"Laura, Nona," "Laura?" Luna termenung. Lagi-lagi Laura yang menjadi dalangnya. Dia tidak habis pikir, kenapa Laura begitu tega melakukan segala macam cara untuk memisahkan dia dan David? Mengapa pula dia terus mengusik kehidupannya? Padahal seingat Luna, dia tidak pernah mengusik ataupun mencampuri urusan Laura. Tanpa sadar Luna mengepal kedua tangannya. Wajahnya memperlihatkan ekspresi terkejut. "Nona, maafkan aku," Elie masih terus meminta maaf. Dia tidak berani beranjak dari posisinya. "Bangunlah, Elie," ujar Luna sambil membantunya berdiri. "Duduklah," Elie mengangguk. Dia kemudian duduk di sofa. Luna terdiam untuk beberapa saat. Dia berusaha menenangkan dirinya. "Nona, apakah Nona sudah memaafkan aku? Sungguh, aku bicara sejujurnya," Elie berkata lagi. Dia takut Luna belum memaafkan dirinya. Lebih dari itu, ia takut saat mengingat sosok David Smith yang duduk di sisinya. "Ya, aku sudah memaafkanmu," "Luna, aku tahu kamu punya kelebihan, seharusnya kamu bisa membedakan
Luka berpikir beberapa saat. Setelah itu dia menjawab, "Diriku! Aku akan memberikan diriku seutuhnya kalau kamu mampu membuktikan semua ucapan itu," "Benarkah?" "Tentu saja. Aku tidak akan menjilat ucapan sendiri," "Baik. Aku setuju," jawab David dengan ekspresi gembira. "Saat hari jadi pernikahan kita tiba, aku akan memberikan villa mewah di bawah kaki Bukit Emas kepadamu," Luna tidak terlalu mendengarkan David. Dia berniat untuk tidur. Namun sebelum memejamkan kata, tiba-tiba Luna teringat sesuatu. Sehingga terpaksa dia bangun lagi. "David, besok malam kamu harus mengantarku," "Ke mana?" "Ke Cafe Hitam," "Cafe Hitam?" David terkejut. Cafe Hitam adalah cafe miliknya. Untuk apa Luna ke sana? "Kenapa? Apakah ada masalah? Sepertinya kamu terlihat sangat kaget," "Tidak, tidak," ujar David buru-buru menjawab. "Kalau boleh tahu, untuk apa kamu pergi ke sana?" "Tuan Muda Benjamin ingin bertemu denganku. Mungkin dia ingin bekerja sama," "Oh, baiklah," David mengangguk. Dia tidak
Jam delapan malam ...David dan Luna baru saja berangkat menuju ke Cafe Hitam. Malam ini Luna tampil mengenakan kemeja pendek dan ketat warna putih. Ia juga mengenakan rok mini sebatas lutut. Sebuah jam tangan mewah yang kecil mungil dipakai di pergelangan tangan kirinya. Rambut yang hitam panjang itu dibiarkan terurai. Walaupun sekilas penampilannya sederhana, namun siapa pun yang melihatnya pasti akan tergoda. Siapa pun pasti akan setuju bahwa kecantikan Luna seolah-olah bertambah beberapa kali lipat ketika dia mengenakan setelan seperti itu. "Aku yakin kehadiranmu di Cafe Hitam nanti akan mengundang perhatian banyak orang," ujar David memulai pembicaraan. "Benarkah? Mengapa bisa begitu?" tanya Luna penasaran. "Karena malam ini kamu benar-benar cantik, Luna," "Cihh! Dasar pria hidung belang!" ujar Luna sambil menahan tawa. "Lihat saja nanti, semua mata pasti akan tertuju padamu," Lima belas menit kemudian, keduanya sudah tiba di depan Cafe Hitam. Begitu turun dari mobil, dua
Luna tetap menolak. Dia menepis tangan Steven Benjamin yang saat itu mulai memegangi punggungnya. Tanpa bicara sepatah kata pun, Luna langsung memaksakan diri untuk pergi ke toilet. Steven tidak mengejarnya, dia tetap diam di tempat sambil memasang wajah seperti serigala kelaparan. "Semua yang ada di sini, keluar sekarang juga!" ujar Steven sedikit berteriak. Orang-orang yang ada di ruangan lantai dua langsung menoleh ke arahnya. Mereka menatap Steven tidak senang. Memangnya siapa pemuda itu? Mengapa dia menyuruh semua orang pergi? Pikiran orang-orang tersebut hampir sama. Mereka tidak terima sekaligus penasaran terkait Siapakah pemuda yang berani berkata lancang. "Apa maksudmu? Aku di sini bayar. Kamu tidak mempunyai hak untuk mengusirku pergi," seorang pria paruh baya memberanikan diri untuk bicara. Dia bahkan berjalan mendekat ke arah Steven Benjamin. Steven memandangi pria tua itu dengan tatapan marah. "Jadi kamu tidak mau mendengarkan ucapanku?" "Siapa pun
"David!" Luna langsung bangun setelah mendengar suara David. Dia berlari ke arahnya dan langsung memeluk dengan erat. Luna menangis dalam pelukan itu. Dia tidak bisa membayangkan kalau tidak ada David yang datang untuk menolongnya. David tidak bereaksi. Dia hanya diam dan membenamkan Luna dalam pelukannya. Air mata yang hangat mulai membasahi baju. David mengusap kepala Luna berulang kali. "Tenang, Luna. Sekarang kamu sudah aman, tidak akan aku biarkan siapa pun yang melukaimu," ucap David sungguh-sungguh. Luna tidak menjawab. Dia masih menangis jika teringat kejadian barusan. Setelah merasa ketenangannya kembali, ia segera melepaskan pelukannya. David juga sempat melihat buah dada itu. Meskipun Luna tahu, namun dia tidak mempedulikannya. Lagi pula, David adalah suaminya sendiri."Pelayan!" kata David berteriak. Seorang pelayan wanita langsung mayak dengan terburu-buru. "Bawakan aku pakaian wanita sekarang juga. Cepat!" "Ba-baik, Tuan," Pelayan itu langsung pergi. Dia ketaku
Bel kediaman Keluarga Benjamin tiba-tiba berbunyi. Seorang wanita tua kemudian melihat keluar untuk memastikan siapa yang datang. "Tuan berdua mencari siapa? Kenapa Tuan membawa peti mati?" tanya wanita itu sedikit ketakutan saat melihat dua orang yang datang mempunyai wajah sangar. "Kami ingin bertemu Tuan Scot sekarang juga," "Ba-baik. Tunggu sebentar," wanita tua yang merupakan pembantu itu tidak berani membantah. Dia segera masuk ke dalam dan memberitahu Scot Benjamin. Tidak lama kemudian, dari dalam rumah mewah itu ada seorang pria paruh baya yang keluar. Dia tak lain adalah Jonathan Benjamin. "Siapa kalian?" tanyanya tanpa basa basi. Kedua orang pria itu lalu memberikan peti mati yang mereka bawa. "Siapa yang ada di dalam peti mati ini?" "Kenapa kamu tidak lihat saja?" Scot Benjamin geram. Tapi dia belum melakukan apapun. Sebaliknya, orang tua itu langsung membuka peti mati. "Steven! Anakku Steven!" ia berteriak keras karena saking terkejutnya.
Sebagai kepolisian, tentu saja dia tahu tentang organisasi bawah tanah yang beroperasi di wilayah kekuasaannya. Inspektur Baston sangat terkejut ketika melihat Belati Naga Hitam berada di tangan David Smith. Seingatnya, Belati Naga Hitam adalah senjata milik Dewa Iblis. Pemimpin dari Organisasi Naga Hitam yang selama ini disegani oleh siapapun. Jangankan orang lain, bahkan dia sendiri merasa segan kepada Dewa Iblis. Sebab sedikit banyaknya, Inspektur Baston juga tahu apa yang telah dilakukan oleh Dewa Iblis selama ini. "Jadi, kamu juga kenal nama senjata ini, Baston?" tanya David mengubah panggilannya kepada Inspektur Baston. "Jangankan aku, bahkan para anggota kepolisian yang berada di pangkat rendah pun akan mengenal senjata tersebut," "Oh, benarkah?" David bertanya sambil mengangkat kedua alis. "Benar. Karena atasan kami yang langsung memberitahunya," David mulai tertarik. Ia bertanya lebih jauh, "Apa yang dikatakan oleh Komisaris Jendral?" Inspektur Baston m
Beberapa saat kemudian, pintu diketuk dari luar. David segera menyuruhnya masuk. Jonathan Benjamin dan sembilan orang yang ia bawa kini sudah berada di dalam ruangan. Mereka berdiri di depan David yang pada saat itu sedang duduk sambil menaruh kedua kalinya di atas meja. "Aku kira kamu tidak akan datang, Jonathan," katanya dengan dingin. David menyalakan rokok. Ia lalu membuang asapnya tepat ke wajah Jonathan Benjamin. Pria tua itu terlihat marah. Namun dia berusaha untuk tidak bertindak gegabah. Begitu juga dengan sembilan orang pria yang datang bersamanya. Menurut Jonathan, David tidaklah sesederhana yang dia lihat saat ini. Dia pasti punya suatu rahasia besar. Kalau tidak begitu, bagaimana mungkin ia menyuruhnya untuk datang? "Bukankah kamu David Smith, suami dari Luna George?" tanya Jonathan setelah emosinya mereda. "Kau mengenalku?," tanya David pura-pura terkejut. "Hampir semua orang di kota ini juga mengenalmu," Ucapan Jonathan Benjamin memang benar
Sean sedikit gugup. Dia segera menoleh ke arah Daniel yang baru saja masuk ke dalam ruangan. "Pelindung Daniel, tahan dulu emosimu. Aku bisa menjelaskan semuanya," katanya berusaha menenangkan Daniel. "Tidak ada yang perlu dijelaskan lagi, Sean," ucap Daniel yang langsung menyebut namanya. "Apapun alasanmu, jawabannya tetap sama. Kau sudah tidak menganggap Empat Pelindung yang sebelumnya. Lebih dari itu, artinya kau juga sudah tidak menghargai Tuan Dewa Iblis," Suasana di sana langsung tegang. Ketegangan saat ini lebih dari sebelumnya. Sean kebingungan. Dia tidak tahu harus menjawab apa."Katakan saja sejujurnya, Sean. Sekarang kau sudah tidak bisa berbohong lagi," Ketika semua orang sedang terdiam, tiba-tiba Valentino muncul dari luar. Dia tampak tersenyum sinis saat menatap ke arah Sean. "Valentino, kau ...," "Kenapa? Kau terkejut, bukan?" senyuman Valentino semakin melebar. Dia sudah lama menunggu saat-saat seperti ini. "Dugaanmu benar, orang yang telah menyebarkan semua inf
Sean sangat penasaran terkait kedatangan David dan Daniel. Dia yakin, alasan kenapa mereka kemari bukan karena ingin berkunjung saja. "Baiklah, sambut kedatangan mereka sebaik mungkin," ucap Sean memberi perintah kepada anggota yang melapor. "Baik, Ketua," Anggota itu kemudian segera pergi. Dia langsung membuat persiapan untuk menyambut kedatangan David dan Daniel. "Tuan, apa yang harus kita lakukan selanjutnya?" tanya Daniel sambil berbisik di sisi telinga David. "Kau diam saja. Biar aku yang mengurusnya," Daniel mengangguk. Dia tidak banyak bicara lagi. David kemudian mengajak Daniel dan Luna untuk masuk ke dalam markas. Begitu mereka tiba di depan pintu masuk, dua puluh orang segera menyambutnya. Mereka memberikan hormat dengan cara membungkukkan badan kepada David. "Salam kepada Tuan Dewa Iblis. Selamat datang kembali di markas Organisasi Naga Hitam," kata dua puluh orang itu secara bersamaan.David hanya tersenyum simpul. Ia kemudian memberi isyarat supaya mereka kembali
Daniel tidak berani berkata lebih lanjut. Saat ini dia sudah merasa sedikit tertekan oleh aura pembunuh yang dilepaskan oleh David. "Dari mana kau mendapat informasi ini?" tanya David setelah merasa sedikit tenang. "Valentino yang mengabarkan langsung kepadaku, Tuan," David mengangguk. Sepertinya setelah bertemu dengan dia sebelumnya, Valentino kembali berpihak kepada David. Sehingga dia menyampaikan informasi ini. "Lalu, bagaimana dengan anggota yang masih memihak kepada kita?" "Aku belum tahu pasti, Tuan. Tapi sepertinya mereka akan berada dalam ancaman kalau keadaan ini terus dibiarkan," David merenung beberapa saat. Kalau benar apa yang disampaikan oleh Daniel, maka situasi di Organisasi Naga Hitam sedang tidak baik-baik saja. Sebagian anggota itu sudah sangat banyak. Apalagi di markas pusat mereka setidaknya ada sepuluh ribu anggota. Belum lagi mereka yang berada di markas cabang lainnya. Kalau ditotal, seluruh anggota yang berada di satu provinsi saja mungkin mencapai ju
"Tentu saja tidak, Luna. Aku serius," kata David sambil menjawab dengan tersenyum. Dia kemudian duduk di sofa dan mulai membakar rokok. "Tapi ..., tapi kenapa mereka mau diperintah olehmu? Bukankah mereka adalah adalah orang-orang penting dengan jabatan tinggi, yang bahkan semua penduduk Kota Phoenix pun sangat menghormatinya?" Luna tidak habis pikir, mengapa orang-orang seperti Komisaris Jenderal Oscar dan Mayor Jenderal Freddy mau 'diperalat' oleh David? Wanita cantik itu tampak berdiri termenung untuk beberapa saat. Sepertinya Luna sedang memikirkan alasan dibalik hal tersebut. Ketika dia kebingungan, David terdengar bicara lagi. "Jangan lupakan siapa aku sebenarnya, Luna," ujarnya dengan santai. Kesadaran Luna seolah-olah baru kembali, setelah mendengar ucapan David, sekarang dia tidak terlalu penasaran.Tapi masih ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, apakah status Dewa Iblis begitu menakutkan sehingga orang seperti Komisaris Jenderal Oscar dan Mayor Jenderal Freddy pun m
Perlu diketahui, Mayor Jenderal Freedy adalah orang yang berasal dari dunia militer ketentaraan. Di Kota Phoenix, ia memimpin setidaknya seribu tentara yang bertugas untuk menjaga keamanan kota dari berbagai macam ancaman yang dapat membahayakan. Semua orang di Kota Phoenix sangat menghormatinya, sama seperti mereka menghormati Komisaris Jenderal Oscar. Bahkan mungkin lebih dari itu. Karena alasan itulah para pengunjung tadi merasa takut sekaligus hormat kepada dua sosok tersebut. Namun tanpa sepengetahuan banyak orang, di hadapan David Smith, yang terjadi justru adalah sebaliknya. Bukannya David yang menghormati mereka, melainkan mereka yang sangat menghormati David. "Tuan, ada keperluan apa sehingga kamu mengundang kami kemari?" tanya Mayjen Freedy sudah tidak bisa menahan rasa penasaran. Sejak kedatangannya hingga saat ini, Mayjen Freedy sangat jarang memberikan senyuman. Berbeda dengan Komisaris Jenderal Oscar yang lebih sering tersenyum simpul ketika berbicara.
"Tenang saja, Luna. Malam nanti aku akan bertemu dengan teman lama. Kamu tidak perlu khawatir," ujar David berusaha menenangkan Luna. Dia kemudian menyuruhnya untuk masuk lebih dulu ke mobil. Sedangkan David memanggil para security yang masih bersembunyi di sana. Mendengar David memanggilnya, mereka buru-buru menghampiri dengan rasa campur aduk. "Ada apa, Tuan?" tanya salah satu security dengan rasa takut dan penuh hormat. "Singkirkan mayat-mayat ini ke tempat aman. Bereskan semuanya secepat mungkin. Satu lagi, jangan sampai ada orang luar yang mengetahui tentang kejadian di sini. Kalau sampai ada yang tahu, aku rasa kalian sudah mengerti apa akibatnya," David bicara dengan nada datar. Ekspresi wajahnya tampak begitu dingin. Hal itu membuat semua security lebih ketakutan. "Baik, Tuan. Kami mengerti," jawab mereka secara bersamaan. "Bagus. Kerjakan sekarang juga!" Security itu mengangguk. Mereka langsung melaksanakan perintah yang telah diberikan oleh David. Setelah itu dia sen
"Apa?" Martin membelalakkan mata. Dia seakan tidak percaya dengan telinganya sendiri. "Bukankah sebelumnya kamu ingin bergabung dengan organisasi itu dan menjadi pengikut setia Dewa Iblis?" tanya David sambil mengerutkan kening. "Benar. Tapi, bagaimana mungkin aku bisa bergabung dengan organisasi itu?" "Kenapa tidak? Asal kamu bersedia, maka kamu bisa bergabung," "Maksudmu, kamu adalah ..." "Dewa Iblis. Dia adalah Dewa Iblis yang selama ini dibicarakan oleh banyak orang," ujar Daniel sepatah demi sepatah. "A-apa?" Martin kehabisan kata-kata. Dia tidak tahu harus bicara apalagi. Perasaan haru segera menyelimuti tubuhnya. "David, apakah ... apakah yang dikatakan oleh orang ini benar?" tanya Martin masih belum percaya. "Bukankah kamu sudah melihat buktinya sendiri?" Martin memukul kepala sendiri. Dia merasa sangat bodoh. Setelah sadar, dia langsung menjatuhkan dirinya untuk berlutut di hadapan David. "Bangunlah, Martin. Kamu tidak perlu melakukan hal ini,"
David hanya tersenyum sinis. Dia tidak mengindahkan sama sekali rintihan Hugo. Karena tidak kuat menahan siksaan yang entah kapan ujungnya itu, akhirnya Hugo pasrah. Dia menggigit lidahnya sekuat tenaga sampai lidah itu putus. Tidak lama kemudian, Hugo tewas dengan kondisi mengenaskan. Darah segar memenuhi seluruh mulutnya. Begitu kepala Hugo terkulai, darah segar tersebut langsung meleleh keluar. "Ayah!" Melvin berteriak sekeras mungkin saat mengetahui kalau nyawa ayahnya sudah melayang. Dia ngin meronta dan membunuh David. Sayangnya, Melvin tidak bisa melakukan apapun. "David, apa yang kamu inginkan sebenarnya?" tanya Melvin dengan rasa takut yang mendalam. "Aku hanya ingin kalian tahu bahwa di atas langit masih ada langit," jawab David dingin. "Lalu ..., lalu apa yang akan kamu lakukan kepadaku?" "Bukankah sebelumnya kamu ingin membunuhmu?" Melvin diam saja. Dia tidak berani memberikan jawaban. "Jawab!" bentak David. "Iya, iya. Aku memang ingin membunuhku. Sayangnya kes
Di Hotel Apartemen Awan Cerah. Bersamaan dengan semua kejadian, tidak lama setelah alat berat dan orang-orang itu datang, sebuah Supercar tiba-tiba muncul dan parkir di depan halaman. "Tuan Muda Arthur!" ucap Martin dan Jasmine secara bersamaan. Mereka memandangi mobil mewah tersebut dalam diam. Melvin dan Hugo Arthur keluar dari mobil secara bersamaan. Mereka berdiri tegak sambil memandangi Hotel Apartemen Awan Cerah dengan tatapan sinis. Melihat keduanya keluar, Jeff langsung berjalan menghampiri. Begitu isyarat diberikan, lima puluh alat berat itu segera dibunyikan kembali. Suara bergemuruh terdengar lagi. Tanah pun kembali bergetar. "Mana atasanmu itu?" tanya Hugo Arthur kepada Martin dan Jasmine. "Dia ..., dia sudah pulang, Tuan," jawab Jasmine gemetar karena ketakutan. "Suruh dia kembali ke sini!" "Su-sudah, Tuan. Nona sudah dalam perjalanan,""Baik, aku akan menunggunya. Aku ingin melihat reaksinya bagaimana," Suasana di sana langsung berubah menegangkan. Semua karya