"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!"
"Riana!"
Plakk
Satu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya.
"Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.
Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana.
"Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis.
"Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa.
"KAU-! KEMBALI KE SINI!! URUSAN KITA BELUM SELESAI RIANA!! RIANA!!"
Riana tidak peduli, wanita itu terus mengayunkan kaki untuk pergi dari sana secepatnya. Meski kedua orang itu terus memanggilnya dengan suara nyaring, Riana berlagak tuli.
Pikirannya tertuju pada Randu. Randu pasti marah, dia pasti kecewa juga bingung.
Riana harus menjelaskan semuanya. Riana tidak ingin Randu membencinya, dia tidak ingin... kehilangan Randu.
Riana tidak tahu di mana letak salahnya. Randu jelas putra dari teman yang dititipkan padanya. Yang hingga saat ini, belum juga ada kabar berita.
Lantas, mengapa tiba-tiba mereka meng-klaim Randu hak milik mereka? Apa hubungan mereka dengan temannya?
Kenapa?
Ataukah... jangan-jangan...
Riana terhenyak, langkahnya terhenti seketika. Ketika sebuah pemikiran menyeruak dalam benak.
Riana menggelengkan kepalanya kuat, mencoba menepis segala kemungkinan buruk.
Jika asumsinya benar, maka Randu dalam bahaya.
"Tidak. Tidak akan ada satu orang pun yang bisa merebut Randu dariku. Sekalipun itu mereka." lirih Riana pada dirinya sendiri.
Wanita itu mulai berlari, ia harus cepat sampai dan menjelaskan semuanya pada Randu.
Riana menggebrak pintu begitu sampai di rumah Rita. Semua orang yang sedang berkumpul menoleh terkejut.
"Mba, ada apa?" tanya Sari khawatir.
"Kamu kenapa, Ri? Ada apa?" Gean bertanya.
Yang ditanyai hanya melongo, linglung. Antara malu dan cemas. Riana lupa, jika ia sedang berada di rumah mertuanya.
"Ri, kamu baik-baik aja, kan?" Gean kembali bertanya khawatir.
Riana hanya tersenyum kikuk kemudian mengangguk pelan. Pandangannya tertuju pada Randu yang sedang menata gelas di atas meja. Pemuda itu bersikap biasa seolah tak terjadi apa-apa.
Riana mendekat, duduk disampingnya.
"Randu..." panggil Riana lirih, "Ibu bisa je-"
"Nanti, bu. Randu tidak ingin mengacau di rumah Oma. Lagipula ini kali pertama buat Randu bisa kumpul keluarga kaya gini." jawab Randu dingin, tanpa menoleh.
"Tapi-"
"Apapun alasannya, kalau Ibu bicara sekarang. Mungkin Randu gak akan terima. Jadi, tolong kasih Randu waktu buat cerna semuanya."
Riana menghela napas pasrah. Ia tidak bisa memaksa jika Randu tidak ingin penjelasan sekarang.
Acara dimulai dengan lancar, semua orang terlibat obrolan ringan nan hangat. Rita terlihat sekali bahagia.
Sedang Gean sedari tadi diam-diam memperhatikan gelagat aneh istrinya. Sejak Riana menggebrak pintu, Gean tahu ada yang salah.
Sikap Randu juga tidak seperti biasa sejak sepulang membeli minuman. Meski putranya itu terlihat baik-baik saja.
Sari mengatakan jika Riana dan Randu pergi bersama. Namun, kembali dalam waktu yang berbeda. Bahkan selisih waktu antara mereka lebih dari dua puluh menit.
Ekspresi cemas Riana begitu kentara di mata Gean. Tidak biasanya Riana seperti ini. Istrinya itu memiliki pembawaan yang tenang. Sangat jarang melihat Riana secemas ini.
Entah kenapa, perasaan Gean mulai menjadi tidak nyaman.
"Riana." panggil sang ibu mertua.
Pemilik nama menoleh. " Iya, bu?"
"Kamu darimana aja, koq, baliknya lama?" tanya Rita santai sambil mengunyah kacang.
Riana gelagapan. "Euh, itu, tadi, Riana..."
"Tadi Ibu ketemu sama temennya. Mereka ngobrol lama makanya Randu pergi duluan." sambar Randu cepat.
"Temen?" Gean bersuara.
Randu mengangguk.
"Temen siapa?"
Randu mengendikan bahu tidak tahu. Dan, jawaban Randu sukses menimbulkan kecurigaan Gean pada Riana.
~~~~~~
Waktu menunjukkan pukul 19.07, keluarga kecil itu dalam perjalanan pulang. Selama perjalanan suasana begitu hening.
Gean berkali-kali melirik putra dan istrinya secara bergantian. Sungguh, suasana ini membuat Gean tidak nyaman, bahkan terkesan dingin.
Biasanya jika sedang bersama Randu, Riana akan cerewet menanyai ini dan itu. Dan, Randu akan menanggapi hal itu dengan tertawa kecil dan menjawabnya satu-persatu.
Lantas, apa yang terjadi dengan mereka? Benarkah apa yang sedang ia pikirkan?
[Astaga, kamu mikir apa sih, Gean?!] Gerutu Gean dalam hati.
"Senang rasanya bisa kumpul keluarga lagi setelah sekian lama. Rian bahkan tadi usul, kapan-kapan kita kumpul lagi kaya tadi. Tapi, nanti kita jalan-jalan keluar, semacam piknik keluarga. Menurut kamu gimana, Ri?" Gean membuka pembicaraan.
Namun, Riana bergeming. Wanita cantik itu hanya menatap jalanan dengan kosong.
"Ri." panggil Gean menepuk pelan bahu istrinya.
"Mm?"
"Kamu lagi mikirin apa, sih?"
"Mm, gak ada, koq. Tadi, kamu ngomong apa, Mas?"
Gean menghela napas. "Rian ajak kita buat liburan sekeluarga, katanya biar lebih mempererat ikatan keluarga. Lagian, kita gak pernah keluar bareng buat liburan. Kamu mau, kan?"
"Mau dong, Mas. Udah lama juga kita gak liburan bareng-bareng. Kalau menurut Randu gimana? Kamu mau ikut, kan?"
"Hmm." Randu hanya bergumam.
Riana hanya tersenyum menghela, mencoba memaklumi segala sikap Randu hari ini.
"Oh, iya, Ri. Soal teman kamu... tadi, siapa?"
Baik Randu maupun Riana, sama-sama menegang di tempatnya. Tidak menyangka jika Gean akan membahas hal tadi.
"Setahuku, kamu tidak pernah mengenalkan siapa pun sebagai temanmu. Jadi, teman siapa? Sejak kapan kamu mengenalnya? Kenapa tidak pernah mengenalkannya padaku?"
"Euh... Itu... I-itu..." Riana gelagapan, tidak tahu harus menjawab seperti apa. Karena dirinya sendiri tidak tahu jawaban.
Kemudian, dering ponsel mengalihkan perhatiannya sekaligus menyelamatkannya dari pertanyaan mendadak Gean. Ada sebuah pesan masuk dari nomor tidak dikenal.
(Semuanya sudah siap, kapan kita akan memulai?) isi pesan tersebut.
Ekspresi Riana berubah, dan semua tak luput dari perhatian Gean.
(Secepatnya. Atur saja semuanya.) balas Riana cepat.
Pandangan Riana menajam, ia meremat kuat ponselnya.
[Lihat dan saksikan. Aku tidak pernah melupakan siapa diriku. Aku hanya ingin kehidupan lebih baik. Tapi, karena kalian ingin merenggut satu-satunya hal berharga untukku. Aku tak segan akan menghancurkan kalian!] batin Riana penuh tekad.
[Apa yang kamu sembunyiin dari aku, Ri?] batin Gean gelisah.
Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam.Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa.Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga."Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu."Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi."Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah."Ada apa sama dia?""Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri
Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya."Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Juga..." dia menjeda ucapannya."Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi."Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya."Apa itu masuk akal?""Anda tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.Riana duduk di k
Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.Tidak ada siapa-siapa juga di sana.Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya."Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.Paul mengangguk."Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.
Randu baru saja selesai berganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget."Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk Randu itu berseru girang.Randu mendelik, "Kenapa?""Sepertinya kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh."Surat cinta?" pemuda itu mengernyit."Yap, di mejamu ada sepucuk surat juga sebuket mawar biru.""Dari siapa?" tanya Randu heran.Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "mungkin dari kekasihmu.""Tidak ada kekasih!" sanggah Randu cepat."Kalau begitu dari orang yang menyukaimu!"Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!""Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. At
Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat secara nyata.Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film, kini terpampang jelas di depan matanya."Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati."Ibuku."Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini?"Randu menggeleng, "Ibuku pemilik tempat ini.""Oh..." Dika mengangguk-ngangguk, untuk beberapa detik selanjutnya, pemuda itu melotot, "HAH?!""Kecilkan suaramu!" peringat Randu."Ibumu, ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu, pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Kau mau aku percaya pada omong kosongmu?!""Terserah, tapi itulah kenyataannya." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan, tenang agar tidak ketahuan. Sama sepe
Riana berjalan melewati orang-orang yang masih berpeluh di dahinya. Mereka berjajar di sepanjang jalan. Langkah Riana cepat dan tegas, wajah cantik tanpa kerutan itu terlihat kusut. "Kenapa kalian LENGAH?!!!" sentak Riana diakhir kalimatnya, seraya berhenti melangkah dan berbalik menatap semua rekannya. Wanita itu memijat pelipisnya, "apa yang hilang?" "Berkas lost." jawab Paul cepat. Riana memejamkan mata rapat, kepalanya mendadak pening. Sudah dipastikan, siapa pun yang mengambilkan berkas itu, pasti berhubungan dengan lost. Entah mereka adalah orang-orang Lost atau bukan. Yang jelas, Riana tidak bisa membiarkan siapa pun mengambil berkas itu darinya. "Berapa orang?""Dua..." jawab seseorang di sisi kiri Riana, lirih. "Mereka hanya dua orang, tapi kalian tidak sanggup menangkap mereka?!!" Nada bicara Riana meninggi, kesal setengah mati. Barisan pria kekar yang tadi mengejar Randu serentak menunduk. "Kalian memiliki tubuh tinggi yang kekar, tapi kalian begitu lambat hingga ke
Kenyataan bahwa dirinya hanya anak adopsi cukup melukai hati pemuda itu, apalagi Randu tidak tahu menahu perihal ibunya selama ini. Siapa orang tua angkatnya selama ini? Hal apa saja yang mereka sembunyikan? Randu ingin sekali bertanya banyak hal. Tentang mengapa ibunya ada dalam daftar personil elite lost. Tentang mengapa ibunya menyembunyikan identitas aslinya. Dan, apa yang ibunya lakukan selama ini. Tapi, Randu harus menahan diri untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Barangkali selama ini sang ayah juga tidak tahu apa-apa. Randu tidak ingin merusak hubungan kedua orang tuanya. Randu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Seperti biasa, makan bersama sebelum berangkat sekolah. Sejujurnya, Randu ingin menghindari momen ini. Randu tidak ingin ditanyai ini dan itu. Dia sedang tidak ingin bicara. Otaknya masih memproses semua hal yang baru-baru ini dia temukan. Juga hal-hal yang belakangan ini terjadi secara tidak terduga. Pemuda itu duduk disamping Riana, demi mengh
"Jangan katakan apa pun dulu pada Nona, dan untuk sementara rahasiakan ini dari Raiden!" Perintah Paul. Ethan menoleh, "Kau ingin dipenggal?!" "Kau ingin dibakar hidup-hidup?!" Balas Paul melotot. Ethan mendengus, sungguh tidak ada jalan aman bagi mereka. "Rahasiakan ini sementara dari orang-orang, terutama dari Nona. Kita akan bergerak diam-diam untuk mengambil kembali berkas itu. Jika sampai ada yang tahu..., berarti informasi itu darimu!" Ethan mendelik, "Terserah," pria itu mengetuk meja tiga kali, "memangnya kau punya rencana?" "Untuk saat ini, tidak!" Jawab Paul datar. "Owh, sialan! Kau benar-benar ingin dipenggal!!" Umpat Ethan kesal. Pria itu beranjak dari tempatnya. Membiarkan pria berkepala plontos itu sendiri.Paul mengusap kepalanya frustasi, mengapa harus Randu yang mengambilnya? Sungguh, jika Riana tahu, wanita itu akan mengamuk. Putra semata wayangnya, akhirnya mengetahui identitas asli sang ibu. Jika saja orang yang mencurinya adalah orang lain, Paul tidak aka
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid
Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san
Riana merapikan barang miliknya yang tersimpan rapi di camp khusus anggota. Memasukkanya dalam sebuah kardus besar. Wanita itu bersungguh-sungguh atas ucapannya. Keluar dari tempat ini adalah salah satu tujuan Riana sejak dulu. Bukan, bukan hanya karena Gean. Gean hanya salah satu alasan terbesar Riana untuk pergi dari tempat ini. Riana mencintai Gean, sangat mencintainya. Selama beberapa tahun mereka menjalin hubungan, Riana tidak pernah mengungkap identitas aslinya pada sang kekasih. Ia tidak ingin kekasihnya itu mengetahuinya sekarang. Bagaimanapun, Riana tidak siap jika ia harus kehilangan Gean. Selain itu, alasan penting Riana adalah, karena ia sudah muak dengan semuanya. Organisasi ini begitu mengekang, membelenggu hidupnya. Ia terikat oleh perintah misi yang mengharuskannya merenggut sesuatu yag berharga dari orang lain. Senyum, tawa, teman, keluarga, harta, bahkan nyawa mereka. Membuat Riana selalu dirundung perasaan bersalah, yang kian hari semakin menggunung. Menyesakk
Jakarta, 28 tahun yang lalu. Tiga mobil van berhenti di depan sebuah gedung megah. Prajurit berseragam khusus yang memiliki lambang bunga aster kecil di dada kirinya keluar secara bertahap.Mereka bersenjata lengkap. Beberapa berjaga di luar, mengambil posisi siap menyerang. Beberapa lagi masuk menyerbu dengan cara masuk mengendap-endap. Ini misi pertama mereka yang dilakukan secara berkelompok.Mereka segera berpercar setelah berhasil masuk, mencari target. Riana dan Martin adalah anggota pengepung dalam. Keduanya pun segera memisahkan diri setelah yang lain berpencar. Mereka menuju ruang bawah tanah. Sebelumnya mereka diberi peta gedung yang memiliki banyak ruang ini. Salah satu target bisa saja berada di ruang bawah tanah, yang sengaja mereka bangun untuk bertransaksi dengan para penjual pasar hitam. Ya, gedung megah ini adalah tempat transaksi bagi para penjual dan pembeli pasar hitam. Banyak dari mereka adalah orang berpengaruh, sebagian lagi hanya terjebak dan sulit keluar
Baru saja mobil mereka memasuki pekarangan rumah, pandangan mata Riana langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Wanita itu segera melompat turun, sadar bahwa suaminya sudah kembali dari luar kota. Tapi, ini belum genap sehari, kenapa Gean sudah kembali? Gegas Riana memasuki rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Gean tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya di sana. Riana tertegun dengan kehadiran Martin di rumahnya. Laki-laki itu duduk pertumpang kaki, bersandar pada sofa. Wajahnya begitu cerah dengan senyum yang mengembang sempurna. Rona bahagia begitu terpancar, menunjukkan kepuasaan di sana. "Sedang apa kau di sini?" Riana bertanya dengan geraman tertahan, kedua tangannya mengepal erat. "Menunjukkan kebenaran," jawabnya santai. Riana melirik Gean yang masih fokus pada sebuah kamera, wanita itu membelalak. Riana berlari mendekat, dia duduk bersimpuh di samping kaki sang suami. "Mas." Riana memanggil Gean yang masih bergeming,