[Jangan lupa makan biskuitnya untuk mengganjal perut.]Kira tersenyum kala membaca pesan yang baru saja dikirimkan Julian padanya. Julian sudah pergi hampir dua puluh menit yang lalu.Kira kemudian memotret plastik biskuit yang sudah habis ia makan, lalu mengirimkannya pada Julian.[Sudah aku habiskan. Terima kasih :).][Sama-sama. Setelah laporannya selesai, langsung cari makan. Jangan ngebiarin perut kosong,] balas Julian.Kira terkekeh kala membaca pesan tersebut. Memang tidak ada yang lucu dari pesan Julian, tapi Kira merasa senang saat membacanya. Walaupun hanya kata-kata sederhana, tapi selama ini Kira tidak pernah mendapatkan perhatian sekecil itu dari suaminya sendiri.[Siap, Bapak Julian yang terhormat :-D.] Kira membalas dan dibubuhi emot tertawa diakhir kalimat.Kira menaruh ponselnya kembali ke atas meja dan ia fokus mengerjakan laporan yang diminta Kai. Namun, belum sempat Kira mengetik, interkom di sudut mejanya berbunyi.“Kira, masuk ke ruanganku. Sekarang!” Siapa lagi
“Duduk!” titah Kai begitu Kira menutup pintu di belakangnya. “Temani aku makan.” “A-Apa?” Kira terperangah. Ia menatap Kai dengan tatapan tak percaya, lalu menatap makanan dari warteg yang sudah dihidangkan di atas piring. “Makan siang bersama Anda?” Kai mengempaskan bokongnya di sofa. “Ya. Kenapa? Keberatan?” tanyanya dengan suara yang terdengar jauh lebih rendah. Tentu saja Kira keberatan. Berada di dekat Kai saja sudah membuatnya jengkel dan lelah, apalagi jika harus makan bersama? Namun, sebagai asisten pribadi yang ingin mempertahankan profesionalitasnya, Kira lantas menjawab, “Tentu saja tidak, Tuan.” “Duduklah. Mau sampai kapan terus berdiri di situ?” Satu alis Kai terangkat sambil menatap Kira. “Itu makanan untukmu.” Kira akhirnya duduk di hadapan Kai. Ia sempat tertegun karena ternyata makanan yang ia pesan dari warteg itu adalah untuk dirinya. ‘Pantas saja dia nggak protes tadi,’ batin Kira sembari meraih sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Lantas keduanya
Kira menaruh ponselnya di atas meja, lalu ia menuangkan air ke dalam gelas dan meneguknya hingga habis.Ia baru saja pulang dari rumah Violet setelah menyusui Luna, oleh karena itu Kira merasa haus.Pada saat yang sama, Kai pun tiba di rumah. Pria itu baru saja pulang, entah dari mana. Sebab sore tadi Kai dan Kira tidak pulang bersama dari kantor.Kira pulang bersama sopir pukul empat sore. Sementara Kai pergi sendiri dan sempat berkata pada Kira bahwa ia akan pergi ke suatu tempat terlebih dulu. Namun, Kira yakin Kai bukan bertemu dengan Violet. Sebab Violet barusan ada di rumahnya.Kai mendekati Kira.Tanpa perlu menoleh, Kira sudah tahu Kai tengah menghampirinya dan menatap punggungnya.“Kamu baru saja pulang dari rumah Violet?” Suara bariton Kai terdengar di arah belakang.“Iya,” jawab Kira sebelum meneguk air putihnya lagi.“Bagaimana Luna?”“Kamu nggak tanya ke kekasihmu langsung, Mas?”Kai berdecak lidah. Ia berdiri menjulang di samping Kira. Mata elangnya menatap Kira dengan t
“Ini semua gara-gara kamu. Kalau sesuatu terjadi pada anakku, kamu harus bertanggung jawab!”Setelah mengatakan kalimat tersebut, Kai pun pergi bersama Violet dan Rina yang tengah menggendong Luna. Meninggalkan Kira yang tercenung sendirian. Dengan menggunakan mobil Violet, mereka pergi ke rumah sakit.Sementara itu, Kira masih berdiri membeku di tempatnya dengan perasaan nyeri saat melihat bagaimana Kai khawatir dan panik pada Luna.Tanpa sadar, kepalan tangan Kira mengepal kuat. Ingatannya kembali terbayang ke masa lalu, saat ia berjuang sendirian melahirkan Aksa dan Kai sama sekali tidak peduli di saat Aksa akan dimakamkan. Mengingat hal itu, mata Kira berkaca-kaca.‘Apa ini salahku?’ batin Kira dengan dada yang bergemuruh hebat. ‘Luna sakit karena aku?’Kira jadi menyalahkan diri sendiri. Ia melihat ke sekeliling dan rumah itu terasa sepi. Kai bahkan mengabaikannya.Kira lantas keluar dari rumah tersebut, tapi ia tidak ingin pulang ke rumah Kai.Dengan mata yang menggenang, Kira p
Kira baru menyadari bahwa dirinya tidak membawa ponsel dan dompet saat ia sudah meninggalkan area pemakaman.Kira juga tidak tahu saat ini sudah pukul berapa, tapi kondisi di sekitar yang sepi membuatnya yakin bahwa saat ini sudah hampir tengah malam.Kaki Kira kembali melangkah di trotoar jalan. Kakinya sudah terasa pegal dan keringat bercucuran karena sudah berjalan kaki cukup jauh.Beberapa taksi melintas, tapi Kira tidak berniat menghentikannya. Kira masih belum ingin pulang ke rumah Kaisar. Atau lebih tepatnya, Kira tidak ingin bertemu dengan lelaki itu.‘Bisa aja dia lagi di rumah kekasihnya sekarang,’ batin Kira sambil tersenyum kecut.Hati Kira masih terasa perih saat teringat lelaki itu menyalahkannya, tadi.‘Aku harus pergi ke mana sekarang?’ batin Kira lagi sambil duduk di kursi kayu yang tersedia di trotoar.Ia memperhatikan lalu lintas kota yang tidak pernah sepi dengan tatapan menerawang. Jauh di lubuk hati, ia teringat pada Luna, khawatir bayi mungil itu kenapa-napa.Ki
Pukul sebelas malam, Julian baru keluar dari kantornya. Hampir setiap hari ia memang selalu lembur. Hidupnya ia dedikasikan untuk pekerjaan. Karena toh ia belum memiliki seseorang yang akan menunggunya di rumah. Hujan turun cukup deras saat ia keluar dari lobi. Ryan–sang sekretaris, membuka payung besar dan memayungi atasannya itu menuju mobilnya yang sudah terparkir di depan lobi. “Aku akan nyetir sendiri,” kata Julian sambil meminta kunci mobil. Ryan tampak khawatir. “Tapi, Pak. Ini sudah tengah malam dan hujan, Anda pasti lelah juga setelah seharian bekerja.” “Fisikku nggak selemah itu, Ryan.” Julian berdecak lidah, ia menengadahkan telapak tangan, meminta kunci mobil. Akhirnya Ryan pun menyerahkan kunci mobil pada bosnya. Julian melajukan kendaraan itu di bawah hujan yang cukup deras, dengan kecepatan sedang. Karena ia juga belum ingin pulang ke rumah. Saat Julian sedang fokus mengemudi, tiba-tiba seekor kucing melintas di hadapannya, membuat Julian sontak menginjak rem. Ju
Kira berjalan melewati gang sempit tersebut. Jas Julian yang dikenakannya membuat tubuhnya terasa sedikit hangat.Hingga tak lama kemudian ia keluar dari gang samping pos satpam komplek perumahan. Lantas Kira menyeret kakinya yang sudah terasa pegal menuju rumah Kai.Bagaimana kabar Luna?Itu yang terlintas dalam benak Kira selama dalam perjalanan tersebut. Begitu melewati rumah Violet, Kira sempat terdiam dan memandangi rumah tersebut dengan perasaan campur aduk.‘Luna sudah pulang belum, ya? Apa jangan-jangan dia dirawat?’ batin Kira sambil menghela napas panjang.Ia melanjutkan langkahnya dan tak sampai lima menit kemudian Kira sudah tiba di depan rumah Kai. Satpam membukakan pintu untuknya dan terkejut kala melihat kondisi Kira yang pulang sendiri tengah malam.“Non Kira baik-baik saja?” tanya salah seorang satpam dengan tatapan khawatir.Kira tersenyum kecil, mengangguk. “Saya baik-baik saja, Pak. Terima kasih.”“Sepertinya ada yang khawatir sama Non Kira.” Satpam itu menoleh ke
Kai tidak bisa memejamkan matanya. Ia berguling ke kiri dan kanan demi mendapatkan kenyamanan. Namun, ia seolah-olah tidak bisa menemukan ketenangan dalam tidurnya. Kebersamaan Kira dan Julian memenuhi benak Kai, membuat Kai akhirnya bangkit sambil mengumpat, “Sialan! Apa yang mereka lakukan?” Kai berusaha mengabaikan perasaan marahnya saat teringat dengan bagaimana Julian menyentuh Kira. Toh, ia tidak peduli Kira mau pergi dengan siapapun, akan tetapi hatinya berkata lain. Kai tidak bisa mengabaikannya. Mendengus kasar, Kai akhirnya turun dari ranjang. Ia berjalan mondar-mandir di tengah kamar, sambil sesekali mengusap tengkuk. Lalu mengumpat ketika bayangan Kira bersama dengan Julian kembali melintas di benaknya. Sial. Sial. Sial. “Apa yang aku pikirkan?” keluh Kai sambil duduk di tepian ranjang dan memijat pelipis. Seharusnya ia tidak peduli pada Kira dan Julian. Namun, entah mengapa kebersamaan mereka berdua yang singkat itu sangat mengusik pikirannya? Sementara itu
“Kira… kalau kamu butuh tempat untuk berlindung, berdirilah di belakangku. Aku siap melindungimu dan membantumu. Kapanpun,” ucap Julian sungguh-sungguh.Kira tertegun. Kata-kata Julian membuat lidahnya mendadak terasa kelu. Ia menunduk, menatap tangannya yang ada dalam genggaman Julian. Tangan itu terasa hangat, tapi entah mengapa Kira merasa ada yang salah. Ia cepat-cepat menarik tangannya dari genggaman pria itu.“Julian…,” gumam Kira akhirnya. “Kamu orang baik. Sangat baik bahkan, tapi aku nggak bisa mempermainkan perasaanmu.”“Aku tahu, Kira,” sahut Julian dengan tenang, ada kekecewaan yang terdengar dalam nada suaranya. “Aku tahu kamu belum siap, tapi aku cuma ingin kamu tahu bahwa kamu nggak sendirian, Kira. Ada aku yang selalu siap membantumu.”Kira mengangguk, akan tetapi ia tak tahu harus berkata apa untuk menanggapi ucapan Julian yang terlalu baik untuknya itu.Belum sempat Kira berkata-kata, ponselnya–yang sejak tadi ia abaikan, kembali bergetar. Sejujurnya sejak tadi ponse
“Aku… nggak bisa bersamamu lagi.”Sontak, Violet terhenyak mendengarnya. Raut wajah wanita itu seketika berubah menegang. Kepalanya menggeleng cepat, seolah-olah tak ingin mempercayai apa yang barusan ia dengar.“Honey, a-apa yang kamu bicarakan?” Violet tertawa kering, matanya menatap Kaisar lurus-lurus dengan mata yang tiba-tiba menggenang. “Kamu… ingin meninggalkanku?”Kai mengembuskan napas berat. “Maafkan aku, Vi,” ucapnya dengan tenggorokan tercekat. “Aku rasa ini yang terbaik buat kita.”Sekali lagi, Violet menggelengkan kepalanya cepat. “Nggak! Kamu nggak serius, ‘kan?! Kamu pasti cuma bercanda, Honey.” Ia duduk dengan punggung menegang.Kai menatap mata wanita yang tampak berkaca-kaca itu. Ada rasa bersalah yang menghantam jiwanya, tapi bayangan wajah Kira pun terus berputar-putar dalam benaknya, membawa Kai pada posisi yang sulit.Kai akhirnya berdiri, menatap Violet dengan tegas. “Aku serius, Vi,” ucapnya, “aku sudah t
“....Tapi jangan berharap lebih, Mas. Aku sudah kehabisan alasan untuk bertahan... selain ibuku.”Kata-kata yang diucapkan Kira membuat Kai tertegun. Tangan Kai mengepal. Rahangnya berkedut. Ada salah satu bagian dari dalam dirinya yang merasa sakit mendengar ucapan Kira.Kira pergi meninggalkan Kai yang membeku di tempatnya berdiri. Ia berjalan cepat menaiki tangga dengan perasaan nyeri yang tiba-tiba menyerang dada. Ia memang sudah kehabisan alasan untuk bersama Kai, selain karena ibunya yang butuh biaya pengobatan yang tidak sedikit.Saat Kira akan membuka pintu kamarnya, tiba-tiba saja sebuah tangan menarik tangannya, hingga badan Kira berputar dan berakhir berhadapan dengan Kai.Pria itu menatap Kira dengan tatapan kusut. “Aku serius saat mengatakan akan memperbaiki semuanya, Kira,” ucap Kai dengan suara rendah. “Aku tidak bercanda.”Kira melihat ada keseriusan yang tergambar dalam sorot mata suami di atas kertasnya itu. Lalu Kira tersenyum kecut. “Bukannya aku sudah tanya bagaim
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber
‘Aku bisa tanpa kamu.’Kata-kata Kira yang diucapkan beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Kai.Kai tidak mengerti, entah mengapa kata-kata itu mampu menusuk jantungnya, membuat Kai tidak fokus mengemudi dan beberapa kali ia hampir menabrak mobil di hadapannya ketika berhenti di lampu merah.Kekecewaan yang tergambar di wajah Kira–yang sempat Kai lihat saat ia berbalik meninggalkannya, membuat dada Kai terasa sesak. Namun, Kai juga tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya pada Violet yang saat ini dilarikan ke UGD.Setibanya di rumah sakit beberapa saat kemudian, Kai langsung berlari menuju UGD sesuai lokasi yang disebutkan manajer Violet.Seorang wanita berambut pendek menghampiri Kai begitu Kai tiba. “Tuan? Mbak Violet lagi diperiksa oleh dokter,” ucap Livia–manajer Violet.“Apa yang terjadi? Kenapa bisa Violet kecelakaan waktu pemotretan?” tanya Kai dengan raut muka khawatir yang tak disembunyikan.“Violet jatuh dari tebing buatan di lokasi pemotretan outdoor, T
‘Kira, aku janji, aku akan datang menemuimu lagi. Jadi, tunggu aku di dalam, hm? Aku akan pergi sebentar saja. Tiketnya sudah aku kirimkan ke handphone kamu.’Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Kai sebelum pria itu pergi dari hadapan Kira.Kira tercenung. Ia masih membeku di tempatnya berdiri. Tanpa sadar, matanya menggenang dan memanas. Hatinya dirundung perasaan nyeri karena pria itu lebih memilih menemui kekasihnya ketimbang menemaninya masuk ke dalam tempat wisata itu.Pada akhirnya… tetap saja Violet yang menjadi prioritas utama Kai, dibanding Kira.Kira tersenyum kecut. Ia terlalu banyak berharap sehingga akhirnya merasa kecewa.Kira menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala sembari mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air mata yang mendesak keluar.Ia lantas memeriksa pesan dari Kai. Pria itu telah mengirimkan e-tiket ke nomor ponselnya. Kira mengunduh e-tiket tersebut dan kembali tercenung karena mel