*** Tak ada yang bisa dilakukan Fania, ketika keluarga Mauren memintanya menghadiri konferensi pers di gedung B kota Jakarta tepat pukul 19.00 WITA. Fania melirik jam tangannya, dia masih punya waktu hampir dua jam untuk menghadiri konferensi pers itu. Semua diatur oleh keluarga Mauren, dari gedung sampai makanan untuk para wartawan yang hadir. Fania tinggal terima bersih saja. "Apa kau sudah menemukan perusahaan yang mau berinvestasi di Hotel A?" tanya Ridel penasaran. "Untuk sekarang, aku menemukan tiga pengusaha yang bersedia melakukan investasi. Bukan itu saja, mereka bahkan mau menandatangani kontrak kerjasama denganku hari ini tepat didepan para wartawan," ujar Fania tersenyum. "Kontrak kerjasama di depan wartawan?" tanya Ridel tidak paham. "Iya, sebelumnya kontrak kerjasama akan ditandatangani sehari setelah pengoperasian Hotel A. Namun, kakek bersikeras agar penandatanganan kontrak kerjasama itu dilaksanakan didepan media, agar bisa menarik pengusaha lainnya. Sepertinya
Keputusan tiga pengusaha itu, sontak saja membuat suasana langsung ricuh seketika.Para wartawan yang selalu haus akan berita, seperti mendapatkan rejeki nomplok. Mereka langsung menghubungi bosnya masing-masing dan meminta melakukan siaran langsung. "Bukankah baru sehari yang lalu, Anda tertarik dengan proposal yang ku ajukan? Bukan itu saja, kalian bahkan menambah nominal dana yang ku ajukan," ujar Fania bingung. "Sepertinya sehari yang lalu, aku hanya mengatakan akan memikirkan kontrak kerjasama yang kau tawarkan. Kenapa jadinya kami diundang untuk menandatangani kontrak? Walaupun Anda bekerjasama dengan perusahaan ITr, tapi kami lebih takut dengan keluarga Liu," tegas pria yang menjabat CEO di perusahaan Darma Bakti. "Apa-apaan ini, Fania? Kenapa kami harus menandatangani kontrak kerjasama yang tidak kami putuskan?" sambung pengusaha satunya. "Anda jangan main-main, Fania! Sejak kapan aku menerima kontrak kerjasama ini? Apa kau pikir perusahaan kami mau mengambil resiko
Setelah konferensi pers berakhir, satu persatu wartawan dan tamu undangan meninggalkan gedung itu. Setelah semuanya pulang, Fania melangkah mendekati sang kakek. Dia menatap sang kakek tanpa berkedip. Kemudian mengambil ponsel dari saku kemejanya dan menelepon, kemudian mengaktifkan speaker ponsel. "Halo, adakah yang bisa ku bantu, Bu Fania?" terdengar suara dari seberang. Ridel sangat mengenal suara itu, itu suara Putra Darmawangsa. "Saya ingin menggunakan marga ibuku, apakah bisa di prose secepatnya?" tanya Fania, tatapan matanya tak lepas pada Arzenio. Sedangkan keluarga Mauren menunggu kalimat selanjutnya dari Fania, mereka takut jika Fania justru meminta hal lain dari Putra. Hal-hal yang tentu saja bisa menghancurkan karir mereka kedepan. "Sebagai suami, apakah Ridel sudah mengetahui keinginan ibu Fania? Bagaimana reaksinya? Apakah dia tidak keberatan dengan permintaan dadakan anda Bu Fania?" Fania memandang sang suami untuk mendapatkan persetujuan. Ridel menggelengk
"Lepaskan tanganmu, dokter! Ini sudah melewati batas," tegas dokter cantik itu dan langsung menepis kasar tangan dokter Albert, ketika menyadari sang dokter telah melangkah terlalu jauh. Tiba-tiba ... Plak!!! Auw .... Dokter cantik itu menjerit pelan, ketika telapak tangan sang dokter mendarat tepat di pipi kirinya. Dokter Albert mencengkram kerah kemeja yang dikenakan dokter cantik itu, "Apapun yang ku inginkan, maka itu harus ku dapatkan. Bagaimanapun caranya, aku sama sekali tak peduli. Dan kau beruntung, karena aku justru menginginkan tubuh mungil mu ini!" "Lepaskan aku, dokter. Aku mohon," pinta dokter cantik itu. "Melepaskan mu? Jangan pernah bermimpi!" ketus dokter Albert. "Aku mohon dokter, jangan lakukan ini padaku," kembali dokter cantik itu mencoba memohon ditengah-tengah ketakutannya. Ekspresi sang dokter yang ketakutan, justru membuat dokter Albert bersemangat. Dengan kasar, dia membuka helai demi helai pakaian yang dikenakan dokter cantik itu. Walau
*** Ridel menatap perusahaan Darma Bakti dengan geram. Walaupun telah berada didepan perusahaan, Ridel masih belum juga melangkah masuk. Sesekali dia memperhatikan jam tangannya. Setelah jam menunjukkan pukul 14.00 WITA. Dia mengambil ponsel dari sakunya dan menelepon. "Bekukan pengoperasian CCTV perusahaan Darma Bakti sekarang juga!" Ridel langsung memutuskan panggilan telepon, kemudian melangkahkan kakinya memasuki gedung perusahaan. "Maaf, saya ingin menemui Pak Dani Darma selaku CEO Perusahaan Darma Bakti," ujar Ridel tersenyum. "Maaf, apa sudah membuat janji?" tanya sang resepsionis. Tiba-tiba ponsel sang resepsionis berbunyi, ada pesan masuk dari sekretaris Dani Darma. [Kalau ada tamu yang bernama Ridel Liu, langsung disuruh ke ruangan CEO saja.] [Baik, Bu.] balas sang resepsionis, kemudian menatap Ridel yang setia berdiri didepannya. "Maaf, bolehkan aku tahu siapa nama Anda, Pak?" "Ridel Liu." "Silahkan langsung ke ruang CEO, di lantai dua puluh." "T
Setelah menunggu tak sampai semenit, terdengar suara dari seberang, "Di mana aku harus menemui, Pak Dani?" "Di perusahaan Darma Bakti, Pak." "Baik, aku ke sana sekarang." Tut ... Tut ... Tut .... Pengacara memutuskan panggilan telepon secara sepihak dan langsung meraih kunci mobil. Tak lupa dia membawa serta tablet iPhone miliknya. "Kau lihat, hanya dengan satu panggilan saja, bahkan pengacara sekelas Putra Darmawangsa langsung mendatangiku. Kau tahu bagaimana sulitnya untuk menemui beliau? Sangat sulit!" "Benarkah?" "Itulah namanya kekuasaan. Dengan kekuasaan, kau bisa mendapatkan apa yang kau inginkan. Termasuk merusak reputasi seseorang, apalagi reputasi orang miskin seperti mu!" ketus Dani Darma tertawa terbahak-bahak. Ridel menggelengkan kepalanya, melihat keangkuhan yang sama sekali tak bisa disembunyikan oleh Dani Darma. Kini aku mengerti, kenapa perusahaan ini jalan di tempat. Ternyata sumber kebobrokan semua berasal dari CEO nya sendiri. "Kenapa kau diam s
"Kenapa? Apa ini cukup mengejutkan mu? Bukankah sudah ku katakan, kau yang akan mengganti gelar ku sebagai suami yang hidupnya bergantung pada istri!" ujar Ridel tersenyum puas. Kemarahannya terbayar sudah. Ya! Kartu hitam ekslusif premium, lebih tinggi posisinya dibandingkan kartu hitam ekslusif yang diberikan sang ayah kepadanya. Ridel membeli perusahaan Darma Bakti menggunakan uang pribadinya. "Siapa kau sebenarnya?" tanya Dani gemetar ketakutan. "Seseorang yang tidak bisa kau sentuh! Kesombongan mu dibayar lunas dengan pemblokiran namamu dalam dunia bisnis!" ujar Ridel. "Sebagai pengacara mu, bukankah aku sudah mengingatkan mu berulang kali? Tapi kau justru membentak ku," ujar Putra. "Apa kalian saling mengenal?" tanya Dani terkejut. "Justru karena aku sangat mengenal pria yang kau sangka miskin ini, makanya aku menasehati mu agar meminta maaf kepada ibu Fania. Tapi apa? Kau mengabaikan semua nasehatku, kan? Jadi sekarang semua sudah terlambat." "Apa karena kau me
Ridel menatap Meda Prabowo dan berkata tegas, "Ku beri waktu sehari untukmu berpikir, jalan apa yang akan kau ambil. Walaupun aku berharap, kau meminta maaf pada istriku tapi semua tergantung pada keputusanmu. Percaya atau tidak, masa depan perusahaan mu sedang terancam." Meda Prabowo hanya dapat menatap kepergian Ridel dengan sayu. Dia bingung harus melakukan apa. *** Keesokan harinya, Perusahaan Setya Meda dihebohkan dengan kedatangan seorang pria yang sangat dikenal oleh hampir semua pengusaha. Mendengar kedatangan tamu penting yang tak diundang, Meda Prabowo langsung saja berlari menuju lift dan turun ke lantai satu. "Selamat datang di perusahaan kecil kami, Tuan Charli Wang," sapa Meda menyambut hangat kedatangan pria itu. "Apakah Anda, Meda Prabowo Setya? Pemilik sekaligus CEO Perusahaan ini?" tanya Charli mengikuti langkah kaki Meda. "Benar, Pak Charli." "Saya ingin berinvestasi di perusahaan anda," ujar Charli tanpa basa basi. "Benarkah?" tanya Meda gembira.