Jovian melangkah mendekat, netranya yang berwarna cokelat madu berkilat tajam. Namun sebelum dia sempat mencapai Raina, Tama segera bergerak, menempatkan dirinya di depan sang adik. Lengan kekarnya merentang, melindungi Raina dengan tubuhnya.
“Jangan mendekat!” bentaknya dengan nada penuh ancaman. “Aku tidak akan membiarkan kamu membawa Raina pergi,” lanjutnya tegas, mata cokelatnya menyalang waspada.
Jovian hanya mendengus, tampak tak terintimidasi sedikitpun. “Secara teknis, saya suaminya,” ucapnya tenang, sambil melirik sekilas ke arah Raina, senyum tipis tersungging di bibirnya. “Jadi saya lebih berhak membawa Raina pulang.” Suara Jovian tenang, nyaris dingin. Tak ada tanda-tanda pria itu terganggu dengan ancaman Tama.
Kali ini giliran Tawa sarkastis keluar dari mulut Tama. “Kamu adalah orang paling berbahaya di s
“Mas! Hentikan!” teriaknya, suaranya pecah. Seruan itu seakan meluncur dari mulutnya tanpa target yang jelas, entah ditujukan pada siapa—Jovian atau Tama—mungkin keduanya.Tubuh Raina gemetar ketika dia berlutut di dekat kedua pria yang sedang saling menghantam. Darah mengucur dari luka di wajah mereka. Napas mereka terdengar berat.Tanpa memikirkan keselamatannya, Raina meraih lengan Jovian yang melingkari leher Tama dengan cengkeraman kuat, berusaha menghentikan perkelahian yang mulai berubah menjadi pertarungan hidup dan mati.Untungnya, kedua pria itu sama-sama berhenti. Jovian melepaskan kuncian pada leher Tama lalu menarik Raina menjauh dari tubuh sang kakak. Mata pria itu langsung menelisik tubuh Raina dengan cemas, jari-jarinya menyentuh wajah sang wanita seolah ingin memastikan dia baik-baik saja.“Kamu gila?” suaranya terdengar serak, campuran antara khawatir dan marah. Tangannya menangkup kedua pipi Raina, gemetar, napasnya masih terengah-engah. “Jangan mendekat pas orang l
Belum hilang rasa penasaran Raina, ia kembali dibuat terkejut dengan seorang pria berjas hitam membukakan pintu mobil Rolls Royce Ghost bagi Jovian.Sang suami tak berkata apapun selain menurunkan Raina pada kursi penumpang secara perlahan. Seolah wanita itu adalah porselen yang bisa pecah karena sentuhan kasar. Lalu Jovian masuk dan duduk di samping sang istri.Tidak ada pembicaraan sama sekali dalam perjalanan pulang. Raina duduk di kursi penumpang dengan perasaan campur aduk. Wanita itu tidak yakin ia sudah cukup siap mendengar penjelasan Jovian.Sementara sang pria, yang duduk di sampingnya, tampak tenggelam dalam layar ponselnya. Jarinya bergerak cepat mengetik pesan demi pesan. Kerutan di dahinya menambah aura serius pada wajah tampannya yang biasanya lembut.Di luar jendela, pemandangan berganti-ganti: pepohonan rindang di tepi jalan kini berrubah menjadi gedung-gedung bertingkat, lalu deretan rumah-rumah mewah.Sesuatu mengusik benak Raina.Akhirnya, wanita itu tak bisa lagi m
Jovian dengan lihai melucuti satu per satu pakaian yang menutupi tubuh sang istri. Gerakan pria itu kasar dan tergesa. Ada perasaan mendesak dalam tiap sentuhan sang suami. Mata pria itu menyala penuh hasrat. Bak pemburu yang siap memangsa buruan.Jemari panjang pria itu menelusuri tiap lekuk tubuh Raina. Dia membalik badan sang istri, memeluknya dari belakang. Kemudian menangkup kedua dada sang istri lalu memuntir puncaknya hingga wanita itu mendesah penuh gairah.Bibir Jovian menggigit pelan pundak sang istri. Menghisap, meninggalkan jejak-jejak merah yang kontras dengan kulit kuning langsat milik Raina. Setiap sentuhan seperti bara api yang membakar habis sisa-sisa kewarasan sang istri. Napas wanita itu memburu, dada naik turun dengan cepat.Pinggul pria itu bergerak dalam ritme acak. Menyelipkan batangnya yang mengeras di antara dua paha mulus Raina. Bagian intim mereka yang saling gesek menghantar gelenyar kenikmatan pada sekujur tubuh wanita itu. Membuat punggungnya melengkung,
“Halo?” sapa Raina dengan suara serak. Dia berdeham pelan, berharap dengan melakukan itu dia akan terdengar lebih normal.“Ray? Kamu nggak apa-apa?” Suara Tama menyambutnya dari seberang telepon, terdengar setengah panik.Raina terdiam sejenak, merasakan denyut kenikmatan yang masih bergentar pelan dari kejadian semalam. Di tubuhnya, nyeri dan pegal-pegal mulai terasa, mengendap dari bahu hingga pergelangan kaki. Namun selain itu, dia baik-baik saja. “Aku nggak apa-apa,” jawab sang adik.“Aku cemas. Kamu mau nginep dulu aja di sini? Perlu dijemput?” tawar Tama. Terdengar suara ketukan pelan pada bidang kayu sebagai latar. Mungkin jemari pria itu mengetuk permukaan meja karena gelisah.Tanpa sadar, Raina menggeleng, meski tahu sang kakak tak bisa melihatnya. “Gimana pun Mas Jovian masih suamiku,” ujar wanita itu pelan. Ada sebuah dorongan samar di dalam dirinya untuk mendengar penjelasan langsung dari bibir suaminya, walaupun ia sendiri tidak yakin apa yang akan didengarnya.Hening. La
“Mas, aku tahu kalau kamu bukan sekadar jurnalis,” ungkap Raina, akhirnya memberanikan diri. Suaranya terdengar mantap, meski ada nada ragu yang samar di ujung kalimatnya.Dapat wanita itu lihat dengan jelas pundak Jovian yang langsung menegang mendengar perkataannya. Genggaman pria itu di tangan Raina semakin erat, nyaris menyakitkan. Wanita itu menahan napas, merasakan jemari suaminya yang terasa dingin namun kokoh, seolah tak mau melepaskannya.“Aku nggak sengaja baca SMS kamu… soal penyelidikan sabotase di site,” tanpa memberi waktu bagi sang suami untuk berbicara, Raina melanjutkan perkataannya. Melayangkan pandangan lurus pada pria itu. Manik cokelatnya mencari kejujuran di wajah Jovian yang terlihat tetap tenang, namun kaku.“Aku juga nggak sengaja dengar waktu kamu nyuruh anak buahmu buat ngehancurin Terra Development. Siapa k
Tawa yang renyah dan berderai seperti bunyi lonceng kecil milik sang suami pecah. Melihat sang istri yang mulai terlihat jengkel dan melepas genggaman mereka, Jovian segera menarik wanita itu ke dalam rangkulan. “Kamu kebanyakan nonton film, sayang,” ucapnya sambil mengecup puncak kepala Raina.Wanita itu menaruh jemari lentiknya di dada bidang Jovian lalu mendorongnya pelan, hingga ia dapat mendongak, menatap sang suami dengan pandangan saksama. “Bener ya? Awas aja kalau sampai kamu ketahuan berantem-berantem lagi kayak kemarin,” ancam Raina.Jovian terkekeh. “Semalem mah ibaratnya pertandingan persahabatan aja, Ray. Bukan berantem,” kilahnya, matanya berkilat nakal.Manik Raina memicing. Kakaknya sampai harus dirawat di rumah sakit, dengan tulang rusuk yang patah dan lebam di mana-mana, sedangkan Jovian juga penuh lecet dan memar. Da
Raina menunggu lift dengan sabar, tetapi pikirannya terus mengulang perlakuan yang didapat pagi ini. Bisikan, tatapan, dan senyum sinis yang dilemparkan karyawan-karyawan kantor sejak ia melangkah masuk, semuanya membekas dan memicu keheranan di dada.Dua karyawati berdiri tak jauh darinya, mengobrol dengan suara cukup keras seakan sengaja ingin didengar.“Enak ya, jadi cucu Dewan Komisaris, bisa cuti seenaknya padahal lagi ngurus proyek besar,” cibir seorang wanita yang mengenakan blus putih garis-garis.“Namanya privilege, sis,” sahut temannya sambil tertawa pendek. “Makanya besok-besok lo lahir di keluarga kaya raya,” lanjutnya dengan nada menggoda.“Tapi jangan deh, kalo cuma jadi anak istri kedua. Nambah-nambahin beban keluarga aja kayaknya,” sahut wanita berkemeja biru. L
Kedua saudari itu terdiam sejenak, saling melempar tatapan dingin sebelum sama-sama menoleh ke arah pintu. Mendapati sosok pria paruh baya masuk tergesa-gesa, wajahnya tegang, dengan alis yang berkerut dalam-dalam.“Astaga, apa yang kalian lakukan? Berhenti!” Pria itu segera menutup pintu dan menarik tirai jendela hingga manik-manik penasaran para karyawan di luar tak lagi dapat mengintip.“Papa!” Vanya langsung menghambur ke arah sang ayah, matanya basah seakan baru saja mendapat perlakuan yang sangat menyakitkan.“Kenapa, sayang? Kamu itu sudah besar kok masih berantem sama adik sendiri,” Papa berbisik lembut, mengusap punggung sang kakak seperti menenangkan anak kecil yang terluka.Vanya mengangkat wajah, sorot matanya penuh kebencian saat menatap Raina yang berdiri di ujung ruangan. “Dia
“Bangsat! Kalau jalan yang bener!” teriakan kasar itu membelah keheningan malam.Jovian tersentak, menunduk dalam-dalam tanpa menatap pria bertato yang berteriak ke arahnya. Tubuhnya terasa lelah, hampir kehabisan tenaga, ia hanya mampu menggumamkan kata maaf pelan sambil berlalu.“Woy! Bocah tengik! Songong kali kau! Main pergi-pergi aja!” seorang pria lain dengan bandana mencengkeram bahunya, kasar, memaksa Jovian berhenti.“Maaf, Bang. Saya buru-buru,” ucap pemuda itu, suaranya serak dan tertekan. Ia melirik jam tangan kesayangan yang terpasang di pergelangan tangan—hadiah terakhir dari ayahnya yang sudah tiada. Waktu hampir menunjukkan pukul dua belas malam. Aji pasti sudah menangis ketakutan di rumah yang gelap.Namun para preman itu tak membiarkannya pergi begitu saja. Salah satu dari mereka mendorong Jovian hingga terjengkang, memaksanya untuk melawan.
“Jo, gue pinjem uang dong!” seru seorang siswa berseragam abu-abu.Belum sempat Jovian menjawab, temannya yang lain langsung menyikut lengan si peminjam. “Bego, perusahaan bokapnya udah bangkrut,” bisiknya. Pelan tapi cukup keras hingga terdengar.Siswa yang pertama langsung terkesiap. “Eh, maaf, Jo. Gue nggak tahu,” ucapnya, menangkupkan tangan, berusaha terlihat menyesal, meski senyumnya masih terkesan mengejek.Tanpa menjawab, Jovian bangkit dari kursinya, lalu berjalan keluar kelas dengan langkah yang berat dan kasar, meninggalkan mereka semua di belakang.“Apaan, gitu doang ngambek,” gerutu si peminjam, menyandarkan tubuhnya santai ke kursi.“Jangan gitu, bego! Nyokapnya meninggal gara-gara nggak ada duit buat berobat, terus nggak lama bo
Pria bertubuh besar itu berdiri di depan pintu rumah Haris, wajahnya mengeras dan penuh amarah. Tangan kanannya mengepal, sementara tangan kirinya dengan kasar menampar-nampar buku yang tampaknya berisi catatan utang. Wajahnya sangar, dihiasi dengan kumis tebal dan tatapan yang menakutkan, seperti elang yang sedang menatap mangsanya.“Bayar hutangmu, Pak Tua!” bentak pria itu, suaranya menggema di ruang tamu yang semakin hari semakin tak terurus. Matanya memelototi Haris dengan sorot meremehkan, sementara tubuhnya condong maju, seakan siap menyerang.Ayah Jovian yang berdiri berjarak beberapa langkah, tampak ciut. Pria paruh baya itu mencoba merapatkan kedua tangannya di dada, membungkuk sedikit, menatap lantai dengan wajah penuh kekhawatiran. “S-saya janji akan membayarnya, Pak… tolong beri saya keringanan,” katanya dengan suara bergetar.
Enam belas tahun silam.Jovian menendang kerikil, menghela napas panjang. Bosan menyelimutinya. Terutama setelah lebih dari satu jam Ayahnya meninggalkannya sendirian di tepi jalan, berpesan agar tetap menunggu di mobil. Namun setelah lama duduk diam, sosok pria paruh baya itu tak juga terlihat.“Ayah lama nih,” gumamnya, kembali menendang batu kerikil di dekat kaki.Manik cokelat madu pemuda itu teralihkan ke arah rumah mewah di hadapannya. Halaman luas terbentang dengan kolam renang berair jernih yang memantulkan sinar matahari sore. Pohon-pohon rindang menaungi jalan masuknya, menghadirkan bayangan seperti lengan-lengan yang melambai pelan.Bangunan megah itu membuat mata Jovian berbinar. Tapi tiba-tiba, suara serak yang ia kenali mengusik pemujaannya.“Tolonglah, Pak Adi… saya sudah tidak tahu harus kemana,&r
“Apa kamu senang sekarang?”Suara cibiran memecah lamunan Raina akan pertemuannya dengan kakek beberapa hari lalu. Wanita itu tersentak dan menoleh, mendapati Nita berdiri tak jauh darinya dengan gaun perak berkilauan di bawah cahaya lampu pesta. Pipi sang kakak memerah serta maniknya tampak tak fokus.Entah apa yang kakaknya bicarakan, Raina sedang tak dalam kondisi untuk meladeninya. Dia berencana untuk pergi, tapi Nita mendekat, menghalangi jalannya.“Mau kemana?” Ucap wanita itu dengan senyum sinis di bibir. “Bukankah ini yang kamu inginkan? Kesempatan untuk pamer, bersikap angkuh setelah berhasil menyelesaikan proyek besar Sakala Nusa?” sindirnya sambil menyilangkan tangan di dada.Raina menarik napas panjang, mencoba menenangkan diri. “Mbak, ini bukan waktu atau tempat yang tepat untuk
Kakek melanjutkan perkataannya, seolah berharap sang cucu akan melunak. “Lagipula, sebentar lagi, dengan pembukaan resmi Hotel Sakala yang baru, siapapun tak akan bisa menyangkal kualitasmu sebagai anggota Hartanto.”Raina terdiam sejenak, napasnya tersengal pelan menahan emosi yang bergejolak dalam sanubari. Dengan tangan yang sedikit bergetar, ia meraih tasnya dan mengeluarkan amplop cokelat yang selama ini selalu ia bawa, seolah itu adalah perisai terakhirnya.Tanpa berkata apa pun, ia mengeluarkan isi amplop dan menyusun beberapa lembar dokumen di atas meja.Sambil menyesuaikan posisi kacamatanya, Kakek mencondongkan tubuh. Kemudian mulai menelisik foto-foto serta dokumen-dokumen yang dibawakan oleh sang cucu.Matanya membelalak sejenak, keterkejutan yang jarang sekali ia tunjukkan. “I-ini… darimana kamu mendapatkannya?&r
“Selamat atas pembukaan hotel barunya.”Suara yang menyapa telinganya bukanlah nada bariton khas Jovian.Raina menelan pahit di ujung lidah. Pikirannya telah sadar sepenuhnya bahwa pria itu adalah sosok berbahaya—seseorang yang tak seharusnya ia dambakan. Namun hatinya masih saja merindukan bayangan suaminya.“Terima kasih, Aji,” ucapnya, mencoba menguasai diri saat menerima uluran tangan dari pria di depannya.CEO TechNova itu menatap wanita itu dengan mata yang tajam, senyum tipis terpatri di bibirnya, tampak memancarkan ketenangan. “Omong-omong,” manik Aji melirik ke samping, seolah mencari-cari sosok lain. “Di mana suamimu?”Mendengar pertanyaan itu, sang wanita mendengus kecil, nyaris tak terdengar. Meski Jovian tak melakukan sesuatu seca
“Selamat atas pembukaan hotel Sakala cabang baru, Bu Vanya, Bu Raina! Saya tidak sabar melihat bagaimana hotel ini berkembang ke depannya,” sahut seorang pria berjas biru tua, sambil menjabat tangan Raina dan Vanya secara bergantian. Senyumnya ramah, namun sorot matanya penuh harapan pada kesuksesan investasi barunya.Akhirnya, pesta pembukaan Hotel Sakala yang ditunggu-tunggu telah tiba.Dengan senyum tipis, Raina membalas ucapan sang investor. “Kami sangat menghargai kehadiran Anda di acara ini, Pak. Semoga malam ini menjadi malam menyenangkan dan penuh makna bagi kita semua,” ucapnya sopan, berusaha tetap tenang di tengah perasaan yang berkecamuk.Di sampingnya, Papa berdiri berdampingan dengan Ambar. Setiap kali Raina mencuri pandang ke arah mereka, hatinya menggelegak, namun mati-matian ia menahan diri untuk tidak melakukan sesuatu yang menco
“Sepertinya, ada alasan lain kenapa Jovian menikahimu,” suara Tama terdengar rendah, nyaris seperti bisikan di tengah keheningan.Raina terdiam, tangan yang memegang ponsel terasa dingin. “A-apa maksudmu, Mas?” bisiknya dengan gugup.“Anak buahku mendengar desas-desus tentang Sindikat Sinara,” Sang kakak melanjutkan, suaranya terdengar semakin dalam, seolah menggema langsung di dalam kepala Raina. “Organisasi itu tidak hanya sekadar mengelola informasi. Mereka mengincar grup-grup besar, mendekati target mereka dan membuatnya percaya, mengorek semua rahasia yang dibutuhkan. Dan ketika waktunya tiba… mereka menghancurkan target tanpa ampun.”Tenggorak sang adik tercekat. Seperti ada batu besar yang menyangkut di sana. Matanya membelalak kosong ke arah dinding kamarnya, tapi pikirannya bising, mencoba mencerna semua yang baru saja didengar.