Lama ditunggu-tunggu, akhirnya tepat pukul tujuh malam pak Hartawan pulang juga. Airin yang sudah merasa bosan karena menunggu sang papa terlalu lama, kini emosinya mulai meledak-ledak.Terdengar suara deru mobil di luar sana, bergegas Airin berlari kecil menuju ke balkon kamarnya. Disana Airin bisa melihat mobil sang papa terparkir dengan rapi di depan rumahnya. Pak Hartawan keluar dari mobil sambil menjinjing jas berwarna hitam."Akhirnya pulang juga, huh! Padahal aku sudah terlalu lama menunggunya. Entah apa yang dia lakukan di rumah sakit itu sampai-sampai lupa waktu. Padahal yang sakit cuma mantan mertuaku, tapi Papaku bisa segitu perhatiannya. Sampai-sampai lupa pulang," gerutu Airin.Tak butuh waktu lama Airin pun beranjak menghampiri papanya. Baru saja pak Hartawan masuk ke dalam rumah namun sudah disambut dengan wajah kesal oleh Airin."Papa, ke mana aja sih?" tanya Airin dengan nada jengkel. "Airin, kamu sudah dirumah? Kenapa belum tidur?" tanya Pak Hartawan, malah balik
Keesokan harinya …."Bagaimana keadaan cucu saya, Dok? Apakah sudah mulai membaik?" tanya Bu Emil pada dokter laki-laki yang sedang melakukan kunjungan untuk memeriksa keadaan pasiennya."Cucu Ibu sudah boleh pulang sekarang juga. Kondisinya sudah mulai stabil," jawab Dokter spesialis anak yang menangani keadaan Baby Sam.Saat ini, Dokter yang memakai kacamata itu sedang melakukan kunjungan ke kamar Baby Sam, dan setelah diperiksa semuanya, keadaan bayi laki-laki itu sudah mulai membaik dan boleh untuk pulang."Alhamdulillah. Saya takut banget waktu cucu saya kejang-kejang di rumah kemarin. Saya benar-benar panik, Dok. Takut terjadi sesuatu yang membahayakan pada cucu saya." Bu Emil mengungkapkan ketakutannya saat Baby Sam mengalami kejang waktu di rumahnya. "Ibu tenang saja. Karena kejang yang disebabkan oleh imunisasi tadi tidak berakibat fatal pada tubuh cucu Ibu. Hanya butuh penyesuaian saja. Jadi semuanya aman." Dokter berkacamata itu pun menjelaskan. Bu Emil tersenyum lega men
"Mama, Abra, kenapa pada bengong gitu sih? Kenapa sekaget itu ngeliat aku di sini?" Airin bertanya seraya menyapa mantan mertua dan mantan suaminya."Ada apa kamu ke mari, hm?" Bu Emil tanpa babibu langsung menunjukkan wajah tak bersahabat pada Airin. Airin menyapa Bu Emil dan Abraham sekali lagi dengan senyum ramah di wajahnya, namun saat bersitatap dengan Ayleen, wajah Airin langsung berubah masam. Ayleen merasa tak enak hati melihat perubahan wajah sang kakak, namun dia hanya diam dan tak bisa berbuat banyak. Airin memutar bola matanya. "Wajarlah aku di sini, Ma, aku kan ibu kandungnya Sam. Lagipula, kenapa nggak ada yang ngasih tau aku kondisi anak aku?" Airin justru menyalahkan Abraham yang tidak mengabarinya tentang kondisi Sam."Memangnya apa pedulimu, Airin. Bukannya selama ini kamu bahkan nggak pernah peduli sama keadaan anakmu?" Abraham berkata dingin. "Sekarang kamu udah melihat kondisi Sam, dia baik-baik saja sekarang, jadi menyingkirlah," lanjut Abraham penuh penekanan d
Meskipun sempat gelisah, namun semangat Airin untuk mendapatkan Abraham semakin menggebu-gebu lantaran masih berangan ingin bersatu kembali dengan mantan suaminya itu. Seribu cara akan coba Airin lakukan untuk bisa menggaet hati sang mantan suami. Namun, entah kenapa semakin Airin mencoba dia merasa semakin susah untuk mendapatkan hati Abraham lagi. Bukan karena ada orang ketiga, melainkan Abraham sendiri membatasi untuk sekedar berkomunikasi dengan Airin.Belum lagi Bu Emil yang sudah lama menutup hati untuk mantan menantunya itu. Walau seribu alasan sedang Airin rencanakan, Bu Emil dan Abraham tidak mungkin mau membuka hati lagi seperti yang diangan-angankannya. Karena keduanya sudah sangat sakit hati atas apa yang Airin lakukan selama ini."Sial*n! Rencana yang sudah aku rancang ternyata nggak berhasil sama sekali. Bahkan sikap Abra kepadaku benar-benar sangat dingin. Aku nggak bisa berdiam diri seperti ini. Karena aku nggak mau kehamilanku sampai diketahui
32"Kenapa aku jadi terus kepikiran Pak Abra, ya? Rasanya aku gak tenang didiemin sama Pak Abra begini. Aaaahhh ... ada apa sih sama aku? Padahal biasanya aku selalu cuek kalau ada orang yang mendiami aku. Tapi ini ... gak, aku gak boleh terus menerus memikirkan sikap Pak Abra yang mulai menjauhiku." Ayleen berbicara pada dirinya sendiri. Saat ini, wanita itu sedang merasa galau karena sejak kemarin, Abraham cuek kepadanya. Bukan hanya itu, bahkan pria bertubuh tinggi itu mendiamkan Ayleen dan seolah tak menganggap Ayleen ada. Entah mengapa semenjak Abraham mendiamkan Ayleen, ibu susu dari putranya Abraham itu tiba-tiba jadi galau dan tak bersemangat saat bekerja. Padahal sebelumnya, Ayleen tidak pernah merasakan seperti ini. Ayleen adalah tipe wanita cuek jika ada orang yang mendiamkannya atau membencinya. "Lagian, sejak kapan aku peduli dengan orang-orang yang bersikap cuek padaku? Biasanya aku tak pernah ambil pusing dengan sikap mereka kepadaku.
"Duduk sini dulu, Ayleen. Kita sarapan pagi bersama." Bu Emil tersenyum begitu mendapati ibu susu dari cucunya itu. Terlihat, Ayleen yang semula memperkirakan keduanya telah selesai sarapan pun sontak saja terdiam, ternyata ia sudah salah perkiraan. "Iya, Bu. Saya bisa sarapan nanti saja. Kebetulan saya masih belum lapar," ujar Ayleen seraya melirik samar ke arah Abraham. Ia tidak bisa membohongi dirinya untuk tidak peduli pada pria itu. "Ya sudah kalau begitu. Hm … apa ada yang ingin kamu bicarakan?" tanya Bu Emil kepada Ayleen. "Selesai sarapan saja, Bu. Saya kembali ke kamar Baby— " Terdengar suara dentingan sendok dan garpu yang diletakkan di atas piring sarapannya itu, Bu Emil lalu mengalihkan pandangannya pada Ayleen. "Sudah kok, Ayleen. Sekarang, katakan apa yang kamu ingin bicarakan kepada saya?" Ayleen mengangguk dengan sesekali masih melirik ke arah Abraham. Tidak sekali pun, pria itu ada menatap ke arahnya membuat helaan napas panjang keluar dari mulut Ayleen. "Stok
"Astaghfirullah, Pak Abra!!!" teriak Ayleen histeris melihat laki-laki yang belakangan ini telah membuatnya galau itu tergeletak tak berdaya di atas aspal. Setelah ia sadar telah terjadi kecelakaan pada dirinya dan juga Abraham, dengan susah payah Ayleen mencoba untuk bangun dan menghampiri Abra yang terkulai lemah di jalanan. Banyak darah berceceran di sekitar tubuh Abraham. Tubuhnya banyak sekali mengeluarkan darah. "Ya Allah, Pak Abra!" Ayleen memekik melihat kondisi Abra yang begitu mengenaskan. Kepalanya mengeluarkan darah akibat terbentur aspal dengan sangat keras saat tertabrak tadi. Bukan hanya kepalanya saja yang mengeluarkan darah cukup banyak, begitupun dari lubang hidungnya yang terus mengeluarkan cairan kental berwarna merah. "Astaghfirullah, Pak Abra!!!" teriak Ayleen histeris melihat laki-laki yang belakangan ini telah membuatnya galau itu tergeletak tak berdaya di atas aspal. Setelah ia sadar telah terjadi kecelakaan pada dirinya dan juga Abraham, dengan susah pay
"Sudah beberapa hari aku berusaha mencari siapa dalang dari semua ini. Tapi, semua data dan cctv masih belum bisa membuktikan siapa dalang dari semuanya. Sial! Bagaimana mungkin pelaku itu bisa tersembunyi begini?" Helmy, selaku asisten pribadi milik Abraham, menjadi orang kepercayaan sekaligus tangan kanan Abraham pun tak kunjung berhenti menyelidiki semuanya. Ia terus saja mencoba mencari data-data yang bisa ia kumpulkan, bersegera untuk memburu pelaku yang sudah berani membuat bos-nya sampai celaka. "Aku nggak akan membiarkan sesuatu terjadi pada Pak Abra begitu saja. Pelaku yang sudah membuat Pak Abra celaka ini harus segera ditemukan dan diadili dengan seadil-adilnya. Berani sekali ia mencelakai Pak Abra." Terlihat raut wajah tak terima yang terpasang jelas di wajah Helmy. Ia akan terus memburu pelaku yang sudah berani membuat sang bos sampai harus berbaring lama di rumah sakit. Sebuah panggilan telepon masuk ke ponselnya, senyuman terukir di wajahnya bak menemukan secercah
Ayleen menjejakkan kakinya ke dalam kamar hotel yang telah diatur, seolah-olah menunggu kedatangan pasangan pengantin baru. Cahaya lembut dari lentera aroma menyala redup, memancar ke seluruh ruangan, menyelimuti segala sudut dengan kehangatan yang mengundang. Di pojok kamar yang menawarkan sudut yang paling menenangkan, sebuah ranjang yang menggoda dengan ukuran king terhampar dengan sempurna, menciptakan fokus yang tak terhindarkan begitu seseorang memasuki ruangan. Ranjang itu bukan hanya sekadar furniture biasa; ia adalah pusat segala kemewahan dan keindahan. Di sekelilingnya, kelambu sutra putih mengalir dengan anggun, membingkai ranjang dengan sentuhan lembut yang melambangkan keintiman dan romansa. Setiap lipatan kelambu menambahkan kedalaman pada suasana ruangan, seolah-olah mengundang seseorang untuk memasuki dunia impian yang diciptakan oleh ranjang itu sendiri. Dan di puncak ranjang, sepasang bantal berwarna krim diletakkan dengan hati-hati, menambahkan sentuhan akhir da
Dinginnya sel penjara menyergap Airin begitu dia terbangun dari tidurnya yang tidak nyenyak. Dengan mata yang terbuka perlahan, dia merasakan kekakuan menyelubungi tubuhnya seperti selimut yang tak diinginkan. Udara di sekelilingnya terasa padat, menyebabkan napasnya tersengal-sengal di dalam ruangan sempit dan gelap itu.Langit-langit yang rendah menyelimuti sel itu dengan kegelapan. Cahaya redup dari lampu yang kusam hanya menyorot sudut-sudut gelap, meninggalkan bayangan-bayangan menyeramkan di setiap sudut ruangan. Udara terasa kaku dan hampa.Airin berusaha untuk duduk tegak, tetapi rasa lesu yang melumpuhkan tubuhnya membuatnya terpaksa membiarkan dirinya terbaring kembali di atas kasur yang keras dan dingin. Dia merasakan getaran dingin merambat dari lantai beton ke dalam tulang-tulangnya, menyebabkan tubuhnya menggigil tanpa henti.Setiap hembusan napasnya terasa berat, seperti tercekik oleh udara yang terasa sesak. Dia merasakan kekosongan yang mengisi ruang di dalam dadanya,
Langit senja memerah di ufuk barat ketika Hartawan memarkir mobilnya di depan rumah sakit. Udara sejuk April menyapa mereka begitu mereka keluar dari mobil. Di sampingnya, Ayleen menatap bangunan putih itu dengan ekspresi khawatir yang tersemat di wajahnya. Di dalam, Abraham baru saja diberi izin untuk pulang, tetapi kemampuan fisiknya masih terbatas. Pak Hartawan membantu Abraham, memastikan bahwa kursi roda sudah terpasang dengan baik. Abraham terlihat rapuh di antara dua sosok kuat di sisinya. Ayleen menggenggam erat tangan Abraham."Pak Abra, pasti bisa melakukannya," kata Ayleen dengan lembut, matanya penuh dengan keyakinan.Abraham tersenyum tipis. "Saya tahu."Pak Hartawan menatap kedua anak itu. Dia melangkah maju dan membuka pintu rumah, mempersilakan mereka berdua masuk. Pak Hartawan berjalan di depan, memastikan bahwa jalur keluar tidak terhalang.Mereka melintasi lorong-lorong yang dikenal oleh Abraham dengan hati-hati. Setiap langkah terasa berat bagi Abraham, tetapi dia
Pak Hartawan menatap layar ponselnya dengan pandangan tajam, mata yang biasanya berkilat dengan kemarahan. Tangannya gemetar ketika ia mencoba menekan nomor telepon Airin, namun tak ada jawaban yang menyambut. Dia telah mencoba berkali-kali, tapi hasilnya tetap sama: keheningan dari sisi lain jalur telepon."Sial!" Pak Hartawan melemparkan ponselnya ke sofa dengan geraman frustrasi. Setelah mengetahui bahwa Airin adalah dalang di balik tragedi yang menimpa Abraham, api kemarahannya semakin berkobar. Ia tak bisa lagi menahan amarahnya yang memuncak, dan satu-satunya pikiran yang menghantui benaknya adalah bagaimana untuk menemui wanita itu.Tanpa ragu, Pak Hartawan bangkit dari sofa dan melangkah menuju pintu. Langkahnya cepat. Sebelum meninggalkan rumah, ia mengambil teleponnya kembali, kali ini untuk menelepon polisi. Setelah kemarin ragu untuk memberitahu lokasi Airin, akhirnya dia memutuskan memberi informasi itu sekarang."Saya tahu di mana Airin berada," ucap Pak Hartawan dengan
Dalam ruang interogasi yang redup, Surya duduk dengan tatapan kosong, merasakan beban keheningan yang menekan di sekelilingnya. Di hadapannya, barisan petugas polisi duduk dengan serius, wajah-wajah mereka memancar tajam. Detik-detik terasa berlalu dalam suasana yang kaku dan hening, seolah-olah waktu telah membeku di tempat itu.Tidak ada yang mengucapkan sepatah kata pun, kecuali mungkin suara desisan halus kertas yang terlipat saat petugas mencatat apa yang dikatakan Surya. Tatapan mereka menuju ke arah Surya, menembus ke dalam dirinya dengan tajam, mencari kebenaran di balik kata-katanya, mencari jejak kelemahan yang mungkin bisa mereka manfaatkan.Surya merasakan tekanan, menghantamnya seperti badai yang mengguncang pikirannya. Dia merasa seperti ditempatkan di bawah mikroskop, diperiksa setiap pikiran dan perasaannya, tanpa celah untuk bersembunyi dari pandangan tajam petugas yang duduk di hadapannya. Rasa tak nyaman yang dalam menyelimuti hatinya, seolah-olah membalutnya.Dalam
"Saya yakin Surya adalah pelakunya." Kalimat itu terucap dari bibir Helmy ketika ia menekan tombol telepon dengan gemetar. Suara deru kendaraan dan laporan polisi yang tak henti-hentinya terdengar di latar belakang, menciptakan suasana tak pasti di sekitar Helmi."Saya melihatnya di CCTV jalan," lanjutnya, suaranya terengah-engah karena kepanikan yang merasukinya. "Saya yakin itu dia. Surya!"Di ujung telepon, petugas polisi menangkap setiap kata Helmy dengan serius. "Baik, kami akan segera mengambil langkah-langkah selanjutnya. Apakah Anda bisa memberikan deskripsi lebih detail?" Helmi mencoba menenangkan dirinya sejenak sebelum memberikan deskripsi yang diperlukan. "Dia memiliki ciri-ciri khas, tinggi, berambut hitam. Saya yakin dia nggak akan jauh. Kami harus segera menangkapnya sebelum dia menghilang!"Petugas polisi mencatat dengan cermat setiap kata yang disampaikan Helmi. "Kami akan menyebarkan informasi ini ke seluruh anggota kami. Terima kasih atas bantuannya. Kami akan s
Ayleen berdiri tegak di tengah dapur rumah sakit, menatap meja dengan serius. Di depannya terhampar berbagai bahan yang telah dia persiapkan untuk membuat bubur ayam, hidangan favorit Abraham. Tangan halusnya bergerak, mengambil bahan-bahan yang dibutuhkan.Dengan gerakan yang lembut, Ayleen mengambil mangkuk dari rak di sampingnya, dia menyalakan kompor, di mana api kecil mulai memancar di dalam ruangan yang terasa dingin. Cahaya api yang membara menari-nari di wajah Ayleen, menciptakan bayangan-bayangan yang menarik di dinding dapur.Ketika suara api kecil menggeliat dan berdentum di belakangnya, Ayleen mengalihkan perhatiannya kembali ke bahan-bahan di depannya. Dia dengan hati-hati menuangkan air ke dalam mangkuk, mendengarkan gemericikannya yang lembut saat air bertemu dengan permukaan logam. Setelah itu, dia mengatur api di bawah panci dengan hati-hati, memastikan bahwa suhu yang tepat tercapai untuk memasak bubur dengan sempurna.Dengan gerakan yang hati-hati, Ayleen mengambil
Airin berbaring gelisah di atas ranjang hotel yang nyaman, matanya terpaku pada layar smartphone di tangannya. Cahaya yang samar dari lampu malam menyala memantul di wajahnya yang tegang, menciptakan bayangan yang menyeramkan di ruangan yang sunyi.Dengan napas yang terengah-engah dan jari-jemari yang gemetar, dia meluncurkan ujung jarinya di atas permukaan kaca halus ponselnya, memicu sentuhan elektronik yang membangkitkan kilatan cahaya biru. Di dalam relung internet, dia merambat dengan cermat, mencari setiap celah informasi yang mungkin bisa menghilangkan kegelisahannya. Detak jantungnya berdegup kencang, tak lagi mampu diatur oleh kesadarannya yang terjaga oleh gelisah. Ketakutannya meluap dalam aliran tak beraturan, membentuk riak-riak yang merayap dalam pikirannya. Khawatir yang tak kunjung mereda, menggelayuti dirinya seperti hujan deras yang tak kenal henti. Pikirannya hanya terisi oleh satu nama, Surya. Setiap klik dan ketukan di layar menyebabkan Airin semakin terbenam. C
Langit pagi yang cerah menyambut Surya dengan hangat saat dia mencoba menghubungi Airin dengan telepon genggamnya. Cahaya matahari yang memancar melalui jendela memberikan suasana yang segar di ruangan itu. Namun, Surya merasa tegang saat panggilannya terus tak dijawab.Setelah beberapa nada panggilan, hanya ada suara hampa dari sisi lain telepon. Surya merasa jengkel, mendesah ringan ketika tidak mendapat respons. Dia memicingkan mata, mencoba untuk mengatasi rasa frustrasinya. Mungkin Airin sibuk, atau memang sengaja tak menjawab. Surya berusaha untuk tetap tenang dan sabar. Dia menyadari bahwa tidak selalu segala sesuatu berjalan sesuai rencana. Dengan pikiran yang masih tertuju pada Airin, dia memutuskan untuk mencoba lagi beberapa saat kemudian, berharap untuk mendapatkan jawaban yang dia cari."Sialan," desis Surya sambil mematikan teleponnya dengan gerakan kasar. "Kenapa dia tidak mengangkat telepon?"Rasa frustrasi menggelayutinya, membebani bahunya. Dia ingin mendengar suara