“Jadi, kamu yang namanya Resti?” tanya Julian sambil duduk di kursi kebesarannya, menatap seorang perawat yang berdiri di hadapannya–yang tampak tak berani menatapnya.
“I-Iya, Pak.” Resti gemetaran. Tak biasanya seorang perawat dipanggil ke ruangan CEO. Dan hal itu membuat Resti semakin takut. “A-Ada apa Bapak memanggil saya?” “Jangan gugup.” Julian menghela napas pelan. “Saya cuma mau minta beberapa informasi dari kamu. Kamu ingat pasien melahirkan yang bernama Audy Saskirana atau Kira?” Resti mengerutkan kening, seperti tengah berusaha mengingat-ingat. Setelah cukup lama ia mengingat-ingat, Resti pun mengangguk mengiakan. “Ingat, Pak. Kebetulan waktu itu saya yang mendampingi Bu Kira.” Julian terdiam sejenak, ia sangat penasaran terhadap sesuatu. “Saya dengar… dia melahirkan sendirian–maksud saya nggak ada yang menemani dia dari keluarganya?” Sekali lagi Resti mengangguk. “Betul, Pak. Nggak ada keluarga yanSepanjang perjalanan, Kai membaca draft tersebut sambil sesekali berusaha melonggarkan dasinya.Entah mengapa ia tiba-tiba merasa aneh. Melihat cara Kira menjelaskan dengan penuh percaya diri, melihat bagaimana bibir kecil tapi penuh itu berbicara, dan tatapan Kira yang berbeda membuat Kai merasakan sesuatu yang asing di hatinya.Sial!‘Kenapa aku jadi begini?’ gerutu Kai di dalam hati sambil mengembuskan napas kasar.Setibanya di restoran tempat pertemuannya dengan Mr. Diego beberapa saat kemudian, Kai dan Kira pun turun dari mobil.Begitu masuk ke dalam ruangan VIP, seorang pria berkebangsaan Eropa dengan setelan mahal sudah menunggu mereka. Pria itu tampak berusia sekitar lima puluh tahunan.“Mr. Kaisar, senang bertemu lagi denganmu,” ujar Mr. Diego dengan aksen Inggris yang kental, tangannya terulur menjabat tangan Kai, yang langsung disambut dengan jabatan tangan yang kuat oleh Kai.“Sama-sama, Mr. Diego.” Kai tersenyum penuh wibawa. Ia berbicara dalam bahasa Inggris dan menunjuk
Setelah mereka tiba di mobil, Kai masuk lebih dulu dan langsung bersedekap dada sambil memandang ke depan lurus-lurus dengan tatapan tajam. Kira duduk di kursi depan, tepat di samping sopir.“Kira, pindah ke belakang!” titah Kai tepat saat sopir baru saja melajukan kendaraannya, membuat sang sopir secara spontan mengerem mendadak.Kira menoleh ke belakang dengan kening berkerut. “Tuan, Anda butuh sesuatu?”“Aku bilang pindah!” titah Kai sekali lagi dengan nada jauh lebih tegas.Kira berbalik ke depan, memejamkan mata dengan jengkel, sebelum akhirnya ia kembali menoleh ke belakang dan tersenyum profesional–yang membuat Kai seketika tertegun. “Baik, Tuan Kai yang terhormat. Saya akan pindah.”Sang sopir bergegas turun membukakan pintu untuk Kira. Kira pindah ke kursi belakang, tepat di samping Kaisar.Mobil kembali melaju. Kira melirik bosnya itu yang tampak sedang merengut. Suasana di dalam mobil terasa sunyi, mencekam. Kira bahkan sempat menahan napasnya karena khawatir deru napasnya
Kira tidak mengerti apa yang merasuki atasan sekaligus suaminya itu. Wajah Kai tetap saja merengut.Bahkan saat berjalan kaki menuju ruangannya, Kai mengibaskan bagian bawah jas hitam yang ia kenakan ke belakang dengan kasar.Setiap karyawan yang ia lewati dan yang menatap Kira lebih dari dua kali, selalu mendapatkan tatapan tajam dari Kai.“Hari ini benar-benar melelahkan,” keluh Kira sambil mengempaskan tubuhnya di kursi yang ada di dalam ruangannya.CEO-nya yang hobinya mengamuk itu sudah masuk ke ruangannya beberapa saat yang lalu sambil membanting pintu.“Kira, gimana? Pertemuannya lancar?” tanya Lia yang menghampiri Kira dengan senyuman lebar. Lia menarik kursi, duduk di depan meja Kira.“Mm-hm. Diskusinya berjalan sedikit alot tapi semuanya lancar.” Kecuali mood bosnya yang sulit ditebak bagai cuaca akhir-akhir ini, lanjut Kira dalam hati.“Aku tahu kamu pasti bisa diandalkan, Kira.” Lia menatap pintu ruangan CEO dengan kening b
Rutinitas Kira sepulang kerja hari ini tidak jauh berbeda dengan kemarin-kemarin. Ia pulang bersama Kai–yang masih merengut. Lalu mandi dan makan malam. Setelah itu Kira akan pergi ke rumah Violet untuk menemui Luna dan memberikan stok ASI perah yang ia pompa siang tadi. Dan seperti biasa, Luna sedang menangis saat Kira datang, lalu tangisannya berhenti saat Luna berpindah ke pangkuan Kira. “Tadi siang anteng-anteng aja, Non. Tapi begitu jam lima, Luna langsung nangis kejer, kayaknya Luna tahu kalau Non Kira bakal datang. Mungkin kangen kali ya?” Rina menyampaikan kondisi Luna dengan jujur. Kira yang tengah menyusui Luna di dalam kamar pun tersenyum. Ia menunduk menatap wajah bayi yang semakin hari semakin berisi. Bahkan pipinya sudah terlihat agak chubby. “Beneran kamu kangen aku?” goda Kira sambil menjawil pipi Luna. “Udah mulai manja ya sekarang?” Kira terkekeh kecil. Mata Luna mengerjap pelan, s
“Honey, aku datang,” ucap Violet dengan suara yang lebih pelan sambil menghampiri Kai dan Kira. “Kamu nggak menyadari kedatanganku, ya?” Kai mengerjap. Ia menoleh dan terkejut seolah-olah baru menyadari bahwa Violet sudah pulang. Secara spontan Kai menarik tangan kanannya dari kepala Kira, membuat Kira terantuk lalu terbangun. “Oh? Sayang, aku pikir kamu nggak akan pulang,” gumam Kai sambil memundurkan tubuhnya dari Kira. Violet tersenyum. Ia bergelayut manja di lengan Kai. “Aku pulang karena aku kangen kamu dan Luna.” Kira yang baru terjaga pun mengerjapkan matanya. Lalu, ia tercenung begitu melihat pemandangan di hadapannya. “Violet, kamu sudah pulang?” ucap Kira dengan suara serak khas orang bangun tidur. Ia membetulkan posisi tubuhnya dan sempat mengecek Luna yang terlelap dalam pangkuannya. “Iya, tadinya aku masih ada kerjaan, tapi aku kangen Luna.” Violet tersenyum. “Terima kasih, Kira. Aku nggak tahu harus berbuat apa untuk mengungkapkan rasa terima kasihku.” Satu sudut
Entah perasaan Kira saja atau bukan, tapi Kira merasa… tatapan Julian sering tertuju ke arahnya selama rapat berlangsung. Kira sendiri memilih fokus pada catatan di tangannya–menulis poin-poin penting dalam pertemuan pagi itu. Saat Kira mendongak, ia melihat Julian tersenyum kecil ke arahnya, sebelum akhirnya Julian mengalihkan pandangan ke arah lain. Hal itu terjadi beberapa kali. Sementara di samping Kira, Kai berdiskusi dengan Julian dan juga seorang arsitek, membahas project rumah sakit yang akan mereka bangun bersama. Kai menyadari tatapan Julian sering tertuju pada Kira. Ia berusaha untuk tidak peduli. Toh, di kantor Kira hanyalah bawahannya. Namun, entah mengapa, tatapan intens Julian pada Kira lama kelamaan membuat Kai terusik. Saat coffee break berlangsung, ketiga pria di ruangan rapat itu mengobrol ringan. Kai menatap Julian yang tersenyum samar pada Kira, lalu Kai mengalihkan tatapannya ke arah Kira yang juga sedang tersenyum kikuk pada Julian. Julian dan Kira sal
[Jangan lupa makan biskuitnya untuk mengganjal perut.]Kira tersenyum kala membaca pesan yang baru saja dikirimkan Julian padanya. Julian sudah pergi hampir dua puluh menit yang lalu.Kira kemudian memotret plastik biskuit yang sudah habis ia makan, lalu mengirimkannya pada Julian.[Sudah aku habiskan. Terima kasih :).][Sama-sama. Setelah laporannya selesai, langsung cari makan. Jangan ngebiarin perut kosong,] balas Julian.Kira terkekeh kala membaca pesan tersebut. Memang tidak ada yang lucu dari pesan Julian, tapi Kira merasa senang saat membacanya. Walaupun hanya kata-kata sederhana, tapi selama ini Kira tidak pernah mendapatkan perhatian sekecil itu dari suaminya sendiri.[Siap, Bapak Julian yang terhormat :-D.] Kira membalas dan dibubuhi emot tertawa diakhir kalimat.Kira menaruh ponselnya kembali ke atas meja dan ia fokus mengerjakan laporan yang diminta Kai. Namun, belum sempat Kira mengetik, interkom di sudut mejanya berbunyi.“Kira, masuk ke ruanganku. Sekarang!” Siapa lagi
“Duduk!” titah Kai begitu Kira menutup pintu di belakangnya. “Temani aku makan.” “A-Apa?” Kira terperangah. Ia menatap Kai dengan tatapan tak percaya, lalu menatap makanan dari warteg yang sudah dihidangkan di atas piring. “Makan siang bersama Anda?” Kai mengempaskan bokongnya di sofa. “Ya. Kenapa? Keberatan?” tanyanya dengan suara yang terdengar jauh lebih rendah. Tentu saja Kira keberatan. Berada di dekat Kai saja sudah membuatnya jengkel dan lelah, apalagi jika harus makan bersama? Namun, sebagai asisten pribadi yang ingin mempertahankan profesionalitasnya, Kira lantas menjawab, “Tentu saja tidak, Tuan.” “Duduklah. Mau sampai kapan terus berdiri di situ?” Satu alis Kai terangkat sambil menatap Kira. “Itu makanan untukmu.” Kira akhirnya duduk di hadapan Kai. Ia sempat tertegun karena ternyata makanan yang ia pesan dari warteg itu adalah untuk dirinya. ‘Pantas saja dia nggak protes tadi,’ batin Kira sembari meraih sendok. Perutnya sudah keroncongan sejak tadi. Lantas keduanya
‘Aku tidak akan membiarkanmu menyakiti Kira.’Kai tidak bisa memejamkan matanya malam itu. Peringatan dari Julian sore tadi terus terngiang-ngiang di telinga.Sial!Kenapa dirinya harus merasa terancam dengan kehadiran sosok Julian?Apalagi setelah Julian mengatakan secara terang-terangan bahwa dia menyukai Kira.Kai duduk di tepian ranjang, tangannya mengepal kuat-kuat. Ia tidak mengerti kenapa harus peduli pada hubungan Kira dan laki-laki itu? Padahal jika itu dulu, Kai mungkin tidak akan peduli sedikit pun pada apa yang dilakukan Kira.Lamunan Kai buyar tatkala ia mendengar ponselnya berdering. Siapa yang menghubunginya malam-malam begini? Kai bertanya-tanya dalam hati.Dengan terpaksa Kai meraih ponselnya yang tergeletak di nakas. Ia terdiam saat melihat nama Violet terpampang di layar.Saat itu juga, Kai mengusap wajahnya gusar. Benar. Seharusnya ia memperdulikan kekasihnya saja. Wanita yang lebih dulu ia cintai bahkan jauh sebelum pernikahannya dengan Kira berlangsung.Namun, en
“Apapun hubunganku dengan wanita itu, itu bukan urusanmu, Julian.” “Tapi Kira adalah urusanku!” “Aku suaminya!” “Suami?” Julian mendengus kasar. Ia maju satu langkah, mendekati Kai sambil menatapnya tajam. “Suami mana yang tega membiarkan istrinya melahirkan sendirian demi wanita lain, Kai?” Mata Kai kembali membulat mendengar kata-kata itu. Ucapan Julian bagai batu yang menghantam dadanya begitu kuat, mengingatkan Kai akan kesalahannya di masa lalu. Sementara itu, Kira yang sejak tadi tampak syok setelah mendengar Julian yang tahu mengenai pernikahannya dengan Kai, kini semakin terkejut dengan fakta yang diketahui Julian. Padahal Kira sama sekali tidak pernah mengatakan apapun pada Julian terkait hubungannya dengan Kai. Kira menatap Julian dengan tatapan penuh kebingungan. Julian menoleh ke arah Kira, lalu tersenyum lembut, berbanding terbalik dengan nada tajamnya barusan. “Maaf, aku
“Kai? Sedang apa kamu di sini?” Julian maju mendekati Kai dengan satu alis terangkat.Kira masih membeku di tempatnya berdiri, ia tidak menyangka bahwa suaminya itu akan menepati janjinya untuk kembali kepadanya.Kai lantas menatap Julian dengan tajam. “Aku ada urusan dengan Kira,” ujarnya, dingin, lalu menghampiri Kira dan meraih tangannya, yang membuat Kira terkejut dengan sikap Kai yang tiba-tiba itu.Kira menatap kedua lelaki itu bergantian. Seolah-olah ingin menyadarkan Kai bahwa saat ini mereka ada di hadapan Julian, dan Kai harus menjaga sikap jika tidak ingin Julian curiga.“Tu-Tuan, ada urusan apa?”Panggilan ‘tuan’ yang disematkan Kira membuat rahang Kai semakin mengeras. Kai menggenggam pergelangan tangan Kira dengan erat. “Kita bicara!”“Maaf, Tuan Kaisar.” Julian menahan tangan Kai yang menggenggam tangan Kira. Ia menatap Kai dengan sama tajamnya. “Hari ini Kira adalah pendampingku. Lagi pula… hari ini hari libur, kamu nggak berhak mengganggu Kira dengan urusan pekerjaan.
Kai melajukan kendaraannya dengan kecepatan tinggi. Fokusnya terbagi antara jalanan di depannya, dan ponsel yang terus memanggil nomor telepon Kira. Akan tetapi, tidak ada satupun panggilannya yang Kira angkat. Ke mana wanita itu? Kai bertanya-tanya dalam hati. Ya, pada akhirnya ia memutuskan untuk memilih pergi, setelah memastikan Violet aman bersama Livia. Kai tidak bisa mengabaikan perasaannya, yang terus menerus gelisah karena teringat Kira. Mobil akhirnya berhenti di parkiran Dufan. Sementara itu ponselnya masih memanggil nomor telepon Kira. Namun, lagi-lagi panggilannya berakhir dengan sia-sia. Kini Kai berjalan mondar-mandir di depan pintu masuk sambil menempelkan ponselnya di telinga. Kali ini ia menghubungi Ani, menanyakan apakah Kira sudah tiba di rumah atau belum? “Belum ada, Tuan. Non Kira belum pulang,” jawab Ani di seberang sana. Kai mengusap wajah dengan gusar. Ia menyesal karena tidak meminta orang suruhannya untuk mengikuti Kira hari ini. Sebab, tadinya Kai ber
‘Aku bisa tanpa kamu.’Kata-kata Kira yang diucapkan beberapa saat yang lalu, terus terngiang-ngiang di telinga Kai.Kai tidak mengerti, entah mengapa kata-kata itu mampu menusuk jantungnya, membuat Kai tidak fokus mengemudi dan beberapa kali ia hampir menabrak mobil di hadapannya ketika berhenti di lampu merah.Kekecewaan yang tergambar di wajah Kira–yang sempat Kai lihat saat ia berbalik meninggalkannya, membuat dada Kai terasa sesak. Namun, Kai juga tidak bisa mengabaikan rasa khawatirnya pada Violet yang saat ini dilarikan ke UGD.Setibanya di rumah sakit beberapa saat kemudian, Kai langsung berlari menuju UGD sesuai lokasi yang disebutkan manajer Violet.Seorang wanita berambut pendek menghampiri Kai begitu Kai tiba. “Tuan? Mbak Violet lagi diperiksa oleh dokter,” ucap Livia–manajer Violet.“Apa yang terjadi? Kenapa bisa Violet kecelakaan waktu pemotretan?” tanya Kai dengan raut muka khawatir yang tak disembunyikan.“Violet jatuh dari tebing buatan di lokasi pemotretan outdoor, T
‘Kira, aku janji, aku akan datang menemuimu lagi. Jadi, tunggu aku di dalam, hm? Aku akan pergi sebentar saja. Tiketnya sudah aku kirimkan ke handphone kamu.’Itulah kata-kata terakhir yang diucapkan Kai sebelum pria itu pergi dari hadapan Kira.Kira tercenung. Ia masih membeku di tempatnya berdiri. Tanpa sadar, matanya menggenang dan memanas. Hatinya dirundung perasaan nyeri karena pria itu lebih memilih menemui kekasihnya ketimbang menemaninya masuk ke dalam tempat wisata itu.Pada akhirnya… tetap saja Violet yang menjadi prioritas utama Kai, dibanding Kira.Kira tersenyum kecut. Ia terlalu banyak berharap sehingga akhirnya merasa kecewa.Kira menarik napas dalam-dalam dan mendongakkan kepala sembari mengerjapkan matanya berkali-kali, menghalau air mata yang mendesak keluar.Ia lantas memeriksa pesan dari Kai. Pria itu telah mengirimkan e-tiket ke nomor ponselnya. Kira mengunduh e-tiket tersebut dan kembali tercenung karena mel
Kai mengulum senyum sambil memainkan remote mobil di tangannya. Ia berdiri, bersandar pada pintu mobil, tatapannya lurus ke arah pintu rumah. Entah mengapa jantungnya kembali berdebar-debar saat menantikan Kira keluar dari dalam sana.Tak berapa lama, sosok yang ditunggu-tunggunya akhirnya keluar. Wanita itu mengenakan celana jeans dipadukan dengan kaos oversize warna hitam. Rambutnya dikuncir kuda dan mengenakan sling bag. Penampilannya persis seperti anak kuliahan. Kira tidak terlihat seperti seorang wanita yang sudah pernah melahirkan.“Sudah siap?” tanya Kai, “nggak ada yang tertinggal?”Kira menggelengkan kepalanya. “Nggak ada, Mas.”Kai mengangguk. Pria itu berdiri tegak saat Kira sudah berdiri di hadapannya. Lantas ditariknya ikatan rambut Kira hingga rambutnya tergerai panjang. Kira sempat terkejut dengan ulah Kai tersebut.“Bukannya sudah kubilang jangan mengikat rambutmu seperti ini?” omel Kai sambil berdecak lidah.“Mas, tapi gerah!” protes Kira.“Aku sudah menyiapkan ini u
Kira tidak mengharapkan Kai datang secepatnya.Jadi, daripada menunggu sesuatu yang tidak pasti, pagi itu Kira memilih mengenakan pakaian olahraga dan bersiap untuk jogging di sekitaran komplek. Ia memakai outfit yang pas di tubuhnya, hingga mencetak lekuk tubuhnya dengan sempurna.Namun, baru saja Kira akan memakai sepatu di ruangan keluarga, tiba-tiba saja ia mendengar suara derap langkah kaki yang mendekat. Kira menoleh karena penasaran siapa yang datang. Saat ia melihat sosok Kai, saat itu juga Kira tertegun.“Mas?” panggilnya dengan tatapan tak percaya. Ia tak menyangka Kai akan menepati janjinya untuk pulang lebih cepat dari rumah Violet.Kai menatap penampilan Kira dari atas sampai bawah, lalu tanpa sadar ia menelan saliva kala melihat lekukan tubuh Kira yang ternyata lebih sempurna daripada bentuk biola.“Kamu mau ke mana?” tanya Kai dengan suara berat seraya menatap mata Kira dengan dalam dan tajam.“Mau jogging, Mas. Udah lama aku nggak menggerakkan tubuh aku,” jawab Kira ap
Kai berdiri di depan pintu rumah Violet. Saat ia akan memutar handle pintu, tiba-tiba saja wajah Kira memenuhi benaknya.Ia menghela napas panjang sambil memejamkan matanya sejenak. Kai tidak mengerti kenapa akhir-akhir ini pikirannya selalu dipenuhi Kira, Kira dan Kira?Rasanya… ia tidak ingin jauh dari wanita itu.Bahkan untuk pergi ke rumah Violet seperti saat ini saja, Kai butuh usaha keras untuk meyakinkan dirinya sendiri.“Oh? Honey! Kamu di sini?!”Keterdiaman Kai buyar manakala pintu di hadapannya tiba-tiba terbuka dan muncul sosok Violet di sana.Mata Violet langsung berbinar cerah melihat kehadiran sang kekasih. Ia menarik tangan Kai dan membawanya masuk.“Ayo, masuk! Ngapain diam di pintu terus?” kekeh Violet, lalu ia mengambil cooler bag dari tangan Kai berisi ASIP untuk Luna.“Mana Luna? Dia sudah bangun?” tanya Kai sambil berjalan menuju pintu kamar Luna.“Anak kita lagi dimandiin sama Rina, Honey. Sebentar lagi selesai.” Violet memasukkan beberapa kantong ASIP ke dalam