Kita tidak bisa tiba-tiba menghentikan rencana ini!” Suara serak seorang pria bertopi hitam memecah udara di ruang kecil itu. Matanya membelalak penuh amarah, tangannya mengepal kuat hingga urat-uratnya terlihat menonjol.“Kamu yang membujuk kami untuk melakukan ini, Jovian!” timpal seorang wanita paruh baya, wajahnya merah padam. Bibirnya bergetar,
Kegelapan mengepung Jovian.Sejauh apa pun pria itu melangkah, hanya ada bayang-bayang hitam pekat yang mengikuti. Tak ada arah. Tak ada ujung. Hanya ketiadaan yang menyesakkan.Maniknya bergerak panik, mencari sesuatu, apa saja, yang bisa membantunya keluar dari kehampaan ini.Hingga akhirnya ia menangkap seberkas cahaya redup di kejauhan. Seperti lilin kecil yang berusaha bertahan di tengah badai. Dengan napas terengah, Jovian tertatih menghampirinya. Namun langkahnya mendadak terhenti ketika sesuatu mencengkeram pergelangan kakinya.Terkesiap, ia menoleh. Di sana, sosok sang ayah, Haris, duduk bersimpuh di atas tanah yang retak dan kering. Jemari kurus pria itu mencengkeram celana Jovian dengan erat, seperti seseorang yang tengah tenggelam memohon pertolongan. Mata lelaki itu sayu, tapi penuh dengan harapan yang menyakitk
“Sial!”Jovian menggebrak meja kayu di depannya, membuat tumpukan kertas serta kotak alat tulis di atasnya bergetar, nyaris terjatuh. Napasnya memburu, dada naik turun seolah tak mampu menahan luapan emosi yang bergolak di dalam diri. Pikirannya terus berputar, mengutuk dirinya sendiri.Rencananya sederhana—atau setidaknya itulah yang ia pikirkan. Ia hanya akan memantau gerak-gerik Ambar dari kejauhan. Lalu, ketika wanita itu bertindak ceroboh dan mencoba mencelakai Lilis, Jovian akan muncul sebagai penyelamat. Semudah itu, seperti pahlawan dalam cerita.Ia ingin membuat Bram, pewaris Hartanto Global Venture, berhutang budi padanya. ‘Dan pada waktunya,’ pikir Jovian, ‘Bram dan juga Adi akan membayar harga yang lebih mahal daripada sekadar penolakan mereka terhadap ayahku.’