Tsani dan Bu Rosi saling menatap. Ibu Rosi pun menggelengkan kepala. Mereka berdua sama-sama terherannya terhadap Melani yang berbicara seperti itu.
“Melani, Sayang. Ayah Melani kan sudah pergi. Ayah Melani sudah bobok panjang, tidak mungkin bisa dipeluk sama Melani."Rayuan Tsani kali ini benar-benar kelewatan. Hatinya sudah termakan kebencian terhadap Bimo.“Yayah ada, Mah, Yayah ada ...” rengek Melani sambil menunjuk ruang tamu yang hanya berbatas satu tembok dengan kamar Tsani.“Sudah Melani, diam!” bentakan Tsani membuat Melani terkekeh dan menangis.“Mamah no no ayang Meyani ...,” tangis gadis bermata belo itu makin menjadi. Kini dia dipeluk oleh Bu Rosi.“Mbak, sudah. Jangan marah-marah, kasihan Melani,” ujar Bu Rosi sembari memeluk Melani.“Aku sudah tidak sudi, Bu jika lelaki itu menyusup lagi di kehidupan kami. Kami sudah sangat bahagia hanya hidup berdua saja, tetapi mengapa dia hadir lagi, Bu. Kenapa?” rintih Tsani.Kini batinnya bergelut dengan amarah yang sulit teredam. Sesak. Sangat sesak untuk bernapas.Bu Rosi hanya terdiam, menjawab pun takut salah. Dia menatap iba pada Tsani.“Saya minta tolong, Bu. Temani dulu putri saya di sini. Jangan biarkan Melani keluar dan mendengar pembicaraan apapun di ruang tamu nanti,” pinta wanita yang matanya sudah sangat sembab.“Baik, Mbak. Selesaikan dengan kepala dingin ya, Mbak.”Tanpa menjawab, Tsani ke luar meninggalkan Bu Rosi dan Melani. Langkahnya berhenti di ruang tamu lalu menatap satu per satu semua pasang mata yang ada di sana. Sebaliknya mereka pun berbalik menatap Tsani dengan penuh keheranan.“Tolong katakan, siapa yang sudah berani mengungkapkan bahwa dia adalah ayah Melani!”Tangan Tsani menunjuk ke arah Bimo, netra tajam bagai busur siap ia lepaskan ke pelaku yang lancang membongkar status Bimo.Semua orang masih terdiam. Tidak ada satu pun jawaban yang Tsani dapat.“Tolong, katakan!!!” bentak Tsani sekali lagi.“Aku yang sudah mengatakan kepada Melani,” jawab Bimo dengan tegas.“Kamu Mas?! Berani sekali kamu bicara kepada anakku bahwa kamu ayahnya!!!”“Memang kenyataannya seperti itu, Melani anakku, darah dagingku. Apa salah seorang ayah ingin dipanggil ayah oleh anaknya sendiri? Ingin dipeluk anaknya sendiri? Ingin mencurahkan kasih sayang terhadap anaknya sendiri? Apa salah?!” Bimo memberondong curahan hatinya terhadap Tsani.“Lancang sekali kamu, Mas berbicara seperti itu. Tidak ingatkah saat Melani lahir? Kau memberi azan kepadanya pun tidak! Bahkan saat aku mempertaruhkan nyawaku melahirkan Melani, kamu di mana? Hah?! Di mana letak hatimu saat itu? Sejak bayi tidak pernah sekali pun kamu menggendong Melani. Dan sekarang kamu dengan entengnya mengakui dia sebagai anakmu?! Hadapi aku dulu, Mas! Hadapi dulu ibunya!”Amarah Tsani makin membara mengingat masa lalu di mana Bimo sangat mengabaikan Tsani dan Melani.Bimo hanya terdiam menyadari kesalahan yang fatal di waktu dulu. Bentakan Tsani membuat bayi yang tengah digendongnya menangis.“Sudah, Mbak. Tenang dulu,” bujuk Bu Farida dan bergegas merangkul Tsani yang tubuhnya mulai bergetar sebab amarahnya.“Ambil saja anak gundikmu ini!” Tsani menyerahkan bayi kepada Bimo. “dan segera enyah dari rumahku!”Pengusiran Tsani tidak mendapat tanggapan dari Bimo. Ia masih saja mematung dengan memeluk bayinya.“Aku tidak akan pergi sebelum Melani pun ikut bersamaku,” celetuk Bimo.Semua netra tertuju pada Bimo. Emosi Tsani makin meluap. Rupanya Bimo benar-benar memancing amarah Tsani. Mengubah Tsani yang lembut menjadi perangai yang tidak pernah terlihat oleh orang lain. Hari ini Tsani bagai harimau tidur yang terbangun karena ulah Bimo.“Keterlaluan kamu, Mas! Dikasih hati minta jantung! Kau minta ASI untuk bayi gundikmu, sudah aku berikan. Dan kini kau meminta Melani dari tanganku! Jangan harap aku akan melepaskan putriku untukmu!”Peperangan makin sengit. Di ruang tamu masih ada Pak RT dan Bu Farida, sedangkan Bu Rosi masih di kamar bersama Melani sesuai perintah Tsani.“Sebaiknya kita selesaikan semuanya dengan baik-baik, Mbak, Mas.”“Sudah habis kesabaran saya, Pak menghadapi laki-laki macam Mas Bimo. Sejak awal pernikahan, tidak pernah sekali pun ia membuat saya bahagia. Terlebih kepada Melani. Perlakuannya tidak mencerminkan seorang suami sekaligus ayah yang baik untuk keluarganya.”Pernikahan Tsani dan Bimo memang karena hutang piutang. Akan tetapi, sebelum orang tua Tsani berhutang kepada orang tua Bimo, Pak Rusli dan istrinya memang sudah menyukai Tsani. Di mata orang tua Bimo, Tsani adalah gadis berparas cantik, lemah lembut dan sangat beradab baik. Calon menantu idaman menurut mereka meskipun mereka berbeda kasta.Sewaktu ketika, orang tua Tsani membutuhkan biaya banyak untuk pengobatan Dendi, adik Tsani yang mengalami kecelakaan. Dengan senang hati Pak Rusli dan istrinya menawarkan pinjaman kepada mereka sebesar 40 juta. Namun, orang tua Tsani sangat ragu jika tidak bisa mengembalikan uang tersebut. Orang tua Bimo pun tidak kehabisan akal untuk menjebak orang tua Tsani pada hutangnya. Cukup dengan tenaga dan dalam kurun waktu yang ditentukan mereka bisa membayarnya.Naasnya, sebelum mencapai waktu yang ditentukan, kedua orang tua Tsani meninggal. Dan hutang piutang mereka dijadikan alat untuk Tsani tidak berkutik. Akhirnya, Tsani terpaksa bersedia dinikahkan dengan Bimo walaupun tanpa cinta.“Semua bermula karena perjodohan oleh kedua orang tua saya, Pak. Saat itu memang saya tidak mencintai Tsani sedikit pun. Karena saya sudah memiliki pilihan sendiri, yaitu Dini. Ibu dari bayi ini. Akan tetapi, sekarang saya sadar setelah apa yang Dini lakukan terhadap saya dan anak kami. Dia sudah mengusir kami dari rumahnya,” terang Bimo.“Oh, jadi Mas datang ke sini karena sudah dibuang oleh wanita itu? Datang hanya untuk meminta ASI untuk bayi hasil pengkhianatan kalian dan mengambil putri kesayanganku, Melani? Benar-benar sudah tidak waras kamu, Mas!” tangis Tsani pecah.Melani yang mendengar ibunya menangis langsung berlari ke luar. Melihat apa yang sedang terjadi. Dengan polosnya, anak itu menghampiri Tsani yang duduk bersebelahan dengan Bu Farida.“Mah, no no angis, Mah," bujuk Melani.Tangan mungilnya mengusap kedua pipi Tsani yang basah. Tangan Tsani sontak memeluk Melani sebelum ada tangan lain yang mengambilnya.“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Semua orang menoleh ke sumber suara.“Bimo tidak akan membawa Melani, kecuali dia mau kembali kepada Tsani.”Suara lelaki yang terdengar dari balik tembok pembatas ruang tamu dan teras. Hanya terdengar suaranya, tetapi sosoknya belum juga nampak. Semua mata tertuju ke arah sumber suara, seakan menantikan kemunculan lelaki tersebut.“Saya tidak merelakan cucu kesayangan saya diambil oleh anak saya sendiri,” ucap ulang lelaki itu.Kini sosoknya sudah terlihat. Lelaki paruh baya yang menggandeng wanitanya masuk ke rumah Tsani.“Papah, Mamah,” ucap Bimo dan Tsani bersamaan.Melihat kedatangan kedua orang tua Bimo, Pak RT, Bu Rosi dan Bu Farida serta Mita berpamitan pulang.“Sepertinya sudah saatnya saya permisi, Pak, Bu,” pamit Pak RT.“Silakan, Pak. Terima kasih sebelumnya sudah direpotkan atas masalah anak-anak kami,” sahut ayah Bimo.Sampai detik ini suasana rumah Tsani masih begitu tegang, bahkan le
Di malam hari setelah insiden yang sangat menguras emosi dan air mata itu berlalu, Tsani terlihat sangat murung. Tidak seperti malam-malam biasanya. Sebelumnya ibu satu anak ini tidak pernah absen membacakan buku dongeng untuk Melani sebagai penghantar tidur anak kesayangannya. Malam ini ia begitu kalut. Ia berada di satu persimpangan jalan mana yang harus ia pilih. Rujuk kembali atau mundur dari kehidupan Bimo.Luka trauma yang telah Bimo berikan masih begitu menancap dalam batinnya. Laki-laki yang ia harap bisa berubah setelah kehadiran putri pertama mereka, justru makin tidak bertanggung jawab. Tsani seakan kehilangan penopang dalam hidupnya. Setelah kehilangan kedua orang tuanya. Tsani harus bekerja keras untuk menyambung hidup bersama adiknya, Dendi. Sebelum akhirnya Tsani diminta untuk menikah dengan Bimo.Semenjak kericuhan di rumah Tsani, Bimo dan bayinya tinggal di rumah Papah Rusli. Terhitung sudah lima hari berlalu, hitungan yang sama pula kun
"Ternyata kau sudah bisa mengambil hati anakku, Mas!"Wanita berbadan ramping dengan tinggi semampai itu melempar tatapan dingin kepada Bimo yang kini tengah memeluk Melani."Bukankah Melani ini anakku juga, Tsan? Darah dagingku. Sudah sepatutnya seorang anak dekat dengan ayahnya. Terlebih dia anak perempuan, ayah kandungnyalah yang menjadi cinta pertamanya.""Jangan terlalu bangga hanya dengan meninggikan status seorang ayah kandung, Mas. Pasti Melani akan bisa memilih dengan siapa dia akan hidup jika nantinya keputusanku tidak sesuai dengan apa yang kalian harapkan.""Aku pastikan Melani tidak akan memikirkan hal tersulit dalam hidupnya. Kita akan bersama lagi. Aku yakin itu."Keyakinan Bimo begitu kuat. Dengan membuat Melani menjadi nyaman senyaman-nyamannya bersamanya, itu akan mempersulit Tsani untuk penolakan rujuk. Bimo begitu paham dengan Tsani, apapun akan dia lakukan untuk membuat orang yang ia sayangi merasa bahagia. Contohnya Tsani yang masih mau mengurus mertuanya yang s
Pyar!!!Suara pecahan terdengar dari ruang tamu, tempat Melani bermain boneka."Yayah ... akit ...."Tangisan Melani mengadu kesakitan membuat semua orang panik dan berhamburan ke luar dari kamar Bimo."Astaghfirullah, Melani ... kening kamu berdarah, Nak?" Kakek Melani panik."Tolong ambilkan kotak P3k, Mah. Cepat.""Iya, Pah."Mamah Astrid berlari mengambil kotak P3K di ruang tengah."Pah, ini apa?"Bimo menemukan sesuatu yang tergeletak tidak jauh dari posisi duduk Melani. Ternyata batu yang terbungkus kertas dengan tulisan yang berbau ancaman. "JAUHI TSANI!!! JIKA TIDAK INGIN MENERIMA TEROR YANG LEBIH MENGERIKAN LAGI!!!"Batu dengan ukuran cukup besar yang telah mendarat tepat di kening Melani hingga anak kecil itu berdarah dan menangis sejadi-jadinya."Isi tulisannya apa, Bim?" tanya Papah Rusli.“Seperti ancaman, Pah.”Bimo menyerahkan kertas kusut itu kepada papahnya."Siapa yang sudah berani meneror keluarga kita, Bim?""Bimo juga tidak tahu, Pah. Bentar Bimo cek dulu ke luar.
Sengaja Bimo pulang melewati jalan depan rumah Tsani. Jalan alternatif menuju perkotaan. Sekalian ingin memanggil tukang pasang CCTV yang kebetulan tetangga rumah Tsani.Mobil sudah terparkir di depan rumah jasa pasang dan service CCTV."Pak, lagi sibuk nih?"Bimo menyapa seorang laki-laki berumur 45 tahun yang sedang berkutat dengan laptopnya."Eh, Mas Bimo. Apa kabar? Sudah lama banget tidak bertemu. Sini-sini duduk."Warga di kampungnya memang banyak yang mengenal Bimo. Secara Bimo adalah anak orang terpandang dan dulu sewaktu masih bujangan Bimo juga sering bergaul dengan muda-mudi di kampung. Dari segi itu sudah bisa membuat Bimo terkenal, terlebih lagi dengan kasus rumah tangganya dengan Tsani satu tahun yang lalu. Kasus yang tidak bisa disembunyikan karena Tsani juga termauk gadis yang banyak dikenal warga sebab keramahannya."Kabar saya baik, Pak. Bapak sendiri bagaimana?""Alhamdulillah ... baik juga, Mas.""Alhamdulillah. Oh, ya, Pak. Nanti sore bisa ke rumah tidak? Saya mau
"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau
"Ternyata seperti ini jati diri kamu sebenarnya," Anjas bergumam dalam hati.Tsani telah kembali dari toilet. Anjas yang sudah tidak lagi nafsu untuk melanjutkan makan, memutuskan untuk mengajak Tsani pulang. Wanita yang memang sedang tak enak hati kepada Anjas pun menuruti ajakannya. Padahal, makanan belum juga habis.Setelah Anjas melakukan pembayaran di kasir untuk 4 porsi nasi padang dan dua gelas es teh, Anjas segera menuju ke mobil. Tsani sudah terlebih dulu manunggu di sana."Kita langsung pulang, kan, Tsan?""Iya, Mas. Sudah sore juga. Aku kepikiran sama Melani di rumah."Tanpa ada basa basi lagi dari keduanya. Anjas tancap gas meninggalkan rumah makan padang. Selama perjalanan pun tiada percakapan apapun.Sesampainya di rumah Tsani.Tsani tidak langsung turun karena tangan Anjas menahannya. Debaran dalam jantungnya begitu cepat. Cinta yang sama-sama dirasakan oleh keduanya entah akan bermuara ke mana."Tsan, aku tidak akan merasa sakit jika harus terus menerus menerima penola
Di tempat lain ...Rentetan-rentetan peristiwa hari ini cukup melelahkan. Sangat menguras energi, dan lupa akan waktu hingga tak terasa hari sudah menjelang sore, tetapi Anjas dan Tsani ternyata belum memberikan sesuap nasi untuk cacing-cacing di perut mereka. Sehingga perut Anjas pun keroncongan dan tercipta bunyi dari sana."Eh, bunyi apa itu, Mas?""Hei, itu bunyi perutku."Tsani yang mendengar bunyi tersebut tertawa kecil, Anjas pun tersipu malu dibuatnya."Tsan, mampir makan yuk. Aku sudah sudah terlalu lapar, nih.""Makan ditempat, Mas?""Iya, kalau kamu mau. Nanti kita makan nasi padang di depan. Terkenal enak di situ.""Tidak dibungkus saja, Mas? Aku sudah terlalu lama nitipin Melani, takut dia mencariku.""Coba kamu hubungi Dendi, Melani rewel atau tidak?"Anjas memang berencana ingin berbincang dengan Tsani. Jarang-jarang bisa keluar berdua dengan wanita pujaannya seperti hari ini. Keduanya disibukkan dengan rutinitas harian masing-masing. Terlebih lagi Tsani yang memang san
Perasaan Dini mulai tidak tenang, wanita itu takut apa yang ia pikirkan selama ini akan terjadi hari ini.Dini dengan tangan gemetar mulai mengambil berkas yang sudah di depan matanya."Buka berkas itu dan jangan lupa tanda tangani segera," perintah ulang si Bimo."Aku baca dulu, ya, Mas.""Oh, tidak perlu."Dini bisa membaca sekilas ejaan demi ejaan yang tertulis di berkas."Mas, kamu mau menjual rumah yang sudah kamu belikan untukku? Kenapa Mas?"Dini terkekeh setelah berhasil menangkap beberapa deret kalimat yang tertera."Iya, karena kamu, kan, sudah harus ikut aku di sini. Rumah ini juga luas, bukan? Bahkan kamu juga disediakan kamar sendiri. Tidak harus sekamar denganku. Lagi pula, kalau kita balik ke rumah itu pasti laki-laki hidung belang itu akan dengan mudah menemuimu, dan aku takut kamu akan bermain api lagi di belakangku di rumah itu. Jadi, terpaksa aku jual."Alasan Bimo membuat Dini terdiam sejenak."Tapi, kan, kita bisa ngontrakin itu rumah, Mas. Tidak perlu harus dijua
Bergegas Anjas membuka kertas lusuh yang terlipat pemberian dari Bimo itu dan segera membacanya.Anjas hanya tersenyum membaca pesan yang tertulis dalam kertas lusuh tersebut, lalu kembali melipatnya.“Jadi, maksud Anda, saya yang menulis pesan ancaman seperti ini?”“Lantas siapa lagi yang akan melakukan itu kalau bukan orang yang mau menghalangi aku untuk rujuk dengan Tsani lagi kalau bukan Anda?”Kertas yang masih ada dalam genggaman tangan Anjas pun kini diambil oleh Tsani yang juga penasaran dengan isi pesannya.“Jangan asal memfitnah orang, Mas Bim. Kalau tidak ada bukti yang akurat. Bisa jadi, kan itu kerjaan orang lain yang tidak suka dengan hubungan kita. Aku yakin, ini bukan kerjaan Mas Anjas.”“Mengapa kamu begitu yakin?”“Iya, karena aku paham. Bukan hanya satu orang atau dua orang saja yang tidak setuju dengan hubungan kita dulu. Termasuk orang yang sedang berada di dalam kamar tamu.”“Maksud kamu, Dini?”“Siapa lagi? Tidak mungkin, kan Anita yang melakukannya, dia masih b
"Aku tidak akan menceraikan Dini!" Bimo bersuara dengan tegas hingga orang seisi rumah tercengang setelah mendengarnya. Akan tetapi, tidak dengan Tsani yang nampak tersenyum tipis."Apa kamu bilang?! Kamu tidak mau menceraikan wanita yang punya otak kriminal ini?! Jangan bodoh kamu, Bim," hardik Mamah Astrid, "Mamah tidak mau punya menantu berhati iblis macam dia ini."Amarah wanita paruh baya ini semakin menjadi."Lihat, Mah, Pah. Mas Bimo sudah mengambil keputusan untuk tidak menceraikan Dini yang sudah jelas-jelas ingin mencelakaiku, jadi sekarang tidak perlu lagi ada permintaan rujuk kembali denganku.""Bu-bukan begitu, Tsan. Aku akan tetap melanjutkan rencana rujuk kita karena aku juga sayang sama kamu dan Melani.""Jangan serakah kamu, Mas! Kamu pikir aku mau dimadu?! Sekarang aku tak sebodoh dulu, Mas!" tukas Tsani."Mas Bimo tidak bisa seenaknya sendiri, mau sama aku, maka harus lepaskan wanita udik ini.""Apa kamu bilang!"Tamparan ketiga Tsani mendarat sempurna kembali di pi
Selepas mengantarkan Dendi dan Melani pulang, Anjas dan Tsani pun kembali ke mobil untuk melanjutkan rencana mereka hari ini, menyambangi rumah Bimo yang di sana ada Dini. Wanita yang telah mencoba mencelakai Tsani lewat tangan orang lain yang dibayarnya.Sepanjang perjalanan, Tsani memikirkan matang-matang rencana yang telah disusunnya karena Tsani tidak mau jika sampai ada menggagalkan rencananya."Tsani, kamu yakin tidak mau melaporkan si Dini itu? Dia itu sudah keterlaluan, loh, Tsan."Suara lelaki yang sedang mengemudi mobil itu membuyarkan konsentrasi Tsani."Tidak, Mas. Aku hanya ingin menuntut kesepakatan saja dari dia dan Mas Bimo.""Kesepakatan seperti apa?""Mas bisa lihat nanti saat kita di rumah Mas Bimo.""Apa aku terlalu terlibat di dalamnya?"Pertanyaan Anjas membuat Tsani berpikir ulang. Sejujurnya Tsani pun sebenarnya memerlukan peran lain untuk meyakinkan orang seisi rumah di sana nantinya. Namun, sedari tadi Tsani merasa bimbang jika harus mengantarkan permintaan t
"Astaghfirullah, Dini. Benarkah yang menyuruh Anda itu bernama Dini?" tanpa Tsani."Bukan, Mbak. Dia bernama Anin.""Itu satu orang yang sama, namanya Dini Anindya."Tsani sebenarnya sudah menaruh curiga terhadap Dini, tetapi ia tidak bisa menyimpulkan jika di balik ini semua adalah ulah Dini karena Tsani belum memegang bukti yang kuat."Tsan, apakah dia itu istri kedua dari mantan suamimu?" timpal Angga yang sudah sedikit tahu akan seluk beluk rumah tangga Tsani yang telah hancur karena orang ketiga."Benar, Mas. Di hari yang sama sebelum kejadian itu terjadi, sekitar jam 9 pagi Dini menyambangi rumahku. Dia datang dengan tujuan agar aku menolak ajakan rujuk dari Mas Bimo, tetapi aku tidak menyangka dia bisa nekat seperti ini, Mas.""Terus langkah selanjutnya kamu mau bagaimana, Tsan?""Aku akan tanyakan ini ke Dini secara baik-baik dulu, Mas.""Apa tidak langsung membuat laporan saja ke pihak yang berwajib, Tsan? Sudah ada sakti dan bukti, loh, Tsan.""Tidak, Mas. Biarkan ini menjad
Tsani bertekat akan mengungkap kasus ini sampai tuntas bagaimana pun caranya. Ingin segera mengungkap siapa dalang di balik kejadian semalam yang menimpanya. Meskipun ia harus melawan rasa traumanya yang masih menghantuinya, walaupun trauma itu sudah tidak separah semalam."Aku sudah siap, Mas, Den. Ayo berangkat."Tsani muncul dengan balutan gamis biru muda dan hijab pink bercorak bunga anggrek, tampilannya sangat anggun hingga membuat mata Anjas tak berkedip temandang wanita satu anak itu."Tuhan ... ada bidadari di depanku."Anjas melongo dibuatnya.Tsani yang menyadari bahwa sedari tadi Anjas terpaku menatapnya, mengibaskan tangannya di depan wajah pria tersebut."Mas Anjas, ayo berangkat."Kibasan tangan dan suara lembut Tsani mengagetkan lamunan Anjas, dan sekarang Anjas menjadi salah tingkah di depan wanita yang ia cintai."Oh, em, eh, bagaimana? Eh, kamu sudah siap, Tsan?"Tsani tertawa kecil mendapati Anjas yang seperti orang linglung."Sudah, Mas. Sudah dari satu jam yang la
Keesokan harinya ... ."Njas, bangun. Katanya mau ke kantor polisi."Suara ketukan pintu membuat Anjas terbangun terperanjat. Semalaman tidur dengan satu posisi tengkurap membuat badan Anjas terasa kaku semua. Tidak biasanya pula ia kesiangan seperti hari ini."Iya, Yah."Anjas meregangkan otot-ototnya, rasa kantuk pun masih menghinggapi dirinya."Astaghfirullah, ternyata sudah siang begini. Semoga tidak terlambat ke kantor polisi."Bergegas membersihkan diri dan bersiap menemani Tsani ke kantor polisi."Yah, aku pamit dulu.""Apa kamu nggak mau sarapan dulu?""Gampang, Yah. Ini sudah siang. Aku takut terlambat."Anjas melangkah menuju pintu tembusan garasi. Namun, langkahnya terhenti mendadak setelah mendengar ucapan ayahnya yang tak lain masih menjurus keperjodohan itu."Ingat ya, Njas. Jangan bersikap berlebih kepada Tsani, ingat akan Nisrina.""Apa salahnya kita membantu sih, Yah. Jangan semuanya serba disangkut pautkan dengan perjodohan yang sepihak ini.""Sepihak bagaimana maksu