18 tahun kemudian
Riana tidak menduga, setelah 18 tahun berlalu ia akan kembali lagi menginjakkan kaki ke rumah ini. Rumah milik Rita, mertuanya.
Setelah lebih dari 25 tahun tidak pernah mendapat pengakuan dari mertuanya.
Kemarin, Rita mengundang keluarganya untuk hadir diacara ulang tahunya.
Tentu saja Riana sangat antusias, apalagi Randu putranya belum pernah sama sekali berkumpul dengan keluarga sang Ayah.Riana tersenyum lega, kehadiran Randu disambut hangat oleh kerabat lain. Meski Rita masih bersikap dingin. Randu bahkan ditarik ke sana- ke mari hingga anak itu kebingungan.
Sedangkan Gean, sudah melipir pergi bersama adiknya entah ke mana.
Tinggalah Riana bersama Sari, istri dari Rian adik Gean. Rita memiliki dua putra,Gean adalah putra sulungnya, dan Rian adalah bungsunya.
Rian menikah dengan sari beberapa bulan sebelum Gean dan Riana mengadopsi anak. Usia dua kakak beradik itu memang terpaut cukup jauh, 8 tahun.
Pasangan itu sangat baik, ketika Riana memutuskan berhenti berkunjung ke rumah Rita. Rian dan Sari seringkali berkunjung ke rumah Riana, apalagi setelah mereka mengadopsi anak.
Kini mereka sudah memiliki dua putri cantik. Yang paling besar berusaia 13 tahun, selisih 4 tahun dengan Randu. Dan, yang paling kecil, baru menginjak usia 7 tahun.
"Randu tumbuh jadi anak yang baik. Dia juga ganteng." ucap Sari, memperhatikan Randu yang sedang bermain dengan putri kecilnya.
Riana tersenyum.
"Mbak janga khawatir, ya. Mbak udah didik Randu dengan baik. Sari yakin, kalau Randu juga bahagia punya, Mbak."
"Makasih ya, Sar."
"Kamu gak mau cari tahu orang tua kandungnya?" celetuk Rita yang datang dari dapur.
"Gak usahlah, Bu. Toh, Randu juga hidup dengan baik sama Mbak Riana sama Mas Gean." Sari menimpali.
"Kalau orang tuanya tiba-tiba datang ambil Randu gimana? Ikhlas kamu?"
"Bu-"
Sari akan kembali menimpali, namun Riana lebih dulu meraih lengannya, menggelengkan kepala, memberi tanda agar Sari tidak berkata lebih jauh.
"Bu, Riana minta tolong sama Ibu. Untuk saat ini, tolong jangan bahas hal ini. Jika waktunya sudah tepat. Riana pasti akan memberitahu Randu yang sebenarnya." ucap Riana memohon.
Rita menatap Riana. "Asal kamu tahu, Riana. Walaupun anak itu tertera dalam kartu keluarga putra ibu. Bagaimanapun, anak itu hanya orang asing." katanya begitu dingin.
"Ibu koq, ngomongnya begitu?" Sari lagi-lagi menimpali.
"Mana Gean, ibu mau suruh dia beli minuman ke supermarket."
Rita mengalihkan pembicaraan, lalu beranjak dari duduknya menuju halaman belakang. Setelah 18 tahun berlalu, perangai Rita tetap tidak berubah.
Riana hanya bisa mengelus dada, menguatkan diri agar tidak terpancing emosi. Demi Randu.
Randu yang melihat Rita mendekat bertanya.
"Oma mau ke mana?"
"Cari Gean, mau disuruh buat beli minuman ke toko sebelah. Bentar lagi acaranya mau dimulai minumannya belum ada." jawab Rita ketus.
"Biar Randu aja, Oma." tawar Randu.
"Yaudah nih!" Rita menyodorkan tiga lembar uang seratus ribu.
Randu menerimanya lalu berlalu dari hadapan Rita.
"Kamu mau ke mana, Randu?" tanya Riana begitu melihat Randu menggunakan sepatunya.
"Randu mau beli minuman, Bu."
"Ibu ikut, ya? Sekalian pengen jalan-jalan."
Randu mengangguk. Riana tersenyum, mengikuti langkah Randu.
Semenjak menikah, Riana belum pernah berjalan-jalan seperti ini di kawasan rumah tinggal Rita. Ini kali pertama baginya.
Lingkungan di sini ternyata asri, banyak tanaman rindang di sisi-sisi jalanan. Sejuk.
"Kamu seneng?" tanya Riana
Randu menoleh. "Iya, kali pertama buat Randu bisa kumpul keluarga kaya gitu."
"Ch, anak Ibu udah besar aja, ya."
"Makin ganteng ya, Bu?"
Riana terkekeh, mengusak pelan rambut putranya. Riana bahagia memiliki Randu, meski di sisi lain ia khawatir, jika sewaktu-waktu temannya itu datang dan mengambil Randu.
Tapi, hingga saat ini. Belum juga ada kabar darinya. Apakah ia berhasil menyelesaikan urusannya? Atau malah sebaliknya?
Riana memang tidak tahu diri jika menginginkan Randu seutuhnya sebagai putra. Dalam lubuk hatinya yang terdalam, Riana tidak ingin Randu mengetahui seluruh kebenaran.
Riana tidak ingin Randu membencinya. Setelah selama 18 tahun mereka hidup bersama. Riana sungguh ingin Randu tetap menjadi putranya.
Tiba-tiba dua orang pria menghadang langkah mereka. Pria berpakaian serba hitam dengan mantel yang menjuntai itu berhenti tepat di depan ibu dan anak.
Riana membelalak melihat siapa yang datang. Dengan cepat menarik Randu untuk tetap di belakang.
"Ada urusan apa kalian ke sini?" tanya Riana dingin.
Randu yang bingung hanya bisa diam ketika ibunya maju menghadapi mereka.
"Randu Fardian, aku diperintahkan untuk membawanya." balas salah seorang.
"Atas dasar apa?"
"Kenapa aku harus memberitahumu?"
"Aku ibunya!"
Orang itu terkekeh, pandangannya meremehkan. "Benarkah?"
"Randu, kamu tunggu di sini sampai ibu selesai bicara sama mereka. Jangan ke mana-mana, ya!" pinta Riana.
Kerutan alis Randu semakin dalam, namun tak urung pemuda itu mengangguk mengiyakan.
Riana menarik kedua pria itu bersamanya menjauh dari Randu.
"Katakan! Darimana kalian tahu anakku? Atas urusan apa kalian membawanya?"
"Kau menginginkan yang bukan seharusnya. Lagipula, sejak kapan dia berubah menjadi anakmu? Bukankah hingga sekarang kau tak pernah merasakan bagaimana rasanya mengandung?"
Jawaban meremehkan salah satu dari mereka berhasil menyentil emosi Riana.
Riana menarik kerah jaket pria itu."Jangan pernah menyentuh putraku!"
"Sadarlah! Dia bukan putramu. Dan, kami harus membawanya atas perintah pimpinan."
"Aku bukan lagi bagian dari kalian. Aku tidak perlu mematuhi aturannya!"
"Tapi, Randu adalah bagian dari kami!" ucapnya tegas.
Tanpa babibu, Riana melayangkan satu tinjuan. Pria itu tersungkur sedang pria yang satunya berteriak nyalang.
"RIANA!!'
Randu terkejut, kali pertama baginya melihat sang ibu menghajar seseorang. Ia hendak mendekat, namun urung ketika kembali melihat Riana menampar pria yang satunya.
"Kalian semua tidak memiliki hak atas putraku! Jangan berani-berani menyentuhnya!!"
"SADARLAH RIANA! DIA BUKAN PUTRA KANDUNGMU!! DIA HANYA ANAK TITIPAN!! DIA BUKAN HAKMU!"
Seketika Riana terbungkam, untuk sejenak jantungnya berhenti berdetak. Riana melirik Randu, sedang putranya itu tertegun dengan pandangan tidak percaya.
Benarkah apa yang ia dengar? Wanita yang ia panggil ibu sepanjang hidupnya, ternyata bukan ibu kandungnya? Jika memang benar, lantas siapa orang tua kandung Randu sebenarnya?Randu termundur, segalanya terlihat kosong sekarang. Hingga pemuda itu berlari menjauh dari ibunya.
"Randu..." Riana hendak menyusul Randu, ingin menjelaskan.
Namun, mereka menahan kedua lengannya."Urusan kita belum selesai, Riana."
Riana melirik mereka tajam. "Jika aku tak berhak atas anakku. Lalu, apa hak kalian atas dia?!"
"Randu adalah properti milik kami."
Riana menggeram. "Kalian bajingan!"
"Jangan lupakan siapa dirimu yang sebenarnya. Kau bahkan lebih bajingan daripada kami!"
"Lalu, kau pikir aku SUDI MEMBERIKAN PUTRAKU PADA KALIAN?!!" Riana berteriak nyalang, "sentuh putraku, kubunuh kalian!""Riana!"PlakkSatu tamparan mendarat pada wajah pria yang baru saja meneriakkan namanya."Sentuh putraku, kuhancurkan kalian!" suara Riana dalam, penuh penekanan. Juga tatapan yang mengintimidasi.Namun, pria yang ditamparnya barusan balik menatap, mendekat satu langkah pada Riana."Jangan karena kini kau memiliki kehidupan yang berbeda, kau merasa bukan bagian dari kami. Ingatlah, Riana. Bahwa kau tidak akan pernah bisa lepas dari belenggu yang mengikat erat jiwamu. Meski kini, kau tidak bersama kami." ucapnya pelan, meremat pundak Riana kuat hingga wanita itu meringis."Karena itu, seharusnya kalian takut untuk mengusikku kembali. Apa kau pikir, aku tidak sanggup menghancurkan kalian?!" setelah mengatakan itu, Riana melenggang pergi dengan langkah tergesa."KAU-! KEMBALI
Riana duduk di tepi ranjang, semenjak pulang dari kediaman Rita. Sikap Riana berubah, ia jadi lebih banyak diam.Gean yang baru saja keluar dari kamar mandi, mengusak rambutnya yang basah. Menghela napas panjang begitu melihat Riana seperti orang kehilangan jiwa.Pria yang berusia setengah abad itu menghampiri sang istri. Duduk di sampingnya, menyelipkan anak rambut Riana ke belakang telinga."Ada yang ganggu pikiran kamu?" bisik Gean.Riana menoleh, binar matanya meredup. Kesedihan terpancar jelas dalam netra jernih itu."Kamu kenapa?" tanya Gean sekali lagi."Aku... kepikiran Randu." terang Riana lirih, jelas sekali gundah."Ada apa sama dia?""Randu..." jeda sejenak, Riana menarik napas panjang sebelum melanjutkan, "dia udah tahu semuanya. Dia udah tahu... kalau dia bukan anak kandung kita."Handuk yang Gean pegang terlepas dari genggaman, jatuh meluruh ke lantai. Gean sendiri
Riana baru saja memasuki ruangan ketika seorang pria berkepala plontos mengikutinya dari belakang. Menjulurkan sebuah map berwarna hitam. Berisi beberapa informasi yang Riana minta sebelumnya."Mereka berkembang menjadi lebih besar dibanding sebelumnya. Bahkan setelah tragedi itu. Pemerintah tidak membiarkan mereka meredup. Pembongkaran markas dulu, membangun markas baru yang lebih besar dan fasilitas yang lebih lengkap. Mereka juga memasok beberapa senjata memasok beberapa senjata yang hanya dimiliki negara tertentu. Juga..." dia menjeda ucapannya."Juga?" Riana berbalik, menatap pria didepannya tanpa ekspresi."Semakin banyak orang mereka, semakin banyak orang tua yang kehilangan putranya."Riana menghela napas, memijat pelipisnya. Pria yang berbicara dengannya adalah pria yang sama dengan yang menelponnya."Apa itu masuk akal?""Anda tahu bagaimana cara kerja mereka." jawab Paul.Riana duduk di k
Ketiga pria itu mendobrak pintu, tapi tidak menemukan apa pun. Semua barang ada di tempatnya, ruangan juga sama seperti semula.Tidak ada siapa-siapa juga di sana.Tidak ada yang aneh, ketiga pria itu pikir mereka hanya salah dengar, lalu kembali menutup pintunya.Randu bernapas lega, setidaknya untuk saat ini dia aman. Pemuda itu bersembunyi di balik kartu-kardus makanan yang ditumpuk tinggi.Lalu, pemuda itu berjalan perlahan mendekati pintu.Meski Randu aman sekarang, tapi ketiga pria itu tidak beranjak dari tempat. Masih membahas perihal tadi yang membuat Randu semakin menajamkan indera pendengarannya."Jadi, itu alasan Nona datang ke sini setelah sekian lama?" tanya Rey.Paul mengangguk."Kupikir mereka akan berhenti setelah kejadian itu. Bukankah karena itu pula mereka menderita kerugian besar? Juga banyak merenggut anggota hebat mereka." kali ini Felix bersuara.
Randu baru saja selesai berganti pakaian setelah jam olahraga, ketika seseorang masuk dan menepuk bahunya dari belakang cukup keras, hingga membuat pemuda itu berjengit kaget."Ow, Randu!" Dika, orang yang menepuk Randu itu berseru girang.Randu mendelik, "Kenapa?""Sepertinya kau baru saja mendapat surat cinta?" Dika terkekeh."Surat cinta?" pemuda itu mengernyit."Yap, di mejamu ada sepucuk surat juga sebuket mawar biru.""Dari siapa?" tanya Randu heran.Dika mengendikkan bahu, pertanda tidak tahu, "mungkin dari kekasihmu.""Tidak ada kekasih!" sanggah Randu cepat."Kalau begitu dari orang yang menyukaimu!"Randu berbalik pada Dika, menatap temannya itu dengan pandangan datar, "Jangan mengada-ada!""Lihat saja sendiri kalau tidak percaya. At
Dika menganga menyaksikan sesuatu yang tidak pernah dia lihat secara nyata.Bangunan rahasia yang dia pikir hanya ada di film-film, kini terpampang jelas di depan matanya."Darimana kau tahu tempat ini?" tanya Dika masih dengan pandangan takjub. Matanya menelisik pada setiap inci bangunan yang mereka lewati."Ibuku."Dika menoleh, "Kau dan ibumu menemukan tempat ini?"Randu menggeleng, "Ibuku pemilik tempat ini.""Oh..." Dika mengangguk-ngangguk, untuk beberapa detik selanjutnya, pemuda itu melotot, "HAH?!""Kecilkan suaramu!" peringat Randu."Ibumu, ibumu yang baik hati dan lemah lembut itu, pemilik tempat ini? Tempat sangar ini? Kau mau aku percaya pada omong kosongmu?!""Terserah, tapi itulah kenyataannya." Randu berjalan mendahului Dika yang masih ternganga tidak percaya.Pemuda itu memimpin jalan, berjalan pelan, tenang agar tidak ketahuan. Sama sepe
Riana berjalan melewati orang-orang yang masih berpeluh di dahinya. Mereka berjajar di sepanjang jalan. Langkah Riana cepat dan tegas, wajah cantik tanpa kerutan itu terlihat kusut. "Kenapa kalian LENGAH?!!!" sentak Riana diakhir kalimatnya, seraya berhenti melangkah dan berbalik menatap semua rekannya. Wanita itu memijat pelipisnya, "apa yang hilang?" "Berkas lost." jawab Paul cepat. Riana memejamkan mata rapat, kepalanya mendadak pening. Sudah dipastikan, siapa pun yang mengambilkan berkas itu, pasti berhubungan dengan lost. Entah mereka adalah orang-orang Lost atau bukan. Yang jelas, Riana tidak bisa membiarkan siapa pun mengambil berkas itu darinya. "Berapa orang?""Dua..." jawab seseorang di sisi kiri Riana, lirih. "Mereka hanya dua orang, tapi kalian tidak sanggup menangkap mereka?!!" Nada bicara Riana meninggi, kesal setengah mati. Barisan pria kekar yang tadi mengejar Randu serentak menunduk. "Kalian memiliki tubuh tinggi yang kekar, tapi kalian begitu lambat hingga ke
Kenyataan bahwa dirinya hanya anak adopsi cukup melukai hati pemuda itu, apalagi Randu tidak tahu menahu perihal ibunya selama ini. Siapa orang tua angkatnya selama ini? Hal apa saja yang mereka sembunyikan? Randu ingin sekali bertanya banyak hal. Tentang mengapa ibunya ada dalam daftar personil elite lost. Tentang mengapa ibunya menyembunyikan identitas aslinya. Dan, apa yang ibunya lakukan selama ini. Tapi, Randu harus menahan diri untuk tetap berpura-pura tidak tahu. Barangkali selama ini sang ayah juga tidak tahu apa-apa. Randu tidak ingin merusak hubungan kedua orang tuanya. Randu berjalan menuruni tangga menuju ruang makan. Seperti biasa, makan bersama sebelum berangkat sekolah. Sejujurnya, Randu ingin menghindari momen ini. Randu tidak ingin ditanyai ini dan itu. Dia sedang tidak ingin bicara. Otaknya masih memproses semua hal yang baru-baru ini dia temukan. Juga hal-hal yang belakangan ini terjadi secara tidak terduga. Pemuda itu duduk disamping Riana, demi mengh
Gean menatap bingkisan yang lagi-lagi dikirim tanpa nama si pengirim. Beberapa saat lalu seseorang membunyikan bel rumah. Lalu, meninggalkan sebuah kotak berukuran kecil yang dibungkus dengan kertas coklat di depan pintu. Gean merobeknya kasar, hingga isinya berhamburan. Ada beberapa foto di dalamnya. Sama persis dengan kejadian tempo lalu saat seseorang mengirim bingkisan yang sama, juga berisi foto-foto blur di ruang kerjanya.Awalnya Gean ingin membuang semua foto itu tanpa perlu repot melihatnya. Namun, kemudian pria itu membelalak, ketika matanya menangkap sosok yang begitu ia kenal dalam foto tersebut. Sosok jangkung yang tengah disekap dengan kedua tangan terikat ke belakang, juga todongan senjata di belakang kepala, adalah Randu, putranya. Gean membalik foto tersebut, mencari petunjuk. Terdapat tulisan tangan yang Gean yakini adalah sebuah alamat. Tanpa pikir panjang, gegas pria itu menyambar jaket serta kunci mobil. Belum juga Gean meraih knop pintu, getaran ponsel menghe
Dengan langkah terseok-seok, juga kondisi tubuh yang tidak benar-benar baik. Riana memaksa kakinya melangkah mencari Randu. Mendobrak setiap pintu yang ia temui. Jika tidak beruntung, Riana akan bertemu musuh, kembali bertarung alih-alih kabur, kembali terluka, kembali bangkit untuk mencari sang putra. Tidak ia pedulikan sekujur tubuhnya yang terluka, rasa nyeri yang menjalar, juga pakaiannya yang compang-camping. Pikiran Riana hanya tertuju pada satu hal, memastikan Randu keluar dari tempat ini dengan aman dan selamat. Riana kembali menemukan sebuah ruangan. Kali ini tidak dia dobrak, sesaat wanita itu berpikir, kemungkinan ini adalah ruangan terakhir di gedung ini. Jika Riana tidak menemukan mereka, maka dia harus pergi ke gedung lain. Wanita itu menarik napas panjang, kemungkinannya 50:50, jika benar ini ruangan tempat Paul dan Randu sembunyi, maka dia selamat. Tapi, jika ruangan ini berisi orang-orang Lost.... Habislah Riana! Kemudian wanita itu mengetuk pintu."Paul! Kau d
Beku, Riana hanya berdiri mematung di depan pintu, dengan senjata api yang mengacung tepat di hadapan kepala Randu. Pemuda itu baru saja membuka mata, menatap sang Ibu dengan pandangan sendu. Martin bertepuk tangan gembira seolah tujuannya sudah tercapai. Pria yang pernah menjadi rekannya itu tersenyum begitu lebar. "Aku tidak tahu bahwa ikatan batin kalian sekuat ini!" Pekiknya senang, "yang membuatku sangat senang kau tahu, Riana? Adalah, bahwa kau datang sendiri ke sini dengan senang hati tanpa aku perlu repot-repot menyusun rencana untuk memancingmu datang." Jelas Martin menyeringai. Riana hanya menatap pria itu datar tanpa minat. "Apa kau tahu apa yang membuatmu menjadi pengecut, Martin? Kenyataan bahwa kau selalu melibatkan orang-orang terdekatku hanya untuk memancingku." Balas Riana datar. Senyum Martin pudar, seiring dengan Riana yang melangkah maju semakin dekat. Wanita itu tetap mengacungkan senjatanya, namun kali ini dia arahkan pada Martin. “Maju selangkah lagi, kulub
Angin dingin berhembus, menerbangkan jaket yang Randu kenakan tanpa dikancing itu, motornya kencang membelah jalanan. Malam yang semakin larut, hanya tinggal beberapa kendaraan saja. Pikiran Randu bercabang, banyak sekali pertanyaan yang bersarang. Setelah Martin datang untuk kedua kalinya, dan mengatakan fakta lain yang lebih mengejutkan, Randu tidak bisa berpikir jernih sekarang. Sebelum Martin benar-benar pergi, Randu mengejar pria itu. Menarik tangannya hingga dia berbalik menghadap Randu. "Kau tidak mungkin ayah kandungku!" Sentak Randu. Martin memiringkan kepala, "Aku harus dapat kepercayaanmu? Fakta bahwa kau putraku itu sudah cukup." "BERHENTI!!" Randu berteriak. "Berhenti mempermainkan hidupku. Apa yang kau mau? Sebenarnya apa tujuanmu?!" Martin hanya tersenyum. "Kembalilah pada Ayahmu, putraku." Randu tidak bisa berhenti memikirkan itu. Dalam hati dia memaki orang yang mengaku sebagai Ayah kandungnya. Kenapa harus Martin? Kenapa? Laki-laki itu bajingan, dia buka
“Bagaimana kau tahu tempat ini?” tanya Riana terkejut. Bagaimana Riana tidak terkejut. Sekalipun Riana tidak pernah mengatakan perihal tempat ini kepada siapa pun kecuali rekan-rekannya yang ikut bersamanya. Markas yang Riana dirikan, berada di tempat terpencil sekaligus tersembunyi. Sengaja ia memilih tempat ini, karena lebih memungkinkan bersembunyi. Selain tempat, keamanan juga Riana terapkan cukup ketat. Lalu, tiba-tiba Claire datang, tanpa pemberitahuan, setelah bertahun-tahun lamanya.Sebagai tamu, kenapa Claire tidak datang ke rumahnya? Kenapa dia tahu tempat ini? Apa tujuannya?Prasangka-prasangka buruk kembali berkelebatan di benak Riana. "Bagaimana kau bisa masuk? Aku tidak pernah memberitahumu tentang ini. Darimana kau tahu?" Riana bertanya betubi-tubi."Maaf, Riana. Aku lancang datang ke tempat persembunyianmu. Tapi, aku tahu tempat ini setelah mengikuti putraku."“Apa?!” Riana membelalak.“Saat itu, aku datang ke rumahmu. Ingin menyapa, melihat putraku. Tapi, aku tid
Segurat ingatan masa lalu menyeruak dipikiran Riana. Mungkin pula itu sebab Martin mendendam padanya.Padahal saat dulu, Riana sering kali mengajak keluar dari tempat itu bersamanya, melepas belenggu yang mengikat. Menjalani kehidupan biasa. Layaknya orang-orang.Sayangnya, Martin selalu menolak mentah-mentah. Berdalih bahwa tempat itu sudah seperti rumah baginya. Tidak ada tempat bagi orang-orang sepeti mereka di luar sana.Setelah berhasil melepaskan diri, kini Riana harus kembali ditarik ke dalam belenggu menyesakkan, yang membuat hidupnya selama ini tidak bebas. Padahal, perjuangan Riana agar bisa lepas tidaklah main-main.Masa lalu itu menghancurkan segalanya. Mungkin Riana harus rela melepaskan Gean. Mungkin pula pria itu tidak sudi untuk melihatnya lagi.Riana menekuk kakinya, menunduk menenggelamkan wajah dikedua lipatan tangan. Menangis terisak dalam diam.Jika mencintai ternyata sesulit dan sesakit ini. Riana ingin memutar waktu, kembali pada masa itu. Memilih menetap di san
Riana merapikan barang miliknya yang tersimpan rapi di camp khusus anggota. Memasukkanya dalam sebuah kardus besar. Wanita itu bersungguh-sungguh atas ucapannya. Keluar dari tempat ini adalah salah satu tujuan Riana sejak dulu. Bukan, bukan hanya karena Gean. Gean hanya salah satu alasan terbesar Riana untuk pergi dari tempat ini. Riana mencintai Gean, sangat mencintainya. Selama beberapa tahun mereka menjalin hubungan, Riana tidak pernah mengungkap identitas aslinya pada sang kekasih. Ia tidak ingin kekasihnya itu mengetahuinya sekarang. Bagaimanapun, Riana tidak siap jika ia harus kehilangan Gean. Selain itu, alasan penting Riana adalah, karena ia sudah muak dengan semuanya. Organisasi ini begitu mengekang, membelenggu hidupnya. Ia terikat oleh perintah misi yang mengharuskannya merenggut sesuatu yag berharga dari orang lain. Senyum, tawa, teman, keluarga, harta, bahkan nyawa mereka. Membuat Riana selalu dirundung perasaan bersalah, yang kian hari semakin menggunung. Menyesakk
Jakarta, 28 tahun yang lalu. Tiga mobil van berhenti di depan sebuah gedung megah. Prajurit berseragam khusus yang memiliki lambang bunga aster kecil di dada kirinya keluar secara bertahap.Mereka bersenjata lengkap. Beberapa berjaga di luar, mengambil posisi siap menyerang. Beberapa lagi masuk menyerbu dengan cara masuk mengendap-endap. Ini misi pertama mereka yang dilakukan secara berkelompok.Mereka segera berpercar setelah berhasil masuk, mencari target. Riana dan Martin adalah anggota pengepung dalam. Keduanya pun segera memisahkan diri setelah yang lain berpencar. Mereka menuju ruang bawah tanah. Sebelumnya mereka diberi peta gedung yang memiliki banyak ruang ini. Salah satu target bisa saja berada di ruang bawah tanah, yang sengaja mereka bangun untuk bertransaksi dengan para penjual pasar hitam. Ya, gedung megah ini adalah tempat transaksi bagi para penjual dan pembeli pasar hitam. Banyak dari mereka adalah orang berpengaruh, sebagian lagi hanya terjebak dan sulit keluar
Baru saja mobil mereka memasuki pekarangan rumah, pandangan mata Riana langsung tertuju pada sebuah mobil yang terparkir tak jauh dari sana. Wanita itu segera melompat turun, sadar bahwa suaminya sudah kembali dari luar kota. Tapi, ini belum genap sehari, kenapa Gean sudah kembali? Gegas Riana memasuki rumah, namun langkahnya terhenti di ambang pintu. Gean tidak sendirian, melainkan ada tiga orang lainnya di sana. Riana tertegun dengan kehadiran Martin di rumahnya. Laki-laki itu duduk pertumpang kaki, bersandar pada sofa. Wajahnya begitu cerah dengan senyum yang mengembang sempurna. Rona bahagia begitu terpancar, menunjukkan kepuasaan di sana. "Sedang apa kau di sini?" Riana bertanya dengan geraman tertahan, kedua tangannya mengepal erat. "Menunjukkan kebenaran," jawabnya santai. Riana melirik Gean yang masih fokus pada sebuah kamera, wanita itu membelalak. Riana berlari mendekat, dia duduk bersimpuh di samping kaki sang suami. "Mas." Riana memanggil Gean yang masih bergeming,