"Lancang kamu bicara seperti itu, Tsan!"Tangan Bimo seketika melayang di udara hampir mendarat ke pipi Tsani. Tinggal sejengkal lagi tato merah cap lima jari menempel di sana. Beruntung sekali, ada tangan malaikat tak bersayap datang di waktu yang tepat."Jangan pernah kasar kepada wanita, Bung!"Dengan cepat tangan kekar Bimo dicengkram erat lalu diputar ke belakang tubuhnya. Sampai ia meringis kesakitan. Bimo juga belum sempat melihat wajah sosok lelaki yang datang itu."Siapa Anda!" tanya Bimo kepada yang datang.Tsani yang merasa ketakutan, masih menutupi sebagian wajahnya. Selang beberapa detik Tsani angkat bicara."Pakdhe Tresno.""Kau sudah diapakan lagi sama orang ini Tsani?""A-aku baik-baik saja, Pakdhe. Beruntung Pakdhe datang tepat waktu," jawab Tsani sedikit lega.Lelaki brewok itu melepaskan genggamannya terhadap Bimo. Bimo masih merasa kesakitan. Cengkeraman erat Pakdhe Tresno sampai membekas merah melingkar di tangan kanan Bimo.Pakdhe Tresno adalah kakak dari ayah Ts
"Apa maksud Anda berbicara seperti itu?" tanya Mamah Astrid dengan penuh keheranan."Tanyakan saja sendiri kepada suamimu itu! Kami permisi." "Tunggu, Tsan. Ini ada obat antibiotik untuk Melani dan kebutuhan dapur untuk kamu."Bimo menyerahkan semua yang sudah ia beli untuk Melani dan Tsani. Akan tetapi, ditolak oleh Pakdhe Tresno."Ambillah! Kami bisa membelinya sendiri. Jangan kalian pikir dengan membelikan itu semua bisa meredamkan rasa kecewa kami ini. Kalian sudah tidak bisa lagi dipercaya mengurus Melani. Kami permisi!"Pakdhe Tresno menggandeng Tsani ke luar menuju halaman rumah di mana mobilnya terparkir di sana. Namun, sesampainya di dalam mobil. Pakdhe kembali ke luar lalu masuk ke dalam rumah Bimo."Tsani, kamu tunggu di sini saja. Ada yang perlu Pakdhe sampaikan kepada mereka," perintah Pakdhe."Baik, Pakdhe."Pakdhe baru saja sampai di ambang pintu, tetapi kegaduhan sudah terdengar. Pakdhe memilih untuk berhenti dan mendengarkan ocehan demi ocehan ketiga orang di dalam s
Lelaki brewok itu sudah masuk ke mobilnya."Ayo kita pulang, Tsan. Kelamaan di rumah mertuamu ini bikin Pakdhe kebakaran bewok.""Jenggot, Pakdhe," protes Tsani sambil tertawa kecil."Aih ... sama saja, sama-sama rambut.""Iya deh, sama. Oh ya. Kok, tadi di dalam lama banget Pakdhe, sampai Melani tidur pulas sekali."Tsani menatap ke arah pakdhenya yang sedang fokus ke kaca spion mengeluarkan mobil dari parkiran."Duh, maaf ya Tsan. Tadi sebenarnya juga belum kelar, tapi takut situasi dan kondisi Mamah Mertuamu makin memburuk. Nanti malah Pakdhe yang ketempuhan.""Memangnya apa yang tadi dibahas, Pakdhe?""Iya, Pakdhe cuma bilang kalau Pakdhemu ini tidak setuju jika kamu masih harus memberi ASI untuk anak hasil pengkhianatan mantan suamimu itu. Mereka pikir keponakan Pakdhe yang sholihah ini perempuan apaan. Lagian kamu sih, mau pula diperbudak sama mereka. Jangan terlalu pakai hati, Tsani. Cerdaslah sedikit.""Bukannya begitu, Pakdhe. Tsani hanya kasihan sama bayi itu. Mungkin, kalau
Rumah Papah Rusli.Bimo menghampiri Mamah Astrid yang sedang kuwalahan menangani Anita yang terus menangis karena kehausan. "Kamu ke mana saja sih, Bim? Apa tidak dengar Anita menangis?""Maaf, Mah. Tadi Bimo ada urusan sama Papah di gazebo depan.""Sekarang di mana papahmu?""Masih di sana kayaknya, Mah."Mamah Astrid keluar dari kamar, sedangkan Bimo lanjut mengurus Anita, memberikan ASI kepada putri keduanya."Cup cup cup ... anak Ayah jangan nangis lagi, sekarang mimi susu dulu ya, Sayang."Bimo memang sudah luwes mengurus Anita karena selama hidup bersama Dini, Bimolah yang sering mengurusnya. Sehari-harinya Dini memang sibuk dengan jualan online-nya. Tidak jarang pula, Dini meninggalkan Anita di rumah bersama Bimo untuk melakukan COD dengan pelanggan.Waktu demi waktu, usaha Dini berkembang pesat. Banyak reseller-reseller yang mengambil barang jualan dalam jumlah yang banyak. Akan tetapi, Dini belum begitu mahir me-manage keuangan bisnisnya sehingga setiap bulannya Bimo harus m
Bimo sangat kalut, tidak mau terjadi apa-apa dengan putri keduanya itu. Dengan kecepatan tinggi Bimo melajukan motornya. Sekarang yang ada dalam pikirannya hanyalah Anita.Sesampainya di rumah Bimo langsung menghampiri Mamah Astrid. Dilihatnya Anita sudah lemas dan badannya sangat panas. Thermometer pun menunjukkan angka 39°."Mah, Anita kenapa sampai bisa begini, Mah?"Bimo sangat panik dengan kondisi bayinya."Tadi Anita muntah-muntah setelah minum susu formula yang kamu beli tadi, Bim.""Ah, yang benar, Mah?""Iya, Bim. Apa mungkin Anita tidak cocok dengan susu sapi ya?""Bimo juga tidak paham, Mah. Mamah tadi bikin susunya sesuai takaran, kan?""Iya, sesuai takaran yang tertera di box susu itu.""Mah, kain Mah."Anita muntah lagi, sekujur tubuhnya basah. Bimo pun mengganti keseluruhan pakaian Anita."Apa Anita kekenyangan ya, Bim?""Bisa jadi. Tapi ini muntahan keberapa, Mah?""Kelima ini, Bim.""Mah, sebaiknya kita bawa Anita ke bidan desa dulu, Mah. Kasihan kalau harus ke rumah
"Aku mohon, Mas. Jangan main-main. Aku bisa ini semua kepadamu. Ini-ini tidak seperti yang kamu bayangkan."Dini terus melangkah mundur menjauhi Bimo yang terus maju menghampiri dirinya. Sampai tubuh Dini mentok ke dinding ruang tamu. Tangan Bimo memainkan belati kecil dengan lincahnya. Tersenyum menyeringai kepada Dini, Bimo siap menguliti Dini habis-habisan malam ini.Tubuh mereka kini berhadapan. Dini tidak ada percobaan perlawanan. Benda kecil yang tajam itu disentuhkan ke wajah, lalu turun ke leher, ke tubuh Dini dan naik lagi berhenti tepat di depan mata Dini. Keringat sehabis perang bersama lelaki lain, kini bercampur dengan keringat dingin yang Bimo ciptakan."Wajah kamu makin cantik saja, Sayang. Pantas saja ada lelaki yang sampai mau membayar tubuh kamu."Pujian itu sama sekali tidak membuat Dini tersanjung, tetapi malah sebaliknya. Napasnya terpenggal-penggal, tidak beraturan."Katakan padaku, siapa laki-laki itu!" bentak Bimo, "beraninya kau bermain di belakangku, Dini!"
"Tsan, Tsani ... aku mohon rujuklah denganku. Kita mulai lembaran hidup yang baru. Tolong maafkan semua kesalahanku. Aku sungguh menyesal telah meninggalkanmu demi wanita itu. Ternyata dia tak sebaik yang aku kira. Aku menyesal. Kembalilah padaku Tsan, Tsani ...."Dekapannya makin erat, membuat Dini pun susah bernapas. Ternyata sesakit ini merasakan hangatnya pelukan, tetapi raga orang lain yang diharapkan, bahkan dalam tidurnya yang lelap pun masih bisa mengigo sepanjang itu. Lebih-lebih lelaki yang berada tepat di bawahnya itu sangat fasih dalam membandingkan dirinya dengan wanita lain."Kamu keterlaluan, Mas Bimo," Dini menggerutu.Ingin rasanya melayangkan kepalan yang keras untuk Bimo. Namun, Dini enggan melakukannya karena jika ia nekad hanya akan membangunkan Bimo ,bahkan orang seisi rumah dan lebih fatalnya lagi semua rencananya pasti akan gagal.Pelukan Bimo sekarang mengendur dan Dini pun terlepas secara perlahan. Bimo juga kembali tertidur pulas seperti awal tadi.Ponsel Bi
"Pokoknya jangan sampai kamu tergoda lagi sama perempuan itu, Bim. Mamah ngelihat dia di sini saja sudah engap. Apalagi harus melihat kamu kembali mesra sama dia lagi. Kalau bukan Anita yang menjadi alasan dia di sini, Mamah tidak sudi. Sudah Mamah usir jauh dia dari rumah ini," ocehan Mamah Astrid masih terdengar di kamar Bimo."Iya, Mah. Bimo ngerti. Lagian rencana awal kita kan masih utuh.""Setelah Anita sudah menemukan susu formula yang cocok. Kamu cepat-cepat ceraikan perempuan itu. Mamah juga tidak mau gara-gara dia di sini, Tsani makin sulit untuk kita bujuk.""Tidak segampang itu Mah misahin anak dan ibunya. Terlebih lagi Anita masih butuh ASI dari Dini. Pasti hak asuh akan jatuh ke tangan ibunya.""Bim, uang keluarga kita buat apa kalau bukan untuk mendapatkan apa yang kita mau? Kita bisa menyewa pengacara hebat untuk sidang nanti. Lagi pula, Dini bisa apa? Mau minta tolong sama orang tuanya yang juga tak punya apa-apa itu?"Perkataan Mamah Astrid kali ini memang benar. Hart
"Ternyata seperti ini jati diri kamu sebenarnya," Anjas bergumam dalam hati.Tsani telah kembali dari toilet. Anjas yang sudah tidak lagi nafsu untuk melanjutkan makan, memutuskan untuk mengajak Tsani pulang. Wanita yang memang sedang tak enak hati kepada Anjas pun menuruti ajakannya. Padahal, makanan belum juga habis.Setelah Anjas melakukan pembayaran di kasir untuk 4 porsi nasi padang dan dua gelas es teh, Anjas segera menuju ke mobil. Tsani sudah terlebih dulu manunggu di sana."Kita langsung pulang, kan, Tsan?""Iya, Mas. Sudah sore juga. Aku kepikiran sama Melani di rumah."Tanpa ada basa basi lagi dari keduanya. Anjas tancap gas meninggalkan rumah makan padang. Selama perjalanan pun tiada percakapan apapun.Sesampainya di rumah Tsani.Tsani tidak langsung turun karena tangan Anjas menahannya. Debaran dalam jantungnya begitu cepat. Cinta yang sama-sama dirasakan oleh keduanya entah akan bermuara ke mana."Tsan, aku tidak akan merasa sakit jika harus terus menerus menerima penola
Di tempat lain ...Rentetan-rentetan peristiwa hari ini cukup melelahkan. Sangat menguras energi, dan lupa akan waktu hingga tak terasa hari sudah menjelang sore, tetapi Anjas dan Tsani ternyata belum memberikan sesuap nasi untuk cacing-cacing di perut mereka. Sehingga perut Anjas pun keroncongan dan tercipta bunyi dari sana."Eh, bunyi apa itu, Mas?""Hei, itu bunyi perutku."Tsani yang mendengar bunyi tersebut tertawa kecil, Anjas pun tersipu malu dibuatnya."Tsan, mampir makan yuk. Aku sudah sudah terlalu lapar, nih.""Makan ditempat, Mas?""Iya, kalau kamu mau. Nanti kita makan nasi padang di depan. Terkenal enak di situ.""Tidak dibungkus saja, Mas? Aku sudah terlalu lama nitipin Melani, takut dia mencariku.""Coba kamu hubungi Dendi, Melani rewel atau tidak?"Anjas memang berencana ingin berbincang dengan Tsani. Jarang-jarang bisa keluar berdua dengan wanita pujaannya seperti hari ini. Keduanya disibukkan dengan rutinitas harian masing-masing. Terlebih lagi Tsani yang memang san
Perasaan Dini mulai tidak tenang, wanita itu takut apa yang ia pikirkan selama ini akan terjadi hari ini.Dini dengan tangan gemetar mulai mengambil berkas yang sudah di depan matanya."Buka berkas itu dan jangan lupa tanda tangani segera," perintah ulang si Bimo."Aku baca dulu, ya, Mas.""Oh, tidak perlu."Dini bisa membaca sekilas ejaan demi ejaan yang tertulis di berkas."Mas, kamu mau menjual rumah yang sudah kamu belikan untukku? Kenapa Mas?"Dini terkekeh setelah berhasil menangkap beberapa deret kalimat yang tertera."Iya, karena kamu, kan, sudah harus ikut aku di sini. Rumah ini juga luas, bukan? Bahkan kamu juga disediakan kamar sendiri. Tidak harus sekamar denganku. Lagi pula, kalau kita balik ke rumah itu pasti laki-laki hidung belang itu akan dengan mudah menemuimu, dan aku takut kamu akan bermain api lagi di belakangku di rumah itu. Jadi, terpaksa aku jual."Alasan Bimo membuat Dini terdiam sejenak."Tapi, kan, kita bisa ngontrakin itu rumah, Mas. Tidak perlu harus dijua
Bergegas Anjas membuka kertas lusuh yang terlipat pemberian dari Bimo itu dan segera membacanya.Anjas hanya tersenyum membaca pesan yang tertulis dalam kertas lusuh tersebut, lalu kembali melipatnya.“Jadi, maksud Anda, saya yang menulis pesan ancaman seperti ini?”“Lantas siapa lagi yang akan melakukan itu kalau bukan orang yang mau menghalangi aku untuk rujuk dengan Tsani lagi kalau bukan Anda?”Kertas yang masih ada dalam genggaman tangan Anjas pun kini diambil oleh Tsani yang juga penasaran dengan isi pesannya.“Jangan asal memfitnah orang, Mas Bim. Kalau tidak ada bukti yang akurat. Bisa jadi, kan itu kerjaan orang lain yang tidak suka dengan hubungan kita. Aku yakin, ini bukan kerjaan Mas Anjas.”“Mengapa kamu begitu yakin?”“Iya, karena aku paham. Bukan hanya satu orang atau dua orang saja yang tidak setuju dengan hubungan kita dulu. Termasuk orang yang sedang berada di dalam kamar tamu.”“Maksud kamu, Dini?”“Siapa lagi? Tidak mungkin, kan Anita yang melakukannya, dia masih b
"Aku tidak akan menceraikan Dini!" Bimo bersuara dengan tegas hingga orang seisi rumah tercengang setelah mendengarnya. Akan tetapi, tidak dengan Tsani yang nampak tersenyum tipis."Apa kamu bilang?! Kamu tidak mau menceraikan wanita yang punya otak kriminal ini?! Jangan bodoh kamu, Bim," hardik Mamah Astrid, "Mamah tidak mau punya menantu berhati iblis macam dia ini."Amarah wanita paruh baya ini semakin menjadi."Lihat, Mah, Pah. Mas Bimo sudah mengambil keputusan untuk tidak menceraikan Dini yang sudah jelas-jelas ingin mencelakaiku, jadi sekarang tidak perlu lagi ada permintaan rujuk kembali denganku.""Bu-bukan begitu, Tsan. Aku akan tetap melanjutkan rencana rujuk kita karena aku juga sayang sama kamu dan Melani.""Jangan serakah kamu, Mas! Kamu pikir aku mau dimadu?! Sekarang aku tak sebodoh dulu, Mas!" tukas Tsani."Mas Bimo tidak bisa seenaknya sendiri, mau sama aku, maka harus lepaskan wanita udik ini.""Apa kamu bilang!"Tamparan ketiga Tsani mendarat sempurna kembali di pi
Selepas mengantarkan Dendi dan Melani pulang, Anjas dan Tsani pun kembali ke mobil untuk melanjutkan rencana mereka hari ini, menyambangi rumah Bimo yang di sana ada Dini. Wanita yang telah mencoba mencelakai Tsani lewat tangan orang lain yang dibayarnya.Sepanjang perjalanan, Tsani memikirkan matang-matang rencana yang telah disusunnya karena Tsani tidak mau jika sampai ada menggagalkan rencananya."Tsani, kamu yakin tidak mau melaporkan si Dini itu? Dia itu sudah keterlaluan, loh, Tsan."Suara lelaki yang sedang mengemudi mobil itu membuyarkan konsentrasi Tsani."Tidak, Mas. Aku hanya ingin menuntut kesepakatan saja dari dia dan Mas Bimo.""Kesepakatan seperti apa?""Mas bisa lihat nanti saat kita di rumah Mas Bimo.""Apa aku terlalu terlibat di dalamnya?"Pertanyaan Anjas membuat Tsani berpikir ulang. Sejujurnya Tsani pun sebenarnya memerlukan peran lain untuk meyakinkan orang seisi rumah di sana nantinya. Namun, sedari tadi Tsani merasa bimbang jika harus mengantarkan permintaan t
"Astaghfirullah, Dini. Benarkah yang menyuruh Anda itu bernama Dini?" tanpa Tsani."Bukan, Mbak. Dia bernama Anin.""Itu satu orang yang sama, namanya Dini Anindya."Tsani sebenarnya sudah menaruh curiga terhadap Dini, tetapi ia tidak bisa menyimpulkan jika di balik ini semua adalah ulah Dini karena Tsani belum memegang bukti yang kuat."Tsan, apakah dia itu istri kedua dari mantan suamimu?" timpal Angga yang sudah sedikit tahu akan seluk beluk rumah tangga Tsani yang telah hancur karena orang ketiga."Benar, Mas. Di hari yang sama sebelum kejadian itu terjadi, sekitar jam 9 pagi Dini menyambangi rumahku. Dia datang dengan tujuan agar aku menolak ajakan rujuk dari Mas Bimo, tetapi aku tidak menyangka dia bisa nekat seperti ini, Mas.""Terus langkah selanjutnya kamu mau bagaimana, Tsan?""Aku akan tanyakan ini ke Dini secara baik-baik dulu, Mas.""Apa tidak langsung membuat laporan saja ke pihak yang berwajib, Tsan? Sudah ada sakti dan bukti, loh, Tsan.""Tidak, Mas. Biarkan ini menjad
Tsani bertekat akan mengungkap kasus ini sampai tuntas bagaimana pun caranya. Ingin segera mengungkap siapa dalang di balik kejadian semalam yang menimpanya. Meskipun ia harus melawan rasa traumanya yang masih menghantuinya, walaupun trauma itu sudah tidak separah semalam."Aku sudah siap, Mas, Den. Ayo berangkat."Tsani muncul dengan balutan gamis biru muda dan hijab pink bercorak bunga anggrek, tampilannya sangat anggun hingga membuat mata Anjas tak berkedip temandang wanita satu anak itu."Tuhan ... ada bidadari di depanku."Anjas melongo dibuatnya.Tsani yang menyadari bahwa sedari tadi Anjas terpaku menatapnya, mengibaskan tangannya di depan wajah pria tersebut."Mas Anjas, ayo berangkat."Kibasan tangan dan suara lembut Tsani mengagetkan lamunan Anjas, dan sekarang Anjas menjadi salah tingkah di depan wanita yang ia cintai."Oh, em, eh, bagaimana? Eh, kamu sudah siap, Tsan?"Tsani tertawa kecil mendapati Anjas yang seperti orang linglung."Sudah, Mas. Sudah dari satu jam yang la
Keesokan harinya ... ."Njas, bangun. Katanya mau ke kantor polisi."Suara ketukan pintu membuat Anjas terbangun terperanjat. Semalaman tidur dengan satu posisi tengkurap membuat badan Anjas terasa kaku semua. Tidak biasanya pula ia kesiangan seperti hari ini."Iya, Yah."Anjas meregangkan otot-ototnya, rasa kantuk pun masih menghinggapi dirinya."Astaghfirullah, ternyata sudah siang begini. Semoga tidak terlambat ke kantor polisi."Bergegas membersihkan diri dan bersiap menemani Tsani ke kantor polisi."Yah, aku pamit dulu.""Apa kamu nggak mau sarapan dulu?""Gampang, Yah. Ini sudah siang. Aku takut terlambat."Anjas melangkah menuju pintu tembusan garasi. Namun, langkahnya terhenti mendadak setelah mendengar ucapan ayahnya yang tak lain masih menjurus keperjodohan itu."Ingat ya, Njas. Jangan bersikap berlebih kepada Tsani, ingat akan Nisrina.""Apa salahnya kita membantu sih, Yah. Jangan semuanya serba disangkut pautkan dengan perjodohan yang sepihak ini.""Sepihak bagaimana maksu